JAWABAN SINGKAT ATAS PERTANYAAN "SIAPA YANG MENCIPTAKAN ALLAH?" (1)
Atheis seringkali menolak bukti keberadaan Allah dengan pertanyaan "siapakah yang menciptakan Allah?"
Pertanyaan ini sendiri secara substansi tidak valid, tidak tepat.
Pertanyaan itu serupa dengan pertanyaan: "Apakah durasi kehamilan seorang pria sama dengan wanita, yaitu selama 9 bulan?"; "Berapa berat derajat suhu?"; dan semisalnya.
Pertanyaan itu merupakan pertanyaan tentang Pencipta dengan sesuatu yang tidak mungkin, yaitu mempertanyakan Sang Pencipta dengan kriteria yang dimiliki makhluk. Allah adalah Sang Khalik yang tak mungkin merupakan makhluk sehingga bisa dipertanyakan siapa yang telah menciptakan-Nya?
Permasalahan yang ada pada pertanyaan tersebut terletak pada penyetaraan Sang Khalik dan makhluk. Selain itu, kesalahan terletak pada penyetaraan antara pernyataan yang berbunyi "setiap yang terjadj/yang bermula pasti ada yang mengadakan" dan pernyataan sebagian orang yang berbunyi "setiap yang wujud pasti ada yang mewujudkan". Kedua penyetaraan tersebut keliru.
Salah satu indikasi invaliditas pertanyaan tersebut adalah pertanyaan ini menyiratkan bahwa alam semesta ini sama sekali tidak ada.
Dapat dipahami bahwa pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Allah?" tidak lebih penting dari pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Pencipta Allah?" atau pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Pencipta dari Pencipta Allah?" dan seterusnya.
Menempuh metode di atas hanya akan berujung pada hasil bahwa alam semesta ini tidak akan pernah memiliki eksistensi, karena eksistensi Pencipta alam semesta ini akan bergantung pada eksistensi Pencipta yang terdahulu, dan Pencipta yang terdahulu juga bergantung pada eksistensi Pencipta sebelumnya, dan demikian seterusnya hingga menjadi rangkaian tanpa akhir.
Hal ini melazimkan Pencipta alam semesta ini tidak akan pernah eksis karena tidak ada Pencipta Pertama (First Creator), dimana rangkaian itu berhenti dan menjadi sumber makhluk yang pertama. Dengan demikian, rangkaian di atas akan terus berlanjut tanpa akhir yang berujung pada ketiadaan alam semesta kecuali ada Sumber Awal yang tak memiliki permulaan.
Uraian ini menampakkan keagungan al-Quran dan karunia Allah ta'ala kepada kita dengan mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
al-Quran menyebutkan salah satu nama Allah yang indah adalah al-Awwal (Dzat Yang Mahaawal), seperti termaktub dalam Surat al-Hadid ayat 3.
Demikian juga, di dalam al-Hadits, tercantum dalam do'a Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ
"Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Mahaawal, tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu." [HR.Muslim]
Semua itu menjelaskan hikmah terapi nabawi yang terdapat dalam hadits shahih berikut,
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ
“Setan mendatangi salah seorang di antara kalian dan berkata, ‘Siapa yang menciptakan ini dan itu?’ hingga dia berkata, ‘Siapa yang menciptakan Tuhan-mu?’ Jadi, ketika dia menimbulkan pertanyaan seperti itu, hendaknya seseorang berlindung kepada Allah dan meninggalkan pemikiran seperti itu.” [HR.Al-Bukhari]
Hadits yang terakhir ini menjelaskan bahwa pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Allah?" merupakan pertanyaan yang tidak tepat dan memikirkannya tidak akan membuahkan hasil yang positif kecuali merujuk pada _i'tiqad_ yang terdapat pada sifat Allah yang disampaikan dalam teks agama.
-bersambung-
#tauhid
#ateisme
#agnostik
Atheis seringkali menolak bukti keberadaan Allah dengan pertanyaan "siapakah yang menciptakan Allah?"
Pertanyaan ini sendiri secara substansi tidak valid, tidak tepat.
Pertanyaan itu serupa dengan pertanyaan: "Apakah durasi kehamilan seorang pria sama dengan wanita, yaitu selama 9 bulan?"; "Berapa berat derajat suhu?"; dan semisalnya.
Pertanyaan itu merupakan pertanyaan tentang Pencipta dengan sesuatu yang tidak mungkin, yaitu mempertanyakan Sang Pencipta dengan kriteria yang dimiliki makhluk. Allah adalah Sang Khalik yang tak mungkin merupakan makhluk sehingga bisa dipertanyakan siapa yang telah menciptakan-Nya?
Permasalahan yang ada pada pertanyaan tersebut terletak pada penyetaraan Sang Khalik dan makhluk. Selain itu, kesalahan terletak pada penyetaraan antara pernyataan yang berbunyi "setiap yang terjadj/yang bermula pasti ada yang mengadakan" dan pernyataan sebagian orang yang berbunyi "setiap yang wujud pasti ada yang mewujudkan". Kedua penyetaraan tersebut keliru.
Salah satu indikasi invaliditas pertanyaan tersebut adalah pertanyaan ini menyiratkan bahwa alam semesta ini sama sekali tidak ada.
Dapat dipahami bahwa pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Allah?" tidak lebih penting dari pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Pencipta Allah?" atau pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Pencipta dari Pencipta Allah?" dan seterusnya.
Menempuh metode di atas hanya akan berujung pada hasil bahwa alam semesta ini tidak akan pernah memiliki eksistensi, karena eksistensi Pencipta alam semesta ini akan bergantung pada eksistensi Pencipta yang terdahulu, dan Pencipta yang terdahulu juga bergantung pada eksistensi Pencipta sebelumnya, dan demikian seterusnya hingga menjadi rangkaian tanpa akhir.
Hal ini melazimkan Pencipta alam semesta ini tidak akan pernah eksis karena tidak ada Pencipta Pertama (First Creator), dimana rangkaian itu berhenti dan menjadi sumber makhluk yang pertama. Dengan demikian, rangkaian di atas akan terus berlanjut tanpa akhir yang berujung pada ketiadaan alam semesta kecuali ada Sumber Awal yang tak memiliki permulaan.
Uraian ini menampakkan keagungan al-Quran dan karunia Allah ta'ala kepada kita dengan mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
al-Quran menyebutkan salah satu nama Allah yang indah adalah al-Awwal (Dzat Yang Mahaawal), seperti termaktub dalam Surat al-Hadid ayat 3.
Demikian juga, di dalam al-Hadits, tercantum dalam do'a Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ
"Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Mahaawal, tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu." [HR.Muslim]
Semua itu menjelaskan hikmah terapi nabawi yang terdapat dalam hadits shahih berikut,
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ
“Setan mendatangi salah seorang di antara kalian dan berkata, ‘Siapa yang menciptakan ini dan itu?’ hingga dia berkata, ‘Siapa yang menciptakan Tuhan-mu?’ Jadi, ketika dia menimbulkan pertanyaan seperti itu, hendaknya seseorang berlindung kepada Allah dan meninggalkan pemikiran seperti itu.” [HR.Al-Bukhari]
Hadits yang terakhir ini menjelaskan bahwa pertanyaan "Siapakah yang menciptakan Allah?" merupakan pertanyaan yang tidak tepat dan memikirkannya tidak akan membuahkan hasil yang positif kecuali merujuk pada _i'tiqad_ yang terdapat pada sifat Allah yang disampaikan dalam teks agama.
-bersambung-
#tauhid
#ateisme
#agnostik
JAWABAN SINGKAT ATAS PERTANYAAN "SIAPA YANG MENCIPTAKAN ALLAH?" (2)
Ibnu Taimiyah menuturkan,
فإذا وصل العبد إلى غاية الغايات، ونهاية النهايات، وجب وقوفه، فإذا طلب بعد ذلك شيئا آخر وجب أن ينتهي، فأمر النبي صلى الله عليه وسلم العبد أن ينتهي مع استجارته بالله من وسواس التسلسل، كما يؤمر كل من حصل نهاية المطلوب وغاية المارد أن ينتهي
"Jika hamba telah mencapai tujuan akhir dan titik akhir, maka ia harus berhenti. Jika setelah itu kemudian ia mencari-cari hal yang lain, maka ia pun wajib berhenti. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan setiap muslim untuk berhenti sembari berlindung kepada Allah dari waswas _at-tasalsul_ sebagaimana setiap orang yang telah mencapai akhir pencarian dan akhir upaya diperintahkan untuk berhenti." [Dar-u at-Ta'arudh Baina al-'Aql wa an-Naql 3/314-315]
Adapun pernyataan *"setiap yang wujud pasti ada yang mewujudkan"* tidaklah tepat karena yang tepat adalah pernyataan *"setiap yang terjadj/yang bermula pasti ada yang mengadakan"* . Eksistensi alam semesta ini telah terbukti kejadiannya sehingga pastilah ada yang mengadakannya.
Syaikh Ahmad Yusuf as-Sayyid dalam Sabighat hal. 79-80
Catatan:
Jawaban terhadap pernyataan "setiap yang wujud pasti ada yanf mewujudkan" dapat dibaca pada artikel berikut: https://islamqa.info/amp/ar/answers/121180
#tauhid
#ateisme
#agnostik
Ibnu Taimiyah menuturkan,
فإذا وصل العبد إلى غاية الغايات، ونهاية النهايات، وجب وقوفه، فإذا طلب بعد ذلك شيئا آخر وجب أن ينتهي، فأمر النبي صلى الله عليه وسلم العبد أن ينتهي مع استجارته بالله من وسواس التسلسل، كما يؤمر كل من حصل نهاية المطلوب وغاية المارد أن ينتهي
"Jika hamba telah mencapai tujuan akhir dan titik akhir, maka ia harus berhenti. Jika setelah itu kemudian ia mencari-cari hal yang lain, maka ia pun wajib berhenti. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan setiap muslim untuk berhenti sembari berlindung kepada Allah dari waswas _at-tasalsul_ sebagaimana setiap orang yang telah mencapai akhir pencarian dan akhir upaya diperintahkan untuk berhenti." [Dar-u at-Ta'arudh Baina al-'Aql wa an-Naql 3/314-315]
Adapun pernyataan *"setiap yang wujud pasti ada yang mewujudkan"* tidaklah tepat karena yang tepat adalah pernyataan *"setiap yang terjadj/yang bermula pasti ada yang mengadakan"* . Eksistensi alam semesta ini telah terbukti kejadiannya sehingga pastilah ada yang mengadakannya.
Syaikh Ahmad Yusuf as-Sayyid dalam Sabighat hal. 79-80
Catatan:
Jawaban terhadap pernyataan "setiap yang wujud pasti ada yanf mewujudkan" dapat dibaca pada artikel berikut: https://islamqa.info/amp/ar/answers/121180
#tauhid
#ateisme
#agnostik
DEFINISI TAUHID
🔸Secara bahasa tauhid berarti eksklusifitas (الانفراد) dan mengesakan (الإفراد).
Frasa "توحد الشيء" berarti eksklusifitas sesuatu itu dari selainnya dan frasa "توحيد الشيء" berarti menjadikan dan menetapkan sesuatu itu eksklusif dari selainnya.
🔸Secara syari'at, tauhid dapat didefinisikan
إفراد الله تعالى بما يختص به من الربوبية والألوهية والأسماء والصفات، ونفيها عما سواه
"Mengesakan Allah dalam aspek-aspek kekhususan-Nya yaitu rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat; serta menafikan aspek-aspek kekhususan tersebut pada selain-Nya."
▫️Kata "إفراد" merupakan karakteristik umum yang menjelaskan inti perbuatan yang bersumber dari hamba. Hal yang dimaksud adalah makna pengesaan secara syar'i yang mengandung makna penghambaan.
▫️Kata "الله تعالى" mengecualikan segala sesuatu selain-Nya, yaitu para makhluk.
▫️Frasa "بما يختص به" karakteristik khusus yang menjelaskan bahwa pengesaan dan tauhid berkaitan erat dengan aspek-aspek kekhususan, dalam hal kesempurnaan dan pokoknya.
▫️Frasa "من الربوبية والألوهية والأسماء والصفات" merupakan karakteristik khusus yang mendefinisikan dan menyorot hal-hal yang berkaitan dengan pemaknaan tauhid secara syar'i.
▫️Frasa "ونفيها عما سواه" merupakan batasan yang mewujudkan salah satu rukun tauhid, yaitu penafian (النفي). Tujuannya adalah menyempurnakan esklusifitas Allah dengan segala sesuatu yang bisa menyempurnakan tauhid.
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Prof. Dr. Sulthan al-Umairi
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
🔸Secara bahasa tauhid berarti eksklusifitas (الانفراد) dan mengesakan (الإفراد).
Frasa "توحد الشيء" berarti eksklusifitas sesuatu itu dari selainnya dan frasa "توحيد الشيء" berarti menjadikan dan menetapkan sesuatu itu eksklusif dari selainnya.
🔸Secara syari'at, tauhid dapat didefinisikan
إفراد الله تعالى بما يختص به من الربوبية والألوهية والأسماء والصفات، ونفيها عما سواه
"Mengesakan Allah dalam aspek-aspek kekhususan-Nya yaitu rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat; serta menafikan aspek-aspek kekhususan tersebut pada selain-Nya."
▫️Kata "إفراد" merupakan karakteristik umum yang menjelaskan inti perbuatan yang bersumber dari hamba. Hal yang dimaksud adalah makna pengesaan secara syar'i yang mengandung makna penghambaan.
▫️Kata "الله تعالى" mengecualikan segala sesuatu selain-Nya, yaitu para makhluk.
▫️Frasa "بما يختص به" karakteristik khusus yang menjelaskan bahwa pengesaan dan tauhid berkaitan erat dengan aspek-aspek kekhususan, dalam hal kesempurnaan dan pokoknya.
▫️Frasa "من الربوبية والألوهية والأسماء والصفات" merupakan karakteristik khusus yang mendefinisikan dan menyorot hal-hal yang berkaitan dengan pemaknaan tauhid secara syar'i.
▫️Frasa "ونفيها عما سواه" merupakan batasan yang mewujudkan salah satu rukun tauhid, yaitu penafian (النفي). Tujuannya adalah menyempurnakan esklusifitas Allah dengan segala sesuatu yang bisa menyempurnakan tauhid.
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Prof. Dr. Sulthan al-Umairi
#tauhid
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
PENOLAK BALA
Syaikh Abdul Aziz ath-Tharifi menuturkan,
أكثر ما يدفع البلاء حسن الظن بالله مع الدعاء، ففي الحديث القدسي قال ﷲ تعالى (أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا دعاني)
"Hal utama yang bisa menolak bala adalah berprasangka baik kepada Allah sembari berdo'a. Dalam hadits qudsi, Allah ta'ala berfirman,
أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا دعاني
"Aku mengikuti persangkaan hamba terhadap-Ku dan Aku akan membersamainya selama dia berdo'a kepada-Ku." [HR. Muslim]
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Syaikh Abdul Aziz ath-Tharifi menuturkan,
أكثر ما يدفع البلاء حسن الظن بالله مع الدعاء، ففي الحديث القدسي قال ﷲ تعالى (أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا دعاني)
"Hal utama yang bisa menolak bala adalah berprasangka baik kepada Allah sembari berdo'a. Dalam hadits qudsi, Allah ta'ala berfirman,
أنا عند ظن عبدي بي وأنا معه إذا دعاني
"Aku mengikuti persangkaan hamba terhadap-Ku dan Aku akan membersamainya selama dia berdo'a kepada-Ku." [HR. Muslim]
#tauhid
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
SETIAP KETETAPAN ALLAH ADALAH BAIK BAGI ORANG BERIMAN
Syaikh Abdul Aziz ath-Tharifi menuturkan,
لا يُقدّر الله شراً للمؤمن، إذا حرمه ما يُحب أو أنزل به ما يكره فلأنهما يؤلان به إلى خيرٍ، ولكن الإنسان يُسيء الظن بربه فيَحرمه حُسن العاقبة
"Allah tidak menakdirkan keburukan bagi orang beriman. Apabila Allah menghalangi dari sesuatu yang diinginkan atau menurunkan sesuatu yang dibenci, maka itu karena keduanya akan menghantarkan hamba pada kebaikan. Sayangnya, manusia kerap berprasangka buruk pada Allah, sehingga ia pun tak memperoleh kesudahan yang baik."
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Syaikh Abdul Aziz ath-Tharifi menuturkan,
لا يُقدّر الله شراً للمؤمن، إذا حرمه ما يُحب أو أنزل به ما يكره فلأنهما يؤلان به إلى خيرٍ، ولكن الإنسان يُسيء الظن بربه فيَحرمه حُسن العاقبة
"Allah tidak menakdirkan keburukan bagi orang beriman. Apabila Allah menghalangi dari sesuatu yang diinginkan atau menurunkan sesuatu yang dibenci, maka itu karena keduanya akan menghantarkan hamba pada kebaikan. Sayangnya, manusia kerap berprasangka buruk pada Allah, sehingga ia pun tak memperoleh kesudahan yang baik."
#tauhid
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
Pilar-Pilar Tauhid (Rakaiz at-Tauhid)
Pilar tauhid didefinisikan sebagai perkara esensial yang di atasnya berdiri hakikat tauhid.
Sebagian ulama kontemporer menamakan hal ini dengan rukun tauhid.
Tauhid dalam konsep syariát berdiri di atas dua pilar atau rukun, yaitu:
1⃣ Penetapan (الإثبات). Artinya menetapkan seluruh aspek kekhususan yang wajib dimiliki Allah taála dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat.
2⃣ Penafian (النفي). Artinya menafikan keterlibatan (al-musyarakah) selain Allah dalam aspek-aspek yang wajib dimiliki atau dikhususkan bagi Allah semata.
Tauhid harus berdiri di atas dua pilar ini karena penetapan semata tidak mencegah keterlibatan selain Allah dalam aspek-aspek yang wajib dimiliki atau dikhususkan bagi Allah semata.
Demikian pula, penafian semata tidak menghasilkan penetapan kesempurnaan dan kekhususan bagi Allah taála. Penafian semata tanpa penetapan hanya menunjukkan ketiadaan.
Kombinasi antara kedua pilar ini, penetapan dan penafian, merupakan hal yang penting dan mencakup seluruh jenis tauhid, karena hakikat tauhid berdiri di atasnya.
Oleh karena itu, al-Quran acapkali mengombinasikan penetapan dan penafian ini dalam menauhidkan Allah taála.
Sebagai contoh, berkaitan dengan tauhid asma wa shifat, Allah taála berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syura:11]
Berkaitan dengan tauhid ibadah (tauhid uluhiyah) kombinasi ini lebih sering disebutkan. Terkadang penafian disebutkan terlebih dahulu, dan demikian pula sebaliknya.
Sebagai contoh, firman Allah taála,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ
“Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” ” [An-Nahl:36]
Allah taála berfirman,
فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah:256]
#tauhid
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Prof. Dr. Sulthan al-Umairi
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Pilar tauhid didefinisikan sebagai perkara esensial yang di atasnya berdiri hakikat tauhid.
Sebagian ulama kontemporer menamakan hal ini dengan rukun tauhid.
Tauhid dalam konsep syariát berdiri di atas dua pilar atau rukun, yaitu:
1⃣ Penetapan (الإثبات). Artinya menetapkan seluruh aspek kekhususan yang wajib dimiliki Allah taála dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat.
2⃣ Penafian (النفي). Artinya menafikan keterlibatan (al-musyarakah) selain Allah dalam aspek-aspek yang wajib dimiliki atau dikhususkan bagi Allah semata.
Tauhid harus berdiri di atas dua pilar ini karena penetapan semata tidak mencegah keterlibatan selain Allah dalam aspek-aspek yang wajib dimiliki atau dikhususkan bagi Allah semata.
Demikian pula, penafian semata tidak menghasilkan penetapan kesempurnaan dan kekhususan bagi Allah taála. Penafian semata tanpa penetapan hanya menunjukkan ketiadaan.
Kombinasi antara kedua pilar ini, penetapan dan penafian, merupakan hal yang penting dan mencakup seluruh jenis tauhid, karena hakikat tauhid berdiri di atasnya.
Oleh karena itu, al-Quran acapkali mengombinasikan penetapan dan penafian ini dalam menauhidkan Allah taála.
Sebagai contoh, berkaitan dengan tauhid asma wa shifat, Allah taála berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syura:11]
Berkaitan dengan tauhid ibadah (tauhid uluhiyah) kombinasi ini lebih sering disebutkan. Terkadang penafian disebutkan terlebih dahulu, dan demikian pula sebaliknya.
Sebagai contoh, firman Allah taála,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ
“Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” ” [An-Nahl:36]
Allah taála berfirman,
فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah:256]
#tauhid
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Prof. Dr. Sulthan al-Umairi
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
TAUHID ULUHIYAH
Tauhid uluhiyah dapat didefinisikan sebagai
إفراد الله تعالى بالعبادة ونفيها عن كل ما سواه
"Mengesakan Allah ta'ala dengan peribadatan kepada-Nya dan meniadakan peribadatan kepada selain-Nya."
Frasa "إفراد الله تعالى" merupakan batasan yang menjelaskan esensi tauhid uluhiyah; bahwa tauhid uluhiyah tidak sekadar pengilmuan dan pengakuan hati, tapi harus dibarengi dengan amal dan perilaku, sehingga berbentuk pengesaan yang termanifestasi secara zahir dan batin.
Frasa "بالعبادة" merupakan batasan yang menjelaskan topik tauhid uluhiyah; bahwa ia berkaitan dengan amal ibadah yang zahir dan batin, baik yang berbentuk perkataan maupun perbuatan.
Frasa "ونفيها عن كل ما سواه" merupakan batasan yang memperjelas esensi tauhid uluhiyah; bahwa taubid uluhiyah tidak akan terwujud dengan sekadar memperuntukkan peribadatan kepada Allah ta'ala, tapi juga harus dibarengi dengan mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah ta'ala. Dengan demikian, batasan ini merupakan batasan yang menjadi elemen tambahan untuk mewujudkan tauhid sekaligus menunjukkan keistimewaannya.
📚 Al-Muntaqa min Al-Maslak Ar-Rasyid hal. 9-10, Dr. Sulthan al-Umairiy
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Tauhid uluhiyah dapat didefinisikan sebagai
إفراد الله تعالى بالعبادة ونفيها عن كل ما سواه
"Mengesakan Allah ta'ala dengan peribadatan kepada-Nya dan meniadakan peribadatan kepada selain-Nya."
Frasa "إفراد الله تعالى" merupakan batasan yang menjelaskan esensi tauhid uluhiyah; bahwa tauhid uluhiyah tidak sekadar pengilmuan dan pengakuan hati, tapi harus dibarengi dengan amal dan perilaku, sehingga berbentuk pengesaan yang termanifestasi secara zahir dan batin.
Frasa "بالعبادة" merupakan batasan yang menjelaskan topik tauhid uluhiyah; bahwa ia berkaitan dengan amal ibadah yang zahir dan batin, baik yang berbentuk perkataan maupun perbuatan.
Frasa "ونفيها عن كل ما سواه" merupakan batasan yang memperjelas esensi tauhid uluhiyah; bahwa taubid uluhiyah tidak akan terwujud dengan sekadar memperuntukkan peribadatan kepada Allah ta'ala, tapi juga harus dibarengi dengan mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah ta'ala. Dengan demikian, batasan ini merupakan batasan yang menjadi elemen tambahan untuk mewujudkan tauhid sekaligus menunjukkan keistimewaannya.
📚 Al-Muntaqa min Al-Maslak Ar-Rasyid hal. 9-10, Dr. Sulthan al-Umairiy
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Ibnu al-Qayyim menuturkan,
لا يؤمر الناس بترك الدنيا فإنهم لا يقدرون على تركها، لكن يؤمر الناس بترك الذنوب. فترك الدنيا فضيلة وترك الذنوب فريضة، فإن صعب عليهم ترك الذنوب؛ حبب إليهم ربهم بذكر إنعامه وإحسانه وصفات كماله، فإذا تعلقت القلوب بالله هان عليها ترك الذنوب
"Jangan memerintahkan manusia untuk meninggalkan kenikmatan dunia, mereka pasti tak akan mampu. Perintahkanlah mereka untuk meninggalkan dosa. Meninggalkan kenikmatan dunia hukumnya sunnah, sedangkan meninggalkan dosa hukumnya wajib.
Apabila mereka sulit meninggalkan dosa, motivasilah agar mereka mencintai Allah dengan mengingatkan kenikmatan dan kebaikan yang diberikan-Nya, serta sifat-sifat-Nya yang sempurna. Apabila hati telah terikat dengan Allah, niscaya mudah baginya untuk meninggalkan dosa." [Al-Fawaid]
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
لا يؤمر الناس بترك الدنيا فإنهم لا يقدرون على تركها، لكن يؤمر الناس بترك الذنوب. فترك الدنيا فضيلة وترك الذنوب فريضة، فإن صعب عليهم ترك الذنوب؛ حبب إليهم ربهم بذكر إنعامه وإحسانه وصفات كماله، فإذا تعلقت القلوب بالله هان عليها ترك الذنوب
"Jangan memerintahkan manusia untuk meninggalkan kenikmatan dunia, mereka pasti tak akan mampu. Perintahkanlah mereka untuk meninggalkan dosa. Meninggalkan kenikmatan dunia hukumnya sunnah, sedangkan meninggalkan dosa hukumnya wajib.
Apabila mereka sulit meninggalkan dosa, motivasilah agar mereka mencintai Allah dengan mengingatkan kenikmatan dan kebaikan yang diberikan-Nya, serta sifat-sifat-Nya yang sempurna. Apabila hati telah terikat dengan Allah, niscaya mudah baginya untuk meninggalkan dosa." [Al-Fawaid]
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Hukum Mendakwahkan Tauhid
Dr. Sulthan al-Umairi menuturkan,
لا شك أن الدعوة إلى التوحيد مشروعة من حيث الأصل، ومشروعيتها متنوعة، فقد تكون فرض عين، وقد تكون فرض كفاية، إذا قام بها من يكفي سقط الإثم عن الآخرين، وقد تكون مستحبة، فالكلام في الدعوة إلى التوحيد كالكلام في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وتنطبق عليه كثير من الضوابط والقيود المذكورة في تلك المباحث
"Pada dasarnya, tak diragukan bahwa mendakwahkan tauhid merupakan hal yang disyari'atkan, namun hukumnya variatif.
Terkadang hukum mendakwahkan tauhid adalah kewajiban bagi setiap individu (fardhu 'ain).
Mendakwahkan tauhid pun bisa menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah) jika telah dilaksanakan oleh satu individu, sehingga dosa karena meninggalkan kewajiban tersebut gugur bagi individu yang lain.
Hukum mendakwahkan tauhid pun bisa bersifat mustahab.
Dengan demikian, topik bahasan mendakwahkan tauhid layaknya topik bahasan amar ma'ruf nahi mungkar yang di dalamnya berlaku sejumlah kriteria dan batasan yang disebutkan dalam sejumlah pembahasan yang mengulas topik tersebut."
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid hal. 65
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Dr. Sulthan al-Umairi menuturkan,
لا شك أن الدعوة إلى التوحيد مشروعة من حيث الأصل، ومشروعيتها متنوعة، فقد تكون فرض عين، وقد تكون فرض كفاية، إذا قام بها من يكفي سقط الإثم عن الآخرين، وقد تكون مستحبة، فالكلام في الدعوة إلى التوحيد كالكلام في الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وتنطبق عليه كثير من الضوابط والقيود المذكورة في تلك المباحث
"Pada dasarnya, tak diragukan bahwa mendakwahkan tauhid merupakan hal yang disyari'atkan, namun hukumnya variatif.
Terkadang hukum mendakwahkan tauhid adalah kewajiban bagi setiap individu (fardhu 'ain).
Mendakwahkan tauhid pun bisa menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah) jika telah dilaksanakan oleh satu individu, sehingga dosa karena meninggalkan kewajiban tersebut gugur bagi individu yang lain.
Hukum mendakwahkan tauhid pun bisa bersifat mustahab.
Dengan demikian, topik bahasan mendakwahkan tauhid layaknya topik bahasan amar ma'ruf nahi mungkar yang di dalamnya berlaku sejumlah kriteria dan batasan yang disebutkan dalam sejumlah pembahasan yang mengulas topik tersebut."
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid hal. 65
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
PINTU MASUK UTAMA SETAN = MENGELUHKAN DAN MEMPERTANYAKAN TAKDIR ALLAH
Dr. Ahmad Salim menuturkan,
وإن من أعظم مداخل الشيطان على قلوب المؤمنين أن يُسخطهم أقدار ربهم، وإن أكثر العجز والشر يكون من شكوى الأقدار، وسؤال الله عما يفعل
وأكثر تعلق الناس بتفسير فعل الله فساد، وإنما الذي يكون في ميزانك يوم القيامة هو استجابتك للفعل وتلقيك له تلقي العبد يبرأ من حوله وقوته، ويصبر في الضراء ويشكر في السراء ويستغفر الله إذا أحسن أو أساء
لا تخض لُجة الأقدار؛ فإن الله ملأ كتابه بابتلاءات وعذابات ومقاتل الأنبياء والصالحين؛ ليخبرنا أن الدنيا لم تكن ولن تكون جنة ودارًا للمكافأة
"Salah satu pintu masuk utama yang dilalui setan menuju hati orang beriman adalah membuat manusia protes terhadap takdir yang ditetapkan Allah. Sesungguhnya kelemahan dan keburukan bersumber dari mengeluhkan dan mempertanyakan takdir.
Lebih memperhatikan interpretasi takdir Allah merupakan kerusakan, karena yang akan ada di mizan anda di hari kiamat adalah respon dan penyikapan anda terhadap takdir yang seharusnya seperti sikap seorang hamba/budak yang tak mengakui daya dan upaya diri sendiri.
Hendaklah bersabar di kala sulit dan bersyukur di kala senang; memohon ampunan kepada Allah, ketika berbuat baik maupun dosa.
Jangan menerjunkan diri ke dalam palung takdir. Allah memenuhi kitab-Nya dengan ujian, siksa, peperangan yang dilalui para Nabi dan orang shalih, untuk menginformasikan kepada kita bahwa dunia ini bukan dan sekali-kali tidak akan menjadi surga dan tempat memetik balasan."
#tauhid
Sumber: https://t.me/ahmedsalem81/3160
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Dr. Ahmad Salim menuturkan,
وإن من أعظم مداخل الشيطان على قلوب المؤمنين أن يُسخطهم أقدار ربهم، وإن أكثر العجز والشر يكون من شكوى الأقدار، وسؤال الله عما يفعل
وأكثر تعلق الناس بتفسير فعل الله فساد، وإنما الذي يكون في ميزانك يوم القيامة هو استجابتك للفعل وتلقيك له تلقي العبد يبرأ من حوله وقوته، ويصبر في الضراء ويشكر في السراء ويستغفر الله إذا أحسن أو أساء
لا تخض لُجة الأقدار؛ فإن الله ملأ كتابه بابتلاءات وعذابات ومقاتل الأنبياء والصالحين؛ ليخبرنا أن الدنيا لم تكن ولن تكون جنة ودارًا للمكافأة
"Salah satu pintu masuk utama yang dilalui setan menuju hati orang beriman adalah membuat manusia protes terhadap takdir yang ditetapkan Allah. Sesungguhnya kelemahan dan keburukan bersumber dari mengeluhkan dan mempertanyakan takdir.
Lebih memperhatikan interpretasi takdir Allah merupakan kerusakan, karena yang akan ada di mizan anda di hari kiamat adalah respon dan penyikapan anda terhadap takdir yang seharusnya seperti sikap seorang hamba/budak yang tak mengakui daya dan upaya diri sendiri.
Hendaklah bersabar di kala sulit dan bersyukur di kala senang; memohon ampunan kepada Allah, ketika berbuat baik maupun dosa.
Jangan menerjunkan diri ke dalam palung takdir. Allah memenuhi kitab-Nya dengan ujian, siksa, peperangan yang dilalui para Nabi dan orang shalih, untuk menginformasikan kepada kita bahwa dunia ini bukan dan sekali-kali tidak akan menjadi surga dan tempat memetik balasan."
#tauhid
Sumber: https://t.me/ahmedsalem81/3160
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Beberapa Catatan Penting Dalam Masalah Uzdur Terhadap Ketidaktahuan (1/2)
Poin Pertama
Al-Udzr bi al-jahl (udzur/dispensasi terhadap suatu kekeliruan) merupakan salah satu prinsip ahlus sunnah. Tidak ada perselisihan dalam hal ini, bahkan para ulama memberikan udzur berupa diangkatnya dosa dari seorang yang jahil (bodoh) apabila melakukan suatu kesalahan.
Poin Kedua
Kejahilan (ketidaktahuan) yang dimaksud para ulama dan yang dapat diberikan udzur adalah kejahilan yang tidak dilatar-belakangi oleh kelalaian pelaku untuk bertanya atau menuntut ilmu kepada ulama.
Dengan demikian, batas kejahilan yang diberikan udzur adalah (ketidaktahuan yang tidak tercakup dalam) pengetahuan maksimal yang dimiliki oleh pelaku kesalahan, tidak dilatarbelakangi oleh kelalaian yang telah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, para ulama tidak memberikan udzur kepada pelaku kesalahan yang lalai untuk belajar sementara dia mampu dan mudah untuk melakukannya. Mereka juga tidak memberikan udzur kepada seorang yang fanatik buta terhadap pendapat seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara dia mampu untuk menelaah.
Poin Ketiga
Ulama ahlus sunnah wal jama’ah berselisih pendapat dalam beberapa permasalahan, manakah yang dapat diberikan udzur dan mana yang tidak.
Menurutku, hal ini berpulang pada penentuan ‘illat yang tepat pada suatu teks dalil (tahqiq al-manath) untuk diaplikasikan pada suatu kasus tertentu.
Dengan demikian, mereka pada dasarnya sepakat bahwa kejahilan merupakan salah satu sebab udzur dibeirkan kepada seseorang. Akan tetapi mereka berselisih pendapat pada kasus tertentu. Apakah pelaku kesalahan dalam kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai seorang yang jahil (bodoh/tidak tahu)? Dan apakah udzur kejahilan dapat diterapkan dalam kasus tersebut?
Contoh akan hal ini adalah sebagai berikut:
Pada saat ini media informasi telah menjamur, baik berupa media cetak, audio maupun visual. Kemudian di sebagian negeri Islam terdapat sekelompok kaum muslimin yang melakukan thawaf di kuburan, berdo’a kepada penghuninya dan menggantungkan harapan kepada mereka serta meyakini bahwa beberapa wali tertentu memiliki otoritas selain Allah dalam mengatur alam semesta. Semua hal tersebut merupakan kufur akbar (kekufuran yang dapat mengeluarkan seorang dari Islam).
Melihat contoh kasus di atas, para ulama berselisih pendapat terkait status mereka, apakah telah kafir atau tidak.
Pendapat Pertama: Sebagian ulama berpendapat mereka telah kafir. Ulama tersebut tidak menetapkan keislaman bagi mereka karena pada asalnya mereka tidak merealisasikan hakikat keislaman. Tidak pula mereka diberikan udzur kejahilan karena berbagai sarana untuk memastikan dan mengenal kebenaran mudah ditemukan. Dari sisi tersebut mereka dianggap lalai sehingga tidak dapat diberikan udzur.
Pendapat Kedua: Ulama lain memiliki pandangan yang berbeda dengan menyatakan bahwa mereka yang disebutkan dalam kasus di atas dapat diberikan udzur atas kejahilan (ketidak tahuan) mereka. Udzur diberikan karena mereka mengikuti orang-orang yang mereka anggap sebagai tokoh atau ulama.
Ketika salah seorang dari mereka melihat seorang yang dianggap alim atau cendekiawan di negeri tersebut melakukan thawaf di kuburan, berdo’a kepada mayit dan memiliki keyakinan yang kufur, maka hal ini merupakan syubhat/alasan yang dapat dijadikan pertimbangan agar udzur kejahilan diberikan kepada orang tersebut. Terlebih jika kita melihat realita bahwa media massa berada di pihak yang kontra dengan ulama yang mendakwahkan sunnah dan tauhid, dimana ulama tersebut kerap dituduh sebagai pihak yang keras dalam berdakwah, dicap sebagai khawarij dan berbagai gelar yang buruk (sehingga menyebabkan orang awam antipati terhadap ajaran Islam yang benar).
-bersambung-
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Poin Pertama
Al-Udzr bi al-jahl (udzur/dispensasi terhadap suatu kekeliruan) merupakan salah satu prinsip ahlus sunnah. Tidak ada perselisihan dalam hal ini, bahkan para ulama memberikan udzur berupa diangkatnya dosa dari seorang yang jahil (bodoh) apabila melakukan suatu kesalahan.
Poin Kedua
Kejahilan (ketidaktahuan) yang dimaksud para ulama dan yang dapat diberikan udzur adalah kejahilan yang tidak dilatar-belakangi oleh kelalaian pelaku untuk bertanya atau menuntut ilmu kepada ulama.
Dengan demikian, batas kejahilan yang diberikan udzur adalah (ketidaktahuan yang tidak tercakup dalam) pengetahuan maksimal yang dimiliki oleh pelaku kesalahan, tidak dilatarbelakangi oleh kelalaian yang telah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, para ulama tidak memberikan udzur kepada pelaku kesalahan yang lalai untuk belajar sementara dia mampu dan mudah untuk melakukannya. Mereka juga tidak memberikan udzur kepada seorang yang fanatik buta terhadap pendapat seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara dia mampu untuk menelaah.
Poin Ketiga
Ulama ahlus sunnah wal jama’ah berselisih pendapat dalam beberapa permasalahan, manakah yang dapat diberikan udzur dan mana yang tidak.
Menurutku, hal ini berpulang pada penentuan ‘illat yang tepat pada suatu teks dalil (tahqiq al-manath) untuk diaplikasikan pada suatu kasus tertentu.
Dengan demikian, mereka pada dasarnya sepakat bahwa kejahilan merupakan salah satu sebab udzur dibeirkan kepada seseorang. Akan tetapi mereka berselisih pendapat pada kasus tertentu. Apakah pelaku kesalahan dalam kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai seorang yang jahil (bodoh/tidak tahu)? Dan apakah udzur kejahilan dapat diterapkan dalam kasus tersebut?
Contoh akan hal ini adalah sebagai berikut:
Pada saat ini media informasi telah menjamur, baik berupa media cetak, audio maupun visual. Kemudian di sebagian negeri Islam terdapat sekelompok kaum muslimin yang melakukan thawaf di kuburan, berdo’a kepada penghuninya dan menggantungkan harapan kepada mereka serta meyakini bahwa beberapa wali tertentu memiliki otoritas selain Allah dalam mengatur alam semesta. Semua hal tersebut merupakan kufur akbar (kekufuran yang dapat mengeluarkan seorang dari Islam).
Melihat contoh kasus di atas, para ulama berselisih pendapat terkait status mereka, apakah telah kafir atau tidak.
Pendapat Pertama: Sebagian ulama berpendapat mereka telah kafir. Ulama tersebut tidak menetapkan keislaman bagi mereka karena pada asalnya mereka tidak merealisasikan hakikat keislaman. Tidak pula mereka diberikan udzur kejahilan karena berbagai sarana untuk memastikan dan mengenal kebenaran mudah ditemukan. Dari sisi tersebut mereka dianggap lalai sehingga tidak dapat diberikan udzur.
Pendapat Kedua: Ulama lain memiliki pandangan yang berbeda dengan menyatakan bahwa mereka yang disebutkan dalam kasus di atas dapat diberikan udzur atas kejahilan (ketidak tahuan) mereka. Udzur diberikan karena mereka mengikuti orang-orang yang mereka anggap sebagai tokoh atau ulama.
Ketika salah seorang dari mereka melihat seorang yang dianggap alim atau cendekiawan di negeri tersebut melakukan thawaf di kuburan, berdo’a kepada mayit dan memiliki keyakinan yang kufur, maka hal ini merupakan syubhat/alasan yang dapat dijadikan pertimbangan agar udzur kejahilan diberikan kepada orang tersebut. Terlebih jika kita melihat realita bahwa media massa berada di pihak yang kontra dengan ulama yang mendakwahkan sunnah dan tauhid, dimana ulama tersebut kerap dituduh sebagai pihak yang keras dalam berdakwah, dicap sebagai khawarij dan berbagai gelar yang buruk (sehingga menyebabkan orang awam antipati terhadap ajaran Islam yang benar).
-bersambung-
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Beberapa Catatan Penting Dalam Masalah Uzdur Terhadap Ketidaktahuan (2/2)
Perselisihan pendapat yang terjadi sebagaimana telah disampaikan sebelumnya terletak pada penentuan ‘illat pada suatu dalil untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Inilah rahasia mengapa terkadang anda menemukan di sebagian risalah ad-Durar as-Saniyah terdapat sebagian teks yang secara tekstual tidak memberikan udzur kejahilan pada pelaku kesyirikan, sedangkan di risalah yang lain memberikan udzur kejahilan. Rahasianya adalah risalah-risalah tersebut terkait dengan kasus tertentu. Pendapat para ulama yang ada dalam risalah tersebut tengah menentukan hukum pada suatu kasus dan risalah dimaksud memang disusun untuk kasus tersebut.
Apabila mereka yang membaca risalah tersebut memperhatikan kandungan ini niscaya tidak akan menemukan kontradiksi.
Demikian pula yang patut dijadikan perhatian adalah pihak yang memegang pendapat pertama tidak selayaknya dicap sebagai Khawarij. Sebaliknya, pihak yang menguatkan pendapat kedua tidak semestinya digelari dengan Murji-ah.
Hal ini dikarenakan kedua pihak tidak akan menghukumi kekafiran seorang dan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan kecuali setelah adanya proses qiyam al-hujjah (penegakan hujjah) atas orang tersebut.
Wa billahi at-taufiiq.
Syaikh Dr. Muhammad bin Umar Baazmuul
Sumber: https://www.facebook.com/mohammadbazmool/posts/857338474384640
Cat:
*Perbedaan pendapat dalam hal ini sudah ma'ruf, jadi aneh jika ada seorang yang menghujat saudaranya karena mengambil pendapat yang berbeda dengannya. Penyematan gelar Khawarij dan Murji'ah tidak tepat dilakukan.
*Menggelari dengan sebutan Murji'ah atau menuduh saudaranya lancang dengan berani mengambil kesimpulan dari aqwal ulama merupakan perkataan yang harus dibuktikan. Pada perkataan mana yang menunjukkan fulan terindikasi berpaham Murji'ah dan lancang terhadap perkataan ulama. Ada baiknya tuduhan itu disertai dengan bukti sehingga valid dan para komentator terdidik dengan suasana diskusi yang sehat.
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Perselisihan pendapat yang terjadi sebagaimana telah disampaikan sebelumnya terletak pada penentuan ‘illat pada suatu dalil untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu.
Inilah rahasia mengapa terkadang anda menemukan di sebagian risalah ad-Durar as-Saniyah terdapat sebagian teks yang secara tekstual tidak memberikan udzur kejahilan pada pelaku kesyirikan, sedangkan di risalah yang lain memberikan udzur kejahilan. Rahasianya adalah risalah-risalah tersebut terkait dengan kasus tertentu. Pendapat para ulama yang ada dalam risalah tersebut tengah menentukan hukum pada suatu kasus dan risalah dimaksud memang disusun untuk kasus tersebut.
Apabila mereka yang membaca risalah tersebut memperhatikan kandungan ini niscaya tidak akan menemukan kontradiksi.
Demikian pula yang patut dijadikan perhatian adalah pihak yang memegang pendapat pertama tidak selayaknya dicap sebagai Khawarij. Sebaliknya, pihak yang menguatkan pendapat kedua tidak semestinya digelari dengan Murji-ah.
Hal ini dikarenakan kedua pihak tidak akan menghukumi kekafiran seorang dan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan kecuali setelah adanya proses qiyam al-hujjah (penegakan hujjah) atas orang tersebut.
Wa billahi at-taufiiq.
Syaikh Dr. Muhammad bin Umar Baazmuul
Sumber: https://www.facebook.com/mohammadbazmool/posts/857338474384640
Cat:
*Perbedaan pendapat dalam hal ini sudah ma'ruf, jadi aneh jika ada seorang yang menghujat saudaranya karena mengambil pendapat yang berbeda dengannya. Penyematan gelar Khawarij dan Murji'ah tidak tepat dilakukan.
*Menggelari dengan sebutan Murji'ah atau menuduh saudaranya lancang dengan berani mengambil kesimpulan dari aqwal ulama merupakan perkataan yang harus dibuktikan. Pada perkataan mana yang menunjukkan fulan terindikasi berpaham Murji'ah dan lancang terhadap perkataan ulama. Ada baiknya tuduhan itu disertai dengan bukti sehingga valid dan para komentator terdidik dengan suasana diskusi yang sehat.
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
MAKNA SYAHADAT TAUHID
Pendefinisian terhadap makna syahadat laa ilaha illallah berikut penjelasan berbagai syaratnya sangatlah penting, karena pada dasarnya hal tersebut merupakan ekspresi dari tauhid ibadah. Oleh karena itu, mendalami tauhid ibadah perlu memahami topik syahadat laa ilaha illallah.
Pendefinisian makna syahadat laa ilaha illallah bervariasi menurut prinsip keyakinan yang dianut oleh pihak yang menjelaskannya. Di antara faktor yang mempengaruhi pendefinisian makna syahadat adalah sikap terhadap makna dari kata "al-Ilah".
Terdapat sejumlah perbedaan dalam memaknai kata "al-Ilah", namun ada dua makna populer untuk kata tersebut, yaitu "al-Ma'bud (Sembahan)" dan al-Khaliq (Sang Mahapencipta) atau al-Qadir (Sang Mahakuasa).
Bermula dari perbedaan memaknai kata "al-Ilah" tersebut, timbullah perbedaan dalam memaknai kalimat laa ilaha illallah.
1️⃣ Tafsiran pertama menyatakan bahwa kalimat laa ilaha illallah berarti:
▫️لا معبود بحق إلا الله
"Tak ada Sembahan yang hak melainkan Allah."
atau
▫️لا معبود مستحق للعبادة إلا الله
"Tak ada Sembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah."
Sejumlah ulama ahli sunnah memilih tafsiran pertama ini.
Ath-Thabari menuturkan,
قوله: لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، يقول : لا معبود بحق تجوز عبادته، وتصلح له الألوهية إلا الله
"Firman-Nya {لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ} berarti tak ada sembahan yang berhak diibadahi dan dipersembahkan hak uluhiyah melainkan Allah semata."
2️⃣ Tafsiran kedua menyatakan makna kalimat laa ilaha illallah adalah:
لا قادر إلا الله
"Tak ada yang kuasa melainkan Allah."
Sejumlah ahli kalam menetapkan makna ini karena bertopang pada pemaknaan mereka terhadap kata "al-Ilah" yang diartikan sebagai القادر على الاختراع (Yang Mahakuasa untuk menciptakan).
Tafsiran ini kurang tepat karena bersumber dari premis yang keliru, yaitu menafsirkan kata "al-Ilah" dengan "القادر على الاختراع". Kekeliruan ini akan melazimkan bahwa kaum musyrikin atau kebanyakan dari mereka telah mengamalkan tauhid karena mereka mereka sendiri telah mengikrarkan bahwa tak ada yang mampu untuk mencipta di alam semesta ini melainkan Allah ta'ala semata.
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Dr. Sulthan al-Umairi.
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Pendefinisian terhadap makna syahadat laa ilaha illallah berikut penjelasan berbagai syaratnya sangatlah penting, karena pada dasarnya hal tersebut merupakan ekspresi dari tauhid ibadah. Oleh karena itu, mendalami tauhid ibadah perlu memahami topik syahadat laa ilaha illallah.
Pendefinisian makna syahadat laa ilaha illallah bervariasi menurut prinsip keyakinan yang dianut oleh pihak yang menjelaskannya. Di antara faktor yang mempengaruhi pendefinisian makna syahadat adalah sikap terhadap makna dari kata "al-Ilah".
Terdapat sejumlah perbedaan dalam memaknai kata "al-Ilah", namun ada dua makna populer untuk kata tersebut, yaitu "al-Ma'bud (Sembahan)" dan al-Khaliq (Sang Mahapencipta) atau al-Qadir (Sang Mahakuasa).
Bermula dari perbedaan memaknai kata "al-Ilah" tersebut, timbullah perbedaan dalam memaknai kalimat laa ilaha illallah.
▫️لا معبود بحق إلا الله
"Tak ada Sembahan yang hak melainkan Allah."
atau
▫️لا معبود مستحق للعبادة إلا الله
"Tak ada Sembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah."
Sejumlah ulama ahli sunnah memilih tafsiran pertama ini.
Ath-Thabari menuturkan,
قوله: لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، يقول : لا معبود بحق تجوز عبادته، وتصلح له الألوهية إلا الله
"Firman-Nya {لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ} berarti tak ada sembahan yang berhak diibadahi dan dipersembahkan hak uluhiyah melainkan Allah semata."
لا قادر إلا الله
"Tak ada yang kuasa melainkan Allah."
Sejumlah ahli kalam menetapkan makna ini karena bertopang pada pemaknaan mereka terhadap kata "al-Ilah" yang diartikan sebagai القادر على الاختراع (Yang Mahakuasa untuk menciptakan).
Tafsiran ini kurang tepat karena bersumber dari premis yang keliru, yaitu menafsirkan kata "al-Ilah" dengan "القادر على الاختراع". Kekeliruan ini akan melazimkan bahwa kaum musyrikin atau kebanyakan dari mereka telah mengamalkan tauhid karena mereka mereka sendiri telah mengikrarkan bahwa tak ada yang mampu untuk mencipta di alam semesta ini melainkan Allah ta'ala semata.
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Dr. Sulthan al-Umairi.
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
SYARAT-SYARAT SYAHADAT TAUHID
Dr. Sulthan al-'Umairiy menuturkan,
والأقرب أن يقال: إن شروط الشهادة سبعة: الأول: النطق بها، والثاني: العلم بمدلولها، والثالث: التصديق الجازم بمضمونها، والرابع: المحبة لها والمضمونها، والخامس : الانقياد والتسليم المضمونها، والسادس: الإخلاص في الأخذ بمضمونها، والسابع: الابتعاد عن نواقضها
"Pendapat yang tepat adalah syarat kalimat laa ilaha illallah ada 7, yaitu:
1️⃣ Mengucapkannya;
2️⃣ Mengilmui maknanya;
3️⃣ Membenarkan kandungannya secara tegas;
4️⃣ Mencintai kalimat dan kandungannya;
4️⃣ Tunduk dan pasrah menjalankan kandungannya;
6️⃣ Ikhlas dalam mengamalkan kandungannya;
7️⃣ Menjauhi berbagai hal yang bisa menggugurkannya."
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Dr. Sulthan al-Umairi.
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Dr. Sulthan al-'Umairiy menuturkan,
والأقرب أن يقال: إن شروط الشهادة سبعة: الأول: النطق بها، والثاني: العلم بمدلولها، والثالث: التصديق الجازم بمضمونها، والرابع: المحبة لها والمضمونها، والخامس : الانقياد والتسليم المضمونها، والسادس: الإخلاص في الأخذ بمضمونها، والسابع: الابتعاد عن نواقضها
"Pendapat yang tepat adalah syarat kalimat laa ilaha illallah ada 7, yaitu:
Sumber: al-Muntaqa min al-Maslak ar-Rasyid, Dr. Sulthan al-Umairi.
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM
SPIRITUALITAS ISLAM
روحانية الإسلام أن يخرج الإنسان من جزئه الطيني المادي؛ ليتصل بالله عز وجل عبر الأعمال الصالحة.
وأصل هذه الأعمال أعمال القلوب بمعرفة الله ومحبته والانقياد له، وتتبعها أعمال الجوارح.
وجوهر هذه الروحانية هو ((الكلمة)) كلمة القلب وكلمة اللسان وكلمة الجوارح، فإن كل ذلك كلام، كلام محبة فإن المحبة هي جوهر الخلق والعبودية والكلام إبانة عنها حتى عمل الجوارح هو كلام وإبانة؛ لأجل ذلك تتكلم الجوارح يوم القيامة مخبرة بعمل صاحبها، ولأجل ذلك خلق الله الإنسان وعلمه البيان، ليعرب عما في نفسه من محبته لربه.
وجوهر هذا الكلام هو القرآن كلام الله عز وجل.
لأجل ذلك ليس في الإسلام روحانية الصور ولا روحانية السماع (الإنشاد والموسيقى) كما فعلته المسيحية وتبعتهم الصوفية.
وليس في الإسلام روحانية وسائط؛ فإن الله قريب يكلم عبده بالقرآن ويتكلم العبد مع ربه بالصلاة والذكر والدعاء.
احفظ هذا فإنه لب الدين وروحانيته
"Spiritualitas Islam adalah mengeluarkan manusia dari bagian fisiknya yang bersifat materi; untuk terhubung dengan Allah Yang Maha Tinggi melalui amal kebajikan (amal shalih).
Dasar dari amal kebajikan ini adalah amal hati, yaitu dengan mengenal Allah, mencintai-Nya, dan tunduk kepada-Nya; amal hati ini kemudian diikuti oleh amal anggota tubuh.
Inti dari spiritualitas ini adalah "kata", baik kata hati, kata lisan, dan kata anggota tubuh, karena semua itu adalah perkataan. Perkataan cinta, karena cinta adalah inti dari penciptaan dan pengabdian, dan perkataan adalah hal yang menjelaskan kecintaan itu, bahkan amal anggota tubuh adalah perkataan sekaligus penjelasan; untuk itu anggota tubuh akan berbicara pada hari kiamat memberitahukan tentang amal yang telah dilakukan pemiliknya, dan untuk itu Allah menciptakan manusia dan mengajarinya untuk memberikan penjelasan, agar ia dapat mengungkapkan kecintaannya kepada Allah yang terdapat dalam dirinya.
Inti dari perkataan ini adalah Al-Qur'an, perkataan Allah Yang Maha Tinggi.
Oleh karena itu, tidak ada dalam Islam, spiritualitas berwujud gambar atau spiritualitas berwujud lagu (nyanyian dan musik) seperti yang dilakukan oleh kaum Nasrani yang kemudian diikuti oleh kaum Sufi.
Dan tidak ada dalam Islam, spiritualitas yang butuh perantara; karena Allah Mahadekat, Dia berbicara kepada hamba-Nya melalui Al-Qur'an, dan hamba berbicara dengan-Nya melalui shalat, dzikir, dan doa.
Ingatlah hal ini, karena ia adalah inti dan spiritualitas agama Islam."
Dr. Ahmad Salim
Sumber: https://t.me/ahmedsalem81/3184
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
روحانية الإسلام أن يخرج الإنسان من جزئه الطيني المادي؛ ليتصل بالله عز وجل عبر الأعمال الصالحة.
وأصل هذه الأعمال أعمال القلوب بمعرفة الله ومحبته والانقياد له، وتتبعها أعمال الجوارح.
وجوهر هذه الروحانية هو ((الكلمة)) كلمة القلب وكلمة اللسان وكلمة الجوارح، فإن كل ذلك كلام، كلام محبة فإن المحبة هي جوهر الخلق والعبودية والكلام إبانة عنها حتى عمل الجوارح هو كلام وإبانة؛ لأجل ذلك تتكلم الجوارح يوم القيامة مخبرة بعمل صاحبها، ولأجل ذلك خلق الله الإنسان وعلمه البيان، ليعرب عما في نفسه من محبته لربه.
وجوهر هذا الكلام هو القرآن كلام الله عز وجل.
لأجل ذلك ليس في الإسلام روحانية الصور ولا روحانية السماع (الإنشاد والموسيقى) كما فعلته المسيحية وتبعتهم الصوفية.
وليس في الإسلام روحانية وسائط؛ فإن الله قريب يكلم عبده بالقرآن ويتكلم العبد مع ربه بالصلاة والذكر والدعاء.
احفظ هذا فإنه لب الدين وروحانيته
"Spiritualitas Islam adalah mengeluarkan manusia dari bagian fisiknya yang bersifat materi; untuk terhubung dengan Allah Yang Maha Tinggi melalui amal kebajikan (amal shalih).
Dasar dari amal kebajikan ini adalah amal hati, yaitu dengan mengenal Allah, mencintai-Nya, dan tunduk kepada-Nya; amal hati ini kemudian diikuti oleh amal anggota tubuh.
Inti dari spiritualitas ini adalah "kata", baik kata hati, kata lisan, dan kata anggota tubuh, karena semua itu adalah perkataan. Perkataan cinta, karena cinta adalah inti dari penciptaan dan pengabdian, dan perkataan adalah hal yang menjelaskan kecintaan itu, bahkan amal anggota tubuh adalah perkataan sekaligus penjelasan; untuk itu anggota tubuh akan berbicara pada hari kiamat memberitahukan tentang amal yang telah dilakukan pemiliknya, dan untuk itu Allah menciptakan manusia dan mengajarinya untuk memberikan penjelasan, agar ia dapat mengungkapkan kecintaannya kepada Allah yang terdapat dalam dirinya.
Inti dari perkataan ini adalah Al-Qur'an, perkataan Allah Yang Maha Tinggi.
Oleh karena itu, tidak ada dalam Islam, spiritualitas berwujud gambar atau spiritualitas berwujud lagu (nyanyian dan musik) seperti yang dilakukan oleh kaum Nasrani yang kemudian diikuti oleh kaum Sufi.
Dan tidak ada dalam Islam, spiritualitas yang butuh perantara; karena Allah Mahadekat, Dia berbicara kepada hamba-Nya melalui Al-Qur'an, dan hamba berbicara dengan-Nya melalui shalat, dzikir, dan doa.
Ingatlah hal ini, karena ia adalah inti dan spiritualitas agama Islam."
Dr. Ahmad Salim
Sumber: https://t.me/ahmedsalem81/3184
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
HUKUM UCAPAN "SEANDAINYA"
Beberapa ulama menyebutkan bahwa penggunaan kata "seandainya" atau "لو" memiliki tiga keadaan:
1️⃣ Tercela. Kondisi ini memiliki beberapa bentuk sebagai berikut:
A. Digunakan dalam penyesalan: seperti jika ia mengalami musibah, atau terjatuh dalam kesulitan dan berkata, "Seandainya saya melakukan ini, maka saya tidak akan mengalami ini".
Perkataan ini terlarang dan memiliki dua bahaya, yaitu:
▪️ Perkataan itu membuka pintu penyesalan, kemarahan, dan kesedihan yang seharusnya ditutup karena melakukan itu semua tidak bermanfaat.
▪️ Perkataan itu menunjukkan etika yang buruk terhadap Allah dan takdir-Nya, karena segala sesuatu dan peristiwa terjadi dengan ketentuan Allah dan takdir-Nya.
B. Mengucapkannya karena mengharapkan keburukan: seperti katanya: "Seandainya saya memiliki harta si fulan, saya akan melakukan perbuatan dosa seperti yang dilakukannya".
Maka dengan niatnya tersebut, si pengucap dan si fulan sama-sama berdosa.
2️⃣ Terpuji: yaitu mengucapkan "seandainya" karena menginginkan kebaikan, seperti yang terdapat dalam hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
لو صبر أخي موسى لقص الله علينا من نبأهما
"Seandainya saudaraku Musa mau bersabar, niscaya Allah akan menceritakan berita keduanya (Musa dan Khidhir) lebih banyak kepada kita." [HR. Al-Bukhari]
3️⃣ Diperbolehkan, yaitu dalam kondisi:
▪️ Jika digunakan dalam konteks murni pemberitahuan murni dan tanpa ada niat penyesalan, kesedihan, angan-angan kosong, atau yang sejenis.
▪️ Mengucapkannya berkaitan dengan hal yang akan datang, seperti dalam hadits,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
"Seandainya tidak memberatkan umatku ...",
Perkataan di atas berkaitan dengan hal yang akan datang, tidak memprotes takdir karena memberitakan apa yang dipercaya dan diinginkan, seandainya tidak ada penghalang.
Sumber: Bughyatu al-Mustafid hal. 441 karya Dr. Mansur Al-Suq'ub (hlm. 441) dengan sedikit perubahan
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Beberapa ulama menyebutkan bahwa penggunaan kata "seandainya" atau "لو" memiliki tiga keadaan:
A. Digunakan dalam penyesalan: seperti jika ia mengalami musibah, atau terjatuh dalam kesulitan dan berkata, "Seandainya saya melakukan ini, maka saya tidak akan mengalami ini".
Perkataan ini terlarang dan memiliki dua bahaya, yaitu:
▪️ Perkataan itu membuka pintu penyesalan, kemarahan, dan kesedihan yang seharusnya ditutup karena melakukan itu semua tidak bermanfaat.
▪️ Perkataan itu menunjukkan etika yang buruk terhadap Allah dan takdir-Nya, karena segala sesuatu dan peristiwa terjadi dengan ketentuan Allah dan takdir-Nya.
B. Mengucapkannya karena mengharapkan keburukan: seperti katanya: "Seandainya saya memiliki harta si fulan, saya akan melakukan perbuatan dosa seperti yang dilakukannya".
Maka dengan niatnya tersebut, si pengucap dan si fulan sama-sama berdosa.
لو صبر أخي موسى لقص الله علينا من نبأهما
"Seandainya saudaraku Musa mau bersabar, niscaya Allah akan menceritakan berita keduanya (Musa dan Khidhir) lebih banyak kepada kita." [HR. Al-Bukhari]
▪️ Jika digunakan dalam konteks murni pemberitahuan murni dan tanpa ada niat penyesalan, kesedihan, angan-angan kosong, atau yang sejenis.
▪️ Mengucapkannya berkaitan dengan hal yang akan datang, seperti dalam hadits,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
"Seandainya tidak memberatkan umatku ...",
Perkataan di atas berkaitan dengan hal yang akan datang, tidak memprotes takdir karena memberitakan apa yang dipercaya dan diinginkan, seandainya tidak ada penghalang.
Sumber: Bughyatu al-Mustafid hal. 441 karya Dr. Mansur Al-Suq'ub (hlm. 441) dengan sedikit perubahan
#tauhid
🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid
🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial
Please open Telegram to view this post
VIEW IN TELEGRAM