@ilmusyariah
3.71K subscribers
37 photos
3 videos
12 files
260 links
📚Aqidah📚Fiqih📚Ushul Fiqih📚Qaidah Fiqih📚Akhlaq📚Ulum Qur'an📚Mushthalah Hadits📚Maqashid Syariah📚Fiqih Awlawiyat 📚Tarikh Tasyri'📚
Silakan share dg linknya.
https://www.ilmusyariah.com
https://www.facebook.com/ulumsyariah
Download Telegram
Forwarded from A Sahal Hasan
Kajian Online ke-2:
Rahasia Alhamdulillah:
https://youtu.be/SxYabsIeJtI

Jangan lupa subsrcibe, like, share & comment 😊🙏🏻
📚 MS-007 (Bag-4)
Fokus Kedua Madrasah Wasathiyah dalam Menyimpulkan Hukum

https://www.ilmusyariah.com/2020/08/fokus-kedua-madrasah-wasathiyah-dalam.html

📕 Fokus kedua madrasah wasathiyah dalam menyimpulkan hukum adalah membaca nash Al-Qur’an maupun Hadits dengan mencermati konteks kalimatnya secara keseluruhan dan sabab nuzul (sebab turunnya ayat Al-Qur’an) atau sabab wurud (sebab disabdakannya Hadits), serta situasi dan keadaan yang melingkupinya, terutama hadits Rasulullah ﷺ, sehingga tidak mengambil kesimpulan hukum yang ternyata tidak dimaksudkan oleh nash itu sendiri.

📌 Abdullah bin ‘Umar RA misalnya, mencontohkan sikap Khawarij yang mudah mengkafirkan kaum muslimin, sebab utamanya menurut beliau adalah:

«إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار، فجعلوها على المؤمنين»

“Sesungguhnya mereka cepat menuju ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir lalu mereka berlakukan atas orang-orang beriman.” (Shahih Al-Bukhari secara mu’allaq).

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyebutkan bahwa Ath-Thabari meriwayatkannya secara bersambung dalam Musnad ‘Ali dari Tahdzib Al-Atsar (Fath Al-Bari, 12/286).

📌 Jika Al-Qur’an saja yang karakternya bersifat umum tetap perlu diperhatikan peruntukannya, apalagi dengan hadits-hadits Rasulullah ﷺ. Para ulama tentu mengetahui bahwa ada sebagian hadits-hadits Rasulullah ﷺ yang disabdakan berdasarkan situasi tertentu untuk merealisasikan maslahat yang diakui atau untuk menyingkirkan madharat tertentu, atau untuk menjadi solusi dari permasalahan saat itu, atau disabdakan berdasarkan ‘urf yang berlaku saat itu.

Artinya, tampak sekilas bahwa hukum dari hadits-hadits seperti itu bersifat general, tetapi ketika diteliti lebih dalam ternyata disabdakan berdasarkan ‘illat (sebab/alasan) tertentu, yang hukumnya berlaku selama illat tersebut masih ada, dan berubah hukumnya ketika ‘illatnya hilang; atau disabdakan berlandaskan ‘urf yang berlaku saat itu dan tidak berlaku lagi saat ini.

Tentu saja, hal ini bukan berarti setiap orang bisa dengan seenaknya menolak hukum sebuah hadits dengan dalih sudah tidak berlaku lagi, namun ini adalah ranah para ulama mujtahid untuk membahasnya.

📕 Sebagai contoh, Rasulullah ﷺ tidak suka jika seorang suami yang musafir pulang menemui istrinya di larut malam:

«كان النبي صلى الله عليه وسلم يكره أن يأتي الرجل أهله طروقا»

Adalah Rasulullah ﷺ tidak suka jika seorang laki-laki pulang menemui keluarganya di larut malam. (HR. Al-Bukhari no 5234).

Kalau tidak meneliti hadits ini secara seksama, akan muncul kesimpulan yang general dan salah dengan menyatakan tidak boleh sama sekali seorang suami pulang malam. Padahal hadits tersebut, dengan melihat hadits-hadits lain yang senada diperuntukkan hanya untuk suami yang lama meninggalkan istrinya (musafir), dan dengan situasi tertentu yang akan dijelaskan di bawah ini.

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan:

وقوله في طريق عاصم عن الشعبي عن جابر إذا أطال أحدكم الغيبة فلا يطرق أهله ليلا التقييد فيه بطول الغيبة يشير إلى أن علة النهي إنما توجد حينئذ فالحكم يدور مع علته وجودا وعدما . فلما كان الذي يخرج لحاجته مثلا نهارا ويرجع ليلا لا يتأتى له ما يحذر من الذي يطيل الغيبة كان طول الغيبة مظنة الأمن من الهجوم فيقع الذي يهجم بعد طول الغيبة غالبا ما يكره إما أن يجد أهله على غير أهبة من التنظف والتزين المطلوب من المرأة فيكون ذلك سبب النفرة بينهما.
وقد أشار إلى ذلك بقوله في حديث الباب الذي بعده بقوله كي تستحد المغيبة وتمتشط الشعثة ويؤخذ منه كراهة مباشرة المرأة في الحالة التي تكون فيها غير متنظفة لئلا يطلع منها على ما يكون سببا لنفرته منها.
وإما أن يجدها على حالة غير مرضية والشرع محرض على الستر وقد أشار إلى ذلك بقوله أن يتخونهم ويتطلب عثراتهم فعلى هذا من أعلم أهله بوصوله وأنه يقدم في وقت كذا مثلا لا يتناوله هذا النهي.

Dalam riwayat ‘Ashim dari Asy-Sya’bi dari Jabir RA, sabdanya: “Jika salah seorang diantara kalian lama berpisah dari keluarganya, maka janganlah pulang mendatangi keluarganya di malam hari.” Penyebutan “lama berpisah” menunjukkan bahwa “illat” larangan adalah hal tersebut, sehingga ada atau tidak adanya hukum berputar bersama ‘illatnya (tergantung ada atau tidak adanya ‘illat tersebut).
Orang yang keluar memenuhi keperluannya di siang hari dan kembali malam harinya misalnya, tidaklah berlaku padanya larangan tersebut seperti yang berlaku pada orang yang lama berpisah. Orang yang yang lama berpisah dari keluarganya, sangat besar resikonya untuk tiba-tiba melampiaskan kerinduan kepada keluarga sementara keluarganya tidak siap menyambutnya, seperti istri yang belum membersihkan diri dan berhias secara pantas, sehingga hal itu malah justru merusak kemesraan mereka berdua.

Hadits berikutnya pada bab ini juga telah mengisyaratkan hal tersebut, dimana di situ disebutkan sabda beliau: “agar yang ditinggalkan bersiap, dan agar rambut yang kusut tersisir rapi”. Disimpulkan juga darinya makruh menggauli istri dalam keadaan ia belum membersihkan dirinya agar suami tidak menemukan hal-hal yang justru membuatnya tidak suka kepada istrinya.

Mungkin juga (jika tidak memberitahu terlebih dahulu) suami menemukan istrinya dalam keadaan yang tidak ia sukai, sementara syariat menyuruh untuk menutupi aib. Ini telah diisyaratkan dengan sabdanya (yang lain): “jangan sampai ia tidak mempercayai keluarganya dan mengintai kesalahan mereka”. Oleh karena itu, suami yang memberitahukan keluarganya tentang kedatangannya, bahwa ia akan tiba pada waktu tertentu, tidak terkena larangan ini.

(Fath Al-Bari, 9/340).

📌 Dari penjelasan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, dapat disimpulkan beberapa hal:

1️⃣ Bahwa hadits riwayat Al-Bukhari tersebut tidak berlaku umum, tetapi khusus hanya untuk suami yang lama berpisah dengan keluarganya.

2️⃣ ‘Illat larangannya adalah safar, sementara diantara maqashid (tujuan) nya adalah agar ia tidak mendapati istri dan keluarganya dalam keadaan yang tidak ia sukai karena tidak tahu kedatangannya. Sebab di malam hari apalagi di zaman itu, penghuni rumah sudah tidur atau bersiap untuk tidur.

3️⃣ Sarana agar keluarga mengetahui kedatangannya dan dapat bersiap menyambut adalah dengan memberitahu mereka.

4️⃣ Ditinjau dari ‘urf atau situasi saat itu, seorang musafir tidak bisa memberitahu kedatangannya sebelumnya kecuali jika sudah dekat itupun harus mengutus orang terlebih dahulu yang dapat melakukan perjalanan lebih cepat. Di samping itu, zaman dulu perjalanan dilakukan dengan unta atau kuda atau keledai yang dapat diatur sesuai kehendak si pengendara kapan berhenti dan kapan melanjutkan perjalanan sehingga ia dapat menentukan sendiri apakah akan tiba di rumahnya siang hari atau malam hari. Sehingga berlaku perintah (minimal anjuran) baginya tidak pulang di larut malam.

5️⃣ Berbeda dengan situasi zaman ini, seorang musafir bisa jadi tidak bisa memilih jadwal kendaraan umum yang ia gunakan karena faktor biaya atau karena bukan dia yang menentukannya kapan berangkat dan kapan sampai di tujuan, sehingga ia tidak bisa memilih apakah akan tiba di malam hari atau siang hari. Berbeda halnya jika ia memakai kendaraan pribadi atau punya kemampuan menentukan semua jadwal perjalanannya.
Di sisi lain alat komunikasi saat ini memungkinkan suami memberitahu istrinya perkiraan jam kepulangannya, sehingga meskipun ia pulang di malam hari, istri dan keluarganya sudah siap menyambutnya, sehingga hal-hal yang menjadi alasan larangan hadits tersebut dapat dihindari. Ketika alasan tersebut tidak ada lagi, maka hukumnya pun menjadi berubah, artinya tidak ada larangan sama sekali pulang di malam hari.

Wallahu a'lam bish-shawab.

https://t.me/ilmusyariah/730
Forwarded from A Sahal Hasan
Kajian Kitab

Kata "lillaah" pada Alhamdu lillaah menunjukkan bahwa Allah berhak dengan segala pujian itu karena DiriNya sendiri dengan seluruh nama-nama dan sifat-sifatNya yang agung, tidak hanya terkait dengan nama atau sifat tertentu.

Mengapa setelahnya dilanjutkan dengan Rabbul 'Aalamin ?
Insya Allah dijelaskan dengan gamblang dalam video kajian kitab seri ke-3 ini.

https://youtu.be/4-quV1xpEeY
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
F-010
📚 PUASA 'ASYURA
https://www.ilmusyariah.com/2020/08/puasa-asyura.html

- Keutamaan Puasa 'Asyura
- Hukum Puasa 'Asyura
- Puasa Tanggal 9 & 11 Muharram
- Pilihan Paling Afdhal
- Bagaimana dengan Puasa Tanggal 10 saja?

'Asyura adalah tanggal 10 bulan Muharram, dimana Allah ﷻ menyelamatkan Nabi Musa alaihissalam dengan menenggelamkan Firaun, maka Nabi Musa berpuasa di tanggal itu sebagai ungkapan syukur kepada Allah ﷻ.

Rasulullah ﷺ telah berpuasa ‘Asyura sejak masih di Mekkah, dan ketika beliau di Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka:

«ما هذا اليوم الذي تصومونه؟» فقالوا: هذا يوم عظيم، أنجى الله فيه موسى وقومه، وغرق فرعون وقومه، فصامه موسى شكرا، فنحن نصومه، فقال رسول الله ﷺ: «فنحن أحق وأولى بموسى منكم» فصامه رسول الله ﷺ وأمر بصيامه»

“Hari apa yang kalian puasakan ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari agung, di dalamnya Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan Fir’aun beserta kaumnya tenggelam, maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kamipun berpuasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian.” Maka Rasulullah ﷺ mempuasakannya dan memerintahkan (para sahabat) berpuasa. (HR. Muslim).

Secara umum, bulan Muharram adalah bulan yang dianjurkan untuk berpuasa berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ

Puasa paling afdhal sesudah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram. (HR. Muslim).

Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, puasa di bulan Muharram secara umum hukumnya adalah mustahab (dianjurkan/disukai). Bahkan madzhab Maliki dan Syafi’i menyatakan dianjurkan berpuasa di semua bulan-bulan Haram yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Wahbah Az-Zuhaili, 3/1643).

Sementara puasa ‘Asyura hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang lebih ditekankan), berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ:

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

… dan puasa hari ‘Asyura aku berharap kepada Allah akan menghapus (dosa) tahun sebelumnya. (HR. Muslim).

Yang menunjukkan bahwa puasa ‘Asyura tidak wajib adalah hadits Rasulullah ﷺ:

إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

Sesungguhnya ‘Asyura adalah salah satu hari diantara hari-hari Allah, maka siapa yang mau silakan berpuasa, dan siapa yang mau meninggalkannya (tidak apa-apa). (HR. Muslim).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga meriwayatkan:

حين صام رسول الله ﷺ عاشوراء وأمر بصيامه قالوا يا رسول الله: إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى. فقال رسول الله ﷺ "فَإِذَا كَانَ العَامُ المُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا التَّاسِعَ" قال: فلم يأتِ العام المقبل حتى توفي رسول الله ﷺ

Ketika Rasulullah ﷺ berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani”, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan.” Ibnu ‘Abbas berkata: “ Tahun depan belum datang namun Rasulullah ﷺ telah wafat. (HR. Muslim).

صُومُوا يَوْمَ عاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ اليَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً وَبَعْدَهُ يَوْماً

Berpuasalah hari ‘Asyura, dan berbedalah kalian di dalamnya dengan kaum Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).

Dalam riwayat Ahmad juga dan Ibnu Khuzaimah disebutkan:

صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.

Meskipun sebagian ulama menyatakan hadits riwayat Ahmad dan Al-Baihaqi ini dha’if, namun berpuasa tanggal 11 Muharram didukung oleh keutamaan puasa Muharram secara umum dalam hadits di shahih Muslim seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga berpuasa 9, 10, 11 Muharram berarti mengamalkan semua hadits yang ada, maka ia paling afdhal, menurut beberapa ulama, tanpa menafikan pendapat yang lain, dan dengan tetap menghormatinya.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menyatakan:

وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب أدناها أن يصام وحده وفوقه أن يصام التاسع معه وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم

Berdasarkan hal ini, maka puasa ‘Asyura itu ada tiga tingkatan: yang paling bawah adalah berpuasa hari ‘Asyura saja, di atasnya adalah berpuasa juga Tasu’a (tanggal 9) bersamanya (‘Asyura), dan yang di atasnya lagi adalah berpuasa tanggal 9 dan 11 bersamanya. Wallahu a’lam. (Fath Al-Bari, 4/246).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga menyebutkan:

فمراتب صومه ثلاثة: أكملُها: أن يُصام قبله يومٌ وبعده يومٌ، ويلى ذلك أن يُصام التاسع والعاشر، وعليه أكثرُ الأحاديث، ويلى ذلك إفرادُ العاشر وحده بالصوم.

Urutan puasanya ada tiga: yang paling sempurna berpuasa juga sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, yang berikutnya adalah berpuasa tanggal 9 dan 10 dan ini berdasarkan mayoritas hadits, dan yang berikutnya hanya puasa tanggal 10 saja. (Zad Al-Ma’ad, 2/72).

Dengan demikian berpuasa tanggal 10 Muharram saja jelas diperbolehkan dan tidak makruh menurut banyak ulama. Dalam kitab I’anah Ath-Thalibin (2/301), Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menyatakan bahwa Al-Imam Asy’Syafi’i berpendapat dalam kitab Al-Umm:

لا بأس أن يفرده.

Tidak mengapa berpuasa sehari saja (tanggal 10).

والله أعلم

🔗 https://t.me/ilmusyariah/738
Rekaman Kajian Online ttg Muqadimah Ushul Fiqih (Landasan Ilmu Fiqih) bersama Ustadz A Sahal Hasan, Lc
Rabu malam, 16 Sept 2020
https://youtu.be/73ErDicbpfA
Kenali lebih dalam kasih sayang Allah kepada hambaNya yang beriman.

- Sekadar lintasan keinginan baik sudah dicatat sebagai satu kebaikan sempurna.

Jika diwujudkan, bernilai minimal 10 kebaikan, 700 kali lipat hingga kelipatan yang banyak._

- Sedangkan lintasan keinginan buruk dimaafkan, bahkan jika dibatalkan dicatat sebagai satu kebaikan.


Lalu apa perbedaan antara hamm, azam & niat?

Saksikan rekaman pembahasan Hadits ke-11 Riyadhus Shalihin bersama Ustadz A Sahal Hasan, Lc di :
https://youtu.be/ryljUG3xZho
Forwarded from A Sahal Hasan
Diantara doa paling menyentuh di malam Ramadhan:
https://youtu.be/6xHnisFUZgw
Forwarded from A Sahal Hasan
Muhasabah Lailatul Qadar
(Antara Harap dan Cemas)

Terus mendekat kepada Allah, tapi tak merasa dekat? Adakah yang salah?
Bagaimana dengan yang merasa telah dekat dan mencapai kedudukan tinggi?
Temukan jawabannya dari dialog guru dengan murid ini..

https://youtu.be/9eBEFqi-YMw
(berbahasa Arab dg subtitle Indonesia)
Munajat Akhir Ramadhan & Hakikat 'Ied:
https://youtu.be/p6hD4CTFi9E