Garasi Fauzil Adhim
5.14K subscribers
1.38K photos
91 videos
5 files
192 links
Download Telegram
Kebosanan perkawinan dapat terjadi karena rutinitas yang kering tanpa makna. Bukan karena sekedar rutinitas. Seringnya kita bertemu, dalam rutinitas penuh waktu, dapat saling menguatkan ikatan hati tatkala mereka sama-sama bergerak dengan himmah yang tinggi, nafsu yang tunduk khusyuk beriring kesediaan masing-masing untuk menegakkan mu’asyarah bil ma’ruf.⁣

Sebaliknya, kebosanan dapat dengan mudah terjadi pada suami-istri, salah satu atau keduanya, disebabkan oleh kemaksiatan. Jika suami yang tergelincir kepada kemaksiatan, istri berdandan setiap hari pun tak cukup untuk membuat suami merasa nyaman di dekatnya. Bukan karena buruknya akhlak istri, bukan pula karena penampilannya yang tak menawan, tetapi kemaksiatan itu mengurangi dan bahkan menghapus kenikmatan sesuatu yang halal. Boleh jadi tampaknya masih bersetia, tetap ikatan tidak terlepas hanya karena masih ada penghalangnya.⁣

Maka selain menjaga akhlak satu sama lain, berusaha untuk senantiasa saling menegakkan mu’asyarah bil ma’ruf sekaligus qaulan ma’rufah (tutur kata yang baik), penting sekali bagi suami-istri saling mencegah dari kemunkaran dan menutup pintu-pintu kemaksiatan. Sebagian pintu maksiat adalah sumber harta yang syubhat, termasuk jalan untuk sampai kepada harta yang syubhat tersebut.⁣
Ada beberapa hal yang perlu kita ingat. Pertama, tidak ada anak yang suka bertengkar. Bedakan antara sering dengan suka. Sebagian anak mungkin sering bertengkar, tetapi sebenarnya mereka tidak suka. Mereka pun tidak nyaman jika harus bertengkar.

Kedua, mari kita ingat bahwa seringnya anak bertengkar, kita juga penyebabnya. Seluruh hadis yang menggunakan perkataan “يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ” (dilahirkan dalam keadaan fithrah), sepanjang yang telah saya pelajari, senantiasa secara konsisten menunjuk kedua orangtua sebagai penentunya, sebagaimana secara konsisten menunjuk kepada millah.

Menghadapi pertengkaran anak, hendaklah orangtua bersikap ‘adil. Apa itu ‘adil? Mendudukkan masalah dengan benar, tidak menyalahkan yang benar dan tidak pula menghukumnya, serta menghadiahi yang salah. Sikap tidak ‘adil memicu permusuhan yang bisa berlanjut bahkan sesudah mereka dewasa. Na’udzubiLlahi min dzaalik.
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
“Agar Pertengkaran Anak Tidak Menjadi Permusuhan”

Bincang Parenting Bersama Pro-U Media, 26 September 2020. Mohon maaf tidak lengkap.
Jenjang Percaya Diri Anak (01)
Jenjang Percaya Diri Anak (02)
Jenjang Percaya Diri Anak (03)
Jenjang Percaya Diri Anak (04)
Sebagian orangtua maupun guru inginnya membangun percaya diri anak, tetapi yang dilakukan justru sebaliknya. Bukan percaya diri yang mereka bangun, tetapi meletakkan “nilai” diri pada benda-benda atau sesuatu yang bisa melekat, bisa pula terlepas.⁣

Agar mudah menakar, mari kita periksa jenjang-jenjang percaya diri pada anak. Secara sederhana, tulisan ini saya ringkas dari pembahasan yang sama di buku saya bertajuk Positive Parenting terbitan Pro-U Media.⁣

Pertama, rasa percaya diri semu alias pseudo self-confidence. Ini jenjang terendah, namun justru banyak diburu. Mereka kelihatan penuh percaya diri, tampil dengan sangat menyakinkan, dan tampak begitu mengesankan. Tetapi ketika lupa membawa deodoran, mereka akan bersembunyi seperti tikus tersiram air. Mereka “percaya diri” hanya apabila bersama mereka ada hal-hal atau benda-benda yang dapat membuat mereka “terangkat” , meski sebenarnya tidak ada orang yang terlalu memerhatikan benda-benda itu. ⁣

Salah satu contoh sederhana “percaya diri semu” adalah malu tidak punya HP. Obatnya bukan membelikan HP. Membelikan benda hanya agar sama dengan temannya tidak menghapuskan rasa kurang percaya dirinya. Bukan tidak mungkin lebih buruk dari itu. Anak tidak memiliki sense of competence atau kesadaran bahwa dirinya memiliki kompetensi, sehingga secerdas apa pun selalu merasa tidak mampu. ⁣

Kedua, “percaya diri” karena orang lain memiliki kekurangan dan kelemahan. Ia merasa percaya diri karena memiliki kelebihan yang orang lain di sekitarnya tidak memiliki. Ini sesungguhnya juga bukan termasuk percaya diri, dan dekat dengan kesombongan. Sesungguhnya, sikap sombong itu ada kalanya merupakan bentuk lain dari minder. Terhadap yang di atasnya tidak berkutik, sementara terhadap yang dianggap lebih rendah ia akan menepuk dada. Sedihnya, ini justru yang sering ditanamkan oleh orangtua, “Eit, coba lihat. Wuih, bagusnya. Coba temanmu, pasti nggak ada yang punya.”⁣

Ketiga, “percaya diri” karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Ini lebih positif daripada yang sebelumnya. Ia akan mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang yang memiliki minat dan kelebihan yang sama. Ia juga bisa dengan mudah menempatkan diri di lingkungan yang membutuhkan kelebihan-kelebihannya. Tetapi, ia kurang bisa nyaman dengan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Bahkan bisa jadi, kekurangan itu menyebabkan ia sibuk menutupinya.⁣

Keempat, tumbuhnya kepercayaan diri karena dapat menerima kelebihan dan kekurangannya. Ia menyadari apa yang menjadi kekurangannya, sebagaimana ia menyadari kelebihan-kelebihannya. Kesadaran tentang kelebihan dan kekurangan membuat ia tidak sombong, tidak pula rendah diri. Ini berbeda dengan merasa. Orang yang merasa memiliki kelebihan, cenderung tidak mau belajar kepada orang lain. Sementara mereka yang merasa memiliki kekurangan akan minder.⁣

Kelima, kuatnya percaya diri karena menjiwai, merasakan dan memandang semua manusia sama. Tak ada yang membedakan, kecuali takwanya. Kalau harus ada suku-suku yang berbeda karakternya, itu adalah untuk saling mengenal sehingga akan melapangkan dada, meluaskan wawasan, menajamkan pikiran, menghidupkan jiwa, dan membangkitkan kekuatan semangat. ⁣
Keenam, rasa percaya diri yang kuat karena melihat pada dirinya ada amanah untuk berbuat. Sebenarnya, tingkatan terakhir ini bukanlah percaya diri. Saya menyebutnya pasca percaya diri, melampaui percaya diri (beyond self confidence). Mereka tegak kepalanya saat berhadapan dengan orang lain bukan karena bagusnya pakaian yang disandang, bukan pula karena memandang kedudukan dirinya, tetapi karena yakin sepenuhnya terhadap kemuliaan agama ini dan kekuasaan Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mereka dapat merunduk lebih rendah dibanding yang lain saat menghadapi manusia dan melayani mereka, bukan karena gemetar takut hilang kepercayaan, tapi karena memandang besarnya amanah dari Allah Ta’ala. Mereka tak meremehkan manusia, sekaligus tak gentar menghadapi yang besar, karena sungguh-sungguh meyakini bahwa tidak ada daya dan upaya selain semata karena Allah Ta’ala. Tidak ada daya. Laa haula wa laa quwwata illa biLlah. ⁣
Jenjang Percaya Diri Anak (05)
Jenjang Percaya Diri Anak (06)
Jenjang Percaya Diri Anak (07)
Jenjang Percaya Diri Anak (08)
Ibu Nggak Becus Mendidik Anak? Tanya Suaminya

Mengapa kedurhakaan orangtua kepada anak menggunakan istilah عقوق الآباء للأبناء yang sebenarnya bermakna kedurhakaan ayah kepada anak? Wallahu a’lam bish-shawab. Salah satu pelajarannya adalah karena kerapkali ketidakmampuan ibu mendidik anak sehingga melakukan kedurhakaan sebagai ibu disebabkan ayah lalai memenuhi kewajibannya untuk memberikan ibu yang baik bagi anaknya.

Bagaimana cara ayah memberikan ibu yang baik? Pada mulanya adalah ketika memilih istri, semenjak awal sudah dalam rangka mencarikan ibu yang baik jika kelak Allah Ta’ala karuniakan anak kepadanya. Sesudah itu, ia berkewajiban untuk mendampingi dan mendidik istrinya agar mampu menjadi ibu yang baik. Jika istri tidak mampu mendidik, atau sekali waktu mengalami situasi yang menjadikannya kurang mampu mendidik anak, maka ayah yang berkewajiban memampukan istrinya menjadi ibu yang sebenar-benar ibu. Memampukan itu berarti bukan sekedar memberi tahu. Apalagi cuma menyalahkan.

Sesungguhnya menyalahkan istri ketika kurang mampu mendidik anak bukanlah jalan untuk menjadikannya mampu mendidik dengan benar.
Media is too big
VIEW IN TELEGRAM
Ibu Nggak Becus Mendidik Anak? Tanya Suaminya
Cinta yang Mengering (01)