Majaalis Al-Khidhir
1.7K subscribers
2.28K photos
157 videos
194 files
6.51K links
Kumpulan Tulisan, Kajian, Faidah dan Jawaban Al-Ustadz Muhammad Al-Khidhir _Saddadahullah wa Jammalah_.
Kontak:
Laki-laki: 081585649017 (WA)
Perempuan: 085741741433 (WA)
Download Telegram
Majaalis Al-Khidhir
⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4864
Pertanyaan:
Ustâdz, bagaimana caranya supaya kami tidak meremehkan karunia Allâh atas kami? Mohon nasehat dan bimbinglah kami agar kami bisa ridhâ. Terima kasih.

Jawaban:
Kami nasehatkan dengan perkataan Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

"Lihatlah oleh kalian kepada orang yang lebih rendah dunianya di antara kalian dan janganlah kalian melihat kepada orang yang dunianya di atas kalian, karena itu akan membuat kalian untuk tidak meremehkan ni'mat Allâh atas kalian.” Riwayat Muslim.

Orang-orang seperti kita jangan sekali-kali melihat kepada orang yang di atas kita pada perkara kelebihan dan keni'matan dunia, terkadang orang yang berkelebihan dunianya untuk mendapatkan uang ratusan ribu rupiah itu hanya hitungan jam, sedangkan orang-orang yang dunianya di bawah kita untuk mendapatkan ratusan ribu rupiah itu terkadang memerlukan waktu sebulan atau terkadang lebih. Oleh karena itu supaya tidak berputus asa dan tidak meremehkan keni'matan dan karunia Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ maka hendaklah kita melihat kepada saudara-saudari kita yang lebih rendah dunianya daripada kita.
Sungguh kita sangat kagum terhadap seorang ibu, suaminya berusaha untuk bisa menjamin kehidupan rumah tangga namun isterinya masih ingin berusaha sehingga dari usahanya dapat ia gunakan untuk bersedekah dan membantu yang lemah. Tatkala suaminya mengetahui pendapatan isterinya pada bulan yang pertama hanya Rp 300.000, suaminya terharu. Di saat mendengarkan ucapan isterinya: "Alhamdulillâh bisa mendapatkan uang seperti ini dengan tanpa menerlantarkan anak-anak, dan masih bisa membantu dakwah sebisa mungkin." membuat suaminya meneteskan air mata, Mâsyâ Allâh.

Sungguh mengingatkan kita dengan Salmân Al-Fârisî Radhiyallâhu 'Anhu wa 'Annâ, beliau tatkala masih berstatus sebagai budak, beliau mengumpulkan kurma untuk beliau sedekahkan dan atau hadiahkan kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan para Shahabatnya dalam keadaan beliau sebagai budak ketika itu, tentu lebih sulit untuk bisa mendapatkan kurma, namun masyâ Allâh niat baik dan keinginan yang tinggi dapat beliau lakukan. Lâ haula walâ quwwata illâ Billâh.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Ahad tanggal 5 Dzulhijjah 1440 / 26 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4865

⛵️ http://alkhidhir.com/adab/supaya-tidak-meremehkan-nimat-allah-subhanahu-wa-taala/
Majaalis Al-Khidhir
⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4867
Pertanyaan:
Bolehkah bagi seseorang yang mengaku salafî menganjurkan menggunakan buku Iqrâ' yang ditulis oleh seorang kyai Nahdhiyyîn karena buku itu lebih baik dan dia tidak menganjurkan menggunakan buku Iqrâ' Qîra'atî yang ditulis dua orang Ustâdz Tsâbitîn karena katanya keduanya telah menyimpang dan belum taubat dari hizbiyyah memecah bela dakwah Salafiyyah di Indonesia?

Jawaban:
Seseorang yang mengaku sebagai salafî hendaklah dia inshâf dan 'adl, kalau tidak menyukai seseorang karena adanya khilâf dan perbedaan maka jangan pula membenci kebaikan dan kebenaran yang ada padanya.
Apakah orang yang mentahdzîr manusia dari kitâb Iqrâ' Qîra'atî telah mendapati pada kitâb tersebut ada penyimpangan dan kesesatan? Atau seperti orang yang mentahdzir manusia dari kitâb At-Tuhfah Al-Washâbiyyah lalu dia menganjurkan kitâb Al-Muyassar, apakah memang kitâb itu ada penyimpangan dan kesesatan padanya?.
Jika mau beralasan karena penulisnya bermasalah, kenapa tidak sekalian permasalahkan Mushhaf Al-Qur'ãn yang ayat-ayatnya telah diharakati dan dibuatkan ajzâ' dan ahzâb? Bukankah Al-Hajjâj bin Yûsuf Ats-Tsaqafî yang telah memerintahkan Nashr bin 'Âshim dan Yahyâ bin Ya'mar untuk meletakkan ajzâ' dan ahzâb di dalam mushhaf Al-Qur'ãn? Kenapa tidak sekalian tinggalkan karena itu atas jasa Al-Hajjâj penguasa zhâlim yang telah melakukan pembunuhan di antara Shahabat Nabî, membunuh sebagian Tâbi'în dan sebagian Ahlul Bait.
Sebagian orang di zaman ini kalau sudah benci orang lain maka kebaikan dan kebenaran darinya dipungkiri dengan berbagai alasan, alasan menyimpang sudah pasti dan alasan belum taubat tentu diikutkan pula, yakni taubat sesuai kriteria mereka, taubat sesuai versi mereka, yaitu harus datang kepada mereka menyatakan bersama mereka, harus kumpul bersama mereka dan bersedia dikomando oleh pembesar mereka atau harus bersedia untuk berbicara terhadap pihak yang berseberangan dengan mereka, atau kalau tidak akan dibongkar dan dibeberkan aib-aibnya atas nama penjagaan kesucian dakwah atau masih dipertanyakan kebaikannya. Seakan-akan mereka tidak menyimpang dan seolah-olah taubat mereka telah pasti diterima, seakan-akan An-Nawawî, Al-'Asqalanî, Al-Haitamî dan Az-Zamakhsyarî telah taubat dan bersih sehingga dikhususkan mereka. Ilmu, kebenaran dan kebaikan dari mereka harus diambil, kalau ilmu, kebenaran dan kebaikan yang ada di kitâb seperti Iqrâ Qîra'atî tidak boleh diambil bahkan diperintahkan untuk dijauhi dan diwaspadai.

Sudah banyak yang bertanya kepada kita tentang kitâb Iqrâ Qîra'atî dan juga kitâb Iqrâ, kita nasehatkan ambil darinya dan ajarkan sesuai kebutuhan, jika kitâb Iqrâ Qîra'atî ada maka utamakan daripada kitâb Iqrâ, kalau tidak ada atau tidak dapatkan kecuali kitâb Iqrâ maka gunakan sesuai kebutuhan.
Sebagian orang menghalang-halangi kitâb seperti ini, pada akhirnya umat terjauhkan dari kebaikan dan ilmu, bahkan sampai kita dapati suatu kaum yang benci dengan kitâb seperti itu, di masjid mereka tidak ada pembelajaran cara membaca Al-Qur'ãn dengan baik dan benar, kitâb seperti itu tidak ada, apalagi mengajarkannya. Tatkala kita shalat di belakang Ustâdz mereka yang menjadi imâm, sungguh bacaannya tidak benar, pengucapan huruf tidak bisa bedakan, apalagi panjang pendek benar-benar tidak bisa bedakan.
Keadaan seperti itu benar-benar suatu kesalahan fatal, namun karena mereka memilih fatwâ orang yang mereka kibârkan:

ﺍﻟْﺠَﻬْﻞُ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﺃَﺧْﺬِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻋَﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺒِﺪَعِ

"Kebodohan itu lebih utama daripada mengambil ilmu dari Ahlul Bid'ah."
Maka merekapun tidak mau menyadari keadaan mereka, sehingga keberadaan mereka seakan-akan seperti yang Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ katakan:

ٱلَّذِینَ ضَلَّ سَعۡیُهُمۡ فِی ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا وَهُمۡ یَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ یُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka di kehidupan dunia ini, dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka berbuat yang terbaik." [Surat Al-Kahfi: 104].

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Selasa tanggal 7 Dzulhijjah 1440 / 28 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.
Pertanyaan:
'Afwân yâ Ustâdz ada yang ingin bertanya, apakah boleh orang yang berpuasa Dâwud pada awal-awal Dzulhijjah ini lalu dia berpuasa 'Arafah lagi yâ Ustâdz?

Jawaban:
Bagi yang berpuasa Dâwud atau yang mengqadhâ puasa Ramadhân pada hari-hari permulaan Dzulhijjah ini hendaklah dia mencukupkan pada tanggal 8 Dzulhijjah lalu pada tanggal 9 Dzulhijjah dia berpuasa 'Arafah, sehingga tidak ketinggalan keutamaan puasa 'Arafah yang disebutkan oleh Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

"Menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." Riwayat Muslim (no. 2804).
Kita anjurkan demikian karena puasa Dâwud dan mengqadhâ puasa Ramadhân waktunya luas, dapat dilakukan setelah ayyâmut tasyrîq pada bulan Dzulhijjah atau pada bulan-bulan lainnya.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Rabu tanggal 8 Dzulhijjah 1440 / 29 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4872

⛵️ http://alkhidhir.com/fiqih/mengutamakan-puasa-arafah/
Pertanyaan:
Ustâdz ijin bertanya, apa hukum seorang yang malamnya melakukan hubungan badan dengan isterinya atau melalukan onani lalu dia tertidur dalam keadaan junub, ketika bangun dia dapati matahari sudah terbit padahal dia berniat untuk puasa di hari itu misal seperti sekarang puasa 'arafah. Apakah dia tetap berpuasa ataukah tidak Ustâdz? Mohon jawabannya.
Jazakumullâhu khairan.

Jawaban:
Karena kejadian junubnya sebelum waktu sahur yakni sebelum terbit fajar shâdiq maka dia teruskan niat puasanya, selama dia belum makan dan belum minum maka puasanya teranggap sah, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ: يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ

"Berkata kepadaku Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pada suatu hari: "Wahai 'Âisyah, apakah kalian memiliki sesuatu dari makanan? Aku berkata: "Wahai Rasûlullâh kami tidak memiliki sesuatu apapun dari makanan." Beliaupun berkata: "Kalau begitu aku puasa." Riwayat Muslim.


Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis bertepatan dengan hari 'Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1440 / 30 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️https://t.me/majaalisalkhidhir/4875
⛵️ http://alkhidhir.com/fiqih/hukum-orang-junub-tertidur-dari-mandi-dan-sahur/
Pertanyaan:
Ustâdz, 'afwân .. saya mau bertanya, berkaitan dengan puasa 'arafah, teman saya kondisi sedang sakit, tadi pagi jam 9 bangun belum sadar total, tapi disuruh keluarganya untuk minum obat. lalu dia meminumnya, akan tetapi saat jam 10 dia sadar kalau lagi ada Puasa 'Arafah, kalau begitu tetap menjalankan puasa 'Arafah atau tidak perlu sama sekali yâ Ustâdz? Bârakallâhu fîkum.

Jawaban:
Tidak boleh baginya untuk meniatkan puasa 'Arafah karena dua alasan:

Pertama: Dia dalam keadaan sakit yang bukan ringan, oleh karena itu hendaklah dia tidak puasa sehingga tidak memudharatkan dirinya, berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ:

وَلَا تُلۡقُوا۟ بِأَیۡدِیكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِینَ

"Janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebiasaan, dan berbuat baiklah kalian sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." [Surat Al-Baqarah: 195].

Kedua: Dia telah meminum, sementara orang yang masih dibolehkan untuk puasa sunnah adalah orang yang berada di waktu sebelum zhuhur dalam keadaan belum memakan dan belum meminum sama sekali dari sejak waktu fajar, disebutkan suatu bâb di dalam "Shahîh Muslim":

بَابُ جَوَازِ صَوْمِ النَّافِلَةِ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ قَبْلَ الزَّوَالِ

"Bâb kebolehan untuk puasa sunnah dengan suatu niat dari sebagian siang sebelum tergelincir matahari."

Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam tatkala kembali ke rumahnya dalam keadaan belum makan dan belum minum lalu di rumah tidak ada makanan maka beliau langsung niat untuk puasa sunnah, berkata 'Âisyah Radhiyallâhu 'Anhâ:

قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ: يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ. قَالَ: فَإِنِّي صَائِمٌ

"Berkata kepadaku Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam pada suatu hari: "Wahai 'Âisyah, apakah kalian memiliki sesuatu dari makanan? Aku berkata: "Wahai Rasûlullâh kami tidak memiliki sesuatu apapun dari makanan." Beliaupun berkata: "Kalau begitu aku puasa." Riwayat Muslim.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Kamis bertepatan dengan hari 'Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 1440 / 30 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4877

⛵️ http://alkhidhir.com/fiqih/niat-puasa-sunnah-di-waktu-dhuha-bagi-yang-sakit/
Pertanyaan:
Apakah tidak memotong rambut dan kuku pada tanggal 1 Dzulhijjah hingga hari penyembelihan qurbân itu merupakan salah satu syarat sah qurbân bagi orang yang berqurbân?

Jawaban:
Bukanlah syarat bagi orang yang berqurbân untuk tidak memotong rambut dan tidak memotong kukunya, karena memotong rambut dan kuku hanyalah larangan, berkata Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah melihat hilâl Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berqurbân maka hendaklah dia menahan rambut dan kukunya.”
Yakni orang yang akan berqurbân ketika sudah memasuki tanggal satu Dzulhijjah maka tidak boleh baginya untuk memangkas rambutnya dan memotong kukunya.

Ketika orang yang berqurbân melanggar larangan ini maka dia terjatuh ke dalam pelanggaran, akan tetapi qurbânnya tetap sah.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada malam Jum'at bertepatan dengan malam 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4880
⛵️ http://alkhidhir.com/fiqih/larangan-memangkas-rambut-dan-memotong-kuku-bagi-orang-berqurban/
Pertanyaan:
Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi ucapan Ustâdz-ustâdz yang tidak menerima adanya julukan atas seorang Ustâdz yang disebut dengan Syaikh? Bahwa yang beri julukan itu syaikh-syaikh baru atau para syaikh jadi-jadian sehingga tidak mu'tabar, padahal yang lebih pantas memberi julukan syaikh adalah 'ulamâ kibâr?

Jawaban:
Kalau mereka mempermasalahkan julukan syaikh kepada seorang dâ'î, kenapa mereka tidak permasalahkan julukan Ustâdz atas diri mereka? Siapa yang pertama-tama menjuluki mereka dengan julukan Ustâdz? Apakah Ibnu Bâzz, Al-Albânî, Al-Wâdi'î atau Ibnul 'Utsaimîn Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaihim? Ataukah yang pertama-tama menjuluki mereka dengan julukan Ustâdz adalah orang awam lalu masyhûr bagi mereka dengan julukan itu?
Kalau julukan Ustâdz itu ada pada mereka, bermula dari panggilan penghormatan dari awam manusia maka kita sebutkan pula julukan seperti itu, kita juga akan memanggil mereka dan menyebut mereka sebagai Ustâdz, karena itu panggilan penghormatan yang sopan dan panggilan yang dikenal dengannya.
Demikian pula ketika seseorang sudah diseru atau disebut sebagai Syaikh maka kita tetapkan seperti itu pula, sebagaimana pada umat di kalangan Banî Isrâîl, mereka telah menetapkan julukan bagi orang-orang berilmu mereka dengan suatu julukan, dan Allâh Tabâraka wa Ta'âlâ telah menyebutkan di dalam Al-Qur'ãn:

أَوَلَمۡ یَكُن لَّهُمۡ ءَایَةً أَن یَعۡلَمَهُۥ عُلَمَـٰۤؤُا۟ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ

"Apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para 'ulamâ Banî Isrâîl mengetahuinya?." [Surat Asy-Syu'arâ: 197].
Ketika disebutkan bahwa di kalangan mereka ada 'ulamâ maka kita sebutkan seperti itu pula, seperti yang pernah kita dapatkan pula di Dârul Hadîts, tatkala ada teman-teman majlis dan teman-teman bahas kita yang sudah terbiasa ceramah di daerah mereka hingga disapa dengan Syaikh, tatkala mereka menuntut ilmu di Dârul Hadîts, mereka itu disapa pula dengan sapaan tersebut.
Adanya penetapan julukan pada seseorang itu tidak mesti yang menetapkannya harus orang yang kedudukannya di atas dirinya, namun orang yang kedudukannya di bawah dirinya juga teranggap dalam penetapannya tatkala julukan itu memang layak untuknya dan dikenal baginya, berkata Abû Sa'îd Al-Khudrî Al-Khudrî tentang Abû Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallâhu 'Anhumâ:

فَقُلْتُ فِي نَفْسِي مَا يُبْكِي هَذَا الشَّيْخَ إِنْ يَكُنِ اللَّهُ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ فَاخْتَارَ مَا عِنْدَ اللَّهِ

"Aku berkata di dalam hatiku: Apa yang membuat seorang syaikh ini menangis, tatkala Allâh memberikan kepada seorang hamba dengan pilihan antara dunia dan antara apa yang ada di sisi-Nya lalu dia memilih apa yang ada di sisi Allâh." Riwayat Al-Bukhârî.

Tanpa kita ragukan lagi bahwa Abû Bakr Ash-Shiddîq lebih tinggi kedudukannya dan lebih utama daripada Abû Sa'îd Al-Khudrî Radhiyallâhu 'Anhumâ, namun penyebutan syaikh darinya terhadap Abû Bakr Ash-Shiddîq merupakan perkara yang tidak dapat dipungkiri, dan kita menetapkan beliau sebagai seorang syaikh dari kalangan Shahabat Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Dijawab oleh:
Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari Jum'at bertepatan dengan 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Maktabah Al-Khidhir Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4882
⛵️ http://alkhidhir.com/adab/julukan-syaikh-jangan-diejek/
Audio
Khutbah Jum'at dengan tema "Tafsîr Al-Kautsar" pada hari 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Masjid Al-Kautsar Kp Tenggilis Bekasi.

⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4883
⛵️ http://alkhidhir.com/khutbah/makna-al-kautsar-2/
MAKNA AL-KAUTSAR

Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak, di dunia berupa ilmu dan Sunnah sedangkan di akhirat berupa keselamatan dan keberhasilan dalam mencapai telaga Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam.

Berkata Allâh Subhânahu wa Ta'âlâ kepada Nabî Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam:

إِنَّاۤ أَعۡطَیۡنَـٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ

"Sesungguhnya Kami telah memberikan Al-Kautsar kepadamu." [Surat Al-Kautsar: 1].

Berkata 'Abdullâh 'Abbâs Radhiyallâhu 'Anhumâ:

الْكَوثَرُ هُوَ الْخَيرُ الْكَثِيرُ

"Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak."

Berkata Mujâhid Rahmatullâh 'Alainâ wa 'Alaih:

الْكَوْثَرُ هُوَ الْخَيرُ الْكَثِيرُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Al-Kautsar adalah kebaikan yang banyak di dunia dan di akhirat."

Berkata Rasûlullâh 'Alaihish Shalâtu was Salâm:

أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ؟

"Apakah kalian mengetahui tentang Al-Kautsar?."
Para Shahabat menjawab:

اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ

"Allâh dan Rasûl-Nya yang lebih mengetahui."
Beliau berkata:

فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِى. فَيَقُولُ مَا تَدْرِى مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ

“Sesungguhnya Al-Kautsar adalah sungai yang Allâh 'Azza wa Jalla telah janjikan kepadaku, padanya terdapat banyak kebaikan, Al-Kautsar adalah suatu telaga yang umatku akan datang kepadanya pada hari kiamat, bejananya sejumlah bintang-bintang di langit. Lalu ada malaikat yang mengusir sebagian mereka, akupun berkata: "Wahai Rabku sesungguhnya mereka itu termasuk dari kalangan umatku? Dia berkata: "Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sesudah engkau.” Riwayat Muslim (no. 921).

Fâidah dari Al-Ustâdz Muhammad Al-Khidhir Hafizhahullâh wa Ra'âh pada hari 'Îdul Adhhâ tanggal 10 Dzulhijjah 1440 / 31 Juli 2020 di Masjid Al-Kautsar Kp Tenggilis Bekasi.

⛵️ http://alkhidhir.com/khutbah/makna-al-kautsar-2/
⛵️ https://t.me/majaalisalkhidhir/4884