Ittiba' Sunnah
1.95K subscribers
4.76K photos
1.18K videos
77 files
7.38K links
Nerakamu memang bukan urusanku&surgapun belum tentu jdi milikku.Tapi mengajakmu dlm kebaikan adlh kewajibanku
Allah ta'ala berfirman,
فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Maka ketahuilah kewajiban yg dibebankan atasmu hanyalah menyampaikan dg terang
Download Telegram
Bismillah...

🔰 RUSAKNYA AQIDAH UMAT YANG DISEBABKAN KESYIRIKAN PADA JIMAT DAN RAJAH

https://t.me/Sunnah_ittiba

Mengenal Tamimah

Tamimah pada asalnya digunakan untuk mencegah ‘ain, yaitu pandangan dari mata hasad (dengki). Dengan pandangan yang hasad, seorang anak bisa menangis terus menerus, atau lumpuh atau terkena penyakit. Untuk melindungi anak kecil dari penyakit ‘ain ini, di masa silam –zaman Jahiliyah- digunakanlah tamimah, yang bentuk pluralnya tamaa-im. Ketika Islam datang, tamimah atau jimat semacam ini dihapus (Lihat Fathul Majid, 131).

Namun tamimah beralih digunakan lebih umum yaitu pada segala sesuatu yang digantung untuk mencegah ‘ain atau lainnya, baik berupa gelang, kalung, benang, atau ikatan. Ini semua disebut tamimah. Nah, kalau di sekitar kita, jimat dan rajah dengan berbagai macam bentuknya dengan berbagai macam penggunaan, itulah yang termasuk dalam tamimah.

Di sekeliling kita, tamimah dapat berupa keris untuk melindungi rumah misalnya, berupa benang pawitra untuk melindungi anak agar tidak terkena bahaya, dan berupa tulisan rajah yang dipasang di atas pintu masuk warung untuk melariskan dagangan.

Berikut contoh-contoh jimat dan rajah yang kami peroleh. Kadang jimat ini menjadi sarangnya jin, namun masih disimpan di rumah-rumah sebagai benda pusaka dan tujuan lainnya.

Publication_Jimat_dan_Rajah
Dalil Larangan Jimat dan Rajah

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar: 38)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah –penulis Fathul Majid- berkata, “Ayat ini dan semisalnya adalah dalil yang menunjukkan tidak bolehnya menggantungkan hati kepada selain Allah ketika ingin meraih manfaat atau menolak bahaya. Ketergantungan hati kepada selain Allah dalam hal itu termasuk kesyirikan“ (Fathul Majid, 127-128).

Jimat dan rajah termasuk yang dimaksudkan dalam ayat yang mulia ini. Karena orang yang memakai jimat dan memasang rajah di dinding dan tempat lainnya, bermaksud untuk mendatangkan manfaat –seperti dagangannya laris atau agar penyakitnya sembuh- atau ingin menolak mudhorot (bahaya) –seperti menolak ‘ain (mata dengki) atau menolak wabah penyakit-.

Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531).
Al Hakim mengatakan, “Kebanyakan guru kami berpendapat bahwa Hasan Al Bashri mendengar hadits ini langsung dari ‘Imron (Lihat Fathul Majid, 128). Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz termasuk ulama yang menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid, artinya tidak bermasalah (Fatawa Nur ‘ala Darb, 1: 383). Ulama lain mengatakan bahwa Al Hasan Al Bashri tidak mendengar hadits ini langsung dari ‘Imron, sehingga sanad hadits ini inqitho’ (terputus). Inilah pendapat Ibnu Ma’in, Ibnu Abi Hatim dan Ahmad. Oleh karenanya, hadits ini lemah, walaupun maknanya shahih (Lihat Syarh Kitabit Tauhid, 54). Yang mendho’ifkan hadits ini adalah Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad dan Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1029.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

“Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).

Dalam riwayat lain disebutkan,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).

Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di mana ia pernah melihat seseorang memakai benang untuk mencegah demam, kemudian ia memotongnya. Lantas Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)

Begitu pula Waki’ pernah meriwayatkan dari Hudzaifah. Beliau pernah mengunjungi orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan atas orang sakit tersebut dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa menjagaku dari rasa sakit tersebut”, jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun memotong benang tadi. Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam keadaan engkau masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu” (Fathul Majid, 132).

Lihatlah bagaimana sikap keras para sahabat bagi orang yang mengenakan jimat untuk melindungi dirinya dari sakit, dalam rangka meraih maslahat. Jimat tersebut sampai dipotong, walau tidak diizinikan. Dalam penjelesan di atas menunjukkan bahwa seseorang bisa berdalil dengan ayat yang menjelaskan tentang syirik akbar (besar) untuk maksud menjelaskan syirik ashgor (kecil) karena kedua-duanya sama-sama syirik (Lihat Fathul Majid, 132).

Jimat Benarkah Sebab yang Dibolehkan?

Orang yang memakai jimat jelas telah terjerumus dalam kesyirikan walau ia menyatakan bahwa jimat atau rajah hanyalah sebagai perantara atau sebab saja. Ia jelas keliru karena mengambil sebab yang tidak diperkenankan dan tidak terbukti secara syar’i dituntunkan atau secara eksperimen ilmiah benar-benar terbukti ampuhnya.

Berbeda halnya jika kita sakit, lalu kita meminum obat. Obat ini sudah terbukti secara eksperimen akan keampuhannya. Hal ini jauh berbeda dengan jimat dan rajah. Masa’ dengan memasang rambut dan tulang, bisa langsung menangkal musibah? Apa buktinya? Apa sudah pernah diuji kelayakannya di laboratorium atau lewat berbagai eksperimen? Itulah mengapa memakai jimat sebagai perantara atau sebab semata, sedangkan yakin Allah yang beri maslahat dan menolak mudhorot (bahaya) tetap masuk dalam kategori syirik. Lihat saja contoh-contoh yang dikisahkan dalam beberapa hadits di atas yang menjadikan benang, ikatan atau gelang supaya terhindar dari penyakit atau ‘ain.
Itu pun tetap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang dan menyuruh disingkirkan atau dibuang. Demikian halnya perlakuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam nantinya pada jimat penglaris dagang, jimat penolak ‘ain, jimat benang yang dikenal di kalangan orang jawa dengan ‘benang pawitra’ (untuk melindungi anak dari bahaya), semua akan diperintahkan untuk dibuang dan disingkirkan karena yang memakainya bermaksud mengambil sebab sebagai perantara padahal tidak terbukti secara syar’i, juga tidak terbukti secara eksperimen ilmiah.

Jadi intinya di sini dalam mengambil sebab untuk meraih manfaat atau menolak mudhorot (bahaya) harus memenuhi dua syarat:

Sebab tersebut terbukti secara syar’i, ditunjukkan dalam dalil atau terbukti lewat eksperimen ilmiah.
Ketergantungan hati hanyalah pada Allah, bukan pada sebab. Semisal orang yang mengambil sebab untuk sembuhnya penyakit dengan meminum obat, maka hatinya harus bergantung pada Allah, bukan pada obat, bukan pula pada ‘Pak Dokter’.
Harus yakin bahwa ampuhnya suatu sebab adalah dengan takdir atau ketentuan Allah. (Faedah dari guru kami –Ustadz Abu Isa hafizhohullah– dalam kajian Kitab Tauhid)
Apakah Memakai Jimat Termasuk Syirik?

Memakai jimat memang termasuk kesyirikan, namun apakah termasuk syirik akbar ataukah syirik ashgor? Di sini para ulama memberikan rincian sebagai berikut:

Jika yakin bahwa tamimah atau jimat bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (mudhorot), maka ini termasuk syirik akbar. Karena yang mendatangkan manfaat dan bisa menolak bahaya hanyalah Allah, bukanlah jimat.
Jika yakin bahwa jimat hanyalah sebagai sebab untuk penyembuhan –misalnya-, maka ini termasuk syirik ashgor. Demikianlah keyakinan kebanyakan orang yang memakai jimat pada umumnya. (Lihat Syarh Kitabit Tauhid, 55)
Walaupun jimat dikatakan syirik ashgor (kecil), namun syirik tetap lebih parah dari dosa besar. Dan kita tetap harus waspada dari dosa syirik tersebut walaupun kecil karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS An Nisa: 48)

Dan waspadalah dengan kesyirikan karena syirik itu sangat samar dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.

Menggantungkan Hati pada Jimat

Mengapa dalam menyelesaikan masalah, ingin lepas dari musibah, ingin menangkal diri dari berbagai penyakit, seseorang malah mencari selain Allah sebagai tempat mengadu. Padahal Allah-lah yang Maha Mencukupi, Allah-lah yang Ghoni, Yang Maha Kaya dan Mencukupi segalanya. Sungguh aneh, sebagian kita malah bergantung pada makhluk yang lemah, pada jimat yang bisa saja rusak dan punah, padahal ada Allah yang selalu mengawasi dan selalu menolong kita.

Dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

“Barangsiapa menggantung hati pada sesuatu, urusannya akan diserahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072 dan Ahmad 4: 310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Barangsiapa menggantungkan hatinya pada jimat dan rajah, maka Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut pada benda-benda tadi dan Allah akan menghinakannya. Beda halnya jika Allah yang dijadikan tempat bergantung. Jika seseorang bergantung pada Allah, maka urusannya akan diselesaikan oleh Allah, yang sulit akan menjadi mudah, dan yang jauh akan didekatkan. Jika Allah yang menjadi sandaran, maka sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). (Lihat Fathul Majid, 138)

Tawakkal, Itu Kunci Kemudahan

Bersandarnya hati Allah diikuti dengan melakukan sebab yang benar, itulah tawakkal dan itulah jalan meraih berbagi kemudahan dan kecukupan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3 mengatakan, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menyandarkan hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi kecukupan bagi-Nya.” (Tafsir Ath Thobari, 23: 46)

Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang menyandarkan diri pada Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat dan terlepas dari kemudhorotan (bahaya), dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah yang akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang Maha Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (Al ‘Aziz) dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya pun akan baik dari cara-cara lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun diakhirkan sesuai dengan waktu yang pas.” (Taisir Al Karimir Rahman). Masya Allah suatu keutamaan yang sangat luar biasa sekali dari orang yang bertawakkal.

Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari berbagai macam kesyirikan dan budaya jimat. Semoga Allah mematikan kita dalam keadaan bertauhid dan bersih dari syirik.



Referensi Utama:

1. Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta’, cetakan ketujuh, 1431 H.

2. Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Hamd bin ‘Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, 1431 H.

baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/2210-kesyirikan-pada-jimat-dan-rajah.html
PERBEDAAN ITU RAHMAT ?

https://t.me/Sunnah_ittiba

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Ikhtilafuhum rohmah”, perbedaan ulama (dalam masalah fiqih) adalah rahmat. Beliau mengatakan hal ini dalam kitab beliau Lum’atul I’tiqod.

Perkataan beliau di atas boleh jadi benar dari satu sisi, dan keliru ditinjau dari sisi yang lain.

Perbedaan itu rahmat bisa jadi benar jika ditinjau dari sisi usaha keras para ulama dalam berijtihad sehingga muncullah berbagai macam pendapat yang ada. Dari sisi ini kita dapat katakan bahwa perbedaan pendapat kala itu adalah rahmat. Jadi tinjauan yang benar ini dilihat dari sisi usaha keras para ulama yang melakukan ijtihad.

Jadi perkataan perbedaan itu rahmat dapat ditafsirkan benar dan keliru. Bisa saja perkataan tersebut disalah tafsirkan dan bisa jadi pemahamannya benar.

Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik daripada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullah. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jauh dari ajaran beliau, tentu kita tinggalkan.

sumber : rumaysho.com
Forwarded from Abu Abdil Bar
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Abu Abdil Bar
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Abu Abdil Bar
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Abu Abdil Bar
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Forwarded from Abu Abdil Bar
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
#me_ittiba
Dari pagi sampai malam kerja giliran hari libur cari hiburan tak pernah ke majelis ilmu
🎙️ Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas Rahimahullah

Instagram :
@me_ittiba
@me_ittiba
@me_ittiba

Link
IG : https://www.instagram.com/me_ittiba
TG : https://t.me/me_ittiba

Collaboration With
@hijrah_syahwad
@hayaatussunnah_
@rindu_sunnah
@jalan__sunah

#ustadzyazidbinabdulqadirjawas #ustadzyazid #ustadzyazid
Nasehat Indah Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas Rahimahullah

Jangan sibukkan diri dengan perpecahan, perselisihan. tapi sibukkan diri dengan ilmu, sibukkan dengan ilmu, sibukkan dengan ilmu, kemudian amal shalih.

(Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas Rahimahullah )

Follow Instagram :
@me_ittiba
@me_ittiba
@me_ittiba

Link
IG : https://www.instagram.com/me_ittiba
TG : https://t.me/me_ittiba

Collaboration With:
@bedahkitab
@Thalabulilmi.id
@sunnahstroi

#ustadzyazidbinabdulqadirjawas
#ustadzyazidjawas #ustadzyazidabdulqadirjawas_dv #ustadzyazidabdulqadirjawas
Forwarded from Abu Abdil Bar
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
🌕🌙💡 *FAEDAH MALAM*

🔰 SEBAB-SEBAB SUJUD SAHWI

https://t.me/Sunnah_ittiba

✍🏻 Syaikh Al-Bassam rahimahullah mengatakan :

وأسباب السجود له ثلاثة: 1- إما زيادة في الصلاة 2- أو نقص فيها. 3- أو شك

“Sebab sujud sahwi ada 3, yaitu:

1. Menambah gerakan ketika shalat

2. Mengurangi gerakan

3. Ragu.”

📘 (Taisir al-Alam, hal. 179)

🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴

🌎 WhatsApp Salafy Cirebon
Channel Telegram || https://t.me/salafy_cirebon
🖥 Website Salafy Cirebon :
www.salafycirebon.com
[BEGINI NASIB YANG SUKA GHIBAH]

Rasulullah ﷺ bersabda :
"Ketika aku dinaikkan ke langit (dimi'rajkan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga, kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, "Wahai Jibril, siapa mereka itu?" Jibril menjawab, "Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan mereka."

(HR. Abu Daud: 4235)

Follow Instagram :
@me_ittiba
@me_ittiba
@me_ittiba

Link
IG : https://www.instagram.com/me_ittiba
TG : https://t.me/me_ittiba


Collaboration With:
@bedahkitab
@Thalabulilmi.id
@sunnahstroi
@bummimadara
🇫 🇦 🇪 🇩 🇦 🇭   🇵 🇦 🇬 🇮

🌴🌏💎 *AGAR SHALATMU BISA JADI PENOLONG*

📖 Allah Ta’ala berfirman:

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ ﴿٤٥﴾

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat." Q.S. Al-Baqarah: 45.

▪️ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:

📝 “Maka, jika ada seorang berkata:

“Bagaimana shalat itu bisa menjadi penolong bagi insan?

👉🏽 Jawabannya: Ia akan menjadi  penolong, apabila insan tersebut mendatangkannya dengan bentuk yang sempurna, yang terwujud di dalamnya kehadiran hati dan menegakkan apa-apa yang wajib di dalamnya.

Adapun shalat keumuman manusia saat ini adalah shalat anggota badan saja bukan shalat dengan hati.

Oleh sebab ini, kamu akan mendapati seseorang dari sejak ia bertakbir maka langsung terbuka atasnya pintu-pintu yang luas lagi besar dari perasaan-perasaan waswas yang tidak ada faidah di dalamnya. Oleh karenanya, dari saat ia salam maka (efek) shalat itu langsung hilang dan berlalu darinya.

Akan tetapi shalat yang sejati adalah yang seseorang merasa di dalamnya:
🔅 Bahwa ia sedang berdiri di hadapan Allah,
🔅 Bahwa shalat itu suatu taman yang padanya terdapat seluruh buah ibadah, yang mesti ia akan melupakan segala keresahan dengannya. Sebab ia sedang berhubungan dengan Allah ‘azza wa jalla yang dicintai dan sesuatu yang paling dicintai olehnya.

Maka dengan sebab ini, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"جعلت قرة عيني في الصلاة ".

"Dijadikan ketenangan pandanganku itu di dalam shalat."

📚 Tafsir Surat Al-Baqarah, Al-‘Utsaimin, 1/164.


قال الشيخ محمد بن صالح العثيمين -رحمه الله -:

" فإن قال قائل: كيف تكون الصلاة عونا للإنسان؟

فالجواب: تكون عونا إذا أتى بها على وجه كامل. وهي التي يكون فيها حضور القلب، والقيام بما يجب فيها.

أما صلاة غالب الناس اليوم فهي صلاة جوارح لا صلاة قلب؛ ولهذا تجد الإنسان من حين أن يكبر ينفتح عليه أبواب واسعة عظيمة من الهواجيس التي لا فائدة منها؛ ولذلك من حين أن يسلم تنجلي عنه، وتذهب.

لكن الصلاة الحقيقية التي يشعر الإنسان فيها أنه قائم بين يدي الله، وأنها روضة فيها من كل ثمرات العبادة لا بد أن يسلوَ بها عن كل همّ؛ لأنه اتصل بالله عز وجل الذي هو محبوبه، وأحب شيء إليه؛ ولهذا قال النبي صلى الله عليه وسلم "جعلت قرة عيني في الصلاة ".

📚 تفسير سورة البقرة (١\ ١٦٤)

📑 Sumber : Minhaajussalaf

https://t.me/Sunnah_ittiba
Bismillah



ini yang banyak di kalangan kita tidak paham hukumnya batal / tidak ya..

Apa Hukum Bersentuhan
Dengan Istri, Batalkah Wudhu Kita?

Tanya:

Assalamu’alaikum. Ustadz yang saya hormati,

Bagaimana hukumnya setelah Wudhu. jika  bersentuhan dengan ISTRI/ SUAMI  apakah membatalkan wudhu?

Jawab:

Para ulama yang mulia dan kita hormati berbeda pendapat dalam masalah: Apakah persentuhan antara laki-laki dan wanita membatalkan wudhu atau tidak?

Ada 3️⃣pendapat:

Ada yang mengatakan: membatalkan, baik dengan syahwat atau tidak.

👉🏻Ada yang mengatakan: tidak membatalkan, baik dengan syahwat atau tidak.

👉🏻Ada yang mengatakan membatalkan kalau dengan syahwat, tidak membatalkan kalau tidak dengan syahwat.

👉🏻Adapun ulama yang mengatakan bahwasanya hal tersebut membatalkan wudhu, maka mereka berdalil dengan firman Allah:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ)(المائدة: من الآية6

Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”📚 (Qs. 5: 6)

Di dalam ayat di atas Allah menyebutkan bahwa diantara sebab wudhu atau tayammum ketika tidak ada air adalah menyentuh perempuan.

Adapun ulama yang mengatakan bahwasanya menyentuh kulit lawan jenis tidak membatalkan wudhu, maka mereka berdalil dengan hadist:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Artinya: “Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat berjama’ah dan tidak berwudhu.”
📚(HR. At-Tirmidzy dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)

🌴🌴🌴
Pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah yang mengatakan bahwa menyentuh kulit lawan jenis tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat atau tidak, dengan mahram atau bukan, selama tidak keluar air mani atau madzi, karena beberapa hal:

1️⃣ Adanya hadist yang jelas menunjukkan bahwa menyentuh kulit wanita tidak membatalkan wudhu .

2️⃣ Maksud dari ayat di atas ( أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ) = menyentuh perempuan adalah jimak, sebagaimana ucapan Ibnu ‘Abbas
📚(Lihat Tafsir Ath-Thabary 8/389-390, tafsir Surat An-Nisa: 43).

3️⃣ Dan di dalam beberapa ayat Al-Quran Allah menggunakan kata “menyentuh” untuk mengungkapkan kata “jimak”, yang menunjukkan kesopanan kata-kata yang ada di dalam Al-Quran.

Sebagaimana firman Allah dalam ayat yang lain:

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً )(البقرة: من الآية236)

Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka (berjimak) dan sebelum kamu menentukan maharnya.”

Allah juga berfirman:

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا )(المجادلة: من الآية4

Artinya:
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya saling menyentuh (berjimak).”

Maksud menyentuh pada kedua ayat di atas adalah berjimak .

4️⃣. Tidak ada dalil yang jelas dan shahih tentang batalnya wudhu karena menyentuh kulit lawan jenis.

Pendapat inilah yang kami anggap kuat (rajih) sesuai dengan keterbatasan pengetahuan kami, dan kami menyadari bahwa disana ada ulama yang mengatakan bahwa menyentuh kulit wanita membatalkan.
Barangsiapa memilih salah satu pendapat maka hendaklah memilih berdasarkan ilmu dan dalil.
Dan tidak boleh menjadikan perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyyah seperti ini sebab pertikaian dan permusuhan....

Wallahu a’lam.
~~~~
✍🏼 Ustadz Abdullah Roy, Lc.

https://t.me/Sunnah_ittiba
BOLEHKAH SEORANG MUADZIN MERANGKAP MENJADI IMAM ?

https://t.me/Sunnah_ittiba

Pertanyaan:

Bolehkah yang azan di suatu masjid adalah sang imam tetap masjid tersebut? Atau bolehkah seorang muazin kemudian sekaligus menjadi imam shalat karena tidak ada orang lain yang layak?

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Dibolehkan seorang muazin kemudian juga sekaligus menjadi imam shalat berjama’ah. Atau sebaliknya, seorang imam tetap, boleh mengumandangkan azan selain ia juga mengimami shalat. Ulama sepakat akan kebolehan hal ini.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :

أجمع المسلمون على جواز كون المؤذن إماماً واستحبابه، قال صاحب الحاوي: في كل واحد من الأذان والإمامة فضل

“Ulama kaum Muslimin sepakat tentang bolehnya seorang imam menjadi muazin, bahkan ini dianjurkan. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: masing-masing pada perbuatan azan dan menjadi imam memiliki keutamaan tersendiri” (Al-Majmu’, 3/80).

Al-Hathab rahimahullah juga mengatakan:

وَمَنْ اسْتَأْجَرَ رَجُلًا عَلَى أَنْ يُؤَذِّنَ لَهُمْ وَيُقِيمَ وَيُصَلِّي بِهِمْ جَازَ وَكَانَ الْأَجْرُ إنَّمَا وَقَعَ عَلَى الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ وَالْقِيَامِ بِالْمَسْجِدِ لَا عَلَى الصَّلَاةِ

“Siapa saja yang menyewa seseorang untuk mengumandangkan azan, sekaligus untuk iqamah, dan juga mengimami shalat, hal ini dibolehkan. Sehingga seolah upah yang didapatkan itu atas azan, iqamah, dan memimpin shalat di masjid, bukan karena shalatnya” (Mawahib Al-Jalil Syarah Mukhtashar Al-Khalil, 1/455).

Terutama jika tidak ada orang lain yang lebih pandai dalam membaca Al-Qur’an selain sang muazin, maka dialah yang lebih berhak menjadi imam shalat berjama’ah. Dari Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه

“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al-Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya” (HR. Muslim no. 673).

Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam salah satu fatwanya menjelaskan:

يجوز أن يتولى الأذان والإمامة واحد ، فإذا كان المؤذن أقرأ من غيره صلى بمن حضره إماماً ، وكذا إذا غاب الإمام الراتب وأنابه ، كما يجوز أن يتعين بوظيفة الإمام الراتب

“Dibolehkan jika azan tugas menjadi imam dilakukan oleh orang yang sama. Jika memang sang muazin adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya daripada orang-orang yang hadir. Demikian juga ketika imam tetap sedang tidak hadir atau ia meminta digantikan oleh sang muazin. Demikian juga, dibolehkan jika sang muazin memang ditugaskan sekaligus menjadi imam tetap” (Fatawa Al-Islamiyah, 1/252).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.