سن مآباً
Jadikanlah kami dai yang mengajak kepada kebaikan, sehingga mereka ingin agar ibadah mereka bersambung dengan ibadah anak keturnannya. Dan agar kebaikan mereka memberi pengaruh manfaat bagi yang lain. dan itu akan menambah pahala dan hasil yang lebih baik. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/133)
Demikian, Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKONFIRMASI DONASI hubungi: 087-738-394-989
Shared from Konsultasi Syariah for android http://bit.ly/KonsultasiSyariah
Jadikanlah kami dai yang mengajak kepada kebaikan, sehingga mereka ingin agar ibadah mereka bersambung dengan ibadah anak keturnannya. Dan agar kebaikan mereka memberi pengaruh manfaat bagi yang lain. dan itu akan menambah pahala dan hasil yang lebih baik. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/133)
Demikian, Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORKKONFIRMASI DONASI hubungi: 087-738-394-989
Shared from Konsultasi Syariah for android http://bit.ly/KonsultasiSyariah
*Memanfaatkan barang GADAI*
Transaksi gadai, digolongkan para ulama sebagai akad tautsiqat, yaitu akad yang tujuannya memberikan jaminan kepercayaan bagi pelaku akad. Mengingat tujuannya untuk jaminan kepercayaan, akad ini sifatnya tambahan (‘aqd ziyadah). Bisa ditambahkan di akad apapun. Karena itu, akad ini tidak memberikan konsekuensi terhadap perpindahan kepemilikan barang gadai.
Konsekuensi dari hal ini,
[1] barang gadai statusnya amanah bagi murtahin (yang memberi utang).
[2] barang gadai tetap menjadi milik rahin (yang berutang).
[3] jika terjadi kegagalan, misalnya utang bermasalah atau transaksi yang dijamin bermasalah, barang gadai tidak otomatis pindah kepemilikan.
[4] semua biaya perawatan barang gadai, ditanggung oleh rahin (yang berutang), karena ini memang miliknya.
Tidak Boleh Memanfaatkan Barang Gadai
Kita menggaris bawahi, bahwa dalam transaksi gadai, tujuan utamanya hanya untuk jaminan kepercayaan dan keamanan, dan bukan untuk memberi keuntungan bagi pihak yang menerima gadai (yang memberi utang).
Yang terjadi, ketika penerima gadai memanfaatkan barang gadai, berarti dia memanfaatkan barang milik orang yang utang, disebabkan transaksi utang antar mereka. Bisa kita pastikan, andaikan tidak ada transaksi utang piutang, orang yang menerima gadai tidak akan memanfaatkan barang milik yang berutang.
Karena itu, pemanfaatan barang gadai oleh pemberi utang, berarti dia mendapatkan manfaat dari utang yang dia berikan. Sementara mengambil manfaat (keuntungan) dari utang yang diberikan, termasuk riba. Seperti yang dinyatakan dalam kaidah,
كُلُّ قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً
“Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” (HR. Baihaqi)
Tak terkecuali, keuntungan dalam bentuk memanfaatkan barang gadai karena transaksi utang piutang.
Kita simak keterangan Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunah,
عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا
Akad rahn adalah akad yang tujuannya untuk menjamin kepercayaan dan jaminan utang. dan bukan untuk dikembangkan atau diambil keuntungan. Jika seperti itu aturannya, maka tidak halal bagi murtahin untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, meskipun diizinkan oleh rahin. Karena berarti utang yang memberikan adanya keuntungan. Dan semua utang yang memberikan keuntungan, statusnya riba. (Fiqh Sunah, 3/156).
Rincian Pemanfaatan Gadai untuk Selain Utang
Mengingat akad gadai bisa ditambahkan dalam banyak transaksi, seperti utang, jual beli dan yang lainnya, tidak semua pemanfaatan gadai dilarang. Ibnu Qudamah memberikan rincian sebagai berikut,
[1] Jika gadai ini diberikan untuk jaminan kepercayaan transaksi utang-piutang, pemberi utang sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai, meskipun telah diizinkan rahin. Karena ini termasuk riba, karena “setiap utang yang memberikan keuntungan, maka itu adalah riba.” bahkan kata Imam Ahmad, itu riba murni. Ibnu Qudamah mengatakan,
قال أحمد : أكره قرض الدور وهو الربا المحض يعني إذا كانت الدار رهنا في قرض ينتفع بها المرتهن
Imam Ahmad mengatakan, “Saya membenci menggadaikan rumah, dan itu riba murni.” Maksud beliau, jika rumah dijadikan barang gadai untuk utang, dan dimanfaatkan oleh murtahin (pemberi utang).
[2] Jika gadai untuk selain utang, seperti jaminan untuk transaksi jual beli yang belum tuntas atau jaminan dalam akad sewa-menyewa, maka pemberi utang boleh memanfaatkan barang gadai jika pemilik barang mengizinkan. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin – keduanya ulama tabi’in –. (al-Mughni, 4/467).
Jika Gadai Membutuhkan Perawatan
Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin (yang berutang). At-Thahawi mengatakan,
وأجمع أهل العلم أن نفقة الرهن على الراهن لا على المرتهن
“Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin dan bukan murtahin.” (Syarh Ma’ani al-Atsar, 4/99)
Selanjutnya, jika rahin tidak menanggung biaya pera
Transaksi gadai, digolongkan para ulama sebagai akad tautsiqat, yaitu akad yang tujuannya memberikan jaminan kepercayaan bagi pelaku akad. Mengingat tujuannya untuk jaminan kepercayaan, akad ini sifatnya tambahan (‘aqd ziyadah). Bisa ditambahkan di akad apapun. Karena itu, akad ini tidak memberikan konsekuensi terhadap perpindahan kepemilikan barang gadai.
Konsekuensi dari hal ini,
[1] barang gadai statusnya amanah bagi murtahin (yang memberi utang).
[2] barang gadai tetap menjadi milik rahin (yang berutang).
[3] jika terjadi kegagalan, misalnya utang bermasalah atau transaksi yang dijamin bermasalah, barang gadai tidak otomatis pindah kepemilikan.
[4] semua biaya perawatan barang gadai, ditanggung oleh rahin (yang berutang), karena ini memang miliknya.
Tidak Boleh Memanfaatkan Barang Gadai
Kita menggaris bawahi, bahwa dalam transaksi gadai, tujuan utamanya hanya untuk jaminan kepercayaan dan keamanan, dan bukan untuk memberi keuntungan bagi pihak yang menerima gadai (yang memberi utang).
Yang terjadi, ketika penerima gadai memanfaatkan barang gadai, berarti dia memanfaatkan barang milik orang yang utang, disebabkan transaksi utang antar mereka. Bisa kita pastikan, andaikan tidak ada transaksi utang piutang, orang yang menerima gadai tidak akan memanfaatkan barang milik yang berutang.
Karena itu, pemanfaatan barang gadai oleh pemberi utang, berarti dia mendapatkan manfaat dari utang yang dia berikan. Sementara mengambil manfaat (keuntungan) dari utang yang diberikan, termasuk riba. Seperti yang dinyatakan dalam kaidah,
كُلُّ قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً
“Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” (HR. Baihaqi)
Tak terkecuali, keuntungan dalam bentuk memanfaatkan barang gadai karena transaksi utang piutang.
Kita simak keterangan Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunah,
عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا
Akad rahn adalah akad yang tujuannya untuk menjamin kepercayaan dan jaminan utang. dan bukan untuk dikembangkan atau diambil keuntungan. Jika seperti itu aturannya, maka tidak halal bagi murtahin untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, meskipun diizinkan oleh rahin. Karena berarti utang yang memberikan adanya keuntungan. Dan semua utang yang memberikan keuntungan, statusnya riba. (Fiqh Sunah, 3/156).
Rincian Pemanfaatan Gadai untuk Selain Utang
Mengingat akad gadai bisa ditambahkan dalam banyak transaksi, seperti utang, jual beli dan yang lainnya, tidak semua pemanfaatan gadai dilarang. Ibnu Qudamah memberikan rincian sebagai berikut,
[1] Jika gadai ini diberikan untuk jaminan kepercayaan transaksi utang-piutang, pemberi utang sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai, meskipun telah diizinkan rahin. Karena ini termasuk riba, karena “setiap utang yang memberikan keuntungan, maka itu adalah riba.” bahkan kata Imam Ahmad, itu riba murni. Ibnu Qudamah mengatakan,
قال أحمد : أكره قرض الدور وهو الربا المحض يعني إذا كانت الدار رهنا في قرض ينتفع بها المرتهن
Imam Ahmad mengatakan, “Saya membenci menggadaikan rumah, dan itu riba murni.” Maksud beliau, jika rumah dijadikan barang gadai untuk utang, dan dimanfaatkan oleh murtahin (pemberi utang).
[2] Jika gadai untuk selain utang, seperti jaminan untuk transaksi jual beli yang belum tuntas atau jaminan dalam akad sewa-menyewa, maka pemberi utang boleh memanfaatkan barang gadai jika pemilik barang mengizinkan. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin – keduanya ulama tabi’in –. (al-Mughni, 4/467).
Jika Gadai Membutuhkan Perawatan
Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin (yang berutang). At-Thahawi mengatakan,
وأجمع أهل العلم أن نفقة الرهن على الراهن لا على المرتهن
“Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin dan bukan murtahin.” (Syarh Ma’ani al-Atsar, 4/99)
Selanjutnya, jika rahin tidak menanggung biaya pera
watan, bolehkah murtahin memanfaatkan barang gadai sebagai ganti dari biaya perawatan?
Menurut madzhab hambali, jika gadai yang ada di tangan murtahin membutuhkan biaya perawatan, seperti binatang, maka murtahin berhak untuk mengambil manfaat dari binatang itu, dengan diperah susunya atau dijadikan tunggangan, sebagai kompensasi atas biaya yang dia keluarkan.
Dalam Fiqh Sunah dinyatakan,
فإن كان دابة أو بهيمة فله أن ينتفع بها نظير النفقة عليها فإن قام بالنفقة عليها كان له حق الانتفاع، فيركب ما أعد للركوب كالابل والخيل والبغال ونحوها ويحمل عليها، ويأخذ لبن البهيمة كالبقر والغنم ونحوها
Jika barang gadai berupa hewan tunggangan atau binatang ternak, maka murtahin boleh memanfaatkannya sebagai ganti dari biaya yang dia keluarkan untuk itu. Orang yang menanggung biaya, dia berhak untuk memanfaatkan barang itu. Dia boleh menaikinya jika itu hewan tunggangan seperti kuda, onta, atau bighal. Dan boleh dipakai untuk ngangkut barang. Dia juga boleh mengambil susunya jika hewannya bisa diperah, seperti kambing atau sapi. (Fiqh Sunah, 3/157)
Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang melarang sama sekali pemanfaatan barang gadai oleh murtahin.
Namun pendapat hambali dalam hal ini lebih kuat, mengingat hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ
“Susu hewan perah bisa diperah sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Punggung hewan tunggangan boleh dinaiki sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Kewajiban bagi yang menunggangi dan yang memerah susunya untuk merawatnya.” (HR. Abu Daud 3528 dan dishahihkan al-Albani)
Namun tentu saja ini tidak berlaku untuk motor. Karena motor tidak perlu biaya perawatan. Kalaupun harus dipanasi, itu hanya sebentar dan jika murtahin tidak rela, bisa diganti biaya perawatan itu dengan memakai motor tersebut untuk keperluan sebentar.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Menurut madzhab hambali, jika gadai yang ada di tangan murtahin membutuhkan biaya perawatan, seperti binatang, maka murtahin berhak untuk mengambil manfaat dari binatang itu, dengan diperah susunya atau dijadikan tunggangan, sebagai kompensasi atas biaya yang dia keluarkan.
Dalam Fiqh Sunah dinyatakan,
فإن كان دابة أو بهيمة فله أن ينتفع بها نظير النفقة عليها فإن قام بالنفقة عليها كان له حق الانتفاع، فيركب ما أعد للركوب كالابل والخيل والبغال ونحوها ويحمل عليها، ويأخذ لبن البهيمة كالبقر والغنم ونحوها
Jika barang gadai berupa hewan tunggangan atau binatang ternak, maka murtahin boleh memanfaatkannya sebagai ganti dari biaya yang dia keluarkan untuk itu. Orang yang menanggung biaya, dia berhak untuk memanfaatkan barang itu. Dia boleh menaikinya jika itu hewan tunggangan seperti kuda, onta, atau bighal. Dan boleh dipakai untuk ngangkut barang. Dia juga boleh mengambil susunya jika hewannya bisa diperah, seperti kambing atau sapi. (Fiqh Sunah, 3/157)
Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang melarang sama sekali pemanfaatan barang gadai oleh murtahin.
Namun pendapat hambali dalam hal ini lebih kuat, mengingat hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ
“Susu hewan perah bisa diperah sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Punggung hewan tunggangan boleh dinaiki sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Kewajiban bagi yang menunggangi dan yang memerah susunya untuk merawatnya.” (HR. Abu Daud 3528 dan dishahihkan al-Albani)
Namun tentu saja ini tidak berlaku untuk motor. Karena motor tidak perlu biaya perawatan. Kalaupun harus dipanasi, itu hanya sebentar dan jika murtahin tidak rela, bisa diganti biaya perawatan itu dengan memakai motor tersebut untuk keperluan sebentar.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
kajianislamharian
Video
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُصَلِّي سِتِّينَ سَنَةً مَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ، لَعَلَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَلَا يُتِمُّ السُّجُودَ، وَيُتِمُّ السُّجُودَ وَلَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ
Sesungguhnya ada seseorang yang sholat selama 60 tahun, namun tidak diterima (oleh Allah) amalan sholatnya selama itu walau satu sholatpun. Boleh jadi (sebabnya) dia sempurnakan ruku’-nya tetapi sujudnya kurang sempurna, demikian pula sebaliknya” (Hadis Hasan, riwayat Ibn Abi Syaibah dari Abu Hurairah RA, Shahih al-Targhib, no. 596)
Dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (HR Ahmad no 11532, dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihul Jami’ 986)
Allahu a’lam
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُصَلِّي سِتِّينَ سَنَةً مَا تُقْبَلُ لَهُ صَلَاةٌ، لَعَلَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَلَا يُتِمُّ السُّجُودَ، وَيُتِمُّ السُّجُودَ وَلَا يُتِمُّ الرُّكُوعَ
Sesungguhnya ada seseorang yang sholat selama 60 tahun, namun tidak diterima (oleh Allah) amalan sholatnya selama itu walau satu sholatpun. Boleh jadi (sebabnya) dia sempurnakan ruku’-nya tetapi sujudnya kurang sempurna, demikian pula sebaliknya” (Hadis Hasan, riwayat Ibn Abi Syaibah dari Abu Hurairah RA, Shahih al-Targhib, no. 596)
Dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (HR Ahmad no 11532, dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihul Jami’ 986)
Allahu a’lam
Wanita Penebar Dosa
------------------------------------------------
Wanita Penebar Dosa
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili dalam bukunya Tajrid Al-Ittiba’ (hlm. 146 – 154) menyebutkan bahwa ditinjau dari manfaatnya, amal yang dilakukan oleh hamba terbagi menjadi dua,
Pertama, amal yang manfaatnya hanya bisa dirasakan oleh orang yang melakukannya saja, dan tidak memberikan pengaruh kebaikan kepada orang lain. Itulah semua ibadah yang dilakukan oleh seseorang, yang tidak ada hubungan dengan orang lain. Seperti shalat, dzikir, membaca Alquran, dst. Kita istilahkan amal semacam ini dengan amal qashir.
Kedua, amal yang manfaatnya bisa dirasakan oleh makhluk yang berada di sekitarnya, memberikan pengaruh kebaikan kepada masyarakat lainnya. Seperti membayar zakat, berdakwah, mengajarkan kebaikan, dan semua amal yang manfaatnya bisa dirasakan orang lain. Kita istilahkan amal ini dengan amal muta’adi.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ’alamin, memotivasi umatnya untuk menjadi hamba yang memberikan banyak manfaat bagi yang lainnya. Hamba yang menjadi sumber kebaikan bagi lingkungan sekitarnya. Karena, dengan itu, dia bisa menjadi hamba yang terbaik. Allah berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)
Ibnu Katsir menukil pendapat beberapa ahli tafsir: Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atha’, Rabi’ bin Anas bahwa para sahabat, Allah sebut sebagai umat terbaik karena mereka adalah orang-orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Disebabkan kriteria yang Allah sebutkan dalam lanjutan ayat: ‘menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar’, sehingga mereka menjadi sumber kebaikan bagi yang lain.
Karena jasa besar mereka, menyebarkan kebaikan dan menjadi sumber kebaikan, Allah memberikan jaminan kepada orang ini, dia akan mendapatkan kucuran pahala dari setiap orang yang mengikutinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengikutinya, tidak akan dikurangi sedikitpun dari pahala mereka…” (HR. Muslim 2674, Abu Daud 4609 dan yang lainnya).
Semakin banyak yang mengikuti ajakan kebaikan yang dia sampaikan, semakin besar peluang baginya untuk mendapatkan pahala.
Wanita Penebar Dosa
Di saat yang sama, Islam melarang keras kaum muslimin untuk menjadi manusia yang paling merugikan bagi masyarakatnya. Manusia yang menjadi sumber keburukan dan sumber dosa bagi lingkungannya. Manusia yang menjadi sebab orang lain berbuat maksiat. Jika sahabat disebut manusia terbaik karena menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, maka manusia paling buruk adalah manusia yang menyuruh kepada kemungkaran, dan pada saat yang sama mencegah dari perbuatan ma’ruf. Itulah manusia yang tidak bisa diharapkan kebaikannya, dan kita tidak bisa merasa aman dari keburukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang bisa diharapkan kebaikannya (untuk orang lain) dan terjamin aman dari keburukannya (terhadap orang lain). Sejelek-jelek kalian, orang yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan tidak ada jaminan aman dari keburukannya.” (HR. Turmudzi 2263 dan dishahihkan Al-Albani)
Salah satunya, para wanita penebar dosa. Para wanita yang menjadi sebab banyak lelaki melakukan zina mata… para wanita yang mengobral harga diri dan kehormatannya. Para wanita yang mengumbar aurat di depan umum, tanpa rasa malu.
Indonesia nampaknya akan bernasib sebagaimana Pattaya Thailan, atau seperti kawasan pantai Bali. Kawasan berhias zina dan pelacuran. Indonesia, di setiap lo
------------------------------------------------
Wanita Penebar Dosa
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili dalam bukunya Tajrid Al-Ittiba’ (hlm. 146 – 154) menyebutkan bahwa ditinjau dari manfaatnya, amal yang dilakukan oleh hamba terbagi menjadi dua,
Pertama, amal yang manfaatnya hanya bisa dirasakan oleh orang yang melakukannya saja, dan tidak memberikan pengaruh kebaikan kepada orang lain. Itulah semua ibadah yang dilakukan oleh seseorang, yang tidak ada hubungan dengan orang lain. Seperti shalat, dzikir, membaca Alquran, dst. Kita istilahkan amal semacam ini dengan amal qashir.
Kedua, amal yang manfaatnya bisa dirasakan oleh makhluk yang berada di sekitarnya, memberikan pengaruh kebaikan kepada masyarakat lainnya. Seperti membayar zakat, berdakwah, mengajarkan kebaikan, dan semua amal yang manfaatnya bisa dirasakan orang lain. Kita istilahkan amal ini dengan amal muta’adi.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ’alamin, memotivasi umatnya untuk menjadi hamba yang memberikan banyak manfaat bagi yang lainnya. Hamba yang menjadi sumber kebaikan bagi lingkungan sekitarnya. Karena, dengan itu, dia bisa menjadi hamba yang terbaik. Allah berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)
Ibnu Katsir menukil pendapat beberapa ahli tafsir: Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atha’, Rabi’ bin Anas bahwa para sahabat, Allah sebut sebagai umat terbaik karena mereka adalah orang-orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Disebabkan kriteria yang Allah sebutkan dalam lanjutan ayat: ‘menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar’, sehingga mereka menjadi sumber kebaikan bagi yang lain.
Karena jasa besar mereka, menyebarkan kebaikan dan menjadi sumber kebaikan, Allah memberikan jaminan kepada orang ini, dia akan mendapatkan kucuran pahala dari setiap orang yang mengikutinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengikutinya, tidak akan dikurangi sedikitpun dari pahala mereka…” (HR. Muslim 2674, Abu Daud 4609 dan yang lainnya).
Semakin banyak yang mengikuti ajakan kebaikan yang dia sampaikan, semakin besar peluang baginya untuk mendapatkan pahala.
Wanita Penebar Dosa
Di saat yang sama, Islam melarang keras kaum muslimin untuk menjadi manusia yang paling merugikan bagi masyarakatnya. Manusia yang menjadi sumber keburukan dan sumber dosa bagi lingkungannya. Manusia yang menjadi sebab orang lain berbuat maksiat. Jika sahabat disebut manusia terbaik karena menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, maka manusia paling buruk adalah manusia yang menyuruh kepada kemungkaran, dan pada saat yang sama mencegah dari perbuatan ma’ruf. Itulah manusia yang tidak bisa diharapkan kebaikannya, dan kita tidak bisa merasa aman dari keburukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang bisa diharapkan kebaikannya (untuk orang lain) dan terjamin aman dari keburukannya (terhadap orang lain). Sejelek-jelek kalian, orang yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan tidak ada jaminan aman dari keburukannya.” (HR. Turmudzi 2263 dan dishahihkan Al-Albani)
Salah satunya, para wanita penebar dosa. Para wanita yang menjadi sebab banyak lelaki melakukan zina mata… para wanita yang mengobral harga diri dan kehormatannya. Para wanita yang mengumbar aurat di depan umum, tanpa rasa malu.
Indonesia nampaknya akan bernasib sebagaimana Pattaya Thailan, atau seperti kawasan pantai Bali. Kawasan berhias zina dan pelacuran. Indonesia, di setiap lo
rong jalan, aurat berceceran di mana-mana. Berjejal para wanita yang berlomba-lomba untuk menampakkan auratnya. Berlomba mencari lirikan setiap lelaki di sekitarnya. Ke manapun seorang lelaki soleh menghadap, dia tidak bisa lepas dari aurat dan aurat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari 6243 dan Muslim 2657).
Itulah wanita penebar dosa… para wanita yang menjadi sumber maksiat. Wanita yang menjadi pembantu iblis untuk menjerumuskan manusia ke neraka. Karena jasa besar para wanita penjajah aurat ini, Iblis layak berterima kasih kepada mereka.
Dosa Bertumpuk
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ من الناس ناساً مفاتيح للخير مغاليق للشر، وإنَّ من الناس ناساً مفاتيح للشر مغاليق للخير، فطوبى لمن جعل الله مفاتيح الخير على يديه، وويل لمن جعل الله مفاتيح الشر على يديه
“Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Sebaliknya ada diantara manusia yang menjadi pembuka pintu keburukan dan penutup pintu kebaikan. Karena itu, sungguh beruntung orang yang Allah jadikan sebagai kunci pintu kebaikan ada di tangannya, dan celaka bagi orang yang Allah jadikan kunci pintu kejahatan ada di tangannya.” (HR. Ibn Majah dan dihasankan Al-Albani).
Siapapun yang menjadi sebab keburukan, sebab orang lain bermaksiat, maka dia akan menanggung setiap orang yang berdosa karena sebabnya. Semakin banyak para lelaki yang melihat auratnya, semakin besar dosa yang dia dapatkan.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تُقتَل نفس ظلمًا، إلا كان على ابن آدم الأول كِفْلٌ من دمها، لأنه كان أول من سن القتل
“Tidak ada satupun jiwa yang terbunuh secara dzalim, melainkan anak Adam yang pertama menanggung darahnya. Karena dialah orang yang pertama kali mengajarkan praktek pembunuhan.” (HR. Muslim 1677).
Ancaman yang Mengerikan
Mengingat betapa besar kesalahan orang ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman yang sangat keras bagi wanita pengumbar aurat. Beliau menyebutnya wanita yang berpakaian tapi telanjang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku lihat. (1) Sekelompok orang yang membawa cambuk seperti ekor sapi, dan dia gunakan untuk memukuli banyak orang. (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, jalan berlenggak-lenggok, kepalanya seperti punuk onta, mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan harumnya surga, padahal bau harum surga bisa dicium sejarak perjalanan yang sangat jauh.” (HR. Ahmad 8665 dan Muslim 2128).
Wanita berpakaian tapi telanjang, merekalah wanita yang mengumbar aurat, berpakaian tipis transparan, atau ketat membentuk lekuk tubuh. Segeralah bertaubat kepada Allah, dan jangan menjadi sumber dosa bagi lingkungan Anda.
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua..
Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Artikel ini didukung oleh:
Zahir Accounting. Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Anda juga dapat menjadi sponsor di video dan website dakwah di Yufid.com Network, silakan hubungi: marketing@yufid.org untuk men
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، والقلب تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari 6243 dan Muslim 2657).
Itulah wanita penebar dosa… para wanita yang menjadi sumber maksiat. Wanita yang menjadi pembantu iblis untuk menjerumuskan manusia ke neraka. Karena jasa besar para wanita penjajah aurat ini, Iblis layak berterima kasih kepada mereka.
Dosa Bertumpuk
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ من الناس ناساً مفاتيح للخير مغاليق للشر، وإنَّ من الناس ناساً مفاتيح للشر مغاليق للخير، فطوبى لمن جعل الله مفاتيح الخير على يديه، وويل لمن جعل الله مفاتيح الشر على يديه
“Sesungguhnya diantara manusia ada orang yang menjadi pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu keburukan. Sebaliknya ada diantara manusia yang menjadi pembuka pintu keburukan dan penutup pintu kebaikan. Karena itu, sungguh beruntung orang yang Allah jadikan sebagai kunci pintu kebaikan ada di tangannya, dan celaka bagi orang yang Allah jadikan kunci pintu kejahatan ada di tangannya.” (HR. Ibn Majah dan dihasankan Al-Albani).
Siapapun yang menjadi sebab keburukan, sebab orang lain bermaksiat, maka dia akan menanggung setiap orang yang berdosa karena sebabnya. Semakin banyak para lelaki yang melihat auratnya, semakin besar dosa yang dia dapatkan.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تُقتَل نفس ظلمًا، إلا كان على ابن آدم الأول كِفْلٌ من دمها، لأنه كان أول من سن القتل
“Tidak ada satupun jiwa yang terbunuh secara dzalim, melainkan anak Adam yang pertama menanggung darahnya. Karena dialah orang yang pertama kali mengajarkan praktek pembunuhan.” (HR. Muslim 1677).
Ancaman yang Mengerikan
Mengingat betapa besar kesalahan orang ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman yang sangat keras bagi wanita pengumbar aurat. Beliau menyebutnya wanita yang berpakaian tapi telanjang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aku lihat. (1) Sekelompok orang yang membawa cambuk seperti ekor sapi, dan dia gunakan untuk memukuli banyak orang. (2) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, jalan berlenggak-lenggok, kepalanya seperti punuk onta, mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan harumnya surga, padahal bau harum surga bisa dicium sejarak perjalanan yang sangat jauh.” (HR. Ahmad 8665 dan Muslim 2128).
Wanita berpakaian tapi telanjang, merekalah wanita yang mengumbar aurat, berpakaian tipis transparan, atau ketat membentuk lekuk tubuh. Segeralah bertaubat kepada Allah, dan jangan menjadi sumber dosa bagi lingkungan Anda.
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua..
Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
Artikel ini didukung oleh:
Zahir Accounting. Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Anda juga dapat menjadi sponsor di video dan website dakwah di Yufid.com Network, silakan hubungi: marketing@yufid.org untuk men
Khawatir Jatuh Pada Syirik
------------------------------------------------

Takut Jatuh Pada Syirik
Mengingat dosa syirik adalah dosa yang tidak diampuni jika kita tidak bertaubat, terkadang ada rasa was was apakah saya sudah benar dalam bertauhid, khawatir jangan2 saya tergelincir dalam kesyirikan..apakah sikap was-was ini dibenarkan? Bagaimana solusinya?syukran
Dari : Miftah
Jawaban :
Bismillah was sholaatu wassalaam ‘ala Rasulillah, wa ba’du.
Rasa khawatir yang patut membuat anda bahagia dan disyukuri. Karena khawatir terjatuh pada dosa, terlebih dosa yang paling besar yaitu syirik, adalah sifatnya orang-orang sholeh.
Bahkan Nabi Ibrahim alaihissalam yang sebagai ayahnya para Nabi (Abul-anbiya’) dan sebagai kekasih Allah (Khalilurrahman) pun merasa khawatir kalau-kalau terjatuh pada kesyirikan. Sampai beliau memanjatkan doa,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
(QS. Ibrahim 35).
Para sahabat dahulu -semoga Allah meredhoi mereka- juga sangat khawatir tejatuh pada dosa. Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya sampai menuliskan bab,
باب خوف المؤمن من أن يحبط عمله وهو لا يشعر
Bab : Kekhawatiran seorang mukmin dari perbuatan yang dapat mengugurkan pahala amalnya tanpa ia sadari.
Kemudian beliau menukil perkataan seorang Tabi’in yang bernama Ibnu Abi Mulaikah –rahimahullah– yang menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan 30 orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau mengatakan,
أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخاف النفاق على نفسه، ما منهم أحد يقول إنه على إيمان جبريل وميكائيل
Saya telah bertemu dengan 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka semua khawatir dirinya terjangkiti penyakit nifak. Tak ada seorangpun diantara mereka yang sampai mengatakan bahwa imannya seperti iman Jibril atau Mikail. (Lihat Shahih Bukhori Kitab Al Iman, pada bab yang tertulis di atas).
Seorang yang bersih hati dan imannya, akan merasa khawatir bila keimanannya ternodai. Belum juga tersentuh pada dosa, ia sudah merasakan takut dan gelisah apabila imannya ternodai. Yang demikian adalah sifatnya orang-orang yang dikaruniai Allah ilmu. Allah ‘azzawajalla berfirman,
ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, adalah para ulama.(QS. Fatir : 28).
Imam Hasan al Basri -rahimahullah-,
ما خافه إلا مؤمن وما أمنه إلا منافق
Tidak ada yang khawatir jatuh pada kemunafikan kecuali ia adalah seorang mukmin, dan tdk ada yang merasa aman dari kemunafikan melainkan orang munafik.. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya).
Oleh karenanya, hendaklah perbanyak istighfar dan berlindung kepada Allah dari kesyirikan, dengan berdoa seperti doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim di atas,
رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, serta jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (QS. Ibrahim 35).
Atau berdoa dengan doa berikut,
اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك و أنا أعلم ، و استغفرك لما لا أعلم
ALLAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA AN USY-RIKA BIKA WA ANA A’LAM. WA ASTAGHFIRUKA LIMA LAA A’LAM
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari menyekutukanmu sementara aku menyadari. Dan aku memohon ampun kepadaMu terhadap apa yang aku lakukan sementara aku mengetahui dan menyadari.” (Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrod no. 551).
Imbang antara Khouf dan Roja’
Namun perlu kita ingat, bahwa dalam beribadah kepada Allah hendaknya kita seimbang antara khouf (rasa takut) dan roja‘ (rasa harap).
Karena kedua rasa ini bagi seorang mukmin ibarat dua sayap bagi burung. Ibaratnya, seorang hamba terbang mengunakan dua sayap ini; sayap khouf dan sayap roja’, di langit peribadahan kepada Allah ‘azzawajalla. Supaya dapat meraih kebahagiaan di kehi
------------------------------------------------

Takut Jatuh Pada Syirik
Mengingat dosa syirik adalah dosa yang tidak diampuni jika kita tidak bertaubat, terkadang ada rasa was was apakah saya sudah benar dalam bertauhid, khawatir jangan2 saya tergelincir dalam kesyirikan..apakah sikap was-was ini dibenarkan? Bagaimana solusinya?syukran
Dari : Miftah
Jawaban :
Bismillah was sholaatu wassalaam ‘ala Rasulillah, wa ba’du.
Rasa khawatir yang patut membuat anda bahagia dan disyukuri. Karena khawatir terjatuh pada dosa, terlebih dosa yang paling besar yaitu syirik, adalah sifatnya orang-orang sholeh.
Bahkan Nabi Ibrahim alaihissalam yang sebagai ayahnya para Nabi (Abul-anbiya’) dan sebagai kekasih Allah (Khalilurrahman) pun merasa khawatir kalau-kalau terjatuh pada kesyirikan. Sampai beliau memanjatkan doa,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
(QS. Ibrahim 35).
Para sahabat dahulu -semoga Allah meredhoi mereka- juga sangat khawatir tejatuh pada dosa. Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya sampai menuliskan bab,
باب خوف المؤمن من أن يحبط عمله وهو لا يشعر
Bab : Kekhawatiran seorang mukmin dari perbuatan yang dapat mengugurkan pahala amalnya tanpa ia sadari.
Kemudian beliau menukil perkataan seorang Tabi’in yang bernama Ibnu Abi Mulaikah –rahimahullah– yang menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan 30 orang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau mengatakan,
أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخاف النفاق على نفسه، ما منهم أحد يقول إنه على إيمان جبريل وميكائيل
Saya telah bertemu dengan 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka semua khawatir dirinya terjangkiti penyakit nifak. Tak ada seorangpun diantara mereka yang sampai mengatakan bahwa imannya seperti iman Jibril atau Mikail. (Lihat Shahih Bukhori Kitab Al Iman, pada bab yang tertulis di atas).
Seorang yang bersih hati dan imannya, akan merasa khawatir bila keimanannya ternodai. Belum juga tersentuh pada dosa, ia sudah merasakan takut dan gelisah apabila imannya ternodai. Yang demikian adalah sifatnya orang-orang yang dikaruniai Allah ilmu. Allah ‘azzawajalla berfirman,
ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, adalah para ulama.(QS. Fatir : 28).
Imam Hasan al Basri -rahimahullah-,
ما خافه إلا مؤمن وما أمنه إلا منافق
Tidak ada yang khawatir jatuh pada kemunafikan kecuali ia adalah seorang mukmin, dan tdk ada yang merasa aman dari kemunafikan melainkan orang munafik.. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Shahihnya).
Oleh karenanya, hendaklah perbanyak istighfar dan berlindung kepada Allah dari kesyirikan, dengan berdoa seperti doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim di atas,
رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini sebagai negeri yang aman, serta jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (QS. Ibrahim 35).
Atau berdoa dengan doa berikut,
اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك و أنا أعلم ، و استغفرك لما لا أعلم
ALLAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA AN USY-RIKA BIKA WA ANA A’LAM. WA ASTAGHFIRUKA LIMA LAA A’LAM
“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari menyekutukanmu sementara aku menyadari. Dan aku memohon ampun kepadaMu terhadap apa yang aku lakukan sementara aku mengetahui dan menyadari.” (Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrod no. 551).
Imbang antara Khouf dan Roja’
Namun perlu kita ingat, bahwa dalam beribadah kepada Allah hendaknya kita seimbang antara khouf (rasa takut) dan roja‘ (rasa harap).
Karena kedua rasa ini bagi seorang mukmin ibarat dua sayap bagi burung. Ibaratnya, seorang hamba terbang mengunakan dua sayap ini; sayap khouf dan sayap roja’, di langit peribadahan kepada Allah ‘azzawajalla. Supaya dapat meraih kebahagiaan di kehi
dupan dunia dan akhirat.
Dalam beberapa ayat Alquran, Allah ‘azzawajalla seringkali menyandingkan antara khouf dengan roja’. Seperti pada ayat berikut,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan bersujud dan berdiri. Ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Katakanlah: “Adakah sama atara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9).
Allah juga berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah : 98).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman,
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Orang-orang sholeh yang mereka seru itu, mereka sendiri berharap jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al Isro’ : 57).
Untuk bisa terbang dengan baik, tentu harus ada keseimbangan antara dua sayap tersebut. Karena menitik beratkan perasaan khouf (takut) akan melahirkan keputus asaan. Dan menitik beratkan perasaan roja’ (harap) saja akan menyebabkan seorang merasa aman dari siksaNya dan berleha-leha dalam beribadah kepada Allah.
Kapan keseimbangan itu diraih?
Ketika seorang dapat menempatkan dua rasa ini pada tempatnya. Yakni ketika dibutuhkan khouf maka ia titik beratkan sisi khouf, kemudian ketika dibutuhkan roja’ (harap), maka ia titik beratkan sisi roja’.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah– menerangkan,
والذي أرى أن الإنسان يجب أن يعامل حاله بما يقتضيه الحال وأن أقرب الأقوال في ذلك أنه إذا عمل خيرا فليغلب جانب الرجاء، فإذا همّ بسيئة فليغلب جانب الخوف، هذا أحسن ما أراه في هذه المسالة الخطيرة العظيمة.
Yang menjadi pandanganku, bahwa seorang wajib menyikapi keadaannya dengan sikap yang sesuai dengan keadaan yang ia alami. Dan pendapat yang terkuat dalam permasalahan ini adalah, ketika seorang melakukan kebajikan hendaknya ia titikberatkan sisi roja’nya (harap terhadap rahmad Allah). Kemudian apabila ingin melakukan maksiat, ia titikberatkan sisi khoufnya. Inilah pendapat terbaik menurut pandangan saya dalam permasalahan yang sangat penting ini. (Syarah Hilyah Tholib Al-Ilm hal. 36).
Kemudian rasa khouf yang terpuji, adalah khouf yang dapat menghasilkan amalan sholeh, bukan yang memupus asa, sehingga berhenti dari beramal.
Wallahua’lam bis showab.
Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori Lc.
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
SPONSOR hubungi: 081 326 333 328DONASI hubungi: 087 882 888 727REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Shared from Konsultasi Syariah for android http://bit.ly/KonsultasiSyariah
Dalam beberapa ayat Alquran, Allah ‘azzawajalla seringkali menyandingkan antara khouf dengan roja’. Seperti pada ayat berikut,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan bersujud dan berdiri. Ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Katakanlah: “Adakah sama atara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar : 9).
Allah juga berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah : 98).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman,
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Orang-orang sholeh yang mereka seru itu, mereka sendiri berharap jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al Isro’ : 57).
Untuk bisa terbang dengan baik, tentu harus ada keseimbangan antara dua sayap tersebut. Karena menitik beratkan perasaan khouf (takut) akan melahirkan keputus asaan. Dan menitik beratkan perasaan roja’ (harap) saja akan menyebabkan seorang merasa aman dari siksaNya dan berleha-leha dalam beribadah kepada Allah.
Kapan keseimbangan itu diraih?
Ketika seorang dapat menempatkan dua rasa ini pada tempatnya. Yakni ketika dibutuhkan khouf maka ia titik beratkan sisi khouf, kemudian ketika dibutuhkan roja’ (harap), maka ia titik beratkan sisi roja’.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah– menerangkan,
والذي أرى أن الإنسان يجب أن يعامل حاله بما يقتضيه الحال وأن أقرب الأقوال في ذلك أنه إذا عمل خيرا فليغلب جانب الرجاء، فإذا همّ بسيئة فليغلب جانب الخوف، هذا أحسن ما أراه في هذه المسالة الخطيرة العظيمة.
Yang menjadi pandanganku, bahwa seorang wajib menyikapi keadaannya dengan sikap yang sesuai dengan keadaan yang ia alami. Dan pendapat yang terkuat dalam permasalahan ini adalah, ketika seorang melakukan kebajikan hendaknya ia titikberatkan sisi roja’nya (harap terhadap rahmad Allah). Kemudian apabila ingin melakukan maksiat, ia titikberatkan sisi khoufnya. Inilah pendapat terbaik menurut pandangan saya dalam permasalahan yang sangat penting ini. (Syarah Hilyah Tholib Al-Ilm hal. 36).
Kemudian rasa khouf yang terpuji, adalah khouf yang dapat menghasilkan amalan sholeh, bukan yang memupus asa, sehingga berhenti dari beramal.
Wallahua’lam bis showab.
Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori Lc.
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
SPONSOR hubungi: 081 326 333 328DONASI hubungi: 087 882 888 727REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Shared from Konsultasi Syariah for android http://bit.ly/KonsultasiSyariah
📌 *Sabar di Atas Ketaatan dan Dari Kemaksiatan*
✍ _Ustadz Kholid Syamhudi, Lc_
Syeikh Abdulqadir Al-Jailani menyatakan, “Seorang hamba harus menghadapi perintah untuk dikerjakan, larangan untuk dijauhi dan takdir yang harus disabari.”
Pernyataan beliau ini memiliki dua sisi; sisi pertama dari Allah dan sisi yang lainnya dari hamba. AllahTa’ala memiliki dua hukum atas hamba-Nya yaitu hukum syar’i dan hukum kauniyah. Hukum syar’iberhubungan dengan perintah Allah dan hukum kauniyah berhubungan dengan penciptaan-Nya, sebab Allah-lah yang memiliki penciptaan dan perintah, sebagaimana firman-Nya,
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-A’raf : 54).
Hukum syar’i yang menjadi hak Allah itu ditinjau dari yang dituntut ada dua. Pertama, yang dituntut itu dicintai Allah, maka harus dikerjakan ada kalanya hukumnya wajib atau sunnah dan ini tidak bisa dilakukan secara sempurna tanpa kesabaran. Apabila hal itu dibenci Allah maka yang harus dilakukan adalah meninggalkannya, baik hukumnya haram atau makruh. Ini juga harus dengan kesabaran.
Adapun Hukum kauniyah-nya inilah yang dinamakan ketetapan dan takdir Allah, inipun butuh kesabaran.
Sehingga agama kembali kepada tiga hal ini yaitu melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan sabar menghadapi takdir Allah, ini dari sisi Allah.
*selengkapnya di*
http://www.salamdakwah.com/artikel/199-sabar-di-atas-ketaatan-dan-dari-kemaksiatan
══ ¤❁✿❁¤ ══
_Gabung dan ikuti Sekarang juga di Group dan Channel salamdakwah dengan setiap harinya anda mendapatkan :_
✅Video Kajian Terbaru
✅Aktualita Ilmiah
✅Tanya Ustadz
✅Salamdakwah Image
📲 TG Channel @salamdakwah
📲PIN BBM: DAB61683
=====🔅======
🌎 www.salamdakwah.com
📺 http://bit.ly/salwatv
📲Twitter @salamdakwah
📸Instagram @salamdakwah
📲Path @salamdakwah
======🔅======
Download Sekarang ‼
📲 SunnahGO Android http://bit.ly/sunnahgo
📲SunnahGO iOS http://bit.ly/sunnahgoios
✍ _Ustadz Kholid Syamhudi, Lc_
Syeikh Abdulqadir Al-Jailani menyatakan, “Seorang hamba harus menghadapi perintah untuk dikerjakan, larangan untuk dijauhi dan takdir yang harus disabari.”
Pernyataan beliau ini memiliki dua sisi; sisi pertama dari Allah dan sisi yang lainnya dari hamba. AllahTa’ala memiliki dua hukum atas hamba-Nya yaitu hukum syar’i dan hukum kauniyah. Hukum syar’iberhubungan dengan perintah Allah dan hukum kauniyah berhubungan dengan penciptaan-Nya, sebab Allah-lah yang memiliki penciptaan dan perintah, sebagaimana firman-Nya,
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-A’raf : 54).
Hukum syar’i yang menjadi hak Allah itu ditinjau dari yang dituntut ada dua. Pertama, yang dituntut itu dicintai Allah, maka harus dikerjakan ada kalanya hukumnya wajib atau sunnah dan ini tidak bisa dilakukan secara sempurna tanpa kesabaran. Apabila hal itu dibenci Allah maka yang harus dilakukan adalah meninggalkannya, baik hukumnya haram atau makruh. Ini juga harus dengan kesabaran.
Adapun Hukum kauniyah-nya inilah yang dinamakan ketetapan dan takdir Allah, inipun butuh kesabaran.
Sehingga agama kembali kepada tiga hal ini yaitu melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan sabar menghadapi takdir Allah, ini dari sisi Allah.
*selengkapnya di*
http://www.salamdakwah.com/artikel/199-sabar-di-atas-ketaatan-dan-dari-kemaksiatan
══ ¤❁✿❁¤ ══
_Gabung dan ikuti Sekarang juga di Group dan Channel salamdakwah dengan setiap harinya anda mendapatkan :_
✅Video Kajian Terbaru
✅Aktualita Ilmiah
✅Tanya Ustadz
✅Salamdakwah Image
📲 TG Channel @salamdakwah
📲PIN BBM: DAB61683
=====🔅======
🌎 www.salamdakwah.com
📺 http://bit.ly/salwatv
📲Twitter @salamdakwah
📸Instagram @salamdakwah
📲Path @salamdakwah
======🔅======
Download Sekarang ‼
📲 SunnahGO Android http://bit.ly/sunnahgo
📲SunnahGO iOS http://bit.ly/sunnahgoios
SalamDakwah
Aktual : Sabar di Atas Ketaatan dan Dari Kemaksiatan
Sabar di Atas Ketaatan dan dari Kemaksiatan
Syeikh Abdulqadir Al-Jailani menyatakan, “Seorang hamba harus menghadapi perintah untuk dikerjakan, larangan untuk dijauhi dan takdir yang harus disabari.”
Pernyataan beliau ini memili...
Syeikh Abdulqadir Al-Jailani menyatakan, “Seorang hamba harus menghadapi perintah untuk dikerjakan, larangan untuk dijauhi dan takdir yang harus disabari.”
Pernyataan beliau ini memili...
Rahasia Walau Uzur Tetap Dapat Pahala
------------------------------------------------
    
Jika seseorang tidak mampu menghadiri shalat jama’ah padahal sebelumnya ia mampu hadir secara rutin, ingatlah keadaan seperti ini akan dicatat seperti ia melakukannya saat sehat dan kuat, yaitu sesuai dengan kebiasaannya ketika itu.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Hadits di atas menceritakan saat Yazid bin Abi Kabsyah puasa ketika safar (saat perjalanan jauh), Abu Burdah lantas mengatakan padanya bahwa ia baru saja mendengar Abu Musa menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan di atas.
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab:
يُكْتَبُ لِلْمُسَافِرِ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِى الإِقَامَةِ
“Dicatat bagi musafir pahala seperti kebiasaan amalnya saat mukim.”
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيقاً حَتَّى أُطْلِقَهُ أَوْ أَكْفِتَهُ إِلَىَّ
“Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR. Ahmad, 2: 203. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan sanad hadits ini hasan)
Amalan yang dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari, no. 6465; Muslim, no. 783; dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Baca keterangan hadits ini di artikel: Di Balik Amalan yang Sedikit Namun Kontinu.
Inti dari pembahasan, pentingnya beramal rutin (kontinu) karena saat kita ada uzur beramal, tetap dicatat sebagaimana kita melakukannya secara rutin. Terapkan kaedah hadits di atas untuk masalah ibadah apa pun.
Moga Allah mudahkan kita untuk kontinu dalam beramal.
—
21: 04 WIB @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, malam 10 Muharram 1438 H
Print PDF
Shared from Rumaysho.com for android http://bit.ly/Rumaysho
------------------------------------------------
    
Jika seseorang tidak mampu menghadiri shalat jama’ah padahal sebelumnya ia mampu hadir secara rutin, ingatlah keadaan seperti ini akan dicatat seperti ia melakukannya saat sehat dan kuat, yaitu sesuai dengan kebiasaannya ketika itu.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Hadits di atas menceritakan saat Yazid bin Abi Kabsyah puasa ketika safar (saat perjalanan jauh), Abu Burdah lantas mengatakan padanya bahwa ia baru saja mendengar Abu Musa menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan di atas.
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab:
يُكْتَبُ لِلْمُسَافِرِ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِى الإِقَامَةِ
“Dicatat bagi musafir pahala seperti kebiasaan amalnya saat mukim.”
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيقاً حَتَّى أُطْلِقَهُ أَوْ أَكْفِتَهُ إِلَىَّ
“Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR. Ahmad, 2: 203. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan sanad hadits ini hasan)
Amalan yang dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari, no. 6465; Muslim, no. 783; dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Baca keterangan hadits ini di artikel: Di Balik Amalan yang Sedikit Namun Kontinu.
Inti dari pembahasan, pentingnya beramal rutin (kontinu) karena saat kita ada uzur beramal, tetap dicatat sebagaimana kita melakukannya secara rutin. Terapkan kaedah hadits di atas untuk masalah ibadah apa pun.
Moga Allah mudahkan kita untuk kontinu dalam beramal.
—
21: 04 WIB @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, malam 10 Muharram 1438 H
Print PDF
Shared from Rumaysho.com for android http://bit.ly/Rumaysho
Do’a Setelah Makan
------------------------------------------------
Ada tiga do’a setelah makan yang disinggung oleh Rumaysho.Com kali ini. Satu do’a begitu ringkas dan do’a yang lainnya tidak singkat namun mengandung faedah berharga. Seharusnya setelah makan, seorang muslim memuji Allah dengan membaca do’a-do’a ini.
Dari Abu Umamah, ia berkata bahwasanya,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، غَيْرَ مَكْفِىٍّ ، وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ ، رَبَّنَا »
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengangkat hidangannya (artinya: selesai makan), beliau berdo’a: Alhamdulillahi kastiron thoyyiban mubarokan fiih, ghoiro makfiyyin wa laa muwadda’in wa laa mustaghnan ‘anhu robbanaa (segala puji hanyalah milik Allah, yang Allah tidak butuh pada makanan dari makhluk-Nya, yang Allah tidak mungkin ditinggalkan, dan semua tidak lepas dari butuh pada Allah, wahai Rabb kami) (HR. Bukhari no. 5458)
Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghoiri haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Daud no. 4043, Tirmidzi no. 3458, Ibnu Majah no. 3285 dan Ahmad 3: 439. Imam Tirmidzi, Ibnu Hajar dan ulama lainnya menghasankan hadits ini sebagaimana disetujui oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin, 2: 50).
Namun jika mencukupkan dengan ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang mencukupkan dengan bacaan “alhamdulillah” saja, maka itu sudah dikatakan menjalankan sunnah.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 46)
Jadi kesimpulannya ada tiga do’a setelah makan yang bisa dirutinkan untuk dibaca:
1- Alhamdulillahi kastiron thoyyiban mubarokan fiih, ghoiro makfiyyin wa laa muwadda’in wa laa mustaghnan ‘anhu robbanaa.
2- Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghoiri haulin minnii wa laa quwwatin.
3- Alhamdulillah.
Semoga yang singkat di siang ini bermanfaat. Wa billahit taufiq was sadaad.
—
Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Diselesaikan selepas Zhuhur, 23 Rabi’ul Awwal 1435 H di Warak, Girisekar, Panggang, GK
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom
—
Bagi yang ingin pesan satu paket berisi lima buku karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dijual dengan harga Rp.65.000,- untuk pulau Jawa (sudah termasuk ongkos kirim). Di dalam paket tersebut terdapat buku terbaru beliau “Mengenal Bid’ah Lebih Dekat”, juga empat karya lain: Buku Dzikir Pagi Petang Disertai Dzikir Sesudah Shalat dan Sebelum Tidur (tersedia ukuran besar dan kecil), Panduan Amal Shalih di Musim Hujan, dan Mengikuti Ajaran Nabi Bukanlah Teroris.
Kirimkan format pemesanan via sms ke no 0852 0017 1222 atau via PIN BB 2AF1727A: Satu paket buku#Nama pemesan#Alamat#no HP. Nanti akan diberitahu biaya dan rekening untuk transfer.
Print PDF
Shared from
------------------------------------------------
Ada tiga do’a setelah makan yang disinggung oleh Rumaysho.Com kali ini. Satu do’a begitu ringkas dan do’a yang lainnya tidak singkat namun mengandung faedah berharga. Seharusnya setelah makan, seorang muslim memuji Allah dengan membaca do’a-do’a ini.
Dari Abu Umamah, ia berkata bahwasanya,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ ، غَيْرَ مَكْفِىٍّ ، وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ ، رَبَّنَا »
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengangkat hidangannya (artinya: selesai makan), beliau berdo’a: Alhamdulillahi kastiron thoyyiban mubarokan fiih, ghoiro makfiyyin wa laa muwadda’in wa laa mustaghnan ‘anhu robbanaa (segala puji hanyalah milik Allah, yang Allah tidak butuh pada makanan dari makhluk-Nya, yang Allah tidak mungkin ditinggalkan, dan semua tidak lepas dari butuh pada Allah, wahai Rabb kami) (HR. Bukhari no. 5458)
Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghoiri haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Daud no. 4043, Tirmidzi no. 3458, Ibnu Majah no. 3285 dan Ahmad 3: 439. Imam Tirmidzi, Ibnu Hajar dan ulama lainnya menghasankan hadits ini sebagaimana disetujui oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin, 2: 50).
Namun jika mencukupkan dengan ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang mencukupkan dengan bacaan “alhamdulillah” saja, maka itu sudah dikatakan menjalankan sunnah.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 46)
Jadi kesimpulannya ada tiga do’a setelah makan yang bisa dirutinkan untuk dibaca:
1- Alhamdulillahi kastiron thoyyiban mubarokan fiih, ghoiro makfiyyin wa laa muwadda’in wa laa mustaghnan ‘anhu robbanaa.
2- Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghoiri haulin minnii wa laa quwwatin.
3- Alhamdulillah.
Semoga yang singkat di siang ini bermanfaat. Wa billahit taufiq was sadaad.
—
Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Diselesaikan selepas Zhuhur, 23 Rabi’ul Awwal 1435 H di Warak, Girisekar, Panggang, GK
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom
—
Bagi yang ingin pesan satu paket berisi lima buku karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dijual dengan harga Rp.65.000,- untuk pulau Jawa (sudah termasuk ongkos kirim). Di dalam paket tersebut terdapat buku terbaru beliau “Mengenal Bid’ah Lebih Dekat”, juga empat karya lain: Buku Dzikir Pagi Petang Disertai Dzikir Sesudah Shalat dan Sebelum Tidur (tersedia ukuran besar dan kecil), Panduan Amal Shalih di Musim Hujan, dan Mengikuti Ajaran Nabi Bukanlah Teroris.
Kirimkan format pemesanan via sms ke no 0852 0017 1222 atau via PIN BB 2AF1727A: Satu paket buku#Nama pemesan#Alamat#no HP. Nanti akan diberitahu biaya dan rekening untuk transfer.
Print PDF
Shared from
Rahasia Walau Uzur Tetap Dapat Pahala
------------------------------------------------
    
Jika seseorang tidak mampu menghadiri shalat jama’ah padahal sebelumnya ia mampu hadir secara rutin, ingatlah keadaan seperti ini akan dicatat seperti ia melakukannya saat sehat dan kuat, yaitu sesuai dengan kebiasaannya ketika itu.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Hadits di atas menceritakan saat Yazid bin Abi Kabsyah puasa ketika safar (saat perjalanan jauh), Abu Burdah lantas mengatakan padanya bahwa ia baru saja mendengar Abu Musa menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan di atas.
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab:
يُكْتَبُ لِلْمُسَافِرِ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِى الإِقَامَةِ
“Dicatat bagi musafir pahala seperti kebiasaan amalnya saat mukim.”
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيقاً حَتَّى أُطْلِقَهُ أَوْ أَكْفِتَهُ إِلَىَّ
“Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR. Ahmad, 2: 203. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan sanad hadits ini hasan)
Amalan yang dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari, no. 6465; Muslim, no. 783; dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Baca keterangan hadits ini di artikel: Di Balik Amalan yang Sedikit Namun Kontinu.
Inti dari pembahasan, pentingnya beramal rutin (kontinu) karena saat kita ada uzur beramal, tetap dicatat sebagaimana kita melakukannya secara rutin. Terapkan kaedah hadits di atas untuk masalah ibadah apa pun.
Moga Allah mudahkan kita untuk kontinu dalam beramal.
—
21: 04 WIB @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, malam 10 Muharram 1438 H
Print PDF
Shared from Rumaysho.com for android http://bit.ly/Rumaysho
------------------------------------------------
    
Jika seseorang tidak mampu menghadiri shalat jama’ah padahal sebelumnya ia mampu hadir secara rutin, ingatlah keadaan seperti ini akan dicatat seperti ia melakukannya saat sehat dan kuat, yaitu sesuai dengan kebiasaannya ketika itu.
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Hadits di atas menceritakan saat Yazid bin Abi Kabsyah puasa ketika safar (saat perjalanan jauh), Abu Burdah lantas mengatakan padanya bahwa ia baru saja mendengar Abu Musa menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti yang disebutkan di atas.
Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab:
يُكْتَبُ لِلْمُسَافِرِ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ فِى الإِقَامَةِ
“Dicatat bagi musafir pahala seperti kebiasaan amalnya saat mukim.”
Dari hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم عَلَيْهَا
“Hadits di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi, amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ مَرِضَ قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ طَلِيقاً حَتَّى أُطْلِقَهُ أَوْ أَكْفِتَهُ إِلَىَّ
“Seorang hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR. Ahmad, 2: 203. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan sanad hadits ini hasan)
Amalan yang dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari, no. 6465; Muslim, no. 783; dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Baca keterangan hadits ini di artikel: Di Balik Amalan yang Sedikit Namun Kontinu.
Inti dari pembahasan, pentingnya beramal rutin (kontinu) karena saat kita ada uzur beramal, tetap dicatat sebagaimana kita melakukannya secara rutin. Terapkan kaedah hadits di atas untuk masalah ibadah apa pun.
Moga Allah mudahkan kita untuk kontinu dalam beramal.
—
21: 04 WIB @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, malam 10 Muharram 1438 H
Print PDF
Shared from Rumaysho.com for android http://bit.ly/Rumaysho
Dilarang Minum dari Mulut Botol Langsung?
------------------------------------------------
Ilustrasi air mineral
Hukum Minum dari Mulut Botol
Pertanyaan, “Apakah larangan minum dari mulut siqa’ (wadah air) itu berlaku untuk minum dari mulut botol?”
Jawaban:
Terdapat larangan dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam meminum dari mulut siqa’
عن أبي هريرة – رضي الله عنه – قال: “نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن يشرب مِن فِي السقاء أو القربة”؛ متفق عليه.
Dari abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melarang minum dari mulut siqa’ atau qirbah. (Mutafaq ‘alaih)
Siqa’ adalah wadah berisi air yang memiliki mulut sehingga air yang ada di dalamnya bisa diminum melalui mulut tersebut semisal qirbah (wadah air terbuat dari kulit).
Para ulama menyebutkan adanya sejumlah illah atau motif hukum untuk larangan ini.
Pertama, apa yang terdapat di dalam qirbah itu tidak terlihat dari luar sehingga boleh jadi di dalamnya terdapat serangga atau bahkan ular yang bisa mengganggunya. Dikisahkan ada orang yang minum melalui mulut qirbah dan yang keluar adalah ular. Motif hukum ini tidak kita jumpai pada botol minuman di zaman ini karena umumnya apa yang ada di dalam botol itu terlihat dari luar.
Kedua, orang yang minum melalui mulut qirbah itu sering kali ketumpahan air karena air yang keluar dari botol tersebut ternyata lebih banyak dari kadar yang dibutuhkan sehingga membasahi baju peminumnya. Motif hukum ini juga kita jumpai pada orang yang minum dari botol sebagaimana bisa kita saksikan.
Ketiga, maksud larangan adalah agar ludah peminum tidak mengenai mulut wadah air atau bercampur dengan air minum yang ada dalam botol tersebut atau nafasnya masuk ke dalam mulut wadah air yang berdampak peminum selanjutnya merasa jijik. Dimungkinkan juga hal tersebut menjadi penyebab tertular penyakit yang ada pada peminum pertama. Motif hukum ini kita jumpai pada aktivitas minum dari botol dengan syarat mulut botol diemut dengan mulut. Oleh karena itu jika minumnya dengan cara ditenggak sehingga mulut peminum tidak bersentuhan dengan mulut botol hukumnya tidak mengapa.
Namun hal tersebut berlaku manakala botol minuman tersebut akan diminum oleh orang lain. Jika botol minuman tersebut hanya diminum sendiri maka tidak mengapa minum dengan mengemut mulut botol.
Tidaklah salah jika kita simpulkan bahwa dilarangnya minum dari mulut wadah air itu dikarenakan ketiga faktor di atas sebagaimana pendapat Ibnul Arabi dan Ibnu Abi Jamrah yang bisa kita simak di Fathul Bari saat penulis Fathul Bari menjelaskan hadits no 5628.
Sebagian motif hukum di atas masih kita jumpai pada orang yang minum dari botol minuman. Oleh karena itu sepatutnya kita tidak minum dari mulut botol minuman terutama jika ada orang lain yang akan ikut minum darinya.
Referensi:
https://islamqa.info/ar/112010
Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar,MPi (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
SPONSOR hubungi: 081 326 333 328DONASI hubungi: 087 882 888 727REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Shared from Konsultasi Syariah for android http://bit.ly/KonsultasiSyariah
------------------------------------------------
Ilustrasi air mineral
Hukum Minum dari Mulut Botol
Pertanyaan, “Apakah larangan minum dari mulut siqa’ (wadah air) itu berlaku untuk minum dari mulut botol?”
Jawaban:
Terdapat larangan dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam meminum dari mulut siqa’
عن أبي هريرة – رضي الله عنه – قال: “نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن يشرب مِن فِي السقاء أو القربة”؛ متفق عليه.
Dari abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melarang minum dari mulut siqa’ atau qirbah. (Mutafaq ‘alaih)
Siqa’ adalah wadah berisi air yang memiliki mulut sehingga air yang ada di dalamnya bisa diminum melalui mulut tersebut semisal qirbah (wadah air terbuat dari kulit).
Para ulama menyebutkan adanya sejumlah illah atau motif hukum untuk larangan ini.
Pertama, apa yang terdapat di dalam qirbah itu tidak terlihat dari luar sehingga boleh jadi di dalamnya terdapat serangga atau bahkan ular yang bisa mengganggunya. Dikisahkan ada orang yang minum melalui mulut qirbah dan yang keluar adalah ular. Motif hukum ini tidak kita jumpai pada botol minuman di zaman ini karena umumnya apa yang ada di dalam botol itu terlihat dari luar.
Kedua, orang yang minum melalui mulut qirbah itu sering kali ketumpahan air karena air yang keluar dari botol tersebut ternyata lebih banyak dari kadar yang dibutuhkan sehingga membasahi baju peminumnya. Motif hukum ini juga kita jumpai pada orang yang minum dari botol sebagaimana bisa kita saksikan.
Ketiga, maksud larangan adalah agar ludah peminum tidak mengenai mulut wadah air atau bercampur dengan air minum yang ada dalam botol tersebut atau nafasnya masuk ke dalam mulut wadah air yang berdampak peminum selanjutnya merasa jijik. Dimungkinkan juga hal tersebut menjadi penyebab tertular penyakit yang ada pada peminum pertama. Motif hukum ini kita jumpai pada aktivitas minum dari botol dengan syarat mulut botol diemut dengan mulut. Oleh karena itu jika minumnya dengan cara ditenggak sehingga mulut peminum tidak bersentuhan dengan mulut botol hukumnya tidak mengapa.
Namun hal tersebut berlaku manakala botol minuman tersebut akan diminum oleh orang lain. Jika botol minuman tersebut hanya diminum sendiri maka tidak mengapa minum dengan mengemut mulut botol.
Tidaklah salah jika kita simpulkan bahwa dilarangnya minum dari mulut wadah air itu dikarenakan ketiga faktor di atas sebagaimana pendapat Ibnul Arabi dan Ibnu Abi Jamrah yang bisa kita simak di Fathul Bari saat penulis Fathul Bari menjelaskan hadits no 5628.
Sebagian motif hukum di atas masih kita jumpai pada orang yang minum dari botol minuman. Oleh karena itu sepatutnya kita tidak minum dari mulut botol minuman terutama jika ada orang lain yang akan ikut minum darinya.
Referensi:
https://islamqa.info/ar/112010
Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar,MPi (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android.
Download Sekarang !!
KonsultasiSyariah.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
SPONSOR hubungi: 081 326 333 328DONASI hubungi: 087 882 888 727REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK
Shared from Konsultasi Syariah for android http://bit.ly/KonsultasiSyariah
islamqa.info
حكم الشرب من فم الزجاجة - الإسلام سؤال وجواب
The account of the user that created this channel has been inactive for the last 5 months. If it remains inactive in the next 28 days, that account will self-destruct and this channel will no longer have a creator.
The account of the user that created this channel has been inactive for the last 5 months. If it remains inactive in the next 18 days, that account will self-destruct and this channel will no longer have a creator.
The account of the user that created this channel has been inactive for the last 5 months. If it remains inactive in the next 10 days, that account will self-destruct and this channel will no longer have a creator.