Bid'ah bukanlah kebaikan
.
Kebaikan tidaklah diketahui dengan hawa nafsu atau membuat inovasi dalam agama (ibtida'). Tapi kebaikan hanya diketahui dengan ittiba', yaitu mengenal kandungan al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, kebaikan adalah segala sesuatu yang dituntut untuk dilakukan sebagaimana tuntutan itu tercantum dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
.
Praktik ibadah yang tidak pernah dituntunkan dalam al-Quran dan as-Sunnah, hakikatnya bukanlah kebaikan. Bahkan, ia adalah bid'ah. Ia tidak bisa menghilangkan pengaruh keburukan, karena bid'ah itu sendiri adalah keburukan yang besar.
.
Hal yang telah diketahui bersama, urutan dosa dimulai dari yang terbesar keburukannya adalah: syirik akbar, syirik ashghar, bid'ah, kemudian dosa-dosa yang berada di bawahnya. Dengan demikian, apabila seorang melakukan ibadah yang tidak pernah terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka sesungguhnya ia tidak sedang mengerjakan kebaikan. Tapi justru ia melakukan keburukan yang perlu dihapuskan pengaruhnya.
.
Bid'ah lebih disukai oleh iblis ketimbang kemaksiatan. Karena seorang yang bermaksiat, bukan dengan niat taqarrub, memandang bahwa memang kemaksiatan yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Ia melakukannya karena dikuasai hawa nafsu. Dalam hal ini, dia lebih memiliki potensi untuk bertaubat.
.
Berbeda dengan orang yang melakukan bid'ah. Orang yang melakukannya berpandangan bahwa ia tengah mengerjakan ajaran agama, sehingga peluang untuk bertaubat minim. Bagaimana ia akan bertaubat jika meyakini bid'ah yang dilakukannya adalah bagian dari agama?! Itulah mengapa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berpesan,
.
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
.
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” [HR. ath Thabrani dalam al-Mu'jam al-Wasith 4/281. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1620]
.
Syaikh Prof. Dr. Sulaiman ibn Salim ar-Ruhaili hafizhahullah dalam Syarh al-Washiyah ash-Shugra hlm. 79
.
#manhaj
.
https://t.me/ayobelajartauhid/2222
.
Kebaikan tidaklah diketahui dengan hawa nafsu atau membuat inovasi dalam agama (ibtida'). Tapi kebaikan hanya diketahui dengan ittiba', yaitu mengenal kandungan al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, kebaikan adalah segala sesuatu yang dituntut untuk dilakukan sebagaimana tuntutan itu tercantum dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
.
Praktik ibadah yang tidak pernah dituntunkan dalam al-Quran dan as-Sunnah, hakikatnya bukanlah kebaikan. Bahkan, ia adalah bid'ah. Ia tidak bisa menghilangkan pengaruh keburukan, karena bid'ah itu sendiri adalah keburukan yang besar.
.
Hal yang telah diketahui bersama, urutan dosa dimulai dari yang terbesar keburukannya adalah: syirik akbar, syirik ashghar, bid'ah, kemudian dosa-dosa yang berada di bawahnya. Dengan demikian, apabila seorang melakukan ibadah yang tidak pernah terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka sesungguhnya ia tidak sedang mengerjakan kebaikan. Tapi justru ia melakukan keburukan yang perlu dihapuskan pengaruhnya.
.
Bid'ah lebih disukai oleh iblis ketimbang kemaksiatan. Karena seorang yang bermaksiat, bukan dengan niat taqarrub, memandang bahwa memang kemaksiatan yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Ia melakukannya karena dikuasai hawa nafsu. Dalam hal ini, dia lebih memiliki potensi untuk bertaubat.
.
Berbeda dengan orang yang melakukan bid'ah. Orang yang melakukannya berpandangan bahwa ia tengah mengerjakan ajaran agama, sehingga peluang untuk bertaubat minim. Bagaimana ia akan bertaubat jika meyakini bid'ah yang dilakukannya adalah bagian dari agama?! Itulah mengapa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berpesan,
.
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
.
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya” [HR. ath Thabrani dalam al-Mu'jam al-Wasith 4/281. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1620]
.
Syaikh Prof. Dr. Sulaiman ibn Salim ar-Ruhaili hafizhahullah dalam Syarh al-Washiyah ash-Shugra hlm. 79
.
#manhaj
.
https://t.me/ayobelajartauhid/2222
2 PRAKTIK KESESATAN TERHADAP NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
.
Kesesatan umat ini terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terletak pada dua hal, yaitu:
.
Pertama: mendistorsi sunnah beliau dan keliru dalam memaknainya. Kesesatan mereka bukan dengan mendustakan sunnah tersebut, tapi dengan melakukan misinterpretasi terhadap sabda beliau; mendistorsi redaksi dan maknanya. Itulah mengapa di dalam al-Quran dan al-Hadits terdapat lebih banyak peringatan untuk berhati-hati terhadap kesesatan model ini dibandingkan peringatan terhadap sikap mendustakan Nabi. Allah Ta'ala tahu bahwa distorsi dan misinterpretasi sabda Nabi akan lebih banyak dilakukan oleh umat ini ketimbang menolak dan mendustakan sabdanya.
.
Kedua: mengultuskan Nabi dan memposisikan beliau melebihi kedudukan yang ditetapkan Allah Ta'ala; sehingga tidaklah patut kiranya ibadah berupa permohonan yang khusus untuk Allah seperti istighatsah dan isti'anah dipanjatkan kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita dapat menjumpai teks-teks hadits yang memperingatkan atau melarang umat ini dari perbuatan mengultuskan dan menyanjung beliau secara berlebihan, karena Allah Ta'ala tahu kesesatan umat ini dalam mengultuskan beliau lebih kerap terjadi daripada kesesatan mereka yang merendahkan martabat beliau.
.
al-Khurasaniyah fi Syarh Aqidah ar-Raziyyain hlm. 232
.
#manhaj #aqidah #tauhid
.
https://t.me/ayobelajartauhid/2285
.
Kesesatan umat ini terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terletak pada dua hal, yaitu:
.
Pertama: mendistorsi sunnah beliau dan keliru dalam memaknainya. Kesesatan mereka bukan dengan mendustakan sunnah tersebut, tapi dengan melakukan misinterpretasi terhadap sabda beliau; mendistorsi redaksi dan maknanya. Itulah mengapa di dalam al-Quran dan al-Hadits terdapat lebih banyak peringatan untuk berhati-hati terhadap kesesatan model ini dibandingkan peringatan terhadap sikap mendustakan Nabi. Allah Ta'ala tahu bahwa distorsi dan misinterpretasi sabda Nabi akan lebih banyak dilakukan oleh umat ini ketimbang menolak dan mendustakan sabdanya.
.
Kedua: mengultuskan Nabi dan memposisikan beliau melebihi kedudukan yang ditetapkan Allah Ta'ala; sehingga tidaklah patut kiranya ibadah berupa permohonan yang khusus untuk Allah seperti istighatsah dan isti'anah dipanjatkan kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita dapat menjumpai teks-teks hadits yang memperingatkan atau melarang umat ini dari perbuatan mengultuskan dan menyanjung beliau secara berlebihan, karena Allah Ta'ala tahu kesesatan umat ini dalam mengultuskan beliau lebih kerap terjadi daripada kesesatan mereka yang merendahkan martabat beliau.
.
al-Khurasaniyah fi Syarh Aqidah ar-Raziyyain hlm. 232
.
#manhaj #aqidah #tauhid
.
https://t.me/ayobelajartauhid/2285
PENTINGNYA MEMPELAJARI HADITS
.
Umar ibn al-Khathab radhillahu 'anhu berkata,
.
إنه سيأتي ناسٌ يجادلونكم بشبهات القرآن، فخذوهم بالسنن، فإن أصحاب السنن أعلم بكتاب الله عز وجل
.
"Sungguh, kelak akan ada orang yang mendebat kalian dengan syubhat-syubhat al-Quran. Hadapilah mereka dengan as-Sunnah (al-Hadits), karena yang paling mengetahui kitab Allah 'azza wa jalla adalah orang yang memahami as-Sunnah." [Sunan ad-Darimi 1/240]
.
NB: syubhat-syubhat al-Quran: ayat-ayat al-Quran dipelintir untuk dijadikan pembenaran
.
#manhaj
.
Umar ibn al-Khathab radhillahu 'anhu berkata,
.
إنه سيأتي ناسٌ يجادلونكم بشبهات القرآن، فخذوهم بالسنن، فإن أصحاب السنن أعلم بكتاب الله عز وجل
.
"Sungguh, kelak akan ada orang yang mendebat kalian dengan syubhat-syubhat al-Quran. Hadapilah mereka dengan as-Sunnah (al-Hadits), karena yang paling mengetahui kitab Allah 'azza wa jalla adalah orang yang memahami as-Sunnah." [Sunan ad-Darimi 1/240]
.
NB: syubhat-syubhat al-Quran: ayat-ayat al-Quran dipelintir untuk dijadikan pembenaran
.
#manhaj
NIAT YANG BAIK BUKAN INDIKATOR KEBENARAN AKIDAH
.
Kebenaran suatu akidah tidaklah diukur dari niat baik yang melandasinya, karena akidah yang benar haruslah sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah Ta'ala dan rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
.
Contoh berikut akan menjelaskan pernyataan di atas.
.
▪️ Ada dua motif yang menjadi alasan mengapa sekte Qadariyah mengingkari bahwa Allah Ta'ala yang telah menciptakan perbuatan hamba dan menampik bahwa perbuatan hamba berdasarkan kehendak Allah Ta'ala. Motif pertama, ingin menyucikan Allah Ta'ala dari sifat zalim. Mereka berpikir bagaimana bisa Allah Ta'ala menghendaki kemaksiatan yang dilakukan pendosa dan kekufuran yang dilakukan orang kafir, lalu menghukum mereka atas hal tersebut?!
.
Motif kedua, Qadariyah ingin menepis dalih yang sering dikemukakan pelaku kemaksiatan untuk membenarkan perbuatannya. Mereka bermaksiat dan tak menghindarinya karena beralasan memang sudah ditakdirkan Allah Ta'ala.
.
▪️ Salah satu tujuan sekte Murjiah generasi awal mengeluarkan amal dari penamaan iman adalah untuk memasukkan setiap ahli kiblat dalam lingkup keimanan sebagai bentuk bantahan terhadap sekte Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar.
.
▪️ Demikian pula salah satu alasan sebagian kalangan mengingkari sifat Allah Ta'ala meski telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadits shahih adalah untuk menyucikan Allah Ta'ala agar tidak serupa dengan makhluk.
.
⚠️ Hal yang patut diperhatikan adalah konsekuensi pendapat yang hak dalam permasalahan-permasalahan klasik di atas bukanlah peringatan-peringatan yang berusaha dihindari oleh sekte-sekte di atas.
.
⚠️ Demikian pula, niat yang baik tidak otomatis membenarkan suatu ucapan dan perbuatanperbuatan, karena keduanya harus selaras dengan dalil al-Quran dan as-Sunnah (al-Hadits). Dalam ash-Shahihain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
.
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
.
"Setiap orang yang berinovasi dalam perkara agama kami dengan hal yang bukan berasal darinya, maka inovasi itu tertolak."
.
Alim ulama pun membuat kesimpulan yang merupakan kandungan dalil-dalil syar'i bahwa penerimaan dan keabsahan suatu amal bergantung pada dua hal, yaitu niat yang tulus dan mengikuti tuntunan yang digariskan Allah dan petunjuk Nabi-nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, tidak hanya niat yang patut diperhatikan, tapi juga mesti selaras dengan tuntunan.
.
Oleh karena itu, setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak disyari'atkan, terjerumuslah ia ke dalam bid'ah meski niatnya tulus.
.
Niat yang tulus atau tidak ada niat untuk berbuat hal yang haram tidak lantas membolehkan apa yang dilarang oleh Allah. Dahulu, Allah melarang para Sahabat mengucapkan "ra'ina" padahal mereka tidak memiliki niatan yang buruk ketika mengucapkannya seperti yang diniatkan orang Yahudi. Demikian pula, ulama menyatakan bahwa tasyabbuh yang terlarang cukup dengan penilaian secara kasat mata tanpa perlu menilik niat pelaku, apakah dia bermaksud meniru atau tidak meniru karakteristik khusus non-muslim.
.
Wallahu ta'ala a'lam.
.
#akidah
#manhaj
.
Kebenaran suatu akidah tidaklah diukur dari niat baik yang melandasinya, karena akidah yang benar haruslah sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah Ta'ala dan rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
.
Contoh berikut akan menjelaskan pernyataan di atas.
.
▪️ Ada dua motif yang menjadi alasan mengapa sekte Qadariyah mengingkari bahwa Allah Ta'ala yang telah menciptakan perbuatan hamba dan menampik bahwa perbuatan hamba berdasarkan kehendak Allah Ta'ala. Motif pertama, ingin menyucikan Allah Ta'ala dari sifat zalim. Mereka berpikir bagaimana bisa Allah Ta'ala menghendaki kemaksiatan yang dilakukan pendosa dan kekufuran yang dilakukan orang kafir, lalu menghukum mereka atas hal tersebut?!
.
Motif kedua, Qadariyah ingin menepis dalih yang sering dikemukakan pelaku kemaksiatan untuk membenarkan perbuatannya. Mereka bermaksiat dan tak menghindarinya karena beralasan memang sudah ditakdirkan Allah Ta'ala.
.
▪️ Salah satu tujuan sekte Murjiah generasi awal mengeluarkan amal dari penamaan iman adalah untuk memasukkan setiap ahli kiblat dalam lingkup keimanan sebagai bentuk bantahan terhadap sekte Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar.
.
▪️ Demikian pula salah satu alasan sebagian kalangan mengingkari sifat Allah Ta'ala meski telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadits shahih adalah untuk menyucikan Allah Ta'ala agar tidak serupa dengan makhluk.
.
⚠️ Hal yang patut diperhatikan adalah konsekuensi pendapat yang hak dalam permasalahan-permasalahan klasik di atas bukanlah peringatan-peringatan yang berusaha dihindari oleh sekte-sekte di atas.
.
⚠️ Demikian pula, niat yang baik tidak otomatis membenarkan suatu ucapan dan perbuatanperbuatan, karena keduanya harus selaras dengan dalil al-Quran dan as-Sunnah (al-Hadits). Dalam ash-Shahihain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
.
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
.
"Setiap orang yang berinovasi dalam perkara agama kami dengan hal yang bukan berasal darinya, maka inovasi itu tertolak."
.
Alim ulama pun membuat kesimpulan yang merupakan kandungan dalil-dalil syar'i bahwa penerimaan dan keabsahan suatu amal bergantung pada dua hal, yaitu niat yang tulus dan mengikuti tuntunan yang digariskan Allah dan petunjuk Nabi-nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, tidak hanya niat yang patut diperhatikan, tapi juga mesti selaras dengan tuntunan.
.
Oleh karena itu, setiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak disyari'atkan, terjerumuslah ia ke dalam bid'ah meski niatnya tulus.
.
Niat yang tulus atau tidak ada niat untuk berbuat hal yang haram tidak lantas membolehkan apa yang dilarang oleh Allah. Dahulu, Allah melarang para Sahabat mengucapkan "ra'ina" padahal mereka tidak memiliki niatan yang buruk ketika mengucapkannya seperti yang diniatkan orang Yahudi. Demikian pula, ulama menyatakan bahwa tasyabbuh yang terlarang cukup dengan penilaian secara kasat mata tanpa perlu menilik niat pelaku, apakah dia bermaksud meniru atau tidak meniru karakteristik khusus non-muslim.
.
Wallahu ta'ala a'lam.
.
#akidah
#manhaj
PERBEDAAN ANTARA NAMA ALLAH “AL-GHAFUR” DAN “AT-TAWWAB”
.
Sekte Wa’idiyah yang mencakup Khawarij dan Mu’tazilah tidak membedakan antara kedua nama Allah ini. Mereka menyatukan keterkaitan antara keduanya, sehingga ampunan (maghfirah) hanya akan diberikan kepada orang yang bertaubat. Oleh karena itulah mereka menyatakan bahwa ampunan yang dinyatakan dalam firman Allah ta’ala di surat an-Nisa ayat 48 diperuntukkan bagi orang yang bertaubat. Pandangan ini terbangun di atas prinsip mereka yang keliru bahwa setiap orang yang meninggal dalam kondisi berdosa tanpa sempat bertaubat tidak akan memperoleh ampunan, bahkan ia kekal di dalam neraka.
.
Adapun ahli sunnah membedakan antara kedua nama Allah tersebut.
.
Mereka menjadikan cakupan nama Allah, al-Ghafur, meliputi dosa-dosa hamba yang belum ditaubati, yang derajatnya di bawah kesyirikan. Oleh karena itu, ahli sunnah menyatakan bahwa pendosa yang meninggal tanpa sempat bertaubat berada di bawah kehendak Allah selama dosa yang dilakukan bukan kesyirikan.
Apabila Allah ta’ala mengampuni pendosa yang belum bertaubat, maka pastilah telah ditakdirkan bahwa Dia juga mengampuni pendosa yang bertaubat. Hal ini dikarenakan salah satu syarat taubat diterima adalah diampuni. Allah ta’ala berfirman,
.
وَإِنِّى لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا ثُمَّ ٱهْتَدَىٰ
.
“Dan sesungguhnya Aku Mahapengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” [Thaha: 82]
.
Berbeda dengan nama sebelumnya, nama Allah, at-Tawwab, mencakup dosa-dosa yang telah ditaubati termasuk syirik. Inilah pendapat ahli sunnah yang didukung oleh al-Quran. Allah ta’ala membedakan antara ampunan-Nya terhadap dosa dan penerimaan taubat-Nya bagi orang yang bertaubat. Allah ta’ala berfirman,
.
غَافِرِ ٱلذَّنبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ
.
“(Dia-lah Allah) yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” [al-Mukmin: 3]
Maka, penerimaan taubat dari Allah mencakup seluruh dosa, dengan catatan telah ditaubati. Adapun, ampunan (maghfirah) tidak mencakup seluruh dosa, tapi hanya mencakup dosa yang derajatnya di bawah kesyirikan. Oleh karena itu, Allah tidak akan mengampuni dosa pelaku kesyirikan selama ia belum bertaubat seperti yang difirmankan-Nya,
.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ
.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang derajatnya di bawah kesyirikan itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.: [an-Nisa: 48]
.
Terkait firman Allah di surat al-Mukmin ayat 3 di atas, diriwayatkan dari al-Hasan rahimahullah bahwa beliau menuturkan,
.
غافر الذنب لمن لم يتب، وقابل التوب ممن تاب
.
“Dia-lah Allah yang mengampuni dosa orang yang belum bertaubat dan menerima taubat orang yang telah bertaubat.” [al-‘Uzhmah 2/524 karya Abu asy-Syaikh]
.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyampaikan,
.
"﴿غافر الذنب﴾ للمذنبين ﴿وقابل التوب﴾ من التائبين، ﴿شديد العقاب﴾ على من تجرأ على الذنوب ولم يتب منها
.
“Dia adalah yang mengampuni dosa para pendosa, yang menerima taubat para pentaubat, dan yang keras siksa-Nya bagi orang yang berani melakukan dosa dan tak mau bertaubat.” [Taisir Karim ar-Rahman, diakses di http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/saadi/sura40-aya3.html]
.
Kesimpulannya, keterkaitan nama Allah, al-Ghafur, tidak khusus pada orang yang telah bertaubat semata sebagaimana pendapat sekte Wa’idiyah; bahkan turut mencakup pendosa yang belum bertaubat selama dosa yang dilakukan derajatnya di bawah kesyirikan.
.
Wallahu a’lam.
.
Silakan disebarluaskan.
.
#akidah #manhaj
.
Sekte Wa’idiyah yang mencakup Khawarij dan Mu’tazilah tidak membedakan antara kedua nama Allah ini. Mereka menyatukan keterkaitan antara keduanya, sehingga ampunan (maghfirah) hanya akan diberikan kepada orang yang bertaubat. Oleh karena itulah mereka menyatakan bahwa ampunan yang dinyatakan dalam firman Allah ta’ala di surat an-Nisa ayat 48 diperuntukkan bagi orang yang bertaubat. Pandangan ini terbangun di atas prinsip mereka yang keliru bahwa setiap orang yang meninggal dalam kondisi berdosa tanpa sempat bertaubat tidak akan memperoleh ampunan, bahkan ia kekal di dalam neraka.
.
Adapun ahli sunnah membedakan antara kedua nama Allah tersebut.
.
Mereka menjadikan cakupan nama Allah, al-Ghafur, meliputi dosa-dosa hamba yang belum ditaubati, yang derajatnya di bawah kesyirikan. Oleh karena itu, ahli sunnah menyatakan bahwa pendosa yang meninggal tanpa sempat bertaubat berada di bawah kehendak Allah selama dosa yang dilakukan bukan kesyirikan.
Apabila Allah ta’ala mengampuni pendosa yang belum bertaubat, maka pastilah telah ditakdirkan bahwa Dia juga mengampuni pendosa yang bertaubat. Hal ini dikarenakan salah satu syarat taubat diterima adalah diampuni. Allah ta’ala berfirman,
.
وَإِنِّى لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا ثُمَّ ٱهْتَدَىٰ
.
“Dan sesungguhnya Aku Mahapengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” [Thaha: 82]
.
Berbeda dengan nama sebelumnya, nama Allah, at-Tawwab, mencakup dosa-dosa yang telah ditaubati termasuk syirik. Inilah pendapat ahli sunnah yang didukung oleh al-Quran. Allah ta’ala membedakan antara ampunan-Nya terhadap dosa dan penerimaan taubat-Nya bagi orang yang bertaubat. Allah ta’ala berfirman,
.
غَافِرِ ٱلذَّنبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ
.
“(Dia-lah Allah) yang mengampuni dosa dan menerima taubat.” [al-Mukmin: 3]
Maka, penerimaan taubat dari Allah mencakup seluruh dosa, dengan catatan telah ditaubati. Adapun, ampunan (maghfirah) tidak mencakup seluruh dosa, tapi hanya mencakup dosa yang derajatnya di bawah kesyirikan. Oleh karena itu, Allah tidak akan mengampuni dosa pelaku kesyirikan selama ia belum bertaubat seperti yang difirmankan-Nya,
.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ
.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang derajatnya di bawah kesyirikan itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.: [an-Nisa: 48]
.
Terkait firman Allah di surat al-Mukmin ayat 3 di atas, diriwayatkan dari al-Hasan rahimahullah bahwa beliau menuturkan,
.
غافر الذنب لمن لم يتب، وقابل التوب ممن تاب
.
“Dia-lah Allah yang mengampuni dosa orang yang belum bertaubat dan menerima taubat orang yang telah bertaubat.” [al-‘Uzhmah 2/524 karya Abu asy-Syaikh]
.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyampaikan,
.
"﴿غافر الذنب﴾ للمذنبين ﴿وقابل التوب﴾ من التائبين، ﴿شديد العقاب﴾ على من تجرأ على الذنوب ولم يتب منها
.
“Dia adalah yang mengampuni dosa para pendosa, yang menerima taubat para pentaubat, dan yang keras siksa-Nya bagi orang yang berani melakukan dosa dan tak mau bertaubat.” [Taisir Karim ar-Rahman, diakses di http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/saadi/sura40-aya3.html]
.
Kesimpulannya, keterkaitan nama Allah, al-Ghafur, tidak khusus pada orang yang telah bertaubat semata sebagaimana pendapat sekte Wa’idiyah; bahkan turut mencakup pendosa yang belum bertaubat selama dosa yang dilakukan derajatnya di bawah kesyirikan.
.
Wallahu a’lam.
.
Silakan disebarluaskan.
.
#akidah #manhaj
KETIKA HUKUM SYARI'AT TERASA TAK ADIL
.
Salah satu hal yang mengkhawatirkan adalah penentangan sebagian masyarakat terhadap sejumlah hukum syari’at karena menilai hukum itu tidak sejalan dengan sifat kasih sayang, keadilan, dan hikmah Allah ta’ala.
.
Penentangan tersebut merupakan hal yang berbahaya karena:
.
1⃣ Penilaian tersebut berasal dari sudut pandang yang sempit dan sejalan dengan hawa nafsu. Penilaian yang hanya berangkat dari satu sudut pandang.
.
Hal ini seperti orang yang menentang pengguguran hak asuh anak dari ibu ketika ia telah menikah kembali, karena beralasan ketentuan itu tidak sejalan dengan rahmat Allah.
.
Pandangan tersebut hanya ditinjau dari satu sudut pandang, yaitu hati ibu yang terluka karena kehilangan hak asuh anaknya. Padahal jika melihat dari berbagai sudut pandang, justru rahmat dan keadilan Allah akan nampak nyata dalam ketentuan tersebut.
.
Ketentuan hukum itu mencakup kepentingan anak, ayah, ibu, dan suami ibu. Setelah ibu menikah, maka pihak pria lebih bertanggung jawab untuk menangani kepentingan anak daripada pihak wanita. Itulah mengapa dalam hal ini hal yang lebih sesuai adalah hak asuh anak diserahkan kepada ayahnya.
.
Selain itu, setelah menikah, ibu kerap disibukkan dengan hak suami yang wajib ditunaikan, sehingga lebih tepat untuk melepaskan hak asuh. Demikian juga agar anak tidak menderita kerugian dari ayah tiri, maka hal yang lebih rahmat bagi suami dan anak adalah menggugurkan hak asuh dari ibu.
.
Menggugurkan hak asuh ibu setelah menikah mengandung maslahat bagi anak, suami, dan ibu; yang semua itu merupakan wujud rahmat dan hikmah Allah ta’ala.
.
2⃣ Penentangan tersebut berasal dari analogi yang tak setara, yaitu sifat rahmat, keadilan, dan hikmah yang dimiliki Allah dan mahkluk. Analogi ini keliru. Sifat rahmat (kasih sayang) Allah lebih tinggi dan wujudnya lebih agung daripada yang dimiliki makhluk. Terkadang pengaruh sifat rahmat-Nya tersembunyi dan tidak dapat dijangkau oleh hamba secara keilmuan. Hal yang sama berlaku pada sifat keadilan dan hikmah-Nya.
.
Kesimpulannya, setiap muslim berkewajiban menerima segala hukum syari’at dengan segenap hati. Ketika hamba merasa berat terhadap hukum Allah, hendaknya sikap pertama yang dilakukan adalah mengoreksi sudut pandangnya terlebih dahulu; bukan malah menyalahkan hukum syari'at. Tak seorang pun yang mampu menjangkau kandungan sifat Allah secara utuh; serta mengetahui hikmah-Nya secara terperinci yang terkandung dalam ketentuan yang ditetapkan-Nya.
.
Sumber: https://t.me/dr_alnjjar/779
.
#manhaj #akidah
.
Salah satu hal yang mengkhawatirkan adalah penentangan sebagian masyarakat terhadap sejumlah hukum syari’at karena menilai hukum itu tidak sejalan dengan sifat kasih sayang, keadilan, dan hikmah Allah ta’ala.
.
Penentangan tersebut merupakan hal yang berbahaya karena:
.
1⃣ Penilaian tersebut berasal dari sudut pandang yang sempit dan sejalan dengan hawa nafsu. Penilaian yang hanya berangkat dari satu sudut pandang.
.
Hal ini seperti orang yang menentang pengguguran hak asuh anak dari ibu ketika ia telah menikah kembali, karena beralasan ketentuan itu tidak sejalan dengan rahmat Allah.
.
Pandangan tersebut hanya ditinjau dari satu sudut pandang, yaitu hati ibu yang terluka karena kehilangan hak asuh anaknya. Padahal jika melihat dari berbagai sudut pandang, justru rahmat dan keadilan Allah akan nampak nyata dalam ketentuan tersebut.
.
Ketentuan hukum itu mencakup kepentingan anak, ayah, ibu, dan suami ibu. Setelah ibu menikah, maka pihak pria lebih bertanggung jawab untuk menangani kepentingan anak daripada pihak wanita. Itulah mengapa dalam hal ini hal yang lebih sesuai adalah hak asuh anak diserahkan kepada ayahnya.
.
Selain itu, setelah menikah, ibu kerap disibukkan dengan hak suami yang wajib ditunaikan, sehingga lebih tepat untuk melepaskan hak asuh. Demikian juga agar anak tidak menderita kerugian dari ayah tiri, maka hal yang lebih rahmat bagi suami dan anak adalah menggugurkan hak asuh dari ibu.
.
Menggugurkan hak asuh ibu setelah menikah mengandung maslahat bagi anak, suami, dan ibu; yang semua itu merupakan wujud rahmat dan hikmah Allah ta’ala.
.
2⃣ Penentangan tersebut berasal dari analogi yang tak setara, yaitu sifat rahmat, keadilan, dan hikmah yang dimiliki Allah dan mahkluk. Analogi ini keliru. Sifat rahmat (kasih sayang) Allah lebih tinggi dan wujudnya lebih agung daripada yang dimiliki makhluk. Terkadang pengaruh sifat rahmat-Nya tersembunyi dan tidak dapat dijangkau oleh hamba secara keilmuan. Hal yang sama berlaku pada sifat keadilan dan hikmah-Nya.
.
Kesimpulannya, setiap muslim berkewajiban menerima segala hukum syari’at dengan segenap hati. Ketika hamba merasa berat terhadap hukum Allah, hendaknya sikap pertama yang dilakukan adalah mengoreksi sudut pandangnya terlebih dahulu; bukan malah menyalahkan hukum syari'at. Tak seorang pun yang mampu menjangkau kandungan sifat Allah secara utuh; serta mengetahui hikmah-Nya secara terperinci yang terkandung dalam ketentuan yang ditetapkan-Nya.
.
Sumber: https://t.me/dr_alnjjar/779
.
#manhaj #akidah
2 HAL AGAR IBADAHMU BERMANFAAT
.
Jika ingin ketaatan dan ibadah yang memberikan manfaat; memberikan pengaruh dan cahaya; serta menghantarkan pada posisi yang tinggi dalam keimanan dan petunjuk; maka Anda harus melakukan dua hal, yaitu:
.
Pertama
Memperhatikan kesehatan dan keselamatan hati dari berbagai penyakit dan tipu daya. Penyakit dan tipu daya hati akan mengurangi manfaat ibadah dan mengganggu perjalanan hati menuju Allah Ta'ala. Ibnu al-Jauzi mengatakan,
.
إنَّما تنفع العبادة وتظهر آثارها وتَبينُ لذَّاتها مع إصلاح أمراض القلب". التبصرة (٢/٢٠٨).
.
"Ibadah hanya bisa bermanfaat, nampak pengaruhnya, dan terasa kelezatannya ketika ada upaya untuk memperbaiki penyakit di dalam hati." [at-Tabshirah 208]
.
Kedua
Berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mempraktikkan ibadah sesuai dengan hang diperintahkan berdasarkan tata cara yang tepat. al-Izz ibn Abdissalam menyatakan,
.
ما من طاعة يأتي بها الطالبُ على وجهها إلا أحدثت في قلبه نوراً، وكلَّما كَثُرت الطاعات تراكمت الأنوار ، حتى يصير المطيعُ إلى درجات العارفين
.
"Setiap ketaatan yang dilaksanakan dengan praktik yang tepat akan memunculkan cahaya pada hati pelakunya. Setiap kali ketaatan itu bertambah maka cahaya itu pun berakumulasi, sehingga pelakunya mencapai derajat 'arif." [al-Qawa'id al-Kubra 1/25]
.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menuturkan,
.
المسلم الصادق إذا عبد الله بما شرع؛ فتح الله عليه أنوار الهداية في مدة قريبة
.
"Jika seorang muslim yang tulus (ikhlas) beribadah kepada Allah dengan tata cara yang disyari'atkan, niscaya Allah akan segera menganugerahinya dengan berbagai cahaya petunjuk." [al-Istiqamah 1/100]
.
#manhaj
.
Jika ingin ketaatan dan ibadah yang memberikan manfaat; memberikan pengaruh dan cahaya; serta menghantarkan pada posisi yang tinggi dalam keimanan dan petunjuk; maka Anda harus melakukan dua hal, yaitu:
.
Pertama
Memperhatikan kesehatan dan keselamatan hati dari berbagai penyakit dan tipu daya. Penyakit dan tipu daya hati akan mengurangi manfaat ibadah dan mengganggu perjalanan hati menuju Allah Ta'ala. Ibnu al-Jauzi mengatakan,
.
إنَّما تنفع العبادة وتظهر آثارها وتَبينُ لذَّاتها مع إصلاح أمراض القلب". التبصرة (٢/٢٠٨).
.
"Ibadah hanya bisa bermanfaat, nampak pengaruhnya, dan terasa kelezatannya ketika ada upaya untuk memperbaiki penyakit di dalam hati." [at-Tabshirah 208]
.
Kedua
Berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mempraktikkan ibadah sesuai dengan hang diperintahkan berdasarkan tata cara yang tepat. al-Izz ibn Abdissalam menyatakan,
.
ما من طاعة يأتي بها الطالبُ على وجهها إلا أحدثت في قلبه نوراً، وكلَّما كَثُرت الطاعات تراكمت الأنوار ، حتى يصير المطيعُ إلى درجات العارفين
.
"Setiap ketaatan yang dilaksanakan dengan praktik yang tepat akan memunculkan cahaya pada hati pelakunya. Setiap kali ketaatan itu bertambah maka cahaya itu pun berakumulasi, sehingga pelakunya mencapai derajat 'arif." [al-Qawa'id al-Kubra 1/25]
.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menuturkan,
.
المسلم الصادق إذا عبد الله بما شرع؛ فتح الله عليه أنوار الهداية في مدة قريبة
.
"Jika seorang muslim yang tulus (ikhlas) beribadah kepada Allah dengan tata cara yang disyari'atkan, niscaya Allah akan segera menganugerahinya dengan berbagai cahaya petunjuk." [al-Istiqamah 1/100]
.
#manhaj
MENGGALI HUKUM TANPA MENGIKUTI PEMAHAMAN ULAMA
.
Salah satu problem yang kerap terjadi dalam topik ini adalah kekeliruan dalam memahami hadits puasa Asyura berikut.
.
Sebagian orang menyebarkan riwayat yang diklaim tercantum dalam Sunan Abu Dawud, dari Abu Qatadah, beliau menuturkan bahwa seorang sahabat bertanya pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bertanya,
.
يا رسول الله أرأيت رجلاً يصوم يوم عاشوراء؟
.
"Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu perihal seorang yang berpuasa Asyura?"
.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
.
ذاك صوم سنة
.
"Itulah puasa setahun." [HR. Ibnu Hibban. Dinilai shahih oleh al-Albani dan Syu'aib al-Arnauth]
.
Berdasarkan hadits ini sebagian orang berkesimpulan bahwa pahala puasa Asyura setara dengan pahala puasa selama setahun.
.
Apakah kesimpulan ini benar demikian?
.
Pertama
Hadits dengan redaksi di atas tidaklah tercantum pada Sunan Abu Dawud, tapi tercantum pada Shahih Ibnu Hibban.
.
Kedua
Kesimpulan hukum terhadap hadits disampaikan di atas tidak pernah diucapkan oleh ulama, sependek pengetahuan kami. Bahkan Ibnu Hibban sendiri yang meriwayatkan redaksi tersebut menyatakan,
.
ذكر مغفرة الله جل وعلا للمسلم ذنوب سنة بصيام يوم عاشوراء وتفضله جل وعلا عليه بمغفرة ذنوب سنتين بصيام يوم عرفة
.
"Penyebutan ampunan Allah jalla wa 'alaa atas dosa setahun bagi setiap muslim yang berpuasa Asyura serta karunia-Nya dengan memberikan ampunan dosa dua tahun dengan berpuasa Arafah."
.
Artinya, makna redaksi hadits di atas adalah puasa Asyura mampu menggugurkan dosa setahun. Maknanya bukan berarti pahala puasa Asyura setara dengan puasa setahun. Itulah yang dipahami oleh imam Ibnu Hibban terhadap redaksi hadits di atas. Beliau tentu lebih mengetahui perihal redaksi dan jalur periwayatan hadits tersebut yang mampu membantu beliau memahami secara tepat.
.
Itulah yang juga dipahami oleh para imam yang membahas keutamaan-keutamaan puasa hari Asyura. Itupun jika memang redaksi Ibnu Hibban di atas valid, mengingat redaksi yang valid dalam Shahih Muslim tercantum dengan redaksi,
.
أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله
.
"Dan puasa hari Asyura saya berharap kepada Allah dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” [HR. Muslim]
.
Kesimpulan
Tidaklah tepat menggali faidah dari suatu hadits dengan semata-mata memperhatikan teks. Bahkan, hal yang wajib dilakukan adalah mempertimbangkan pemahaman ulama terhadap hadits tersebut.
.
Dr. Ahmad ibn Muhammad al-Khalil
(https://t.me/alkhalil_1/2674)
.
#manhaj
.
Salah satu problem yang kerap terjadi dalam topik ini adalah kekeliruan dalam memahami hadits puasa Asyura berikut.
.
Sebagian orang menyebarkan riwayat yang diklaim tercantum dalam Sunan Abu Dawud, dari Abu Qatadah, beliau menuturkan bahwa seorang sahabat bertanya pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bertanya,
.
يا رسول الله أرأيت رجلاً يصوم يوم عاشوراء؟
.
"Wahai Rasulullah, bagaimana pandanganmu perihal seorang yang berpuasa Asyura?"
.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
.
ذاك صوم سنة
.
"Itulah puasa setahun." [HR. Ibnu Hibban. Dinilai shahih oleh al-Albani dan Syu'aib al-Arnauth]
.
Berdasarkan hadits ini sebagian orang berkesimpulan bahwa pahala puasa Asyura setara dengan pahala puasa selama setahun.
.
Apakah kesimpulan ini benar demikian?
.
Pertama
Hadits dengan redaksi di atas tidaklah tercantum pada Sunan Abu Dawud, tapi tercantum pada Shahih Ibnu Hibban.
.
Kedua
Kesimpulan hukum terhadap hadits disampaikan di atas tidak pernah diucapkan oleh ulama, sependek pengetahuan kami. Bahkan Ibnu Hibban sendiri yang meriwayatkan redaksi tersebut menyatakan,
.
ذكر مغفرة الله جل وعلا للمسلم ذنوب سنة بصيام يوم عاشوراء وتفضله جل وعلا عليه بمغفرة ذنوب سنتين بصيام يوم عرفة
.
"Penyebutan ampunan Allah jalla wa 'alaa atas dosa setahun bagi setiap muslim yang berpuasa Asyura serta karunia-Nya dengan memberikan ampunan dosa dua tahun dengan berpuasa Arafah."
.
Artinya, makna redaksi hadits di atas adalah puasa Asyura mampu menggugurkan dosa setahun. Maknanya bukan berarti pahala puasa Asyura setara dengan puasa setahun. Itulah yang dipahami oleh imam Ibnu Hibban terhadap redaksi hadits di atas. Beliau tentu lebih mengetahui perihal redaksi dan jalur periwayatan hadits tersebut yang mampu membantu beliau memahami secara tepat.
.
Itulah yang juga dipahami oleh para imam yang membahas keutamaan-keutamaan puasa hari Asyura. Itupun jika memang redaksi Ibnu Hibban di atas valid, mengingat redaksi yang valid dalam Shahih Muslim tercantum dengan redaksi,
.
أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله
.
"Dan puasa hari Asyura saya berharap kepada Allah dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” [HR. Muslim]
.
Kesimpulan
Tidaklah tepat menggali faidah dari suatu hadits dengan semata-mata memperhatikan teks. Bahkan, hal yang wajib dilakukan adalah mempertimbangkan pemahaman ulama terhadap hadits tersebut.
.
Dr. Ahmad ibn Muhammad al-Khalil
(https://t.me/alkhalil_1/2674)
.
#manhaj
PENAMBAHAN DALAM IBADAH TIDAK MELAZIMKAN ADANYA KEUTAMAAN YANG LEBIH
.
Penambahan dalam ibadah, baik jumlah ataupun tatacara, tidak melazimkan adanya keutamaan yang lebih dibandingkan ibadah lain yang secara kuantitas lebih sedikit. Menyatakan suatu ibadah lebih utama dibandingkan ibadah lain merupakan hukum syar'i yang membutuhkan dalil. Itulah mengapa berpuasa sehari dan berbuka sehari lebih utama daripada berpuasa setiap hari. Demikian pula, melakukan praktik qiyamullail Dawud 'alaihi as-salam lebih utama daripada melakukan qiyamullail di sepanjang malam.
.
Dari hadits Abdullah ibn Amr radhiallahu 'anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
.
أحَبُّ الصِّيامِ إلى اللَّهِ صِيامُ داوُدَ كانَ يَصُومُ يَوْمًا ويُفْطِرُ يَوْمًا، وأحَبُّ الصَّلاةِ إلى اللَّهِ صَلاةُ داوُدَ كانَ يَنامُ نِصْفَ اللَّيْلِ ويَقُومُ ثُلُثَهُ ويَنامُ سُدُسَهُ
.
"Puasa yang paling disukai di sisi Allah adalah puasa Dawud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Dawud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam malam terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari.” [HR. al-Bukhari]
.
Dalam redaksi Muslim, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada Abdullah ibn Amr radhiallahu 'anhuma,
.
صُمْ يَوْمًا وأفْطِرْ يَوْمًا، وذَلِكَ صِيامُ داوُدَ عَلَيْهِ السَّلام، وهُوَ أعْدَلُ الصِّيامِ) قالَ قُلْتُ: فَإنِّي أُطِيقُ أفْضَلَ مِن ذَلِكَ، قالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ (لا أفْضَلَ مِن ذَلِكَ
.
“Kalau begitu, berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari. Itu adalah puasa Nabi Dawud ‘alaihis-salam. Itu adalah puasa yang paling adil”. Aku (Abdullah ibn Amr) berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu”. Beliau bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih baik dari itu.” [HR. Muslim]
.
Bahkan penambahan dalam ibadah, baik dari segi jumlah maupun tata cara, terkadang bisa menggeser ibadah itu ke wilayah bid'ah, karena syarat peribadatan bisa diterima adalah adanya nash (dalil) yang mencontohkan ibadah itu.
.
Sumber: Zaad al-Ma'ad 2/76, 78
.
#manhaj
.
t.me/belajartauhidofficial
.
Penambahan dalam ibadah, baik jumlah ataupun tatacara, tidak melazimkan adanya keutamaan yang lebih dibandingkan ibadah lain yang secara kuantitas lebih sedikit. Menyatakan suatu ibadah lebih utama dibandingkan ibadah lain merupakan hukum syar'i yang membutuhkan dalil. Itulah mengapa berpuasa sehari dan berbuka sehari lebih utama daripada berpuasa setiap hari. Demikian pula, melakukan praktik qiyamullail Dawud 'alaihi as-salam lebih utama daripada melakukan qiyamullail di sepanjang malam.
.
Dari hadits Abdullah ibn Amr radhiallahu 'anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
.
أحَبُّ الصِّيامِ إلى اللَّهِ صِيامُ داوُدَ كانَ يَصُومُ يَوْمًا ويُفْطِرُ يَوْمًا، وأحَبُّ الصَّلاةِ إلى اللَّهِ صَلاةُ داوُدَ كانَ يَنامُ نِصْفَ اللَّيْلِ ويَقُومُ ثُلُثَهُ ويَنامُ سُدُسَهُ
.
"Puasa yang paling disukai di sisi Allah adalah puasa Dawud, dan shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Dawud. Beliau biasa tidur di pertengahan malam dan bangun pada sepertiga malam terakhir dan beliau tidur lagi pada seperenam malam terakhir. Sedangkan beliau biasa berpuasa sehari dan berbuka sehari.” [HR. al-Bukhari]
.
Dalam redaksi Muslim, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada Abdullah ibn Amr radhiallahu 'anhuma,
.
صُمْ يَوْمًا وأفْطِرْ يَوْمًا، وذَلِكَ صِيامُ داوُدَ عَلَيْهِ السَّلام، وهُوَ أعْدَلُ الصِّيامِ) قالَ قُلْتُ: فَإنِّي أُطِيقُ أفْضَلَ مِن ذَلِكَ، قالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ (لا أفْضَلَ مِن ذَلِكَ
.
“Kalau begitu, berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari. Itu adalah puasa Nabi Dawud ‘alaihis-salam. Itu adalah puasa yang paling adil”. Aku (Abdullah ibn Amr) berkata, “Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu”. Beliau bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih baik dari itu.” [HR. Muslim]
.
Bahkan penambahan dalam ibadah, baik dari segi jumlah maupun tata cara, terkadang bisa menggeser ibadah itu ke wilayah bid'ah, karena syarat peribadatan bisa diterima adalah adanya nash (dalil) yang mencontohkan ibadah itu.
.
Sumber: Zaad al-Ma'ad 2/76, 78
.
#manhaj
.
t.me/belajartauhidofficial