Meniti As-Sunnah
1.5K subscribers
769 photos
2 videos
796 links
Sederhana di atas sunnah itu lebih baik, daripada bersungguh-sungguh akan tetapi menyelisihinya.
Download Telegram
DARI BENCI MENJADI CINTA
Kepada Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah

Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah mengisahkan:

Sekarang saya akan mengisahkan kisah Abdurrahman al-Bakariy yang termasuk penduduk Najd. Beliau termasuk murid sang paman, yaitu Syaikh Abdullah (bin Abdil Lathif Aalusy Syaikh) dan selainnya.

Kemudian beliau membuka madrasah (yang dibangun dengan upaya beliau) di Oman, mengajarkan tauhid. Jika beliau kehabisan dana, beliau mengambil beberapa barang jualan dari seseorang kemudian beliau safar menuju India. Kadangkala beliau tinggal setengah tahun di India.

Syaikh al-Bakariy berkata: Saya tinggal di samping sebuah masjid di India. Di masjid itu ada seorang pengajar yang setiap kali selesai mengajar, melaknat (Syaikh Muhammad) Ibnu Abdil Wahhab. Ketika pengajar itu keluar dari masjid, ia berpapasan denganku dan berkata: Saya fasih berbahasa Arab, namun saya ingin mendengar bahasa Arab dari orang Arab asli, dan beliau ingin meminum air dingin di tempat saya. Maka saya ingat benar-benar apa yang dia lakukan pada pelajaran yang disampaikannya.

Saya pun bersiasat untuk mengundangnya ke rumah saya dan saya mengambil Kitabut Tauhid. Saya sobek sampul depannya dan saya letakkan di rak di rumah saya sebelum kedatangan dia. Ketika orang itu datang, saya berkata: Apakah anda mengizinkan saya untuk mengambilkan semangka? Saya pun pergi. Ketika saya kembali, orang itu ternyata sedang membaca (Kitabut Tauhid yang saya hilangkan sampul depannya itu) dan dia menggerak-gerakkan kepalanya. Dia berkata: Siapakah penulis kitab ini? Gaya penulisan babnya seperti dalam Shahih alBukhari. Ini, demi Allah, persis seperti Shahih al-Bukhari! Saya berkata: Saya tidak tahu. Kemudian saya berkata: Apakah sebaiknya kita pergi pada Syaikh al-Ghozawiy untuk bertanya kepada beliau. Syaikh al-Ghozawiy adalah pemilik perpustakaan dan beliau memiliki karya bantahan terhadap Jami’ul Bayaan.

Kami pun masuk menemui Syaikh al-Ghozawiy dan saya berkata kepada beliau: Saya punya kumpulan beberapa kertas ini yang Syaikh ini bertanya: karya siapakah ini? Saya tidak tahu. Al-Ghozawiy paham yang dimaksudkan. Beliau memanggil seseorang untuk membawakan kitab Majmu’ atTauhid. Didatangkanlah kitab itu dan ditunjukkan: Ini adalah karya Muhammad bin Abdil Wahhab.

Maka seorang alim India itu berkata dengan marah dan berteriak: Orang kafir itu?! Kami pun diam dan dia pun terdiam sebentar. Kemudian setelah kemarahannya mereda, ia beristirja’ (mengucapkan Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un). Ia pun berkata: Jika memang kitab ini adalah karya beliau, berarti kami telah mendzhalimi beliau.

Kemudian setelah itu, setiap hari beliau mendoakan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, demikian juga dengan para murid beliau. Murid-murid beliau di India jika selesai dari majelis, semuanya mendoakan kebaikan untuk Syaikh (Muhammad) Ibnu Abdil Wahhab (Fataawa wa Rosaail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim(1/75-76)

Semoga yang sedikit ini bermanfaat..



Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah

📎
MENENTUKAN AWAL RAMADHAN DENGAN RU'YAH BUKAN DENGAN HISAB

Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu.

Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8]

Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.
[5] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[6] Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[7] HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[8] Fathul Bari, 4/127.

@muslim.or.id



Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah

📎
BERPUASA MENGIKUTI ORMAS ATAUKAH PEMERINTAH.?

Sebagian Ormas mulai angkat suara dari jauh-jauh hari bahwa puasa sudah ditetapkan esok hari. Padahal dari zaman salaf yang namanya keputusan penetapan puasa atau hari raya selalu diserahkan pada pemerintah.

Seperti yang kita saksikan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menyaksikan hilal Ramadhan tidaklah langsung begitu saja berpuasa atau mengajak golongannya untuk berpuasa. Mereka yang menyaksikan hilal tetap melaporkan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kita dapat melihat contoh salaf dari hadits berikut ini.

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Manusia sedang memperhatikan hilal. Lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihat hilal. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 2342. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).

Lihatlah seandaianya Ibnu ‘Umar mau, ia tentu saja bisa mengajakan massanya untuk berpuasa keesokan hari. Namun ia masih melaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena memang yang punya kewenangan untuk memutuskan adalah beliau selaku pemerintah. Jadi para sahabat radhiyallahu ‘anhum masih menunggu keputusan Rasul tidak berinisiatif untuk memulai puasa seorang diri.

Sumber: Artikel Rumaysho.com



Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah

📎
FATWA SYAIKH ALAAMAH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI tentang Jamaah Tabligh

Beliau rohimahulloh pernah ditanya :

“Apakah pendapat Syeikh tentang Jamaah Tabligh, apakah boleh bagi pelajar penuntut ilmu) atau lainnya untuk khuruj (keluar) bersama mereka dengan dalih berdakwah kepada Allah ?"

Maka beliau rohimahulloh menjawab :

"Jamaah Tabligh tidak berdiri (berdasarkan) atas manhaj (cara Beragama) Kitabullah (Al Qur'an) & Sunnah Rasul-Nya ‘alaihi salawat wa salam, & apa yg dipegang oleh Salafuu Sholeh (orang Sholeh terdahulu).

Kalau seandainya perkaranya seperti itu, maka tidaklah boleh khuruj bersama mereka, karena hal itu bertentangan dengan manhaj kita dalam menyampaikan manhaj salafus sholeh.

Maka dalam medan dakwah kepada Allah, YG KELUAR ITU ADALAH ORANG YG BERILMU, adapun orang-orang yg keluar bersama mereka, yg wajib mereka lakukan adalah untuk tetap tinggal di negeri mereka & memperlajari ilmu di mesjid-mesjid mereka, sampai-sampai mesjid-mesjid itu mengeluarkan ulama yg melaksanakan tugas dalam dakwah kepada Allah.

Dan selama kenyataanya masih seperti itu, maka wajiblah atas penuntut ilmu (pelajar) untuk mendakwahi mereka-mereka itu (Jamaah Tabligh) di dalam rumah mereka sendiri, agar mempelajari Kitab & Sunnah & mengajak manusia kepadanya.

Sedang mereka (yakni Jamaah Tabligh) tidak menjadikan dakwah kepada Kitab & Sunnah sebagai dasar umum, akan tetapi mereka mengatagorikan dakwah ini sebagai pemecah. Oleh karena itu, maka mereka itu lebih cocok seperti Jamaah Ikhwan Muslimin.

MEREKA MENGATAKAN bahwa "dakwah kami berdiri atas kitab & sunnah", akan tetapi ini hanya semata-mata ucapan, sedangkan mereka tidak ada akidah yg menyatukan mereka, yg ini MATURIDI & yg itu ASY’ARI, yg ini SUFI & yg itu tidak punya mazhab.

Itu, karena DAKWAH MEREKA BERDIRI ATAS DASAR: bersatu, berkumpul, kemudian pengetahuan. Pada hakikatnya mereka tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, sungguh telah berjalan bersama mereka waktu lebih dari setengah abad, tidak pernah seorang alim pun yg lahir di tengah-tengah mereka.

Adapun kita, maka KITA (Ahlu Sunnah wal Jamaah) MENGATAKAN : Berpengetahuan (dulu), kemudian berkumpul, sehingga perkumpulan itu berada di atas pondasi yg tidak ada perbedaan di dalamnya.

Dakwah JAMAAH TABLIGH ADALAH SUFI MODEREN, yg mengajak kepada akhlak. Adapun memperbaiki akidah masyarakat, maka mereka itu tidak bergeming, karena dakwah ini (memperbaiki akidah) -sesuai dengan prasangka mereka- memecah belah.

Dan sungguh telah terjadi koresponden antara akh Sa’ad Al Hushain & pemimpin Jamaah Tabligh di India atau Pakistan, maka jelaslah darinya bahwa sesungguhnya mereka itu menyetujui tawasul, & istighatsah & banyak hal-hal lain yang sejenis ini. Dan mereka meminta kepada anggota mereka untuk membai’at di atas emapat macam terikat (ajaran), diantaranya adalah : AN NAQSYABANDIYAH, maka setiap orang tabligh seyogyanya untuk membai’at di atas dasar ini.

Dan mungkin seorang akan bertanya : Sesungguhnya Jamaah ini, disebabkan usaha anggota-anggotnya telah kembali (insaf & sadar) kebanyakan manusia kepada Allah, bahkan mungkin melalui tangan-tangan mereka kebanyakan orang non muslim telah masuk Islam. Apakah ini sudah cukup sebagai dalih bolehnya untuk keluar dan bergabung bersama mereka pada apa yg mereka dakwahkan?

Maka KITA KATAKAN: “Sesungguhnya ucapan-ucapan ini sering kami ketahui & kami dengar &n kami dengar (juga) dari orang-orang sufi!!. Ini bagaikan : Ada seorang syeikh akidahnya rusak, & tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang sunnah, bahkan ia memakan harta orang DENGAN CARA BATHIL (tidak sah)…. Disamping itu BANYAK ORANG YG FASIK (yg berdosa) bertaubat lewat tangannya….!

Maka setiap jamaah yg mengajak kepada kebajikan pasti mempunyai pengikut, akan tetapi kita harus melihat kepada intisari permasalahan, kepada apakah yg mereka mengajak / berdakwah? Apakah kepada mengikuti kitabullah & hadits Rasul, kepada akidah salafus sholeh, tidak ta’ashub (fanatik) mazhab, & mengikuti sunnah dimanapun dan sama siapapun?
Maka Jamaah Tabligh, mereka tidak memiliki manhaj ilmu, akan tetapi manhaj mereka sesuai dengan tempat dimana mereka berada, mereka berubah warna dengan setiap warna.
dimanapun & sama siapapun?

[Rujuklah Fatwa Imaratiyah, karangan Al Albani soal no : 73 hal : 38]

Semoga yang sedikit ini bermanfaat..



Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah

📎
SAMPAIKAN SEGALA ASA DAN HAJATMU KEPADA-NYA MENJELANG BERBUKA

Al-'Allâmah Ibnu 'Utsaimîn rahimahullah mengatakan,

الدعاء يكون قبل الإفطار عند الغروب؛ لأنه يجتمع في حقه انكسار النفس، والذل لله عز وجل، وأنه صائم، وكل هذه من أسباب الإجابة، أما بعد الفطر فإن النفس قد استراحت وفرحت، وربما يحصل غفلة،
1️⃣ "Do'a mustajabah terletak sebelum Buka, menjelang tenggelamnya matahari;

yang demikian, karena terkumpul pada seseorang :
- kondisi kelemahan dirinya,
- ketundukan kepada Allah,
- dan kondisinya yang sedang berpuasa.

Dan semua ini adalah sebab-sebab terkabulnya do'a.

Adapun setelah buka, biasanya seseorang dalam kondisi rehat dan senang, dan terkadang muncul pada dirinya kelalaian.

لكن ورد ذكر إن صح عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم فإنه يكون بعد الإفطار,

2️⃣ Namun ada sebuah dzikir jika shahih dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam yang dibaca setelah berbuka, yaitu :

"ذهب الظمأ، وابتلت العروق، وثبت الأجر إن شاء الله."

هذا لا يكون إلا بعد الفطر.

"Dzahabadz zhamau, Wabtallatil 'Uruuqu, Wa Tsabatal Ajru Insyaallah."

Dan ini tidaklah dibaca, kecuali setelah buka (minum/makan sesuatu)."



Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah

[https://binothaimeen.net/content/295]

📎
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr.wb.Pak Ustat! Saya sering membawa Hp di WC, sedangkan di handpon Saya banyak terdapat ayat suci Alquran. Bagaimana hukumnya?

Masuk Toilet dengan Membawa HP yang Berisi Alquran

Tidak ada larangan untuk masuk toilet dengan membawa hp yang berisi konten Alquran. Karena hp semacam ini tidak dihukumi sebagai Alquran, meskipun di dalamnya terdapat rekaman bacaan Alquran atau tulisan Alquran. Karena suara dan tulisan ini tersembunyi dan tidak nampak. Sebagian ulama menganalogikannya dengan penghafal Alquran. Seorang penghafal Alquran, di dalam memorinya tersimpan firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun demikian, tidak ada larangan baginya untuk masuk toilet atau kamar mandi. Selama dia tidak membaca Alquran di tempat-tempat yang kurang terhormat ini.
Allahu a’lam
Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/21792
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah

📎
IBROH YANG DAPAT KITA AMBIL DI MOMENTUM RAMADHAN MUBARAK INI TERKAIT DENGAN SAUDARA KITA YANG SEDANG BERJUANG DI PALESTINA DARI KELAPARAN

Kita disini, di negri yang kita cintai ini yang aman dari konflik, sehingga dapat memudahkan umat Islam untuk beribadah dengan tenang, terkhusus menyangkut berpuasa di bulan Ramadhan.

Selain itu kita berkecukupan dan tidak kekurangan makanan sedikitpun saat berbuka puasa, sementara saudara kita yang ada di Gaza palestina saat ini, mereka serba kekurangan, bahkan ada di antara mereka ketika ingin sahur dan berbuka puasa, mereka tidak memiliki makanan sama sekali untuk di makan. 😥

Meskipun harga kebutuhan pokok naik, hal ini tidak membuat meja makan kita kosong dari berbagai macam menu makanan khas Ramadhan.

Kabar yang kita dapati di atas seharusnya dapat menyadarkan diri ini agar untuk tidak berlebih-lebihan ketika menyantap atau berbuka puasa.

Tidak jarang kita temui di rumah-rumah kaum muslimin makanan yang terlalu banyak hingga terbuang ke bak sampah, beraneka macam kue dari yang manis sampai yang gurih terpajang diatas meja makan ketika masuk jam berbuka.

Inagt! Sedangkan sebagian saudara muslim kita diluar sana (Gaza Palestina) berpuasa dengan menahan lapar, juga kelaparan karna emang tidak ada makanan yang akan ia makan.

Tapi justru yang mereka khawatirkan hanyalah satu. APAKAH PUASA KAMI SAH ATAU DI TERIMA karna tanpa makan sahur dan berbuka.?

Semoga yang sedikit ini menjadi ibroh untuk diri ini pribadi dan siapapun yang membacanya..

Repost_ummusza dgn sedikit perubahan, Barakallahu fiikum..!!

Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah
https://international.sindonews.com/read/1339031/43/2000-petugas-medis-kelaparan-di-gaza-tak-ada-makan-sahur-dan-buka-puasa-1710288220



📎
TIDAK SEMUA YANG ENGKAU INGIN KATAKAN KAMU HARUS UCAPKAN DAN KAMU TUANG DALAM KETIKANMU

Asy Syaikh Rabi' Bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah:

لقد تعبت كثيرا وكثيرا هنا وهناك في معالجة آثار كلام من لا ينظر في العواقب، ولا يراعي المصالح والمفاسد ، ولا يستخدم الرفق والحكمة، تلكم اﻷمور واﻷصول العظيمة التي يجب مراعاتها.

Sungguh aku sangat lelah dan lelah di sini dan di sana untuk memperbaiki akibat dari ucapan-ucapan yang tidak diperhitungkan efek dan akibatnya.

Tidak lagi dilihat maslahat dan mafsadahnya, dan tidak ada kelembutan dan hikmah padanya.

Inilah perkara-perkara dan pokok-pokok dasar yang agung yang wajib untuk diperhatikan atasnya.

📚Majmu' Kutub Syeikh Rabi', 9/137



Ikut Berbagi:
https://t.me/meniti_Assunnah

📎