n di Sumedang dijulukan Ngabei Sacaparana dan mengangkat Wiraangun-angun menjadi Patih, dijulukan, Aria Sacadiraja.
Pada awal pemerintahan Cilikwidara menaikkan pajak bumi sangat tinggi, rakyat Sumedang dililit krisis ekonomi, kemiskinan timbul dimana-mana. Bukan kepada orang Sumedang Cilikwidara sangat berangasan, tetapi kepada juga kepada koleganya, oleh sebab itu banyak punggawa yang memunggunginya, malahan terhadap Cakrayuda juga memusuhinya, dan setelah itu kabur bersama mertuanya Tmg. Wiraangun-angun ke Karawang, jadi lama kelamaan Cilikwidara banyak musuhnya lagi. Pusatnya yang jadi musuh Cilikwidara di Galunggung Tasikmalaya (Sukapura). Pangeran Panembahan diakui Demang Galunggung R. Sacakusuma dan Tmg. Parakanmuncang. Pangeran Panembahan tidak membiarkan tindakan Cilikwidara, kemudian memohon bantuan kepada Bupati Sukapura dan Bupati Cikundul. Permohonan tersebut dipenuhi dengan mengirim pasukan dalam jumlah besar. Pasukan gabungan menyerbu pendopo kabupaten, Pangeran Panembahan dijadikan kepalanya. Kemudian Pangeran Panembahan menyatroni ke Sumedang, meskipun kekurangan pekarang perang dan tak biasa berperang, tidak urung bisa mengalahkan pasukan Cilikwidara, serta Sumedang dapat dikuasai kembali.
Orang Bali kabur dari Sumedang, ini terjadi kira-kira bulan Mei tahun 1679, namun tidak lama menangnya, oleh sebab setelah kemenangan 14 hari, Cilikwidara datang lagi ke Sumedang dan Sumedang dikuasainya kembali. Pangeran Panembahan lolos dari kepungan dan ke arah Selatan Kota Sumedang melintasi pegunungan, yang kemudian sampai ke Indramayu, yang akhirnya ditawan atau tinggal dulu dengan kompeni.
Kepala-kepala Pemerintahan di Priangan miris oleh Banten, oleh sebab itu mereka menyerah kepada Sultan Agung Tirtayasa, misalna ; Bandung, Turugagung, Limbangan, Timbanganten, Sudalarang, Cijapati, Darmaraja, Pawenang, Sukawayana, Cipeundeuh, Rajapolah, Panembong, Suci, Sukapura, Parakanmuncang, Maribaya, Indihiang, Panarajang, Parung, Karang, Cihaur, Pageding di Sukapura, yang boleh jadi se Priangan menjadi takluk ke Banten.
Demikian keadaannya di Sumedang dan di Priangan boleh jadi taluk kepada Banten
dalam awal tahun 1679 tidak ada perubahan sampai akhir tahun 1680. Pangeran Panembahan dibawa yang dibawa ke Indramayu tidak bisa melakukan apa-apa, melihat apa yang dilakukan oleh Cilikwidara berbuat sesuka hati di Sumedang, begitu juga Kompeni tidak ada gerakannya di Pasundaan, sebab tentaranya dipakai untuk memerangi Pasukan Trunojojoyo di Pasuruan Jawa Timur. Begitu juga dengan ikut campur ke Mataram dan ke Priangan, Banten juga bermusuhan, selama itu Betawi mesti siap siaga takut Banten menyerang sewaktu lenggah. Panjang sekali kalau dikisahkan Tentara Kompeni diarahkan ke Jawa Timur.
Cepatnya alur cerita di Jawa Timur yang belum beres, kita kembali ke masalah di Betawi dan Banten yang berbeda paham, sebab Belanda musuhnya Banten, daripada masalah politik dan perkara perdagangan, sebab kontrak dengan Sultan Amangkurat 2 Mataram, Kompeni menjadi lebih maju dalam dagangnya di Hindia. Banten waktu itu negara dagang yang besar di Priangan, oleh sebab itu Banten berusaha untuk mengalahkan Kompeni. Namun karena Kesultanan Banten sudah dalam keadaan tidak beres, Sultan Ageng Tirtayasa berbeda pendapat dengan putranya Sultan Haji. Kalau Sultan Ageng Tirtayasa mesti berperang dengan Kompeni, namun Sultan Haji lebih dengan cara berdamai dengan Kompeni, yang ikut berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa pada waktu itu adalah Punggawa Aria Monjaya, Pangeran Kidul, Pangeran Poerabaya, Pangeran Lor, Ratu Bagusjaya, Syekh Yusuf, Kiyai Gede. Golongan Sultan Haji berpihak dengan Belanda, nah begitulah karena kesultanan tidak beres, seperti terjadi di kesultanan Mataram. Pada masa Sultan Agung memusuhi Belanda, tetapi sebaliknya Sultan Amangkurat kooperatif dengan Belanda.
Banten masih bisa merugikan Kompeni di Betawi, serta masih bisa memerintah di Priangan. Semasa Trunojoyo unggul dalam peperangan, namun akhirnya Trunojoya terdesak, sehingga penyerangan Sultan Ageng Tirtayasa ke Betawi tidak jadi, mungkin juga pengaruh Sultan Haji
Pada awal pemerintahan Cilikwidara menaikkan pajak bumi sangat tinggi, rakyat Sumedang dililit krisis ekonomi, kemiskinan timbul dimana-mana. Bukan kepada orang Sumedang Cilikwidara sangat berangasan, tetapi kepada juga kepada koleganya, oleh sebab itu banyak punggawa yang memunggunginya, malahan terhadap Cakrayuda juga memusuhinya, dan setelah itu kabur bersama mertuanya Tmg. Wiraangun-angun ke Karawang, jadi lama kelamaan Cilikwidara banyak musuhnya lagi. Pusatnya yang jadi musuh Cilikwidara di Galunggung Tasikmalaya (Sukapura). Pangeran Panembahan diakui Demang Galunggung R. Sacakusuma dan Tmg. Parakanmuncang. Pangeran Panembahan tidak membiarkan tindakan Cilikwidara, kemudian memohon bantuan kepada Bupati Sukapura dan Bupati Cikundul. Permohonan tersebut dipenuhi dengan mengirim pasukan dalam jumlah besar. Pasukan gabungan menyerbu pendopo kabupaten, Pangeran Panembahan dijadikan kepalanya. Kemudian Pangeran Panembahan menyatroni ke Sumedang, meskipun kekurangan pekarang perang dan tak biasa berperang, tidak urung bisa mengalahkan pasukan Cilikwidara, serta Sumedang dapat dikuasai kembali.
Orang Bali kabur dari Sumedang, ini terjadi kira-kira bulan Mei tahun 1679, namun tidak lama menangnya, oleh sebab setelah kemenangan 14 hari, Cilikwidara datang lagi ke Sumedang dan Sumedang dikuasainya kembali. Pangeran Panembahan lolos dari kepungan dan ke arah Selatan Kota Sumedang melintasi pegunungan, yang kemudian sampai ke Indramayu, yang akhirnya ditawan atau tinggal dulu dengan kompeni.
Kepala-kepala Pemerintahan di Priangan miris oleh Banten, oleh sebab itu mereka menyerah kepada Sultan Agung Tirtayasa, misalna ; Bandung, Turugagung, Limbangan, Timbanganten, Sudalarang, Cijapati, Darmaraja, Pawenang, Sukawayana, Cipeundeuh, Rajapolah, Panembong, Suci, Sukapura, Parakanmuncang, Maribaya, Indihiang, Panarajang, Parung, Karang, Cihaur, Pageding di Sukapura, yang boleh jadi se Priangan menjadi takluk ke Banten.
Demikian keadaannya di Sumedang dan di Priangan boleh jadi taluk kepada Banten
dalam awal tahun 1679 tidak ada perubahan sampai akhir tahun 1680. Pangeran Panembahan dibawa yang dibawa ke Indramayu tidak bisa melakukan apa-apa, melihat apa yang dilakukan oleh Cilikwidara berbuat sesuka hati di Sumedang, begitu juga Kompeni tidak ada gerakannya di Pasundaan, sebab tentaranya dipakai untuk memerangi Pasukan Trunojojoyo di Pasuruan Jawa Timur. Begitu juga dengan ikut campur ke Mataram dan ke Priangan, Banten juga bermusuhan, selama itu Betawi mesti siap siaga takut Banten menyerang sewaktu lenggah. Panjang sekali kalau dikisahkan Tentara Kompeni diarahkan ke Jawa Timur.
Cepatnya alur cerita di Jawa Timur yang belum beres, kita kembali ke masalah di Betawi dan Banten yang berbeda paham, sebab Belanda musuhnya Banten, daripada masalah politik dan perkara perdagangan, sebab kontrak dengan Sultan Amangkurat 2 Mataram, Kompeni menjadi lebih maju dalam dagangnya di Hindia. Banten waktu itu negara dagang yang besar di Priangan, oleh sebab itu Banten berusaha untuk mengalahkan Kompeni. Namun karena Kesultanan Banten sudah dalam keadaan tidak beres, Sultan Ageng Tirtayasa berbeda pendapat dengan putranya Sultan Haji. Kalau Sultan Ageng Tirtayasa mesti berperang dengan Kompeni, namun Sultan Haji lebih dengan cara berdamai dengan Kompeni, yang ikut berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa pada waktu itu adalah Punggawa Aria Monjaya, Pangeran Kidul, Pangeran Poerabaya, Pangeran Lor, Ratu Bagusjaya, Syekh Yusuf, Kiyai Gede. Golongan Sultan Haji berpihak dengan Belanda, nah begitulah karena kesultanan tidak beres, seperti terjadi di kesultanan Mataram. Pada masa Sultan Agung memusuhi Belanda, tetapi sebaliknya Sultan Amangkurat kooperatif dengan Belanda.
Banten masih bisa merugikan Kompeni di Betawi, serta masih bisa memerintah di Priangan. Semasa Trunojoyo unggul dalam peperangan, namun akhirnya Trunojoya terdesak, sehingga penyerangan Sultan Ageng Tirtayasa ke Betawi tidak jadi, mungkin juga pengaruh Sultan Haji
yang mau menggantikan orang tuanya menguasai kesultanan Banten, yang akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa menjadi begawan di Tirtayasa. Yang paling dulu dikerjakan oleh Sultan Haji adalah berkompromi (koopertif) dengan belanda di Betawi, terutama merubah surat perjanjian dagang kerjasama, yang dibuat tahun 1959, oleh sebab itu Banten dan Kompeni tidak bermusuhan lagi, dan juga Banten tidak akan ikut campur lagi dengan Cirebon dan Sumedang. Oleh sebab itu Cilikwidara dipanggil ke Banten oleh Sultan Haji pada awal bulan Oktober 1680, Cilikwidara mesti meninggalkan Sumedang. Barang-barang yang didapat dari merampas dirampas lagi serta kalau ingin selamat mesti terus ke Banten, oleh sebab Sultan Haji tidak menanggung keselamatan jiwanya Cilikwidara dan bala tentaranya.
Dua tahun lamanya Sumedang diduduki oleh Cilikwidara dan Pasukannya yang pada waktu itu Ibukotanya di Tegalkalong, Pangeran Panembahan yang ditempatkan oleh Belanda di Cirebon, meminta ijin kepada Kompeni untuk kembali ke Sumedang dan diantarkan oleh Kapten Jochens Michielz serta kembali memerintah di Sumedang, ini terjadi dalam awal 1681, Ibukota yang dirusak oleh musuh terus diperbaiki kembali oleh Pangeran Panembahan, dan Ibukota Kabupaten dipindahkan ke Kabupatian sekarang.
Dampak peperangan banyak beban yang dihadapi oleh Panembahan, dengan sendirinya harus menata kembali tatanan sosial dan ekonomi yang hancur. Oleh karena itu Pangeran Panembahan memperluas lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Setiap pengabdi dalem dan para pamuk diberikan tanah bengkok tujuannya untuk mensejahterakan keluarga para abdi dalem dan keluarga prajurit, secara umum untuk memperbaiki taraf kehidupan rakyat.
Dalam segi pemerintahan yang dikembangkan oleh Pangeran Panembahan berdasarkan kepada falsafah kerakyatan yaitu mempersatukan seluruh komponen masyarakat. Walaupun harus kehilangan kekuasaan yang dilucuti oleh para pemimpin di pulau Jawa, dengan terpaksa merelakan kehilangan sebagian wilayah.
@urangsundaasli
Dua tahun lamanya Sumedang diduduki oleh Cilikwidara dan Pasukannya yang pada waktu itu Ibukotanya di Tegalkalong, Pangeran Panembahan yang ditempatkan oleh Belanda di Cirebon, meminta ijin kepada Kompeni untuk kembali ke Sumedang dan diantarkan oleh Kapten Jochens Michielz serta kembali memerintah di Sumedang, ini terjadi dalam awal 1681, Ibukota yang dirusak oleh musuh terus diperbaiki kembali oleh Pangeran Panembahan, dan Ibukota Kabupaten dipindahkan ke Kabupatian sekarang.
Dampak peperangan banyak beban yang dihadapi oleh Panembahan, dengan sendirinya harus menata kembali tatanan sosial dan ekonomi yang hancur. Oleh karena itu Pangeran Panembahan memperluas lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Setiap pengabdi dalem dan para pamuk diberikan tanah bengkok tujuannya untuk mensejahterakan keluarga para abdi dalem dan keluarga prajurit, secara umum untuk memperbaiki taraf kehidupan rakyat.
Dalam segi pemerintahan yang dikembangkan oleh Pangeran Panembahan berdasarkan kepada falsafah kerakyatan yaitu mempersatukan seluruh komponen masyarakat. Walaupun harus kehilangan kekuasaan yang dilucuti oleh para pemimpin di pulau Jawa, dengan terpaksa merelakan kehilangan sebagian wilayah.
@urangsundaasli
Medang Kahyangan (Medal Kamulyan) Zaman Kerajaan Salakanagara
PANGIRING MEDAL KAMULYAN, ZAMAN KARAJAAN SALAKANAGARA NU MEDAL DI SUMEDANG
Saeutik pisan mun ngabahas Medang Kahyangan, saencan Tembong Agung diadegkeun ku Prabu Aji Putih di Darmaraja (678 - 721) , nu kacutat dina naskah Sunda buhun, ngan katulis dina naskah perjalanan Bujangga Manik, nu eusina kieu :
"...ku ngaing geus kalempangan meu(n)tas di Cupunagara, lurah "MEDANG KAHYANGAN" ngalalar ka Tompo Omas, meu(n)tas aing di Cimanuk".
Kitu deui Gunung Tampomas ngan kaungkap dina naskah Carita Ratu Di Pakuan :
"... Gunung Cupu, Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Taambo Agu(ng), nu leuwih kasih, ahistuhan Rahmacuté, seuweu pa[h]tih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang...".
Hartina : Gunung Cupu, Gunung Tampomas, tempat tatapa Pwahaci Niwarti, nu nuluykeun ku Tembong Agung, nu leuwih asih adina Rahmacuté, turunan Patih Prabu Wangi Serepong Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang.
Katerangan :
adina Rahmacuté (Prabu Aji Putih), nyaeta Sakawana (Mbah Jalul) putrana Prb. Aji Putih raja Tembong Agung anu pernah ngawakilan Sumedanglarang ngawasa di sakitar Gn. Tampomas, sabada Medang Kahyangan dina jaman Prb. Tajimalela / Brata Kusuma ngawasa Raja Sumedanglarang (721 - 778), turunan Aria Bimaraksa.
Gunung Cupu, Bukit Tanporasih, Ma(n)dala Tanpo Waha[n}nan, Sri Gina bukit / Manghening, Pata(n)jala pané(n)joan.
Hartina : Gunung Cupu, Gunung Tampomas Mandala Tampo Wahanan, tempat ngahening diri (tatapa) jeung tempat panenjoan.
Kamandalaan nyaeta kata benda pikeun Mandala nu hartina Tempat Suci (arhat) jeung sakaligus daerah anu jadi wilayah bawahan karajaan waktu harita (Tarumanagara), nu miboga kawenangan nu khusus dina bidang keagamaan. Sabagean masyarakat di tatar Sunda nyaruakeun Mandala sarua jeung Kabuyutan.
Mandala nyaeta tempat suci jeung tempat diajar paelmuan kaagamaan dina ajaran Jati Sunda jeung kahinduan anu dipimpin ku Rsi Guru. Di samping eta aya aktivitas sejen salian elmu kaagamaan, misalna ngokolakeun tatanen jeung perniagaan, oge dijaga keamanannya ku para cantrik / prajurit pangamanan di Mandala.
Panggiring Medal Kamulyan di Sumedang (jaman Kerajaan Salakanagara), nyaeta Karajaan nu corakna Hindu mimiti di Jawa Barat nu didirikeun Dewa Warman Tahun 52 Caka Sunda, Nagarana nyaetai Salakanagara, Ibukotanya : "Raja Tra Pura" atawa "Kota Perak" di Pandeglang Banten.
Raja-Raja Salaka Nagara
1. Dharama Lokapala 130 – 168
2. Digwijagakasa Dewa Warmanputra 168 – 195
3. Singha Sagara Bimayayasa Wirya 195 – 238
4. Dharma Satya Nagara 238 – 252
5. Dharma Satya Jaya Waruna Dewa 252 – 290
Dina versi Sajarah Salakanagara, dina masa Raja ka 3 nyaeta, Raja Salakanagara (Raja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala / Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa), 169 - 282 Caka (395 - 434 M).
Nalika Dharma Satyajaya Waruna Dewa marentah di Kerajaan Salakanagara jadi Raja nu ka 5 dina taun 129 - 177 Caka (242 - 290 M), putra-putrana 7 jalmi aya nu ninggalkeun ka Karatonan ngajugjug ka arah wetan ti Salakanagara pikeun nyebarkeun kayakinan dina waktu harita sarta tumetep di daerah sakitar pagunungan, nu salajengna jadi Tumenggung, Batara Guru atawa Resi, aya oge nu salajengna janten pamimpin atawa Raja sabab ngalanjutkeun Medal Kamulyan Salakanagara di Sumedamg, Medal hartina datang, Kamulyan hartosna budina luhur jeung jembar manah.
Wilayah Sumedang waktu harita kalebet wilayahna bawahan karajaan Salakanagara, nu disebatna willayah Cupugiri jeung wilayah Gunung Cupu di Sumedang.
- Dharma Satya Nagara migarwa Sanghyang Dewi Ningrum, putrana : Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (Jagat Jaya Ningrat)
- Sanghyang Prabu Wisesa migarwa Sanghyang Dewi Kencana, putrana : Sri Nurcahya
- Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (Jagat Jaya Ningrat) migarwa Sri Nurcahya, puputra 7, nyaeta :
1. Prabu Daniswara (Sumaradira) janten Raja di suku Gunung Tampomas, anu nyebarkeun ajaran ka-Hindu-an di belah kaler wilayah Sumedang waktu harit
PANGIRING MEDAL KAMULYAN, ZAMAN KARAJAAN SALAKANAGARA NU MEDAL DI SUMEDANG
Saeutik pisan mun ngabahas Medang Kahyangan, saencan Tembong Agung diadegkeun ku Prabu Aji Putih di Darmaraja (678 - 721) , nu kacutat dina naskah Sunda buhun, ngan katulis dina naskah perjalanan Bujangga Manik, nu eusina kieu :
"...ku ngaing geus kalempangan meu(n)tas di Cupunagara, lurah "MEDANG KAHYANGAN" ngalalar ka Tompo Omas, meu(n)tas aing di Cimanuk".
Kitu deui Gunung Tampomas ngan kaungkap dina naskah Carita Ratu Di Pakuan :
"... Gunung Cupu, Bukit Tamporasih, patapaan Pwahaci Niwarti, nu nitis ka Taambo Agu(ng), nu leuwih kasih, ahistuhan Rahmacuté, seuweu pa[h]tih Prebu Wangi Serepong. Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang...".
Hartina : Gunung Cupu, Gunung Tampomas, tempat tatapa Pwahaci Niwarti, nu nuluykeun ku Tembong Agung, nu leuwih asih adina Rahmacuté, turunan Patih Prabu Wangi Serepong Sira Punara Putih, ti Sumedanglarang.
Katerangan :
adina Rahmacuté (Prabu Aji Putih), nyaeta Sakawana (Mbah Jalul) putrana Prb. Aji Putih raja Tembong Agung anu pernah ngawakilan Sumedanglarang ngawasa di sakitar Gn. Tampomas, sabada Medang Kahyangan dina jaman Prb. Tajimalela / Brata Kusuma ngawasa Raja Sumedanglarang (721 - 778), turunan Aria Bimaraksa.
Gunung Cupu, Bukit Tanporasih, Ma(n)dala Tanpo Waha[n}nan, Sri Gina bukit / Manghening, Pata(n)jala pané(n)joan.
Hartina : Gunung Cupu, Gunung Tampomas Mandala Tampo Wahanan, tempat ngahening diri (tatapa) jeung tempat panenjoan.
Kamandalaan nyaeta kata benda pikeun Mandala nu hartina Tempat Suci (arhat) jeung sakaligus daerah anu jadi wilayah bawahan karajaan waktu harita (Tarumanagara), nu miboga kawenangan nu khusus dina bidang keagamaan. Sabagean masyarakat di tatar Sunda nyaruakeun Mandala sarua jeung Kabuyutan.
Mandala nyaeta tempat suci jeung tempat diajar paelmuan kaagamaan dina ajaran Jati Sunda jeung kahinduan anu dipimpin ku Rsi Guru. Di samping eta aya aktivitas sejen salian elmu kaagamaan, misalna ngokolakeun tatanen jeung perniagaan, oge dijaga keamanannya ku para cantrik / prajurit pangamanan di Mandala.
Panggiring Medal Kamulyan di Sumedang (jaman Kerajaan Salakanagara), nyaeta Karajaan nu corakna Hindu mimiti di Jawa Barat nu didirikeun Dewa Warman Tahun 52 Caka Sunda, Nagarana nyaetai Salakanagara, Ibukotanya : "Raja Tra Pura" atawa "Kota Perak" di Pandeglang Banten.
Raja-Raja Salaka Nagara
1. Dharama Lokapala 130 – 168
2. Digwijagakasa Dewa Warmanputra 168 – 195
3. Singha Sagara Bimayayasa Wirya 195 – 238
4. Dharma Satya Nagara 238 – 252
5. Dharma Satya Jaya Waruna Dewa 252 – 290
Dina versi Sajarah Salakanagara, dina masa Raja ka 3 nyaeta, Raja Salakanagara (Raja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala / Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa), 169 - 282 Caka (395 - 434 M).
Nalika Dharma Satyajaya Waruna Dewa marentah di Kerajaan Salakanagara jadi Raja nu ka 5 dina taun 129 - 177 Caka (242 - 290 M), putra-putrana 7 jalmi aya nu ninggalkeun ka Karatonan ngajugjug ka arah wetan ti Salakanagara pikeun nyebarkeun kayakinan dina waktu harita sarta tumetep di daerah sakitar pagunungan, nu salajengna jadi Tumenggung, Batara Guru atawa Resi, aya oge nu salajengna janten pamimpin atawa Raja sabab ngalanjutkeun Medal Kamulyan Salakanagara di Sumedamg, Medal hartina datang, Kamulyan hartosna budina luhur jeung jembar manah.
Wilayah Sumedang waktu harita kalebet wilayahna bawahan karajaan Salakanagara, nu disebatna willayah Cupugiri jeung wilayah Gunung Cupu di Sumedang.
- Dharma Satya Nagara migarwa Sanghyang Dewi Ningrum, putrana : Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (Jagat Jaya Ningrat)
- Sanghyang Prabu Wisesa migarwa Sanghyang Dewi Kencana, putrana : Sri Nurcahya
- Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (Jagat Jaya Ningrat) migarwa Sri Nurcahya, puputra 7, nyaeta :
1. Prabu Daniswara (Sumaradira) janten Raja di suku Gunung Tampomas, anu nyebarkeun ajaran ka-Hindu-an di belah kaler wilayah Sumedang waktu harit
a, kaasup Cimalaka, Conggeang, Buah Dua, Tanjungkerta Tanjung Medar wilayah beulah kaler kiwari. Makamna aya di Blok Ciemutan Dusun Cilumping, Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua.
Gunung dina papakem masyarakat sunda zaman klasik mibanda kadudukan tempat sorangan dina sistem religina atawa papakem pikeun pencerahan, ku sabab Puncakna Gunung (Cupu Manik / Ponclot Gunung) dianggap deukeut jeung Sanghyang Wenang, anu biasana dicirian ku Batu "Lingga Alpha / Lingga Lancip" atawa "Lingga Omega / Lingga buleud" aya oge nu bentukna Batu Lingga Pasagi, nu jadi dadasar philosofi atawa ajaran Medal Kamulyan, nyaeta :
- Bumi (Acinig Bumi)
- Air (Acing Banyu)
- Api (Acining Geni)
- Angin (Acing Angin)
Puseurna ajaran baktha ka Hindu an harita zaman Salakanagara (252 - 290 M) ayana di Ponclot Gunung Cupu Manik Gunung Tampomas. Bukti nu kapanggih paninggalan arkeologis nu aya di kawasan Gunung Tampomas pernah ditaliti N.J. Krom dina taun 1914 jeung nyatet ayana wangunan punden berundak tina batu-batu lobana opat teras, nu ngaliwatan tetecean tina batu.
Di Puncak wangunan berundak aya Patung Archa Ganesha, Batu Tapak Suku jeung genep benda, nyaeta : Goong Leutik jeung hiji deui hiji landasanna anu pernah ditaliti ku Krom tahun 1915. Dina ajaran kahinduan Goong leutik eta jeung alat panakolna sok dipake pikeun samadhi.
Dina bulan Januari 1987, Lucas Partanda Koestoro ti Laboratorium Paleoekologi jeung Radiometri Bandung, (Balai Arkeologi Bandung ayeuna), kungsi ngalakukeun panalungktikan deskriptif titinggal budaya ajaran baheula di Sanghiang Taraje. Uraian hasil panaluktikanna nguraikeun yen kondisi jeung dimensi tata ruang wangunan tina Batu Undak-undakan.
Sababaraha obyek penting nu dicatatna nyaeta aya Arca Menhir tina batuan andesit di teras mimiti, batu tatapakan (umpak), Batu Ajeg (batu nu didirikeun nantung) jeung batu Kasur nu aya di halaman katilu anu ditalungtik ku Koestoro dina taun 1987.
Naek kaluhur di belah Kidul - Wetan Sanghiang Taraje aya "Situs Puncak Manik"
Di Puncak Manik eta aya obyek "Arca Ganesha", arca binatang jeung batu bentukna Tumpeng. "Arca Ganesha" nu aya di Cupu Manik Tampomas dijieun tina bahan batuan andesit. Ganesha digambarkeun sacara sederhana dina posisi diuk, leungeun kenca dilipet di hareup dada, leungeun katahu nyekelan tungtung tulale.
Arca sasatoan sejenna ngagambarkeun "Maung jeung Monyet". Sasatoan eta digambarkeun dina patung batu. Sirah tukang Maung, ditekuk jeung sirah Monyet dina posisi patonggong tonggong kiwari batuna geus ngarupa bentukna korosif ku parubahan cuaca jaman anu geus lila.
Eta ayana di Ponclot Puncak Manik Gn. Tampomas, di deukeut lebah panto mun bade lebet ka situs "Batu Sandung Lingga Papat", kitu oge amun pernah ka Puncak Manik Gn. Tampomas, katambah jeli urang dina nelaahna eta batuan panto gerbang jeung rohangan dua umpakan di sakitar Puncak Manik Tampomas teu sakadar ninggali kaendahan alam ti luhur Gunung atawa ngadon camping mungkul, di lokasi nu aya Batu Sandung Lingga Papat Puncak Manik Tampomas.
Arca Sasatoan Nu ngagambarkeun "Maung jeung Monyet" tos kororosif ku Alam di Puncak Manik
Ayana patung "Archa Ganesha" dina ajaran Hindu ngagambarkeun pendidikan, "Maung" dina ajaran wiwitan ngagambarkeun kakuatan, kitu deui di Cupu Manik Tampomas aya batu Lingga pasagi opat (Batu Sandung), dihandapna dipahat corak tangkorak manusa, hiji ciri dina ajaran kahinduan waktu harita dina pamahaman bakhta ka Dewa Siwa, jeung aya tilu Lingga nu sejenna. Gunung Agung (Tampomas) di anggap puseurna wilayah ka-Hindu-an ti mandala-mandala sejen waktu harita dina jaman Salakanagara - Tarumanagara wilayah Sumedang.
Upaya Pikeun Nyalemetkeun Situs Budaya Batu Sandung Pasagi Opat Puncak Manik Gunung TampomasUaya Pikeun Nyalemetkeun Situs Budaya Batu Sandung Pasagi Opat Puncak Manik Gunung Tampomas
Upaya Pikeun Nyalemetkeun Situs Budaya Batu Sandung Pasagi Opat Puncak Manik Gunung TampomasDi lereng gunung Tampomas beulah wetan aya lokasi nu disebut Blok Candi. Sacara administratif lokasina aya di wilayah desa Narimbang, Kacamatan Congeang.
Di Blok Candi lokasi ieu aya
Gunung dina papakem masyarakat sunda zaman klasik mibanda kadudukan tempat sorangan dina sistem religina atawa papakem pikeun pencerahan, ku sabab Puncakna Gunung (Cupu Manik / Ponclot Gunung) dianggap deukeut jeung Sanghyang Wenang, anu biasana dicirian ku Batu "Lingga Alpha / Lingga Lancip" atawa "Lingga Omega / Lingga buleud" aya oge nu bentukna Batu Lingga Pasagi, nu jadi dadasar philosofi atawa ajaran Medal Kamulyan, nyaeta :
- Bumi (Acinig Bumi)
- Air (Acing Banyu)
- Api (Acining Geni)
- Angin (Acing Angin)
Puseurna ajaran baktha ka Hindu an harita zaman Salakanagara (252 - 290 M) ayana di Ponclot Gunung Cupu Manik Gunung Tampomas. Bukti nu kapanggih paninggalan arkeologis nu aya di kawasan Gunung Tampomas pernah ditaliti N.J. Krom dina taun 1914 jeung nyatet ayana wangunan punden berundak tina batu-batu lobana opat teras, nu ngaliwatan tetecean tina batu.
Di Puncak wangunan berundak aya Patung Archa Ganesha, Batu Tapak Suku jeung genep benda, nyaeta : Goong Leutik jeung hiji deui hiji landasanna anu pernah ditaliti ku Krom tahun 1915. Dina ajaran kahinduan Goong leutik eta jeung alat panakolna sok dipake pikeun samadhi.
Dina bulan Januari 1987, Lucas Partanda Koestoro ti Laboratorium Paleoekologi jeung Radiometri Bandung, (Balai Arkeologi Bandung ayeuna), kungsi ngalakukeun panalungktikan deskriptif titinggal budaya ajaran baheula di Sanghiang Taraje. Uraian hasil panaluktikanna nguraikeun yen kondisi jeung dimensi tata ruang wangunan tina Batu Undak-undakan.
Sababaraha obyek penting nu dicatatna nyaeta aya Arca Menhir tina batuan andesit di teras mimiti, batu tatapakan (umpak), Batu Ajeg (batu nu didirikeun nantung) jeung batu Kasur nu aya di halaman katilu anu ditalungtik ku Koestoro dina taun 1987.
Naek kaluhur di belah Kidul - Wetan Sanghiang Taraje aya "Situs Puncak Manik"
Di Puncak Manik eta aya obyek "Arca Ganesha", arca binatang jeung batu bentukna Tumpeng. "Arca Ganesha" nu aya di Cupu Manik Tampomas dijieun tina bahan batuan andesit. Ganesha digambarkeun sacara sederhana dina posisi diuk, leungeun kenca dilipet di hareup dada, leungeun katahu nyekelan tungtung tulale.
Arca sasatoan sejenna ngagambarkeun "Maung jeung Monyet". Sasatoan eta digambarkeun dina patung batu. Sirah tukang Maung, ditekuk jeung sirah Monyet dina posisi patonggong tonggong kiwari batuna geus ngarupa bentukna korosif ku parubahan cuaca jaman anu geus lila.
Eta ayana di Ponclot Puncak Manik Gn. Tampomas, di deukeut lebah panto mun bade lebet ka situs "Batu Sandung Lingga Papat", kitu oge amun pernah ka Puncak Manik Gn. Tampomas, katambah jeli urang dina nelaahna eta batuan panto gerbang jeung rohangan dua umpakan di sakitar Puncak Manik Tampomas teu sakadar ninggali kaendahan alam ti luhur Gunung atawa ngadon camping mungkul, di lokasi nu aya Batu Sandung Lingga Papat Puncak Manik Tampomas.
Arca Sasatoan Nu ngagambarkeun "Maung jeung Monyet" tos kororosif ku Alam di Puncak Manik
Ayana patung "Archa Ganesha" dina ajaran Hindu ngagambarkeun pendidikan, "Maung" dina ajaran wiwitan ngagambarkeun kakuatan, kitu deui di Cupu Manik Tampomas aya batu Lingga pasagi opat (Batu Sandung), dihandapna dipahat corak tangkorak manusa, hiji ciri dina ajaran kahinduan waktu harita dina pamahaman bakhta ka Dewa Siwa, jeung aya tilu Lingga nu sejenna. Gunung Agung (Tampomas) di anggap puseurna wilayah ka-Hindu-an ti mandala-mandala sejen waktu harita dina jaman Salakanagara - Tarumanagara wilayah Sumedang.
Upaya Pikeun Nyalemetkeun Situs Budaya Batu Sandung Pasagi Opat Puncak Manik Gunung TampomasUaya Pikeun Nyalemetkeun Situs Budaya Batu Sandung Pasagi Opat Puncak Manik Gunung Tampomas
Upaya Pikeun Nyalemetkeun Situs Budaya Batu Sandung Pasagi Opat Puncak Manik Gunung TampomasDi lereng gunung Tampomas beulah wetan aya lokasi nu disebut Blok Candi. Sacara administratif lokasina aya di wilayah desa Narimbang, Kacamatan Congeang.
Di Blok Candi lokasi ieu aya
struktur teras batu nu orientasina ngaler - ngidul. Panjangna 6,40 m katebelanna 40 cm. Dumasar katerangan ti masyarakat di blok Candi ieu tahun 1998 ditemukan Arca jalma tina batu nu sirahna tos potong,posisina eta arca mirip jalma anu mudra (samadhi) leungeunna disilangkeun hareupeun dada (Mudra taki-taki atawa mun dina paperangan ngalambangkeun bertahan, dina posisi siap siaga). Ari nu ngawasana di Candi Karang waktu harita, nyaeta Sanghyang Hanjuang Beureum (Eyang Candi) anu migarwa Raga Legawa, di Situs "Candi Karang", Cilumping Hariang Kacamatan Buah Dua.
2. Jaya Sampurna, nyebarkeun ajaran harita utamana dina kajayaan di sakitar wilayah Gunung Susuru, karomahna aya di Dusun Ciloa, Desa Genteng Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
3. Lara Sakti (Jaya Sakti), sami nyebarkeun ajaran di wilayah Susuru, karohamna Dusun Ciloa, Desa Genteng Kacamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
4. Indrasari (Gajah Handaru), mimpin di wilayah Susuru. Karomahna dusun Ciloa, Desa Genteng Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang (Catetan : duka naon namina wilayah eta sabudeureunna baheula).
Aya kamungkinan nami Ganeas, oge tina kecap Ganesha, ngan ari urang Sunda mah apan sok tisoledat letah.
5. Sukmana (Rsi Cupu), karomahna di Gunung Cupu, Pasarean Kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan.
6. Jaya Bhuana Ningrat (Banas Banten), karomahna di Kampung Banas Cibanten Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang.
7. Sanyak (Sari Hatimah) sareng Tumenggung Surabima, karomahna di Kampung Cieunteung - Cidempet, Desa Cipamekar Kacamatan Conggeang anu sok disebat di eta tempat makam mbah Dalem Tumenggung Surabima (Sukma Sabda Indhra), disabeulah aya makam Mbah Sanyak (Sari Hatimah)
Mandala di sakitar wilayah Mandala Cupu Sumedang, bawahan Karajaan Salakanagara waktu harita dipimpin Guruloka atawa Guru Rsi Sukmana (Eyang Resi Cupu), anu dimakamkeun di Gunung Cupu.
Wilayah Cupu Manik Sumedang ; Conggeang, Buah Dua, Tanjungkerta dipimpin ku Prb. Danishwara (Sumara Dira). Danish mibanda harti Gajah. Kitu deui Banash Banten sami mimpin di wilayah eta jaman harita, ngan kumargi teu arapal jaman mana, makam atawa tempat disumarekeunna sok dirarubah janten makam kiwari, janten teu jelas jaman mana-manana. Siga makamna Prb. Danishwara sareng Banash Banten diluhur nu kiwari dirobah bentukna.
Gunung tanpa tutugan
Gunung Galunggung kapungkur
gunung Sumedang katunjang
Lain Sumedang di Wetan
Baheula Sumedang Kahyangan
Sumedang Sasaka Domas
lain Gunung Tanpaomas
Itu gunung naon?
Nu ngayapak tebeh Wetan
Ari gunung Ciremei teh
Tetengger Nagara mana
Lain Cirebon di Wetan
Cirebon baheula Larang
Cirebon Sasaka Domas
Itu gunung naon?...Raden
Gunung Cupu Mandalayu
Layu soteh hayu mulang
Wangsul ti pangumbaraan
Ari Gunung Cupu teh raden
Tetengger nagara mana
Itu Gunung naon?
Cag ah...
Tabe pun.
@urangsundaasli
2. Jaya Sampurna, nyebarkeun ajaran harita utamana dina kajayaan di sakitar wilayah Gunung Susuru, karomahna aya di Dusun Ciloa, Desa Genteng Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
3. Lara Sakti (Jaya Sakti), sami nyebarkeun ajaran di wilayah Susuru, karohamna Dusun Ciloa, Desa Genteng Kacamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.
4. Indrasari (Gajah Handaru), mimpin di wilayah Susuru. Karomahna dusun Ciloa, Desa Genteng Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang (Catetan : duka naon namina wilayah eta sabudeureunna baheula).
Aya kamungkinan nami Ganeas, oge tina kecap Ganesha, ngan ari urang Sunda mah apan sok tisoledat letah.
5. Sukmana (Rsi Cupu), karomahna di Gunung Cupu, Pasarean Kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan.
6. Jaya Bhuana Ningrat (Banas Banten), karomahna di Kampung Banas Cibanten Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang.
7. Sanyak (Sari Hatimah) sareng Tumenggung Surabima, karomahna di Kampung Cieunteung - Cidempet, Desa Cipamekar Kacamatan Conggeang anu sok disebat di eta tempat makam mbah Dalem Tumenggung Surabima (Sukma Sabda Indhra), disabeulah aya makam Mbah Sanyak (Sari Hatimah)
Mandala di sakitar wilayah Mandala Cupu Sumedang, bawahan Karajaan Salakanagara waktu harita dipimpin Guruloka atawa Guru Rsi Sukmana (Eyang Resi Cupu), anu dimakamkeun di Gunung Cupu.
Wilayah Cupu Manik Sumedang ; Conggeang, Buah Dua, Tanjungkerta dipimpin ku Prb. Danishwara (Sumara Dira). Danish mibanda harti Gajah. Kitu deui Banash Banten sami mimpin di wilayah eta jaman harita, ngan kumargi teu arapal jaman mana, makam atawa tempat disumarekeunna sok dirarubah janten makam kiwari, janten teu jelas jaman mana-manana. Siga makamna Prb. Danishwara sareng Banash Banten diluhur nu kiwari dirobah bentukna.
Gunung tanpa tutugan
Gunung Galunggung kapungkur
gunung Sumedang katunjang
Lain Sumedang di Wetan
Baheula Sumedang Kahyangan
Sumedang Sasaka Domas
lain Gunung Tanpaomas
Itu gunung naon?
Nu ngayapak tebeh Wetan
Ari gunung Ciremei teh
Tetengger Nagara mana
Lain Cirebon di Wetan
Cirebon baheula Larang
Cirebon Sasaka Domas
Itu gunung naon?...Raden
Gunung Cupu Mandalayu
Layu soteh hayu mulang
Wangsul ti pangumbaraan
Ari Gunung Cupu teh raden
Tetengger nagara mana
Itu Gunung naon?
Cag ah...
Tabe pun.
@urangsundaasli
*Explore Makam Tumenggung Tegalkalong di Tegalkalong*
Makam Tumenggung Tegalkalong berlokasi di Makam Umum Gorowong Tegalkalong yang masuk dari Gg. Kamasan Tegalkalong dan berlokasi di Kampung Gorowong kelurahan kotakaler Kecamatan Sumedang Utara.
Ulasan Sejarah
Hapunten teu nganggo basa Indonesia, sadayana.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri. Yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada. Kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas anak dan Pangeran Tumenggung Tegalkalong ini anak ke-14.
TUMENGGUNG TEGAL KALONG yang berjasa besar ketika jaman PANGERAN PANEMBAHAN diserang oleh balatentara Banten yang dipimpin oleh CILIKWIDARA ketika penyerangan Mesjid Tegalkalong kelurahan Talun Kecamatan Sumedang Utara.
Pangeran Tegalkalong atau Pangeran Tegalkalong, beliau adalah senapati pilihan ketika pangeran Panembahan menjabat kabupatian (tahun 1656 - 1708 M). Tumenggung Tegalkalong putra Bungsu Prabu Geusan Ulun yang meninggal ketika Peristiwa penyerangan di Mesjid Tegalkalong 15- 11-1678 ku Wadya Balad CILIKWIDARA, URANG BALI sareng CAKRAYUDHA (GAGAK PRANALA).
Kita buka sedikit kisah tragis Idul Fitri dimana, Tumenggung Tegalkalong meninggal dunia dalam membela pangeran Pangeran Panembahan di Mesjid Tegalkalong Sumedang berdasarkan buku sejarah Sumedang karangan R.A Natanagara, taun 1935, dalam bahasa Sunda :
“Kacaritakeun Banten ngarurug kadua kalina, lain kalawan piwarangan Sultan Agung Tirtayasa ku anjeun, tapi kalawan piwarangan saderekna Pangeran Kidul. Ku sabab eta balad Banten nu dikirimkeun ka dua kalina teh disebut balad kidul ku Kompeni. Ieu teh babakuna urang Bali, Makasar, Bugis, nu ngadon buburuh demi kapalana Cilikwidara, dibantuan ku Cakrayuda, rajeun disebut Gagak Pranala.
Balad Bali teh ngalaman di Karawang, datangna ti Laut nya ti Darat. Balad Kompeni nu ngajaga di Basisir tangtu ngan saeutik, da laut diculkeun tea, jadi teu kuat ngayonan musuh. Rengse ti Karawang tuluy balad Banten teh ngepung Ciasem.
Gegeden-gegeden di tanah Patalukan Pangeran Panembahan milu biluk ka musuh. Ngan sakeudeung Ciasem geus taluk ka musuh, bupatina R. IMBAWANGSA dibandang tuluy dikirimkeun ka Banten. Geus kitu musuh ngepung Pamanukan rada tagen oge, tapi tungtungna mah serah bongkokan deui bae.
Ayeuna musuh ngajugjug ka Sumedang, kabeneran harita teh geus deukeut ka Lebaran. Poe'an Lebaran, isuk-isuk keneh urang dayeuh Sumedang lalakina geus ngumpul di MasjidTegalkalong rek shalat sunat Ied. Maranehanna pasrah ka Gusti Allah, tapi takdir tea teu benang dipungkir, kadar teu benang disinglar, poe eta keneh Sumedang didatangan musuh, datangna isuk-isuk keneh, waktu jelema-jelema di keur Masjid.
Balad Banten dibantu ku Tumenggung Wiraangun-angun nu minantuan ka Cakrayuda. Wira Angun-angun nyaho jalan-jalan nu biasa ka Dayeuh Sumedang, atuh gancang pisan musuh abusna ka dayeuh teh.
Maranehanna ngepung jalma nu keur sarembahyang di Masjid Tegalkalong, sanajan teu mawa pakarang noe dikepung teh ngalawan sabisa-bisa, tapi tiwas. Ieu kajadianna dina tanggal 15 Nopember 1678 di “MESJID TEGAL KALONG”. Urang Sumedang rea nu kasambut jurit (katiwasan), boh menak, boh rakyatna. Misalna wargina Pangeran Panembahan : PANGERAN TUMENGGUNG TEGALKALONG, JAGASATRU ARIA SANTAPURA, JAGASTRU SACAPATI, R. DIPA, MAS ALOM jeung nu lainna, sebenerna aya OPAT BELAS HULU JURIT, anu naas katiwasan ngababatang dina peristiwa penyerang Mesjid Tegalkalong eta.
Pangeran Panembahan mah salamet, tuluy lolos ti Sumedang. Dayeuh diduruk ku musuh ngan kabupaten jeung Paseban mah teu kabeleum. Jadi Sumedang kajabelna ku musuh teh lantaran dibongohan. Harita teh poe Jumaah, poena Lebaran jeung ninggang poe jumaahan.
Poe eta isuk-isuk di Tirtayasa Banten, Bupati nu di Bandang ka Banten teh nyaeta R. Imbawangsa, dipotong mastakana lantaran embung taluk, keukeuh rek bela pati ka Sumedang. R. Imbangwasa teh apan putrana Santowan Wira Kusuma, saderek Prabu Geusan Ulun (Rd. Angkawijaya), jadi wargi keneh ka Pangeran Panembahan. Sultan Agung Tirtayasa bendu ka bina
Makam Tumenggung Tegalkalong berlokasi di Makam Umum Gorowong Tegalkalong yang masuk dari Gg. Kamasan Tegalkalong dan berlokasi di Kampung Gorowong kelurahan kotakaler Kecamatan Sumedang Utara.
Ulasan Sejarah
Hapunten teu nganggo basa Indonesia, sadayana.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri. Yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada. Kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas anak dan Pangeran Tumenggung Tegalkalong ini anak ke-14.
TUMENGGUNG TEGAL KALONG yang berjasa besar ketika jaman PANGERAN PANEMBAHAN diserang oleh balatentara Banten yang dipimpin oleh CILIKWIDARA ketika penyerangan Mesjid Tegalkalong kelurahan Talun Kecamatan Sumedang Utara.
Pangeran Tegalkalong atau Pangeran Tegalkalong, beliau adalah senapati pilihan ketika pangeran Panembahan menjabat kabupatian (tahun 1656 - 1708 M). Tumenggung Tegalkalong putra Bungsu Prabu Geusan Ulun yang meninggal ketika Peristiwa penyerangan di Mesjid Tegalkalong 15- 11-1678 ku Wadya Balad CILIKWIDARA, URANG BALI sareng CAKRAYUDHA (GAGAK PRANALA).
Kita buka sedikit kisah tragis Idul Fitri dimana, Tumenggung Tegalkalong meninggal dunia dalam membela pangeran Pangeran Panembahan di Mesjid Tegalkalong Sumedang berdasarkan buku sejarah Sumedang karangan R.A Natanagara, taun 1935, dalam bahasa Sunda :
“Kacaritakeun Banten ngarurug kadua kalina, lain kalawan piwarangan Sultan Agung Tirtayasa ku anjeun, tapi kalawan piwarangan saderekna Pangeran Kidul. Ku sabab eta balad Banten nu dikirimkeun ka dua kalina teh disebut balad kidul ku Kompeni. Ieu teh babakuna urang Bali, Makasar, Bugis, nu ngadon buburuh demi kapalana Cilikwidara, dibantuan ku Cakrayuda, rajeun disebut Gagak Pranala.
Balad Bali teh ngalaman di Karawang, datangna ti Laut nya ti Darat. Balad Kompeni nu ngajaga di Basisir tangtu ngan saeutik, da laut diculkeun tea, jadi teu kuat ngayonan musuh. Rengse ti Karawang tuluy balad Banten teh ngepung Ciasem.
Gegeden-gegeden di tanah Patalukan Pangeran Panembahan milu biluk ka musuh. Ngan sakeudeung Ciasem geus taluk ka musuh, bupatina R. IMBAWANGSA dibandang tuluy dikirimkeun ka Banten. Geus kitu musuh ngepung Pamanukan rada tagen oge, tapi tungtungna mah serah bongkokan deui bae.
Ayeuna musuh ngajugjug ka Sumedang, kabeneran harita teh geus deukeut ka Lebaran. Poe'an Lebaran, isuk-isuk keneh urang dayeuh Sumedang lalakina geus ngumpul di MasjidTegalkalong rek shalat sunat Ied. Maranehanna pasrah ka Gusti Allah, tapi takdir tea teu benang dipungkir, kadar teu benang disinglar, poe eta keneh Sumedang didatangan musuh, datangna isuk-isuk keneh, waktu jelema-jelema di keur Masjid.
Balad Banten dibantu ku Tumenggung Wiraangun-angun nu minantuan ka Cakrayuda. Wira Angun-angun nyaho jalan-jalan nu biasa ka Dayeuh Sumedang, atuh gancang pisan musuh abusna ka dayeuh teh.
Maranehanna ngepung jalma nu keur sarembahyang di Masjid Tegalkalong, sanajan teu mawa pakarang noe dikepung teh ngalawan sabisa-bisa, tapi tiwas. Ieu kajadianna dina tanggal 15 Nopember 1678 di “MESJID TEGAL KALONG”. Urang Sumedang rea nu kasambut jurit (katiwasan), boh menak, boh rakyatna. Misalna wargina Pangeran Panembahan : PANGERAN TUMENGGUNG TEGALKALONG, JAGASATRU ARIA SANTAPURA, JAGASTRU SACAPATI, R. DIPA, MAS ALOM jeung nu lainna, sebenerna aya OPAT BELAS HULU JURIT, anu naas katiwasan ngababatang dina peristiwa penyerang Mesjid Tegalkalong eta.
Pangeran Panembahan mah salamet, tuluy lolos ti Sumedang. Dayeuh diduruk ku musuh ngan kabupaten jeung Paseban mah teu kabeleum. Jadi Sumedang kajabelna ku musuh teh lantaran dibongohan. Harita teh poe Jumaah, poena Lebaran jeung ninggang poe jumaahan.
Poe eta isuk-isuk di Tirtayasa Banten, Bupati nu di Bandang ka Banten teh nyaeta R. Imbawangsa, dipotong mastakana lantaran embung taluk, keukeuh rek bela pati ka Sumedang. R. Imbangwasa teh apan putrana Santowan Wira Kusuma, saderek Prabu Geusan Ulun (Rd. Angkawijaya), jadi wargi keneh ka Pangeran Panembahan. Sultan Agung Tirtayasa bendu ka bina
-bina nepi miwarang nelasan Anjeunna. Mastakana diiangkeun ka Banten (Surasowan), dipake ngiring Sultan Haji putra Sultan Agung ka Masigit. geus kitu kakara dipendem, jadi pangna urang Sumedang Cadu lebaran poe Jumaah teh, lantaran eta oge.
Tumenggung Tegalkalong adalah yang berjasa ketika peristiwa di Mesjid Tegalkalong, menyelamat Pangeran Panembahan dari kepungan musuh. Sayang makamnya tidak terawat..perlu direnovasi mengingat jasanya untuk pangeran Panembahan yang tak lain adalah cucunya, karena Tumenggung Tegalkalong pangeran Bungsu putra prabu Geusan Ulun yang berumur panjang, hingga diakhir hayatnya darah bersimbah di Peristiwa Idul Fitri di Mesjid
Tegalkalong. Tak terasa air mataku mengalir di pipi sewaktu tawassul di makamnya, karena melihat kondisi makamnya yang memprihatinkan tak terawat, sewaktu saya dan ceu omah (ambu Hanjuang), mengekplorasi makam Tumenggung Tegalkalong. Kalau tak beliua dan senapati yang lainnya mungkin generasi dari Pangeran Panembahan berikutnya, tergantikan.
Salsilah :
Nasab (Silsilah) ke Prabu Siliwangi III (Prabu Sribaduga Jaya Dewata)
1. Raden Pamanah Rasa atau Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi II (1482 - 1521 M) memperistri Ratu Ratnasih atau Nyi Rajamantri putri Prabu Tirta Kusuma / Sunan Patuakan dari istrinya Ratu Nurcahya, berputra :
2. Rd. Meumeut, menikah dengan Nyimas Mala Rokaya berputra :
3. Sunan Pada (Rd. Hasata), menikah dengan Nyimas Aishah berputra :
4. Ratu Cukang Waru (Imas Sari Hatin) menikah dengan Prabu Geusan Ulun Koesoemahdinata II (Rd. Angkawijaya).
5. Rd. Wiraraja 1 (putrana no 2)
Nasab (silsilah) ke Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedag (Ratu Inten Dewata)
Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji
1.3 Deman Watang
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh
1.6 Santoan Awi Loear
Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra :
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda
1.1.9 NM. Rangga Wiratama
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara
1.1.11 NM. Rangga Pamade
1.1.12 NM. Dipati Ukur
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipaku
Tsuma Ila ruhi khususon Tumenggung Tegalkalong bin Prabu Geusan Ulun bin Pangeran Santri al Fatihah
@urangsundaasli
Tumenggung Tegalkalong adalah yang berjasa ketika peristiwa di Mesjid Tegalkalong, menyelamat Pangeran Panembahan dari kepungan musuh. Sayang makamnya tidak terawat..perlu direnovasi mengingat jasanya untuk pangeran Panembahan yang tak lain adalah cucunya, karena Tumenggung Tegalkalong pangeran Bungsu putra prabu Geusan Ulun yang berumur panjang, hingga diakhir hayatnya darah bersimbah di Peristiwa Idul Fitri di Mesjid
Tegalkalong. Tak terasa air mataku mengalir di pipi sewaktu tawassul di makamnya, karena melihat kondisi makamnya yang memprihatinkan tak terawat, sewaktu saya dan ceu omah (ambu Hanjuang), mengekplorasi makam Tumenggung Tegalkalong. Kalau tak beliua dan senapati yang lainnya mungkin generasi dari Pangeran Panembahan berikutnya, tergantikan.
Salsilah :
Nasab (Silsilah) ke Prabu Siliwangi III (Prabu Sribaduga Jaya Dewata)
1. Raden Pamanah Rasa atau Sribaduga Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi II (1482 - 1521 M) memperistri Ratu Ratnasih atau Nyi Rajamantri putri Prabu Tirta Kusuma / Sunan Patuakan dari istrinya Ratu Nurcahya, berputra :
2. Rd. Meumeut, menikah dengan Nyimas Mala Rokaya berputra :
3. Sunan Pada (Rd. Hasata), menikah dengan Nyimas Aishah berputra :
4. Ratu Cukang Waru (Imas Sari Hatin) menikah dengan Prabu Geusan Ulun Koesoemahdinata II (Rd. Angkawijaya).
5. Rd. Wiraraja 1 (putrana no 2)
Nasab (silsilah) ke Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun Sumedag (Ratu Inten Dewata)
Generasi ke-1
1. Pangeran Santri / Rd. Sholih / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata I) menikah dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun Sumedang), berputra :
1.1 Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji
1.3 Deman Watang
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh
1.6 Santoan Awi Loear
Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra :
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang
1.1.7 NM. Demang Cipaku
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda
1.1.9 NM. Rangga Wiratama
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara
1.1.11 NM. Rangga Pamade
1.1.12 NM. Dipati Ukur
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tumenggung Tegal Kalong
1.1 Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipaku
Tsuma Ila ruhi khususon Tumenggung Tegalkalong bin Prabu Geusan Ulun bin Pangeran Santri al Fatihah
@urangsundaasli
*Batu Kuda Alam
Éndah nu Nyamuni*
Masih aya geuning tempat wisata anu éndah, tumaninah tur murah. Asupna waé ukur mayar 5 rébu saurangna. Tapi kumaha di jerona? Fasilitas naon waé anu aya di Batu Kuda?
Teu pati jauh lokasi objék wisata Batu Kuda téh. Dijugjug ti puseur Kota Bandung mah ukur 20 km. Sedengkeun mun ti jalan raya Cibiru deukeut tugu wates Kota Bandung jeung Kabupatén Bandung anggangna ukur 5 Km. Tapi bisa ogé jalanna ti Cileunyi saperti para tukang dagang anu sok jualan di Batu Kuda. Cenah, ngareunah ti Cileunyi pikeun arinyana mah da leuwih deukeut. Ngan upama kana ojég kudu mayar 25 rébu. Jalan mah henteu dihotmik, tapi alus najan leutik ogé. Hanjakalna, ti tempat meuli karcis ka lawang sakéténg Batu Kuda anu jarakna ukur 200 méteran masih dibalay. Atuh kandaraan mah rada ripuh sabab lian ti taringgul téh nanjak deuih.
Nurutkeun Entis Sutisna, purah ngajaga karcis di éta tempat, objék wisata Batu Kuda anu pernahna di lamping Gunung Manglayang Désa Cikonéng Kabupatén Bandung Jawa Barat téh legana kurang leuwih 2 héktar. Gegedéna éta tempat bogana Perhutani téh dipelakan ku tangkal pineus anu ngajarega nambahan asri jeung éndah matak betah anu resep di tempat sepi.
Tong ngarepkeun aya wanaha naon di Batu Kuda mah. Enya gé kasebutna tempat wisata, euweuh flying fox euweuh hiburan. Anu aya téh sora-sora ciri ti alam anu mawa rasa tengtrem, angin ngahiliwir jeung hawana anu matak seger kana pipikiran tur séhat kana awak.
Saméméh nepi ka Batu Kuda, upama jalanna ti tugu wates Kota Bandung jeung Kabupatén Bandung, urang bisa ngawaskeun sabagian pamandangan Kota Bandung anu lamun dina kaayaan cuaca keur hadé mah atra kacida. Anu matak lolobana anu arulin ka Batu Kuda mah barudak ngora anu resep kana olahraga jeung cinta ka alam.
“Seuseueurna mah anu ngadon kémping. Biasana dina waktos liburan seméster sakola,” ceuk Entis.
Atawa raména téh poé Minggu. Biasana anu ukur olahraga ngahajakeun leumpang bari jeung dina poé éta kénéh langsung marulang deui. Mun teu kitu Saptu pasosoré. Biasana éta mah sok mareuting di dinya atawa diteruskeun kémah di punclut Gunung Manglayang.
Teu kudu boga duit loba ulin ka Batu Kuda mah, sabab di jerona euweuh anu kudu dibayar deui, asupna ogé ukur mayar karcis 5 rébu sauranga. Rék sakeudeung atawa rék tuluy kémping ceuk Entis mah sarua waé. Tapi dahareun mah ulah hariwang, sabab di jero tempat wisata aya opat warung anu ngajual dahareun jeung inuman. Malah warung-warung téh bukana gé sapeuting jeput ari keur loba anu kémping mah.
Carita Batu Kuda
Sigana moal apdol upama ka objék wisata alam Batu Kuda henteu nepi ka batu kudana. Anggangna ti lawang asup téh kurang leuwih 700 méter. Rada ngahégak ka nu teu biasa leuleumpangan mah. Sabab lian ti nanjak teu eureun-eureun téh ampir sapajang jalan ukur mahi keur saurangeun. Laleueur deuih upama tas hujan mah. Tapi balas capé lungsé bakal kaubaran mun geus jonghok jeung batu kudana.
Teuing kumaha bet disebut batu kuda, padahal mun disidik-sidik mah éta batu anu gedé pohara téh bet siga bangkong raksasa keur ngadepong. Tapi aya caritana pangna éta batu dingaranan batu kuda. Ceuk dina tulisan anu dipasang dina wangunan deukeut lawang asup tur dipercaya ku masarakat sabudeureunana, cenah éta téh kuda tutunggangan Prabu Layang Kusuma sareng Prabu Layang Sari garwana anu tilelep kana embel tur jadi batu raksasa. Saterusna ku sabab kuda tutungganganana jadi batu, Prabu Layang Kusuma mutuskeun pikeun tatapa di éta tempat dugi ka pupusna. Anu matak nepi ka ayeuna éta kawasan wisata anu dikokolakeun ku Perhutani ti taun 1987 téh sok aya wé jalma anu ngahajakeun ngadon tatapa nurutan dina carita Prabu Layang Kusuma. Maksudna mah cenah anu harayang boga kamulyaan jeung kapangkatan. Tapi rék percaya atawa moal, intina mah ulin ka Batu Kuda béda jeung piknik ka tempat séjén. Hawana ngareunah, pamandangan éndah waragadna gé murah.
@utangsundaasli
Éndah nu Nyamuni*
Masih aya geuning tempat wisata anu éndah, tumaninah tur murah. Asupna waé ukur mayar 5 rébu saurangna. Tapi kumaha di jerona? Fasilitas naon waé anu aya di Batu Kuda?
Teu pati jauh lokasi objék wisata Batu Kuda téh. Dijugjug ti puseur Kota Bandung mah ukur 20 km. Sedengkeun mun ti jalan raya Cibiru deukeut tugu wates Kota Bandung jeung Kabupatén Bandung anggangna ukur 5 Km. Tapi bisa ogé jalanna ti Cileunyi saperti para tukang dagang anu sok jualan di Batu Kuda. Cenah, ngareunah ti Cileunyi pikeun arinyana mah da leuwih deukeut. Ngan upama kana ojég kudu mayar 25 rébu. Jalan mah henteu dihotmik, tapi alus najan leutik ogé. Hanjakalna, ti tempat meuli karcis ka lawang sakéténg Batu Kuda anu jarakna ukur 200 méteran masih dibalay. Atuh kandaraan mah rada ripuh sabab lian ti taringgul téh nanjak deuih.
Nurutkeun Entis Sutisna, purah ngajaga karcis di éta tempat, objék wisata Batu Kuda anu pernahna di lamping Gunung Manglayang Désa Cikonéng Kabupatén Bandung Jawa Barat téh legana kurang leuwih 2 héktar. Gegedéna éta tempat bogana Perhutani téh dipelakan ku tangkal pineus anu ngajarega nambahan asri jeung éndah matak betah anu resep di tempat sepi.
Tong ngarepkeun aya wanaha naon di Batu Kuda mah. Enya gé kasebutna tempat wisata, euweuh flying fox euweuh hiburan. Anu aya téh sora-sora ciri ti alam anu mawa rasa tengtrem, angin ngahiliwir jeung hawana anu matak seger kana pipikiran tur séhat kana awak.
Saméméh nepi ka Batu Kuda, upama jalanna ti tugu wates Kota Bandung jeung Kabupatén Bandung, urang bisa ngawaskeun sabagian pamandangan Kota Bandung anu lamun dina kaayaan cuaca keur hadé mah atra kacida. Anu matak lolobana anu arulin ka Batu Kuda mah barudak ngora anu resep kana olahraga jeung cinta ka alam.
“Seuseueurna mah anu ngadon kémping. Biasana dina waktos liburan seméster sakola,” ceuk Entis.
Atawa raména téh poé Minggu. Biasana anu ukur olahraga ngahajakeun leumpang bari jeung dina poé éta kénéh langsung marulang deui. Mun teu kitu Saptu pasosoré. Biasana éta mah sok mareuting di dinya atawa diteruskeun kémah di punclut Gunung Manglayang.
Teu kudu boga duit loba ulin ka Batu Kuda mah, sabab di jerona euweuh anu kudu dibayar deui, asupna ogé ukur mayar karcis 5 rébu sauranga. Rék sakeudeung atawa rék tuluy kémping ceuk Entis mah sarua waé. Tapi dahareun mah ulah hariwang, sabab di jero tempat wisata aya opat warung anu ngajual dahareun jeung inuman. Malah warung-warung téh bukana gé sapeuting jeput ari keur loba anu kémping mah.
Carita Batu Kuda
Sigana moal apdol upama ka objék wisata alam Batu Kuda henteu nepi ka batu kudana. Anggangna ti lawang asup téh kurang leuwih 700 méter. Rada ngahégak ka nu teu biasa leuleumpangan mah. Sabab lian ti nanjak teu eureun-eureun téh ampir sapajang jalan ukur mahi keur saurangeun. Laleueur deuih upama tas hujan mah. Tapi balas capé lungsé bakal kaubaran mun geus jonghok jeung batu kudana.
Teuing kumaha bet disebut batu kuda, padahal mun disidik-sidik mah éta batu anu gedé pohara téh bet siga bangkong raksasa keur ngadepong. Tapi aya caritana pangna éta batu dingaranan batu kuda. Ceuk dina tulisan anu dipasang dina wangunan deukeut lawang asup tur dipercaya ku masarakat sabudeureunana, cenah éta téh kuda tutunggangan Prabu Layang Kusuma sareng Prabu Layang Sari garwana anu tilelep kana embel tur jadi batu raksasa. Saterusna ku sabab kuda tutungganganana jadi batu, Prabu Layang Kusuma mutuskeun pikeun tatapa di éta tempat dugi ka pupusna. Anu matak nepi ka ayeuna éta kawasan wisata anu dikokolakeun ku Perhutani ti taun 1987 téh sok aya wé jalma anu ngahajakeun ngadon tatapa nurutan dina carita Prabu Layang Kusuma. Maksudna mah cenah anu harayang boga kamulyaan jeung kapangkatan. Tapi rék percaya atawa moal, intina mah ulin ka Batu Kuda béda jeung piknik ka tempat séjén. Hawana ngareunah, pamandangan éndah waragadna gé murah.
@utangsundaasli
*Karatagan Pamuda Indonésia*
Rempug jukung pamuda Indonésia
tingkahna waspada ariyatna
raksa jaring raga sukma
kukuh pengkuh kuat nahan cocoba
Lemah cai merdékana abadi
urang kabéh pada kagiliran
teguh nempuh perjuangan rayat Indonésia
ngajungjung darajat bangsa
@urangsundaasli
Rempug jukung pamuda Indonésia
tingkahna waspada ariyatna
raksa jaring raga sukma
kukuh pengkuh kuat nahan cocoba
Lemah cai merdékana abadi
urang kabéh pada kagiliran
teguh nempuh perjuangan rayat Indonésia
ngajungjung darajat bangsa
@urangsundaasli
*Sabilulungan*
Sabilulungan dasar gotong- royong
sabilulungan dasar silihrojong
sabilulungan genténg ulah potong
sabilulungan persatuan témbong
Tohaga
rohaka
teguh tanggoh perbawa sabilulungan
sadia
sajiwa
segut singkil ngabasmi pasalingsingan
Sabilulungan hirup sauyunan
sabilulungan silihpikahéman
sabilulungan tulung tinulungan
sabilulungan kukuh persatuan
Santosa
samakta
teuneung ludeung ngajaring kawibawaan
saihwan
sapaham
nagri nanjung berekah sabilulungan
@urangsundaasli
Sabilulungan dasar gotong- royong
sabilulungan dasar silihrojong
sabilulungan genténg ulah potong
sabilulungan persatuan témbong
Tohaga
rohaka
teguh tanggoh perbawa sabilulungan
sadia
sajiwa
segut singkil ngabasmi pasalingsingan
Sabilulungan hirup sauyunan
sabilulungan silihpikahéman
sabilulungan tulung tinulungan
sabilulungan kukuh persatuan
Santosa
samakta
teuneung ludeung ngajaring kawibawaan
saihwan
sapaham
nagri nanjung berekah sabilulungan
@urangsundaasli
Ka Bulan
mun pareng nincak ka bulan
hayang mawa nini aki jeung baraya
moal réa barangbawa
nu dibawa ngan samping eujeung kabaya
Hayu batur saréréa
di bulan engké urang nyieun nagara
bisi urang rumah tangga
boga budak tong loba siga di dunya
Bulan mah ceuk béja béda jeung dunya
hésé cai ngan ukur batu nu jadi sagara
mun rék mandi ngahaja kumpul baraya
ceurik bareng bari nandéan sabatok cimata
Mun pareng nincak ka bulan
hayang ngaronjatkeun budaya Sunda
ketuk tilu jaipongan moal leungit
sanajan pindah ka bulan
Mun pareng nincak ka bulan
hayang mawa nini aki jeung baraya
moal réa barangbawa
nu dibawa ngan samping eujeung kabaya
Ka bulan urang ka bulan
ka bulan urang ka bulan
ka bulan urang ka bulan
@urangsundaasli
mun pareng nincak ka bulan
hayang mawa nini aki jeung baraya
moal réa barangbawa
nu dibawa ngan samping eujeung kabaya
Hayu batur saréréa
di bulan engké urang nyieun nagara
bisi urang rumah tangga
boga budak tong loba siga di dunya
Bulan mah ceuk béja béda jeung dunya
hésé cai ngan ukur batu nu jadi sagara
mun rék mandi ngahaja kumpul baraya
ceurik bareng bari nandéan sabatok cimata
Mun pareng nincak ka bulan
hayang ngaronjatkeun budaya Sunda
ketuk tilu jaipongan moal leungit
sanajan pindah ka bulan
Mun pareng nincak ka bulan
hayang mawa nini aki jeung baraya
moal réa barangbawa
nu dibawa ngan samping eujeung kabaya
Ka bulan urang ka bulan
ka bulan urang ka bulan
ka bulan urang ka bulan
@urangsundaasli
*Mojang Priangan*
Angkat ngagandeuang
bangun taya karingrang
nganggo sinjang dilamban
mojang Priangan
Umat-imut lucu
larak-lirik nyari
Rarat-rérét keupat
mojang Priangan
Diraksukan kabaya
nambihan cahayana
dangdosan sederhana
mojang Priangan
Mun disanggul ayu
mun disinjang lenjang
mun dierok dénok
mojang Priangan
Gareulis maranis
disinjang lalenjang
éstu surup nu nempo
mojang priangan
@urangsundaasli
Angkat ngagandeuang
bangun taya karingrang
nganggo sinjang dilamban
mojang Priangan
Umat-imut lucu
larak-lirik nyari
Rarat-rérét keupat
mojang Priangan
Diraksukan kabaya
nambihan cahayana
dangdosan sederhana
mojang Priangan
Mun disanggul ayu
mun disinjang lenjang
mun dierok dénok
mojang Priangan
Gareulis maranis
disinjang lalenjang
éstu surup nu nempo
mojang priangan
@urangsundaasli
*Ka Alun-Alun Bandung*
Ngalanglang ka Kota Kembang,
Bapa, Mamah, Adé, kuring,
mios satengah dalapan,
tabuh sabelas can dugi,
macét téh di Cileunyi,
alah ieung mani ripuh,
hawa panas kacida,
teu eureun-eureun kikiplik,
tapi angger hawa téh beuki bayeungyang.
Kuring wawartos ka Bapa,
teu kiat hoyong ka cai,
saur Bapa tahan heula,
sakedap deui gé dugi,
di payun téh pom béngsin,
di dinya bisa tarurun,
pék bari jajan heula,
ngadagoan ngeusi bénsin,
mun manjing mah bisa bari lohor heula.
Jalan macét geus kaliwat,
Si Adé geus seuri deui,
Mamah gé hahariringan,
teu lila nepi pom bénsin,
geuwat kuring ka cai,
lumpat bari rada rusuh,
atuda tos teu kiat,
hoyong ka cai ti tadi,
tos bérés mah rarasaan ngemplong pisan.
Singgetna ieu carita,
ka alun-alun geus nepi,
geuning loba téténjoan,
raména kaliwat saking,
itu aya KFC,
Si Adé mani tutunjuk,
jigana lapar pisan,
kuring gé nya kitu deui,
nya mupakat saréréa dahar heula.
Tos wareg mah jalan-jalan,
asup téh ka Matahari,
baju mani loba pisan,
beureum, konéng, héjo deui,
éstuning warna-warni,
matak resep matak uruy,
kuring titah milihan,
mana anu cop jeung ati,
ka luar téh meunang sakérésék éwang.
Pasosoré tuluy mulang,
heug kapegat macét deui,
kacida matak aralna,
urut bungah kesel deui,
jalan heurin ku mobil,
matak bingung nu ti lembur,
biasa jalan lega,
ngalaman nu heurin usik,
matak kapok embung ngaduakalian.
@urangsundaasli
Ngalanglang ka Kota Kembang,
Bapa, Mamah, Adé, kuring,
mios satengah dalapan,
tabuh sabelas can dugi,
macét téh di Cileunyi,
alah ieung mani ripuh,
hawa panas kacida,
teu eureun-eureun kikiplik,
tapi angger hawa téh beuki bayeungyang.
Kuring wawartos ka Bapa,
teu kiat hoyong ka cai,
saur Bapa tahan heula,
sakedap deui gé dugi,
di payun téh pom béngsin,
di dinya bisa tarurun,
pék bari jajan heula,
ngadagoan ngeusi bénsin,
mun manjing mah bisa bari lohor heula.
Jalan macét geus kaliwat,
Si Adé geus seuri deui,
Mamah gé hahariringan,
teu lila nepi pom bénsin,
geuwat kuring ka cai,
lumpat bari rada rusuh,
atuda tos teu kiat,
hoyong ka cai ti tadi,
tos bérés mah rarasaan ngemplong pisan.
Singgetna ieu carita,
ka alun-alun geus nepi,
geuning loba téténjoan,
raména kaliwat saking,
itu aya KFC,
Si Adé mani tutunjuk,
jigana lapar pisan,
kuring gé nya kitu deui,
nya mupakat saréréa dahar heula.
Tos wareg mah jalan-jalan,
asup téh ka Matahari,
baju mani loba pisan,
beureum, konéng, héjo deui,
éstuning warna-warni,
matak resep matak uruy,
kuring titah milihan,
mana anu cop jeung ati,
ka luar téh meunang sakérésék éwang.
Pasosoré tuluy mulang,
heug kapegat macét deui,
kacida matak aralna,
urut bungah kesel deui,
jalan heurin ku mobil,
matak bingung nu ti lembur,
biasa jalan lega,
ngalaman nu heurin usik,
matak kapok embung ngaduakalian.
@urangsundaasli