ORANG MISKIN BELUM TENTU ZUHUD
ليس الزهدُ أن تترك الدنيا من يدك وهي في قلبك ، إنما الزهد أن تتركها من قلبك وهي في يدك .
📚طريق الهجرتين لابن القيم ص ٢٥٢.
"Zuhud bukan dengan membuang dunia dari tanganmu, sedangkan ia masih ada di dalam hatimu. Zuhud adalah membuang dunia dari dalam hatimu, sedangkan ia ada di tanganmu."
(Ibnu Qayyim, Thariqul Hijratain, hlm. 252)
===
https://t.me/yuanaryantresna
ليس الزهدُ أن تترك الدنيا من يدك وهي في قلبك ، إنما الزهد أن تتركها من قلبك وهي في يدك .
📚طريق الهجرتين لابن القيم ص ٢٥٢.
"Zuhud bukan dengan membuang dunia dari tanganmu, sedangkan ia masih ada di dalam hatimu. Zuhud adalah membuang dunia dari dalam hatimu, sedangkan ia ada di tanganmu."
(Ibnu Qayyim, Thariqul Hijratain, hlm. 252)
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
#7_Riwayat_Muwatha_Malik
.
طبع من روايات "موطأ" الإمام مالك سبع روايات:
- رواية يحيى بن يحيى الليثي، وهي الأشهر.
- رواية محمد بن الحسن الشيباني.
- رواية أبي مصعب الزهري.
- رواية سويد بن سعيد الحدثاتي.
- رواية ابن القاسم، بترتيب القابسي.
- قطعة من رواية القعنبي.
- قطعة من رواية ابن زياد.
وللحافظ ابن ناصر الدين الدمشقي كتاب "إتحاف السالك برواة الموطأ عن الإمام مالك" مطبوع، وقد ذكر فيه من روى "الموطأ" عن الإمام مالك، وبلغ عددهم تسع وسبعون راويا.
===
https://t.me/yuanaryantresna
.
طبع من روايات "موطأ" الإمام مالك سبع روايات:
- رواية يحيى بن يحيى الليثي، وهي الأشهر.
- رواية محمد بن الحسن الشيباني.
- رواية أبي مصعب الزهري.
- رواية سويد بن سعيد الحدثاتي.
- رواية ابن القاسم، بترتيب القابسي.
- قطعة من رواية القعنبي.
- قطعة من رواية ابن زياد.
وللحافظ ابن ناصر الدين الدمشقي كتاب "إتحاف السالك برواة الموطأ عن الإمام مالك" مطبوع، وقد ذكر فيه من روى "الموطأ" عن الإمام مالك، وبلغ عددهم تسع وسبعون راويا.
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
ADAB ADALAH PERHIASAN
Oleh: Yuana Ryan Tresna
Pencarian dan penguasaan terhadap ilmu yang tidak didahului dengan adab akan melahirkan petaka. Masalah terbesar bagi para pelajar dan ahli ilmu yang miskin adab adalah hilangnya keberkahan, munculnya kesombongan dan lalai dari amanah mengemban ilmu. Ini adalah musibah. Hal ini pula yang disampaikan oleh Syaikh al-Zarnuji ra. dalam memulai kitabnya, Ta’lim al-Muta’allim, bahwa di zamannya banyak orang yang sungguh-sungguh belajar namun tidak mendapat hasil berupa kemanfaatan ilmu.
Para ulama salaf shalih sangat memperhatikan pada masalah adab.[1] Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf (perbedaan pendapat) ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas ra. pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.”[2]
Itulah rahasia mengapa para ulama yang mengemban ilmu menjadi orang yang ‘alim lagi tawadhu’, berbuah dalam amal, dan jujur mengemban tanggung jawab pengajaran serta dakwah.
Definisi
Ibn Hajar al-Asqalani ra. menyatakan:
وَالْأَدَبُ اسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَبَّرَ بَعْضُهُمْ عَنْهُ بِأَنَّهُ الْأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ
“Adab artinya menerapkan segala yang terpuji, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinisikan adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia”[3]
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengartikan adab dengan:
هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ
“Adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan, seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.”[4]
Banyak ulama lainnya yang mendefinisikan adab, yang pada muaranya adab adalah perhiasan pada perilaku dan lisan seorang muslim. Ia tumbuh subur dalam masyarakat Islam kala itu, dimana masyarakat Islam adalah sekumpulan individu yang memiliki pemikiran dan perasaan islami, serta ada aturan Islam yang mengikatnya. Oleh karenanya, kendati adab tidak ditunjukki langsung oleh dalil dalam perinciannya, namun ia adalah sesuatu yang masyru’ (disyariatkan).
Adab dan Ilmu
Dalil keharusan memiliki adab terhadap ilmu dan ulama adalah firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya” (QS. Al Hajj: 30).
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al Hajj: 32).
Nabi Saw. bersabda:
إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ
“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari).
Imam al-Syafi’i ra. mengatakan:
إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي
“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali”[5]
Sudah menjadi perkara yang makruf, kalau posisi adab itu lebih dahulu dari pada ilmu. Ibn al-Mubarak menyatakan:
قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ: (نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ)
“Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.”[6]
Muhammad bin Sirin menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup (adab), sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”[7]
Imam Malik bin Anas juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut (kepada Allah). Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.”[8]
Ibn an-Nakha’i mengatakan, “Mereka (generasi salaf), ketika mendatangi seseorang (ulama’) untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan k
Oleh: Yuana Ryan Tresna
Pencarian dan penguasaan terhadap ilmu yang tidak didahului dengan adab akan melahirkan petaka. Masalah terbesar bagi para pelajar dan ahli ilmu yang miskin adab adalah hilangnya keberkahan, munculnya kesombongan dan lalai dari amanah mengemban ilmu. Ini adalah musibah. Hal ini pula yang disampaikan oleh Syaikh al-Zarnuji ra. dalam memulai kitabnya, Ta’lim al-Muta’allim, bahwa di zamannya banyak orang yang sungguh-sungguh belajar namun tidak mendapat hasil berupa kemanfaatan ilmu.
Para ulama salaf shalih sangat memperhatikan pada masalah adab.[1] Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf (perbedaan pendapat) ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas ra. pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.”[2]
Itulah rahasia mengapa para ulama yang mengemban ilmu menjadi orang yang ‘alim lagi tawadhu’, berbuah dalam amal, dan jujur mengemban tanggung jawab pengajaran serta dakwah.
Definisi
Ibn Hajar al-Asqalani ra. menyatakan:
وَالْأَدَبُ اسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَبَّرَ بَعْضُهُمْ عَنْهُ بِأَنَّهُ الْأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ
“Adab artinya menerapkan segala yang terpuji, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinisikan adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia”[3]
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengartikan adab dengan:
هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ
“Adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan, seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.”[4]
Banyak ulama lainnya yang mendefinisikan adab, yang pada muaranya adab adalah perhiasan pada perilaku dan lisan seorang muslim. Ia tumbuh subur dalam masyarakat Islam kala itu, dimana masyarakat Islam adalah sekumpulan individu yang memiliki pemikiran dan perasaan islami, serta ada aturan Islam yang mengikatnya. Oleh karenanya, kendati adab tidak ditunjukki langsung oleh dalil dalam perinciannya, namun ia adalah sesuatu yang masyru’ (disyariatkan).
Adab dan Ilmu
Dalil keharusan memiliki adab terhadap ilmu dan ulama adalah firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya” (QS. Al Hajj: 30).
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al Hajj: 32).
Nabi Saw. bersabda:
إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ
“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari).
Imam al-Syafi’i ra. mengatakan:
إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي
“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali”[5]
Sudah menjadi perkara yang makruf, kalau posisi adab itu lebih dahulu dari pada ilmu. Ibn al-Mubarak menyatakan:
قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ: (نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ)
“Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.”[6]
Muhammad bin Sirin menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup (adab), sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”[7]
Imam Malik bin Anas juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut (kepada Allah). Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.”[8]
Ibn an-Nakha’i mengatakan, “Mereka (generasi salaf), ketika mendatangi seseorang (ulama’) untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan k
eadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.”[9]
Habib bin al-Syahid berkata, “Wahai anaku bersahabatlah dengan fuqaha dan ulama belajarlah dari mereka dan ambilah (keutamaan) adab-adab mereka, sebab hal itu lebih aku sukai dari pada (menghafal) banyak hadits”[10]
Adab terhadap Diri
Imam Ibnu Jama’ah al-Syafi’i dalam kitabnya, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, menyebutkan 10 adab penuntut ilmu kepada dirinya sendiri. Tiga hal pertama dapat kita rincikan sebagai berikut:
Pertama, membersihkan penyakit hati. Hal pertama yang harus dilakukan penuntut ilmu adalah menghilangkan segala bentuk penyakit hati yang dapat menghalangi dipahaminya ilmu. Beliau menyebutkan:
أن يطهر قلبه من كل غش ودنس وغلّ وحسد وسوء عقيدة وخلق؛ ليصلح بذلك لقبول العلم وحفظه، والاطلاع على دقائق معانيه وحقائق غوامضه
“Membersihkan hati dari segala penyakit khianat, keburukan, dendam, hasud, buruk akidah dan akhlak; agar hati mampu menerima ilmu, menghafalnya, dan memahami kedalaman makna-makna dan hakikat rahasia-rahasianya”[11]
Kedua, meluruskan niat. Menuntut ilmu semata-mata karena Allah, untuk mendapatkan ridha dari Allah. Ilmu juga untuk diamalkan dan untuk menghidupkan serta menegakkan syariah. Dengan hidup dan tegaknya syariah, keberkahan ilmu akan terwujud secara kolektif. Beliau menjelaskan:
حسن النية في طلب العلم بأن يقصد به وجه الله تعالى والعمل به وإحياء الشريعة، وتنوير قلبه وتحلية باطنه والقرب من الله تعالى يوم القيامة والتعرض لما أعد لأهله من رضوانه وعظيم فضله.
“Niat yang baik dalam menuntut ilmu, hendaknya dia berniat dalam mencari ilmu untuk mengharap ridha Allah Ta’ala, beramal dengan ilmunya, menghidupkan syari’at, menyinari hati, menghiasi batin, mendekat kepada Allah ta’ala pada hari kiamat dan menghadap kepada apa yang Allah siapkan kepada pemilik ilmu berupa ridha Allah dan keagungan keutamaannya.”[12]
Ketiga, bersegera selagi masih muda dan tidak membuang waktu. Beliau menyebutkan:
أن يبادر شبابه وأوقات عمره إلى التحصيل ولا يغتر بخدع التسويف والتأميل
“Hendaknya seorang penuntut ilmu bergegas di masa mudanya dan di setiap umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah tertipu dengan penundaan dan angan-angan.”[13]
Adab kepada Guru
Dasar adab kepada guru adalah firman Allah Swt. terkait pendidikan adab Nabi Khidr kepada Musa as. sebagai berikut:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? (QS. al-Kahfi: 66)
Imam Ibnu Jama’ah menyebutkan ada 13 adab yang harus diperhatikan secara seksama oleh para penuntut ilmu, tiga diantaranya adalah:
Pertama, mengikuti segala wasiat guru, karena ketundukannya kepada guru adalah kebaikan dan kemuliaan. Beliau menjelaskan:
أن ينقاد لشيخه في أموره ولا يخرج عن رأيه وتدبيره، بل يكون معه كالمريض مع الطبيب الماهر، فيشاروه فيما يقصده ويتحرى رضاه فيما يعتمده، ويبالغ في حرمته يتقرب إلى الله تعالى بخدمته، ويعلم أن ذله لشيخه عز، وخضوعه له فخر، وتواضعه له رفعة.
“Seorang penuntut ilmu hendaknya taat kepada gurunya dalam segala urusan dan tidak keluar dari pendapat dan pengaturan gurunya, bahkan ia bersama gurunya seperti pasien di hadapan seorang dokter yang terampil, ia bermusyawarah tentang apa yang ia maksud dan memilih yang terbaik atas keridhaanya. Hendaknya ia maksimal dalam menghormatinya dalam bentuk taqarrub kepada Allah dengan ber-khidmah kepadanya. Dan ia mengetahui bahwa kehinaannya kepada gurunya itu merupakan kemuliaan, ketundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan, dan ke-tawadhuaannya kepada gurunya itu merupakan keluhuran.”[14]
Kedua, memuliakan guru dan menjaga kehormatannya dengan sepenuh keikhlasan.
أن ينظره بعين الإجلال ويعتقد فيه درجة الكمال فإن ذلك أقرب إلى نفعه به، وكان بعض السلف إذا ذهب إلى شيخه تصدق بشيء وقال: اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني.
“Seorang penuntut ilmu hendaknya melihat gurunya dengan pandangan penuh kehormatan dan percaya kepada gurunya dengan derajat kesempurnaan, karena hal itu lebih dekat baginya pada nilai manfaat. Sebagian sal
Habib bin al-Syahid berkata, “Wahai anaku bersahabatlah dengan fuqaha dan ulama belajarlah dari mereka dan ambilah (keutamaan) adab-adab mereka, sebab hal itu lebih aku sukai dari pada (menghafal) banyak hadits”[10]
Adab terhadap Diri
Imam Ibnu Jama’ah al-Syafi’i dalam kitabnya, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, menyebutkan 10 adab penuntut ilmu kepada dirinya sendiri. Tiga hal pertama dapat kita rincikan sebagai berikut:
Pertama, membersihkan penyakit hati. Hal pertama yang harus dilakukan penuntut ilmu adalah menghilangkan segala bentuk penyakit hati yang dapat menghalangi dipahaminya ilmu. Beliau menyebutkan:
أن يطهر قلبه من كل غش ودنس وغلّ وحسد وسوء عقيدة وخلق؛ ليصلح بذلك لقبول العلم وحفظه، والاطلاع على دقائق معانيه وحقائق غوامضه
“Membersihkan hati dari segala penyakit khianat, keburukan, dendam, hasud, buruk akidah dan akhlak; agar hati mampu menerima ilmu, menghafalnya, dan memahami kedalaman makna-makna dan hakikat rahasia-rahasianya”[11]
Kedua, meluruskan niat. Menuntut ilmu semata-mata karena Allah, untuk mendapatkan ridha dari Allah. Ilmu juga untuk diamalkan dan untuk menghidupkan serta menegakkan syariah. Dengan hidup dan tegaknya syariah, keberkahan ilmu akan terwujud secara kolektif. Beliau menjelaskan:
حسن النية في طلب العلم بأن يقصد به وجه الله تعالى والعمل به وإحياء الشريعة، وتنوير قلبه وتحلية باطنه والقرب من الله تعالى يوم القيامة والتعرض لما أعد لأهله من رضوانه وعظيم فضله.
“Niat yang baik dalam menuntut ilmu, hendaknya dia berniat dalam mencari ilmu untuk mengharap ridha Allah Ta’ala, beramal dengan ilmunya, menghidupkan syari’at, menyinari hati, menghiasi batin, mendekat kepada Allah ta’ala pada hari kiamat dan menghadap kepada apa yang Allah siapkan kepada pemilik ilmu berupa ridha Allah dan keagungan keutamaannya.”[12]
Ketiga, bersegera selagi masih muda dan tidak membuang waktu. Beliau menyebutkan:
أن يبادر شبابه وأوقات عمره إلى التحصيل ولا يغتر بخدع التسويف والتأميل
“Hendaknya seorang penuntut ilmu bergegas di masa mudanya dan di setiap umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah tertipu dengan penundaan dan angan-angan.”[13]
Adab kepada Guru
Dasar adab kepada guru adalah firman Allah Swt. terkait pendidikan adab Nabi Khidr kepada Musa as. sebagai berikut:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? (QS. al-Kahfi: 66)
Imam Ibnu Jama’ah menyebutkan ada 13 adab yang harus diperhatikan secara seksama oleh para penuntut ilmu, tiga diantaranya adalah:
Pertama, mengikuti segala wasiat guru, karena ketundukannya kepada guru adalah kebaikan dan kemuliaan. Beliau menjelaskan:
أن ينقاد لشيخه في أموره ولا يخرج عن رأيه وتدبيره، بل يكون معه كالمريض مع الطبيب الماهر، فيشاروه فيما يقصده ويتحرى رضاه فيما يعتمده، ويبالغ في حرمته يتقرب إلى الله تعالى بخدمته، ويعلم أن ذله لشيخه عز، وخضوعه له فخر، وتواضعه له رفعة.
“Seorang penuntut ilmu hendaknya taat kepada gurunya dalam segala urusan dan tidak keluar dari pendapat dan pengaturan gurunya, bahkan ia bersama gurunya seperti pasien di hadapan seorang dokter yang terampil, ia bermusyawarah tentang apa yang ia maksud dan memilih yang terbaik atas keridhaanya. Hendaknya ia maksimal dalam menghormatinya dalam bentuk taqarrub kepada Allah dengan ber-khidmah kepadanya. Dan ia mengetahui bahwa kehinaannya kepada gurunya itu merupakan kemuliaan, ketundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan, dan ke-tawadhuaannya kepada gurunya itu merupakan keluhuran.”[14]
Kedua, memuliakan guru dan menjaga kehormatannya dengan sepenuh keikhlasan.
أن ينظره بعين الإجلال ويعتقد فيه درجة الكمال فإن ذلك أقرب إلى نفعه به، وكان بعض السلف إذا ذهب إلى شيخه تصدق بشيء وقال: اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني.
“Seorang penuntut ilmu hendaknya melihat gurunya dengan pandangan penuh kehormatan dan percaya kepada gurunya dengan derajat kesempurnaan, karena hal itu lebih dekat baginya pada nilai manfaat. Sebagian sal
af terbiasa apabila menghadap kepada gurunya, ia bersedekah dan berdo’a ‘Ya Allah tutuplah aib guruku dariku dan janganlah hilangkan keberkahan ilmunya dariku.”[15]
Ketiga, mengetahui keutamaannya gurunya dan menjaga haknya, karena hal ini bagian dari pintu keberkahan.
أن يعرف له حقه ولا ينسى له فضله، قال شعبة: كنت إذا سمعت من الرجل الحديث كنت له عبدًا ما يحيا
“Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui hak gurunya dan tidak melupakan keutamaannya. Syu’bah berkata, “Apabila aku mendengar hadits dari seseorang maka aku menjadi budaknya selama hidupnya.”[16]
Adab kepada Ilmu yang Dipelajari
Imam Ibnu Jama’ah juga menjelaskan 13 hal yang merupakan adab penuntut ilmu terhadap ilmu yang dipelajari. Tiga hal di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, memulai belajar dari al-Quran, menghafalkan dan memahaminya. Beliau menyebutkan:
أن يبتدئ أولاً بكتاب الله العزيز فيتقنه حفظًا ويجتهد على إتقان تفسيره وسائر علومه، فإنه أصل العلوم وأمها وأهمها
“Hendaknya seorang penuntut ilmu mengawali dengan kitab Allah yang mulia, kemudian ia menguatkan hafalannya dan bersungguh-sungguh memahami tafsirnya dan seluruh ilmu-ilmunya. Karena hal itu adalah pokok segala ilmu, sumber segala ilmu, dan ilmu yang paling penting.”[17]
Kedua, belajar secara bertahap (mulai dari yang ringkas sampai yang luas), berusaha mengamalkan ilmu yang diperoleh, dan pada awal belajar tidak menyibukkan diri dalam medan perbedaan pendapat.
أن يحذر في ابتداء أمره من الاشتغال في الاختلاف بين العلماء أو بين الناس مطلقًا في العقليات والسمعيات؛ فإنه يحير الذهن ويدهش العقل، بل يتقن أولاً كتابًا واحدًا في فن واحدأو كتبًا في فنون إن كان يحتمل ذلك على طريقة واحدة يرتضيها له شيخه
“Hendaknya dia berhati-hati dalam permulaan belajarnya dari kesibukan mempelajari ikhtilaf para ulama dalam akal atau pendengaran. Karena hal itu akan membingungkan pikiran dan akalnya. Akan tetapi, mula-mula hendaklah ia memahami pada satu kitab dalam satu bidang ilmu atau beberapa kitab dalam berbagai bidang jika memungkinkan dalam satu metode yang direstui gurunya”[18]
Ketiga, setelah menghafal al-Qur’an dan memahaminya, bergegas mendengar periwayatan hadits dan mempelajari, karena hadits adalah salah satu sayap bagi seorang ‘alim dari sayap lainnya yakni al-Quran. Beliau melanjutkan:
أن يبكر بسماع الحديث ولا يهمل الاشتغال به وبعلومه والنظر في إسناده ورجاله ومعانيه وأحكامه وفوائده ولغته وتواريخه.
“Hendaknya dia bergegas untuk mendengar hadits, jangan lalai untuk selalu sibuk mempelajari hadits, ilmu-ilmunya, dan memperhatikan sanad-sanadnya, rawi-rawinya, makna-maknanya, hukum-hukumnya, faidah-faidahnya, bahasanya, dan sejarahnya.”[19]
Amanah Mengemban Ilmu
Ilmu adalah amanah. Oleh karenanya harus diwujudkan dalam amal dan penyebaran (dakwah). Belajar ilmu tidak boleh ditujukan untuk kepentingan dunia. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Pada diri penuntut ilmu, harus berkumpul tiga hal sekaligus: ilmu, amal, dan ikhlas. Sahl bin Abdillah al-Tustari menerangkan:
الدُّنْيَا كُلُّهَا جَهْلٌ مَوَاتٌ إِلَّا الْعِلْمَ مِنْهَا، وَالْعِلْمُ كُلُّهُ حُجَّةٌ عَلَى الْخَلْقِ إِلَّا الْعَمَلَ بِهِ، وَالْعَمَلُ كُلُّهُ هَبَاءٌ إِلَّا الْإِخْلَاصَ مِنْهُ، وَالْإِخْلَاصُ خَطْبٌ عَظِيمٌ لَا يَعْرِفُهُ إِلَّا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَصِلَ الْإِخْلَاصُ بِالْمَوْتِ
"Dunia ini seluruhnya adalah kebodohan dan kematian kecuali ilmu yang berada di dalamnya. Ilmu pun seluruhnya hanya akan menjadi penghujat kepada seluruh makhluk kecuali yang mengamalkannya. Amal pun seluruhnya hanya akan terhambur sia-sia kecuali yang dilandasi keikhlasan. Sedangkan keikhlasan adalah perkara besar yang tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah Swt,
Ketiga, mengetahui keutamaannya gurunya dan menjaga haknya, karena hal ini bagian dari pintu keberkahan.
أن يعرف له حقه ولا ينسى له فضله، قال شعبة: كنت إذا سمعت من الرجل الحديث كنت له عبدًا ما يحيا
“Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui hak gurunya dan tidak melupakan keutamaannya. Syu’bah berkata, “Apabila aku mendengar hadits dari seseorang maka aku menjadi budaknya selama hidupnya.”[16]
Adab kepada Ilmu yang Dipelajari
Imam Ibnu Jama’ah juga menjelaskan 13 hal yang merupakan adab penuntut ilmu terhadap ilmu yang dipelajari. Tiga hal di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, memulai belajar dari al-Quran, menghafalkan dan memahaminya. Beliau menyebutkan:
أن يبتدئ أولاً بكتاب الله العزيز فيتقنه حفظًا ويجتهد على إتقان تفسيره وسائر علومه، فإنه أصل العلوم وأمها وأهمها
“Hendaknya seorang penuntut ilmu mengawali dengan kitab Allah yang mulia, kemudian ia menguatkan hafalannya dan bersungguh-sungguh memahami tafsirnya dan seluruh ilmu-ilmunya. Karena hal itu adalah pokok segala ilmu, sumber segala ilmu, dan ilmu yang paling penting.”[17]
Kedua, belajar secara bertahap (mulai dari yang ringkas sampai yang luas), berusaha mengamalkan ilmu yang diperoleh, dan pada awal belajar tidak menyibukkan diri dalam medan perbedaan pendapat.
أن يحذر في ابتداء أمره من الاشتغال في الاختلاف بين العلماء أو بين الناس مطلقًا في العقليات والسمعيات؛ فإنه يحير الذهن ويدهش العقل، بل يتقن أولاً كتابًا واحدًا في فن واحدأو كتبًا في فنون إن كان يحتمل ذلك على طريقة واحدة يرتضيها له شيخه
“Hendaknya dia berhati-hati dalam permulaan belajarnya dari kesibukan mempelajari ikhtilaf para ulama dalam akal atau pendengaran. Karena hal itu akan membingungkan pikiran dan akalnya. Akan tetapi, mula-mula hendaklah ia memahami pada satu kitab dalam satu bidang ilmu atau beberapa kitab dalam berbagai bidang jika memungkinkan dalam satu metode yang direstui gurunya”[18]
Ketiga, setelah menghafal al-Qur’an dan memahaminya, bergegas mendengar periwayatan hadits dan mempelajari, karena hadits adalah salah satu sayap bagi seorang ‘alim dari sayap lainnya yakni al-Quran. Beliau melanjutkan:
أن يبكر بسماع الحديث ولا يهمل الاشتغال به وبعلومه والنظر في إسناده ورجاله ومعانيه وأحكامه وفوائده ولغته وتواريخه.
“Hendaknya dia bergegas untuk mendengar hadits, jangan lalai untuk selalu sibuk mempelajari hadits, ilmu-ilmunya, dan memperhatikan sanad-sanadnya, rawi-rawinya, makna-maknanya, hukum-hukumnya, faidah-faidahnya, bahasanya, dan sejarahnya.”[19]
Amanah Mengemban Ilmu
Ilmu adalah amanah. Oleh karenanya harus diwujudkan dalam amal dan penyebaran (dakwah). Belajar ilmu tidak boleh ditujukan untuk kepentingan dunia. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Pada diri penuntut ilmu, harus berkumpul tiga hal sekaligus: ilmu, amal, dan ikhlas. Sahl bin Abdillah al-Tustari menerangkan:
الدُّنْيَا كُلُّهَا جَهْلٌ مَوَاتٌ إِلَّا الْعِلْمَ مِنْهَا، وَالْعِلْمُ كُلُّهُ حُجَّةٌ عَلَى الْخَلْقِ إِلَّا الْعَمَلَ بِهِ، وَالْعَمَلُ كُلُّهُ هَبَاءٌ إِلَّا الْإِخْلَاصَ مِنْهُ، وَالْإِخْلَاصُ خَطْبٌ عَظِيمٌ لَا يَعْرِفُهُ إِلَّا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَصِلَ الْإِخْلَاصُ بِالْمَوْتِ
"Dunia ini seluruhnya adalah kebodohan dan kematian kecuali ilmu yang berada di dalamnya. Ilmu pun seluruhnya hanya akan menjadi penghujat kepada seluruh makhluk kecuali yang mengamalkannya. Amal pun seluruhnya hanya akan terhambur sia-sia kecuali yang dilandasi keikhlasan. Sedangkan keikhlasan adalah perkara besar yang tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah Swt,
sehingga keikhlasan itu dibawa sampai mati."[20]
Terakhir, selain berbuah dalam amal, ilmu juga harus disebarkan dalam pengajaran dan dakwah. Itulah yang diwasiatkan Imam Sufyan al-Tsauri ketika menjelaskan marhalah belajar, dan Imam Ibnu Jama’ah ketika mengulas niat menuntut ilmu sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Penuntut ilmu dan ahli ilmu yang benar cara memperolehnya tidak mungkin berdusta dengan apa yang dipelajari, seperti mencampuradukan hak dan batil, atau menyembunyikan kebenaran. Intelektual muslim yang memanipulasi atau menyembunyikan kewajiban berhukum pada hukum-hukum Allah, dan menerapkan seluruh syariah-Nya, adalah mereka yang tidak jujur dengan apa yang dipelajarinya. Seorang ahli hikmah mengatakan:
إخفاء العلم هلكة وإخفاء العمل نجاة
"Menyembunyikan ilmu adalah kehancuran, sedangkan menyembunyikan amal adalah keselamatan."[21]
Penutup
Demikianlah adab sebagai perhiasan dalam lisan dan perilaku, yang dengannya kemanfaatan dan keberkahan ilmu bisa diraih dan diwujudkan. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang digambarkan oleh Imam al-Munawi saat menjelaskan hadits terkait sifat orang munafik:
"Maksudnya yaitu orang yang banyak ilmu di lidahnya, tapi bodoh hati dan amalnya. Ia menjadikan ilmu sebagai profesi yang dengan itu ia mencari makan. Ia berpenampilan penuh wibawa untuk menarik perhatian orang. Ia mengajak orang lain kepada Allah tapi ia sendiri lari dari Allah. Ia mencela aib orang lain lalu melakukan perbuatan yang lebih buruk daripadanya. Ia menampakkan ibadah dan kekhusyukan di hadapan manusia tapi melakukan dosa-dosa besar di hadapan tuhannya saat sendirian bersama-Nya. Ia adalah seekor serigala yang memakai baju."[22] []
Penulis adalah Mudir Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung
===
[1] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 6, hlm. 361; al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, juz 1, hlm. 80.
[2] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 6, hlm. 330.
[3] Lihat Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 10, hlm. 400.
[4] Lihat Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, juz 2, hlm. 368.
[5] Lihat riwayat al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafi’i, dinukil dari al-Mu’lim, hlm. 21.
[6] Lihat al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, juz 1, hlm.80.
[7] Ibid, juz 1, hlm. 79.
[8] Ibid, juz 1, hlm. 156.
[9] Ibid, juz 1, hlm. 28.
[10] Lihat Ibnu Jama’ah, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, hlm. 78.
[11] Ibid, hlm. 141.
[12] Ibid, hlm. 142.
[13] Ibid, hlm. 144.
[14] Ibid, hlm. 155.
[15] Ibid, hlm. 157.
[16] Ibid, hlm. 158.
[17] Ibid, hlm. 172.
[18] Ibid, hlm. 173.
[19] Ibid, hlm. 175.
[20] Lihat Al-Baihaqi, Syu'ab al-Iman, juz 14, hlm. 397.
[21] Lihat Ibn Abdil Barr, Jami' Bayan al-Ilm wa Fadhlih; al-Istidzkar, hlm. 143.
[22] Lihat Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz, hlm. 419.
===
https://t.me/yuanaryantresna
Terakhir, selain berbuah dalam amal, ilmu juga harus disebarkan dalam pengajaran dan dakwah. Itulah yang diwasiatkan Imam Sufyan al-Tsauri ketika menjelaskan marhalah belajar, dan Imam Ibnu Jama’ah ketika mengulas niat menuntut ilmu sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Penuntut ilmu dan ahli ilmu yang benar cara memperolehnya tidak mungkin berdusta dengan apa yang dipelajari, seperti mencampuradukan hak dan batil, atau menyembunyikan kebenaran. Intelektual muslim yang memanipulasi atau menyembunyikan kewajiban berhukum pada hukum-hukum Allah, dan menerapkan seluruh syariah-Nya, adalah mereka yang tidak jujur dengan apa yang dipelajarinya. Seorang ahli hikmah mengatakan:
إخفاء العلم هلكة وإخفاء العمل نجاة
"Menyembunyikan ilmu adalah kehancuran, sedangkan menyembunyikan amal adalah keselamatan."[21]
Penutup
Demikianlah adab sebagai perhiasan dalam lisan dan perilaku, yang dengannya kemanfaatan dan keberkahan ilmu bisa diraih dan diwujudkan. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang digambarkan oleh Imam al-Munawi saat menjelaskan hadits terkait sifat orang munafik:
"Maksudnya yaitu orang yang banyak ilmu di lidahnya, tapi bodoh hati dan amalnya. Ia menjadikan ilmu sebagai profesi yang dengan itu ia mencari makan. Ia berpenampilan penuh wibawa untuk menarik perhatian orang. Ia mengajak orang lain kepada Allah tapi ia sendiri lari dari Allah. Ia mencela aib orang lain lalu melakukan perbuatan yang lebih buruk daripadanya. Ia menampakkan ibadah dan kekhusyukan di hadapan manusia tapi melakukan dosa-dosa besar di hadapan tuhannya saat sendirian bersama-Nya. Ia adalah seekor serigala yang memakai baju."[22] []
Penulis adalah Mudir Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung
===
[1] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 6, hlm. 361; al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, juz 1, hlm. 80.
[2] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 6, hlm. 330.
[3] Lihat Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 10, hlm. 400.
[4] Lihat Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, juz 2, hlm. 368.
[5] Lihat riwayat al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafi’i, dinukil dari al-Mu’lim, hlm. 21.
[6] Lihat al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, juz 1, hlm.80.
[7] Ibid, juz 1, hlm. 79.
[8] Ibid, juz 1, hlm. 156.
[9] Ibid, juz 1, hlm. 28.
[10] Lihat Ibnu Jama’ah, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, hlm. 78.
[11] Ibid, hlm. 141.
[12] Ibid, hlm. 142.
[13] Ibid, hlm. 144.
[14] Ibid, hlm. 155.
[15] Ibid, hlm. 157.
[16] Ibid, hlm. 158.
[17] Ibid, hlm. 172.
[18] Ibid, hlm. 173.
[19] Ibid, hlm. 175.
[20] Lihat Al-Baihaqi, Syu'ab al-Iman, juz 14, hlm. 397.
[21] Lihat Ibn Abdil Barr, Jami' Bayan al-Ilm wa Fadhlih; al-Istidzkar, hlm. 143.
[22] Lihat Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz, hlm. 419.
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
Apakah rantai periwayatan,
عبد الله بن معبد الزماني عن أبي قتادة الأنصاري
adalah munqathi? Dan mengapa imam Bukhari tidak mengeluarkan dalam Shahihnya?
Jawab: Imam Bukhari menyebutkan dalam al-Tarikh al-Kabir bahwasannya beliau (عبد الله بن معبد الزماني) tidak diketahui mendengar hadits dari ابى قتادة. Hal inilah yang menjadi sebab beliau (al-Bukhari) tidak menyebutkannya dalam Shahihnya. Namun Imam Muslim telah membawakan riwayat hadits dengan isnad tersebut dalam Shahihnya.
#faidahilmuhadits
===
https://t.me/yuanaryantresna
عبد الله بن معبد الزماني عن أبي قتادة الأنصاري
adalah munqathi? Dan mengapa imam Bukhari tidak mengeluarkan dalam Shahihnya?
Jawab: Imam Bukhari menyebutkan dalam al-Tarikh al-Kabir bahwasannya beliau (عبد الله بن معبد الزماني) tidak diketahui mendengar hadits dari ابى قتادة. Hal inilah yang menjadi sebab beliau (al-Bukhari) tidak menyebutkannya dalam Shahihnya. Namun Imam Muslim telah membawakan riwayat hadits dengan isnad tersebut dalam Shahihnya.
#faidahilmuhadits
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
Apakah محمد بن كعب benar telah mendengar (sama') hadits dari para shahabat, khususnya dari Ibnu Mas'ud رضي الله عنهم أجمعين ?
Setahu saya, perkara ini mukhtalaf, apakah Muhammad bin Ka'ab mendengar dari para shahabat atau tidak. Terlebih kalau dikhususkan dari Ibnu Mas'ud, tidak ada informasi yang menyebutkan hal itu. Para ulama menguatkan bahwa beliau tidak sama' dari Ibnu Mas'ud.
#faidahilmuhadits
===
https://t.me/yuanaryantresna
Setahu saya, perkara ini mukhtalaf, apakah Muhammad bin Ka'ab mendengar dari para shahabat atau tidak. Terlebih kalau dikhususkan dari Ibnu Mas'ud, tidak ada informasi yang menyebutkan hal itu. Para ulama menguatkan bahwa beliau tidak sama' dari Ibnu Mas'ud.
#faidahilmuhadits
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
*Mengembalikan Kebenaran pada Tempatnya*
(Sebuah Pelajaran dari Para Ulama Jarh wa Ta'dil)
.
.
Dalam menilai seseorang, para ulama jarh wa ta'dil menyampaikan seperlunya sesuai dengan kewajiban yang Allah dan Rasul-Nya wajibkan pada mereka, yakni "mengembalikan kebenaran pada tempatnya". Hal itu tidak dengan menghina dan mencerca atas yang bersangkutan. Bahkan para ulama jarh wa ta'dil seperti amirul mu'minin fil hadits al-Imam al-Bukhari, dll menggunakan bahasa yang sangat santun. .
Mengapa demikian? Sekali lagi tujuan mereka para ulama --sebagaimana dijelaskan oleh al 'Allamah al-Syaikh al-Muhaddits al-Ushuli Abdul Aziz ibn Siddiq al-Ghumari-- adalah "mengembalikan kebenaran pada tempatnya..", dan itu tidak mengharuskan kita menjadi tukang umpat, tukang cerca atau tukang persekusi. Itulah akhlak para ulama jarh wa ta'dil.
.
Ini pula yang seharusnya kita semua pegang teguh karena mereka (para ulama) adalah termasuk teladan kita. Hal tersebut karena mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya, shahabat radhiyallahu 'anhum, dan sahabat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
.
Maka yang kita lakukan saat harus menilai orang lain bukan seperti tukang fitnah dan tukang mencemooh. Tapi yang kita lakukan adalah sebagaimana para ulama jarh wa ta'dil. Mengapa? Karena himmah kita adalah sebagaimana himmah para ulama jarh wa ta'dil, yakni "mengembalikan kebenaran pada tempat yang seharusnya." Wallahu a'lam.
.
.
Yuana Ryan Tresna
===
https://t.me/yuanaryantresna
(Sebuah Pelajaran dari Para Ulama Jarh wa Ta'dil)
.
.
Dalam menilai seseorang, para ulama jarh wa ta'dil menyampaikan seperlunya sesuai dengan kewajiban yang Allah dan Rasul-Nya wajibkan pada mereka, yakni "mengembalikan kebenaran pada tempatnya". Hal itu tidak dengan menghina dan mencerca atas yang bersangkutan. Bahkan para ulama jarh wa ta'dil seperti amirul mu'minin fil hadits al-Imam al-Bukhari, dll menggunakan bahasa yang sangat santun. .
Mengapa demikian? Sekali lagi tujuan mereka para ulama --sebagaimana dijelaskan oleh al 'Allamah al-Syaikh al-Muhaddits al-Ushuli Abdul Aziz ibn Siddiq al-Ghumari-- adalah "mengembalikan kebenaran pada tempatnya..", dan itu tidak mengharuskan kita menjadi tukang umpat, tukang cerca atau tukang persekusi. Itulah akhlak para ulama jarh wa ta'dil.
.
Ini pula yang seharusnya kita semua pegang teguh karena mereka (para ulama) adalah termasuk teladan kita. Hal tersebut karena mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya, shahabat radhiyallahu 'anhum, dan sahabat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
.
Maka yang kita lakukan saat harus menilai orang lain bukan seperti tukang fitnah dan tukang mencemooh. Tapi yang kita lakukan adalah sebagaimana para ulama jarh wa ta'dil. Mengapa? Karena himmah kita adalah sebagaimana himmah para ulama jarh wa ta'dil, yakni "mengembalikan kebenaran pada tempat yang seharusnya." Wallahu a'lam.
.
.
Yuana Ryan Tresna
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
🌿 AKHIR HAYAT IMAM SYAFI'I 🌿
ويروى عن المزني، قال: دخلت على الشافعي رضي الله عنه في علته التي مات منها، فقلت له: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت في الدنيا راحلا، وللإخوان مفارقا، ولكأس المنيّة شاربا، ولسوء عملي ملاقيا، وعلى الله واردا، فلا أدري: أروحي تصير إلى الجنة فأهنيها، أم إلى النار فأعزيها؟ ثم بكى
Ketika Imam Syafi'i sedang sakit menjelang wafat, murid beliau Al Muzani datang menjenguknya lalu bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaan Anda saat ini?"
Imam Syafi'i menjawab, "Saat ini aku akan meninggalkan dunia ini, berpisah dengan saudara-saudaraku, mengakhiri ajalku, menemui amal burukku dan menghadap Allah. Aku tidak tahu, apakah nyawaku nanti akan dibawa ke surga sehingga aku harus memberinya ucapan selamat ataukah akan dibawa ke neraka sehingga aku harus mengucapkan takziyah."
Kemudian beliau menangis.
📚Sumber: Ibnu al-Jauzi, Bahr al-Dumuu", hlm. 25.
YRT
===
https://t.me/yuanaryantresna
ويروى عن المزني، قال: دخلت على الشافعي رضي الله عنه في علته التي مات منها، فقلت له: كيف أصبحت؟ قال: أصبحت في الدنيا راحلا، وللإخوان مفارقا، ولكأس المنيّة شاربا، ولسوء عملي ملاقيا، وعلى الله واردا، فلا أدري: أروحي تصير إلى الجنة فأهنيها، أم إلى النار فأعزيها؟ ثم بكى
Ketika Imam Syafi'i sedang sakit menjelang wafat, murid beliau Al Muzani datang menjenguknya lalu bertanya kepadanya, "Bagaimana keadaan Anda saat ini?"
Imam Syafi'i menjawab, "Saat ini aku akan meninggalkan dunia ini, berpisah dengan saudara-saudaraku, mengakhiri ajalku, menemui amal burukku dan menghadap Allah. Aku tidak tahu, apakah nyawaku nanti akan dibawa ke surga sehingga aku harus memberinya ucapan selamat ataukah akan dibawa ke neraka sehingga aku harus mengucapkan takziyah."
Kemudian beliau menangis.
📚Sumber: Ibnu al-Jauzi, Bahr al-Dumuu", hlm. 25.
YRT
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
Gharami Shahih, Qasidah tentang Musthalah Hadits
Hebatnya qasidah ini, hanya 20 bait, tapi Imam besar sekelas Syarafuddin al-Yunini (701 H) dan Syarafuddin ad-Dimyathi (705 H) membaca kitab ini kepada penulisnya Imam Ahmad bin Farah Al-Isybili Asy-syafi'i (699 H)
Diantara baitnya:
غرامي صحيح و الرجا فيك معضل
و حزني و دمعي مرسل و مسلسل
"Cintaku padamu benar, dan harapanku terputus hanya kepadamu.
Kesedihanku dan air mataku terus mengalir berkelanjutan tanpa terputus."
Dalam Bait di atas, penulis ingin menjelaskan hadits shahih dan mu'dhal, mursal dan musalsal.
Tidak ada manzhumah sesingkat itu yang ulama kibar membaca dan memperdengarkannya kecuali itu. Nazhamnya ghazaliyyah, seperti merayu yang dikasihi. Sebenarnya ini cinta pada Rasulullah.
YRT
===
https://t.me/yuanaryantresna
Hebatnya qasidah ini, hanya 20 bait, tapi Imam besar sekelas Syarafuddin al-Yunini (701 H) dan Syarafuddin ad-Dimyathi (705 H) membaca kitab ini kepada penulisnya Imam Ahmad bin Farah Al-Isybili Asy-syafi'i (699 H)
Diantara baitnya:
غرامي صحيح و الرجا فيك معضل
و حزني و دمعي مرسل و مسلسل
"Cintaku padamu benar, dan harapanku terputus hanya kepadamu.
Kesedihanku dan air mataku terus mengalir berkelanjutan tanpa terputus."
Dalam Bait di atas, penulis ingin menjelaskan hadits shahih dan mu'dhal, mursal dan musalsal.
Tidak ada manzhumah sesingkat itu yang ulama kibar membaca dan memperdengarkannya kecuali itu. Nazhamnya ghazaliyyah, seperti merayu yang dikasihi. Sebenarnya ini cinta pada Rasulullah.
YRT
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
قال شهاب الدين أحمد بن فرج الأشبيلي -رحمه الله-:
1. غَرَامِي صَحِيحٌ وَالرَّجَا فِيكَ مُعْضَلُ .... وَحُزْنِي وَدَمْعِيمُرْسَلٌ وَمُسَلْسَلُ
2. وَصَبْرِيَ عَنْكُمْ يَشْهَدُ الْعَقْلُ أَنَّهُ ....ضَعِيفٌ وَمَتْرُوكٌ وَذُلِّيَ أَجْمَلُ
3. وَلاَ حَسَنٌ إِلاَّ سَمَاعُ حَدِيثِكُمْ .... مُشَافَهَةً يُمْلَى عَلَىَّ فَأَنْقُلُ
4. وَاَمْرِيَ مَوْقُوفٌ عَلَيْكَ وَلَيْسَ لِي.... عَلَى أَحَدٍ إِلاَّ عَلَيْكَ الْمُعَوَّلُ
5. وَلَوْ كَانَ مَرْفُوعًا إِلَيْكَ لَكُنْتَ لِي.... عَلَى رَغْمِ عُذَّالِي تَرِقُّ وَتَعْدِلُ
6. وَعَذْلُ عَذُولِي مُنْكَرٌ لا أُسِيغُهُ.... وَزُورٌ وَتَدْلِيسٌ يُرَدُّ وَيُهْمَلُ
7. أُقَضِّي زَمَانِي فِيكَ مُتَّصِلَ الأَسى.... وَمُنْقَطِعًا عَمَّا بِهِ أَتَوَصَّلُ
8. وَهَا أَنَا فِي أَكْفَانِ هَجْرِكَ مُدْرَجٌ ....تُكَلِّفُنِي مَا لا أُطِيقُ فَأَحْمِلُ
9. وَأَجْرَيْتُ دَمْعِي فَوْقَ خَدِّي مُدَبَّجًا ....وَمَا هِيَ إلا مُهْجَتِي تَتَحَلَّلُ
10. فَمُتَّفِقٌ جِسْمِي وَسُهْدِي وَعَبْرَتِي ....وَمُفْتَرِقٌ صَبْرِي وَقَلْبِي الْمُبَلْبَلُ
11. وَمُؤْتَلِفٌ وَجْدِي وَشَجْوِي وَلَوْعَتِي ....وَمُخْتَلِفٌ حَظِّي وَمَا مِنْكَ آمُلُ
12. خُذِ الْوَجْدَ مِنِّي مُسْنَدًا وَمُعَنْعَنًا فَغَيْرِي بِمَوْضُوعٍ الْهَوَى يَتَحَلَّلُ
13. وَذِي نُبَذٌ مِنْ مُبْهَم الْحُبِّ فَاعْتَبِرْ .... وَغَامِضُهُ إنْ رُمْتَ شَرْحًا أَطَوِّلُ
14. عَزِيزٌ بِكُمْ صَبٌّ ذَلِيلٌ لِعِزِّكُمْ ....وَمَشْهُورُ أَوْصَافِ الْمُحِبِّ التَّذَلُّلُ
15. غَرِيبٌ يُقَاسِي الْبُعْدَ عَنْكَ وَمَا لَهُ .... وَحَقِّكَ عَنْ دَارِ الْقِلَى مُتَحَوَّلُ
16. فَرِفْقًا بِمَقْطُوعِ الْوَسَائِلِ مَا لَهُ.... إِلَيْكَ سَبِيلٌ لا وَلا عَنْكَ مَعْدِلُ
17. فَلا زِلْتَ فِي عِزٍّ مَنِيعٍ وَرِفْعَةٍ .... وَلا زِلْتَ تَعْلُو بِالتَّجَنِّي فَأَنْزِلُ
18. أُوَرِّي بِسُعْدَى وَالرَّبَابِ وَزَيْنَبٍ.... وَأَنْتَ الَّذِي تُعْنَى وَأَنْتَ الْمُؤَمَّلُ
19. فَخُذْ أَوَّلاً مِنْ آخِرٍ ثُمَّ أَوَّلاً ....مِنْ النِّصْفِ مِنْهُ فَهْوَ فِيهِ مُكَمَّلُ
20. أَبَرُّ إِذَا أَقْسَمْتُ أَنِّي بِحُبِّهِ أَهِيمُ.... وَقَلْبِي بِالصَّبَابَةِ مُشْعَلُ
1. غَرَامِي صَحِيحٌ وَالرَّجَا فِيكَ مُعْضَلُ .... وَحُزْنِي وَدَمْعِيمُرْسَلٌ وَمُسَلْسَلُ
2. وَصَبْرِيَ عَنْكُمْ يَشْهَدُ الْعَقْلُ أَنَّهُ ....ضَعِيفٌ وَمَتْرُوكٌ وَذُلِّيَ أَجْمَلُ
3. وَلاَ حَسَنٌ إِلاَّ سَمَاعُ حَدِيثِكُمْ .... مُشَافَهَةً يُمْلَى عَلَىَّ فَأَنْقُلُ
4. وَاَمْرِيَ مَوْقُوفٌ عَلَيْكَ وَلَيْسَ لِي.... عَلَى أَحَدٍ إِلاَّ عَلَيْكَ الْمُعَوَّلُ
5. وَلَوْ كَانَ مَرْفُوعًا إِلَيْكَ لَكُنْتَ لِي.... عَلَى رَغْمِ عُذَّالِي تَرِقُّ وَتَعْدِلُ
6. وَعَذْلُ عَذُولِي مُنْكَرٌ لا أُسِيغُهُ.... وَزُورٌ وَتَدْلِيسٌ يُرَدُّ وَيُهْمَلُ
7. أُقَضِّي زَمَانِي فِيكَ مُتَّصِلَ الأَسى.... وَمُنْقَطِعًا عَمَّا بِهِ أَتَوَصَّلُ
8. وَهَا أَنَا فِي أَكْفَانِ هَجْرِكَ مُدْرَجٌ ....تُكَلِّفُنِي مَا لا أُطِيقُ فَأَحْمِلُ
9. وَأَجْرَيْتُ دَمْعِي فَوْقَ خَدِّي مُدَبَّجًا ....وَمَا هِيَ إلا مُهْجَتِي تَتَحَلَّلُ
10. فَمُتَّفِقٌ جِسْمِي وَسُهْدِي وَعَبْرَتِي ....وَمُفْتَرِقٌ صَبْرِي وَقَلْبِي الْمُبَلْبَلُ
11. وَمُؤْتَلِفٌ وَجْدِي وَشَجْوِي وَلَوْعَتِي ....وَمُخْتَلِفٌ حَظِّي وَمَا مِنْكَ آمُلُ
12. خُذِ الْوَجْدَ مِنِّي مُسْنَدًا وَمُعَنْعَنًا فَغَيْرِي بِمَوْضُوعٍ الْهَوَى يَتَحَلَّلُ
13. وَذِي نُبَذٌ مِنْ مُبْهَم الْحُبِّ فَاعْتَبِرْ .... وَغَامِضُهُ إنْ رُمْتَ شَرْحًا أَطَوِّلُ
14. عَزِيزٌ بِكُمْ صَبٌّ ذَلِيلٌ لِعِزِّكُمْ ....وَمَشْهُورُ أَوْصَافِ الْمُحِبِّ التَّذَلُّلُ
15. غَرِيبٌ يُقَاسِي الْبُعْدَ عَنْكَ وَمَا لَهُ .... وَحَقِّكَ عَنْ دَارِ الْقِلَى مُتَحَوَّلُ
16. فَرِفْقًا بِمَقْطُوعِ الْوَسَائِلِ مَا لَهُ.... إِلَيْكَ سَبِيلٌ لا وَلا عَنْكَ مَعْدِلُ
17. فَلا زِلْتَ فِي عِزٍّ مَنِيعٍ وَرِفْعَةٍ .... وَلا زِلْتَ تَعْلُو بِالتَّجَنِّي فَأَنْزِلُ
18. أُوَرِّي بِسُعْدَى وَالرَّبَابِ وَزَيْنَبٍ.... وَأَنْتَ الَّذِي تُعْنَى وَأَنْتَ الْمُؤَمَّلُ
19. فَخُذْ أَوَّلاً مِنْ آخِرٍ ثُمَّ أَوَّلاً ....مِنْ النِّصْفِ مِنْهُ فَهْوَ فِيهِ مُكَمَّلُ
20. أَبَرُّ إِذَا أَقْسَمْتُ أَنِّي بِحُبِّهِ أَهِيمُ.... وَقَلْبِي بِالصَّبَابَةِ مُشْعَلُ
10 HAL DILARANG DIKERJAKAN OLEH WANITA SEDANG HAID & NIFAS
Syaikh Salim Al-Hadrami rahimahullah berkata,
وَيَحْرُمُ بِالْحَيْضِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ: 1- الصَّلاَةُ. وَ2- الطَّوَافُ. وَ3- مَسُّ الْمُصْحَفِ. وَ4- حَمْلُهُ. وَ5- اللُّبْثُ فِيْ الْمَسْجِدِ. وَ6- قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ. وَ7- الصَّوْمُ. وَ8- الطَّلاَقُ. وَ9- المُرُوْرُ فِيْ المَسْجِدِ إِنْ خَافَتْ تَلْوِيْثَهُ. وَ10- الاسْتِمْتَاعُ بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.
Wanita haidh diharamkan sepuluh hal, yaitu [1] shalat, [2] thawaf, [3-4] menyentuh mushaf dan membawanya, [5] berdiam diri di masjid, [6] membaca Al-Qur’an, [7] puasa, [8] talak, [9] melewati masjid jika takut mengotorinya, dan [10] istimta’ (bercumbu) di sekitar daerah antara pusar dan lutut.
Catatan: cerai pada saat haidh, sah dan terhitung cerainya, namun suaminya berdosa apabila menceraikan istrinya, dan wajib baginya untuk rujuk.
#madzhabsyafii #fiqihsyafii #haid4madzhab #nifas4madzhab #safinah #taqrib
===
https://t.me/yuanaryantresna
Syaikh Salim Al-Hadrami rahimahullah berkata,
وَيَحْرُمُ بِالْحَيْضِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ: 1- الصَّلاَةُ. وَ2- الطَّوَافُ. وَ3- مَسُّ الْمُصْحَفِ. وَ4- حَمْلُهُ. وَ5- اللُّبْثُ فِيْ الْمَسْجِدِ. وَ6- قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ. وَ7- الصَّوْمُ. وَ8- الطَّلاَقُ. وَ9- المُرُوْرُ فِيْ المَسْجِدِ إِنْ خَافَتْ تَلْوِيْثَهُ. وَ10- الاسْتِمْتَاعُ بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.
Wanita haidh diharamkan sepuluh hal, yaitu [1] shalat, [2] thawaf, [3-4] menyentuh mushaf dan membawanya, [5] berdiam diri di masjid, [6] membaca Al-Qur’an, [7] puasa, [8] talak, [9] melewati masjid jika takut mengotorinya, dan [10] istimta’ (bercumbu) di sekitar daerah antara pusar dan lutut.
Catatan: cerai pada saat haidh, sah dan terhitung cerainya, namun suaminya berdosa apabila menceraikan istrinya, dan wajib baginya untuk rujuk.
#madzhabsyafii #fiqihsyafii #haid4madzhab #nifas4madzhab #safinah #taqrib
===
https://t.me/yuanaryantresna
Telegram
Yuana Ryan Tresna Official
hanya debu jalanan yang sedang tertatih-tatih dalam safar panjang
===
yuanaryantresna.id
===
yuanaryantresna.id
*MUBAH*
Mubah itu pilihan, antara melakukan atau meninggalkan. Baik mengerjakan maupun meninggalkan sama-sama tidak berimplikasi pahala atau siksa.
Namun bagi seorang muslim, dalam mengerjakan yang mubah harus memiliki pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
*Kapan kita meninggalkan yang mubah? Diantaranya karena alasan berikut:*
*Pertama, ketika perkara mubah tersebut tiada guna.*
Nabi bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.
“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. al-Tirmidzi dan yang lainnya)
*Kedua, perkara tersebut dilarang untuk dikerjakan oleh orang yang memiliki otoritas perintah kepada kita, seperti orang tua, suami dan pemimpin*
Dalilnya amat banyak, diantaranya:
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
"Pernah ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai dan Ahmad)
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari)
*Ketiga, perkara tersebut mengandung bahaya khusus bagi diri sendiri*. Untuk poin ketiga ini bahkan hukumnya sudah berubah menjadi haram khusus bagi dirinya.
Kaidahnya adalah,
كل فرد من أفراد المباح إذا كان ضاراً أو مؤدياً إلى ضرر حُرم ذلك الفرد وظل الأمر مباحاً
“Setiap bagian dari sesuatu yang mubah apabila bagian itu berbahaya atau mengantarkan pada yang bahaya maka bagian tersebut adalah haram sedangkan yang lainnya tetap mubah”
Kaidah tersebut digali dari hadits Nabi ﷺ sebagaimana disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam.
Apalagi jika perkara tersebut menimbulkan dharar (bahaya) secara mutlak dan umum, maka hukumnya adalah haram. Sebagaimana kaidah yang digali dari Hadits Nabi riwayat Malik dan Ahmad "لا ضرر ولا ضِرار في الإسلام", yakni,
الأصل في المضار التحريم
“Hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram”
*Lantas kapan kita melakukan yang mubah? Ada beberapa pertimbangan, diantaranya:*
*Pertama, perkara mubah tersebut memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi yang lain.*
Dasarnya adalah pemahaman kebalikan dari hadits riwayat Tirmidzi di atas. "Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. al-Tirmidzi dan yang lainnya).
*Kedua, dalam rangka tasyabbuh (menyerupai) orang yang dicintai, atau menyesuaikan dengan kebiasaan orang-orang yang dihormati.*
Dalilnya adalah sabda beliau ﷺ,
المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seorang itu beserta orang yang dicintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud)
Dalam hadits riwayat Anas,
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau bersama orang (atau golongan) yang engkau cintai.”
Dalam riwayat lain,
وَلَا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ
“Seseorang tidak akan mencintai suatu kaum kecuali akan dikumpulkan bersama mereka.” (HR. Thabarani, dari Ali)
Penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 10/555:
قَوْلُهُ : (إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ) أَيْ: مُلْحَقٌ بِهِمْ حَتَّى تَكُونَ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وبهذا يندفعُ إيراد أنَّ منازلهم متفاوتةٌ، فكيف تصحُّ المعيةُ؟! فيُقالُ إنَّ المعيةَ تحصلُ بمجرد الاجتماع في شيءٍ ما، ولا تلزمُ في جميع الأشياء، فإذا اتَّفقَ أنَّ الجميعَ دخلوا الجنةَ صدَقَتِ المعيةُ، وإنْ تفاوتَتِ الدرجاتُ)
Kalimat "Engkau bersama orang yang kamu cintai" maksudnya dipertemukan dengan mereka sehingga kamu menjadi golongan mereka...
Rupanya hadits tersebut bukan hanya terkait mengik
Mubah itu pilihan, antara melakukan atau meninggalkan. Baik mengerjakan maupun meninggalkan sama-sama tidak berimplikasi pahala atau siksa.
Namun bagi seorang muslim, dalam mengerjakan yang mubah harus memiliki pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
*Kapan kita meninggalkan yang mubah? Diantaranya karena alasan berikut:*
*Pertama, ketika perkara mubah tersebut tiada guna.*
Nabi bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.
“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. al-Tirmidzi dan yang lainnya)
*Kedua, perkara tersebut dilarang untuk dikerjakan oleh orang yang memiliki otoritas perintah kepada kita, seperti orang tua, suami dan pemimpin*
Dalilnya amat banyak, diantaranya:
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
"Pernah ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, menaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai dan Ahmad)
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari)
*Ketiga, perkara tersebut mengandung bahaya khusus bagi diri sendiri*. Untuk poin ketiga ini bahkan hukumnya sudah berubah menjadi haram khusus bagi dirinya.
Kaidahnya adalah,
كل فرد من أفراد المباح إذا كان ضاراً أو مؤدياً إلى ضرر حُرم ذلك الفرد وظل الأمر مباحاً
“Setiap bagian dari sesuatu yang mubah apabila bagian itu berbahaya atau mengantarkan pada yang bahaya maka bagian tersebut adalah haram sedangkan yang lainnya tetap mubah”
Kaidah tersebut digali dari hadits Nabi ﷺ sebagaimana disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam.
Apalagi jika perkara tersebut menimbulkan dharar (bahaya) secara mutlak dan umum, maka hukumnya adalah haram. Sebagaimana kaidah yang digali dari Hadits Nabi riwayat Malik dan Ahmad "لا ضرر ولا ضِرار في الإسلام", yakni,
الأصل في المضار التحريم
“Hukum asal sesuatu yang membahayakan adalah haram”
*Lantas kapan kita melakukan yang mubah? Ada beberapa pertimbangan, diantaranya:*
*Pertama, perkara mubah tersebut memberikan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi yang lain.*
Dasarnya adalah pemahaman kebalikan dari hadits riwayat Tirmidzi di atas. "Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. al-Tirmidzi dan yang lainnya).
*Kedua, dalam rangka tasyabbuh (menyerupai) orang yang dicintai, atau menyesuaikan dengan kebiasaan orang-orang yang dihormati.*
Dalilnya adalah sabda beliau ﷺ,
المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seorang itu beserta orang yang dicintainya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas’ud)
Dalam hadits riwayat Anas,
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau bersama orang (atau golongan) yang engkau cintai.”
Dalam riwayat lain,
وَلَا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ
“Seseorang tidak akan mencintai suatu kaum kecuali akan dikumpulkan bersama mereka.” (HR. Thabarani, dari Ali)
Penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 10/555:
قَوْلُهُ : (إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ) أَيْ: مُلْحَقٌ بِهِمْ حَتَّى تَكُونَ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وبهذا يندفعُ إيراد أنَّ منازلهم متفاوتةٌ، فكيف تصحُّ المعيةُ؟! فيُقالُ إنَّ المعيةَ تحصلُ بمجرد الاجتماع في شيءٍ ما، ولا تلزمُ في جميع الأشياء، فإذا اتَّفقَ أنَّ الجميعَ دخلوا الجنةَ صدَقَتِ المعيةُ، وإنْ تفاوتَتِ الدرجاتُ)
Kalimat "Engkau bersama orang yang kamu cintai" maksudnya dipertemukan dengan mereka sehingga kamu menjadi golongan mereka...
Rupanya hadits tersebut bukan hanya terkait mengik