almanhaj shalat
1.4K subscribers
1 video
710 links
Telegram Channel masalah-masalah Shalat dari situs almanhaj.or.id
Download Telegram
MENDENGARKAN ADZAN TAPI TIDAK DATANG KE MASJID
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukumnya orang yang mendengar adzan tapi tidak pergi ke masjid, hanya saja ia mengerjakan seluruh shalatnya di rumah atau di kantor ?

Jawaban.
Itu tidak boleh. Yang wajib baginya adalah memenuhi seruan tersebut, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّمِنْ عُذْرٍ

“Barangsiapa mendengar seruan adzan tapi tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur”.[Hadits Riwayat Ibnu Majah 793, Ad-Daru Quthni 1/421,422, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246]

Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Apa yang dimaksud dengan udzur tersebut?’ ia menjawab, ‘Rasa takut (tidak aman) dan sakit”.

Diriwayatkan, bahwa seorang buta datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumah?” Kemudian beliau bertanya.

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ.

“Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat ? Ia menjawab, ‘Ya’, beliau berkata lagi, ‘Kalau begitu, penuhilah”. [Dikeluarkan oleh Muslim, kitab Al-Masajid 653]

Itu orang buta yang tidak ada penuntunnya, namun demikian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tetap memerintahkannya untuk shalat di masjid. Maka orang yang sehat dan dapat melihat tentu lebih wajib lagi. Maka yang wajib atas seorang Muslim adalah bersegera melaksanakan shalat pada waktunya dengan berjama’ah. Tapi jika tempat tinggalnya jauh dari masjid sehingga tidak mendengar adzan, maka tidak mengapa melaksanakannya di rumahnya. Kendati demikian, jika ia mau sedikit bersusah payah dan bersabar, lalu shalat berjama’ah di masjid, maka itu lebih baik dan lebih utama baginya.

[Syaikh Ibnu Baz, Fatawa ‘Ajilah Limansubi Ash-Shihhah, hal.41-42]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Mutshofa Aini, Penerbit Darul Haq]
SIKAP MAKMUM, BILA IMAM QUNUT SUBUH
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Bagaimana sikap makmum bila imam selalu membaca qunut Subuh?

Jawaban.
Para Ulama berbeda pendapat tentang sikap makmum yang shalat di belakang imam yang berqunut Subuh. Imam al-Wazîr Ibnu Hubairah rahimahullah menyatakan: “(Imam) Abu Hanifah dan (Imam) Ahmad berbeda pendapat tentang orang yang shalat di belakang imam yang berqunut waktu Subuh: Apakah makmum tersebut mengikuti imam atau tidak? (Imam) Abu Hanifah berkata: “Dia tidak mengikuti imam”, (Imam) Ahmad berkata: “Dia mengikuti imam”. [1]

Muhammad Ya’qûb Thâlib ‘Ubaidi menjelaskan alasan masing-masing pendapat di atas dengan menyatakan: “Abu Hanifah menjelaskan alasan makmum tidak mengikuti imam, yaitu bahwa qunut subuh itu hukumnya mansûkh (telah dihapuskan), sebagaimana takbir ke lima pada shalat jenazah. Walaupun Abu Yûsuf (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa makmum mengikuti imam, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, tetapi pendapat yang dipilih pada madzhab Hanafiyah adalah makmum berdiri diam saja. Adapun Imam Ahmad menjelaskan alasan makmum mengikuti imam, yaitu agar makmum tidak menyelisihi imamnya, dan karena para Sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka terus-menerus bermakmum kepada sebagian yang lain, padahal ada perselisihan di antara mereka dalam masalah furu’ (cabang).” [2]

Pendapat yang râjih –wallâhu a’lam– adalah pendapat Hanafiyah, yaitu makmum tidak mengikuti imam, karena qunut subuh terus-menerus tersebut tidak disyari’atkan di dalam shalat, sehingga makmum tidak perlu mengikuti imamnya. Hal itu sebagaimana ketika para Sahabat mengikuti perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melepaskan sandal ketika shalat, kemudian beliau menanyakan perbuatan para Sahabatnya yang mengikutinya itu, sebagai isyarat bahwa hal itu tidak perlu diikuti, wallâhu a’lam.

Haditsnya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُواْ رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَلَامُ أَتَانِيْ فَأَخْبَرَنِيْ أَنَّ فِيْهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى

Dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata: “Tatkala Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat dengan para Sahabat beliau, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandal beliau, lalu meletakkan kedua sandal tersebut pada sebelah kiri beliau. Ketika para Sahabat melihat hal itu, mereka melepaskan sandal mereka. Setelah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu melepaskan sandal kamu? Mereka menjawab: “Kami melihat anda melepaskan kedua sandal anda, maka kamipun melepaskan sandal kami”. Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Jibrîl Alaihissallam mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandal (ku) itu ada kotoran”. [HR. Abu Dâwud, dishahîhkan oleh al-Albâni di dalam Shahîh Abu Dâwud no:650]

Tetapi walaupun demikian, perbedaan pendapat dalam sikap makmum ini tidak boleh menjadikan kaum Muslimin saling membenci dan berpecah belah karenanya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M . Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Kitab Al-Ifshah karya Ibnu Hubairah 1/324
[2] Catatan kaki Kitab Al-Ifshah karya Ibnu Hubairah 1/324
BERSALAMAN ATAU BERJABAT TANGAN SETELAH SHALAT
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan,
Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagaimana hukum bersalaman setelah shalat, dan apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah ?

Jawaban
Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama muslim, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam senantiasa menyalami para sahabatnya Radhiyallahu anhum saat berjumpa dengan mereka, dan para sahabat pun jika berjumpa mereka saling bersalaman, Anas Radhiyallahu anhu dan Asy-Sya’bi rahimahullah berkata : “Adalah para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila berjumpa mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan”.

Disebutkan dalam Ash-Shahihain [1], bahwa Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu, salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak dari halaqah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di masjidnya menuju Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu ketika Allah menerima taubatnya, lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima taubatnya. Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallm dan setelah wafatnya beliau, juga riwayat dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

مَا مِنْ مُسْلِمِيْنَ يَلتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ تَحَاتَّتً عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا يَتَحَاتٌ عَنِ الشَّجَرَةِ وَرَقُهَا

“Tidaklah dua orang muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari pohonnya”. [2]

Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai pelaksanaan sunnah yang agung itu disamping karena hal ini bisa menguatkan dan menghilangkan permusuhan.

Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru’. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah shalat fardhu.

Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika sebelumnya belum sempat bersalaman, karena jika telah ersalaman sebelumnya maka itu sudah cukup.

[Fatawa Muhimmah Tatallqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
______
Footnote
[1]. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi 4418, Muslim kitab At-Taubah 2769
[2]. Abu Daud, Kitab Al-Adab 5211-5212, At-Turmudzi Kitab Al-Isti’dzan 2728, Ibnu Majah Kitab Al-Adab 3703, Ahmad 4/289, 303 adapun lafazhnya adalah : “Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah.
BAGAIMANA DUDUK MAKMUM YANG MASBUK
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Assalaamu alaikum! Ustadz, apabila kita masbuq pada raka’at ke-3 selain shalat Shubuh, waktu imam tasyahhud akhir apakah sikap/posisi duduk kita seperti imam atau kita duduk tasyahhud awal?

Jawaban.
Dalam masalah ini, para Ulama berbeda pendapat tentang shalat ma’mum yang masbuk itu. Apakah raka’at yang dilakukan bersama imam itu berstatus sebagai raka’at pertamanya ataukah hitungannya mengikuti raka’at imam?

Misalnya, seseorang yang hendak shalat berjama’ah, namun dia datang terlambat dan mendapati imam pada raka’at ketiga. Jadi ia bergabung bersama imam saat imam melakukan raka’at ketiga sementara dia baru raka’at pertama. Apakah status rakaat ini sebagai raka’at pertama bagi ma’mum yang masbuq itu ataukah sebagai raka’at ketiga sebagaimana raka’at imam ?

Dalam masalah ini, yang rajih adalah raka’at itu sebagai raka’at pertamanya. Sehingga ada perbedaan nama raka’at antara imam dan ma’mum. Dalam kasus seperti ini, saat melakukan duduk tasyahhud, maka ma’mum yang masbuq tadi mengikuti urutan raka’atnya sendiri. Artinya pada raka’at imam tasyahhud akhir misalnya dan duduk dengan cara tawarruk, maka ma’mum yang masbuq itu duduk dengan cara iftirasy, karena itu bukan tasyahhud akhir baginya. Ini konsekwensi dari pendapat yang mengatakan bahwa raka’at ma’mum yang masbuq itu mengikuti hitungannya sendiri, tidak mengikuti urutan raka’at imam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
SHALAT GERHANA
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
https://t.me/almanhajshalat

Jika terjadi gerhana bulan atau matahari disunnahkan mengumandangkan:

اَلصَّلاَةُ جَامِعَةٌ.

“Mari shalat berjama’ah.”

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, dia mengatakan, “Ketika terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diserukanlah:

إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

“Sesungguhnya shalat dilakukan secara berjama’ah.” [1]

Jika orang-orang telah berkumpul di masjid, maka imam shalat dua raka’at bersama mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Lalu beliau pergi ke masjid dan orang-orang pun berbaris di belakang beliau, kemudian beliau bertakbir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dengan bacaan yang panjang. Lantas bertakbir dan melakukan ruku’ dengan panjang. Kemudian beliau mengucap:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Lalu bangkit dan tidak melakukan sujud. Setelah itu beliau membaca bacaan yang panjang, namun tidak sepanjang bacaan pertama. Kemudian bertakbir lalu melakukan ruku’ dengan ruku’ yang panjang namun tidak sepanjang ruku’ pertama. Setelah itu beliau mengucap: “سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ Kemudian beliau sujud.

Pada raka’at kedua, beliau melakukan seperti pada raka’at pertama. Hingga beliau juga melakukan empat ruku’ dalam empat sujud dan matahari pun telah tampak kembali sebelum beliau selesai.” [2]

Khutbah Setelah Shalat
Jika imam selesai salam, disunnahkan baginya berkhutbah di hadapan orang-orang. Menasihati mereka, mengingatkan, dan mendorong mereka untuk berbuat amal shalih.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari di mana terjadi gerhana matahari… kemudian dia menyebutkan tata cara shalat tersebut. Lalu melanjutkan, “Kemudian beliau salam, sedangkan matahari telah tampak kembali. Beliau lantas berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau mengatakan bahwa gerhana matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah gerhana itu terjadi karena mati atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka bergegaslah untuk shalat.” [3]

Dari Asma’ Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh membebaskan budak pada saat terjadi gerhana matahari.”[4]

Dari Abu Musa, dia berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari. Tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dengan terkejut. Beliau khawatir jika hari itu terjadi Kiamat. Beliau mendatangi masjid kemudian mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’, dan sujud yang terpanjang yang pernah aku lihat. Beliau lantas berkhutbah, “Ini adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan oleh-Nya. Bukan lantaran mati atau lahirnya seseorang. Namun, dengan peristiwa itu Allah ingin menakuti para hamba-Nya. Jika kalian melihat hal itu terjadi, maka bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’a, dan beristighfar kepada-Nya.” [5]

Pengertian secara lahiriyah dari sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Maka bersegeralah… dan seterusnya,” menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut. Jadi, hukum shalat gerhana adalah fardhu kifayah. Sebagaimana dikatakan Abu ‘Awanah dalam kitab Shahiihnya (II/398), “Penjelasan tentang wajibnya shalat gerhana” Kemudian di menyebutkan beberapa hadits shahih tentang masalah tersebut. Hal itu juga tampak dilakukan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahiihnya. Dia berkata (II/38), “Bab perintah shalat ketika terjadi gerhana matahari dan bulan…” Lalu dia menyebutkan sejumlah hadits berkenaan dengan masalah tersebut
Al-Hafizh berkata dalam Fat-hul Baari (II/527), “Pendapat Jumhur menyatakan bahwa ia adalah sunnah mu-akkadah. Abu ‘Awanah menyatakannya dalam kitab Shahiihnya sebagai perbuatan yang wajib. Dan saya tidak menjumpai pendapat seperti itu pada ulama selainnya. Hanya saja, apa yang diriwayatkan dari Malik bahwa beliau memperlakukannya sebagaimana shalat Jum’at. Dan az-Zain bin al-Munir menukil dari Abu Hanifah bahwa dia mewajibkannya. Begitupula beberapa pengarang kitab madzhab Hanafiyyah. Mereka menyatakannya sebagai hal yang wajib.” [6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/533 no. 1045), Shahiih Muslim (II/627 no. 910), Sunan an-Nasa-i (III/136).
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/533 no. 1046)], Shahiih Muslim (II/619 no. 901 (3)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/46 no. 1168), Sunan an-Nasa-i (III/130).
[3]. Ibid.
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 118)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/543 no. 1045).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/545 no. 1059)], Shahiih Muslim (II/628 no. 912), Sunan an-Nasa-i (III/153).
[6]. Tamaamul Minnah (hal. 261), dengan sedikit pengubahan.
HUKUM IMAM MENGHADAP MAKMUM SETELAH SALAM
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan:
Kebiasaan sebagian imam shalat sehabis mengimami kaum Muslimin melaksanakan shalat berjama’ah, ada yang menghadap kearah makmum, ada yang menghadap kearah sisi kanan imam dan ada pula yang tetap menghadap kearah kiblat. Mohon penjelasan tentang mana yang benar diantara ketiganya! Jazakumullah khairan

Jawaban.
Kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai salam shalat yaitu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya yang mulia kearah makmum, dan tidak terus menghadap kiblat, sebagaimana diriwayatkan dari Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhu ia berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَينَا بِوَجْهِهِ

Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai shalat Beliau menhadapkan wajahnya kepada kami. [HR. Al-Bukhâri, no. 845]

Dan dalam riwayat al-Barrâ’ bin ‘Âzib Radhiyallahu anhu ia berkata :

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِيْنِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ

Kami apabila shalat dibelakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kami lebih memilih di sebelah kanannya, karena Beliau (setelah shalat) menghadap kami dengan wajahnya. [HR. Muslim no. 709]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam Fat-hul Bâri, 3/89), “(Diantara) hikmahnya adalah memberi tanda kepada orang yang baru masuk (ke masjid) bahwa shalat telah selesai, karena jika imam tetap duduk menghadap kiblat niscaya orang akan menyangka bahwa ia masih tasyahud.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti’, 4/305-306) mengatakan, “(Hukumnya) makruh seorang imam duduk sangat lama setelah salam menghadap kearah kiblat, tetapi hendaknya dipersingkat sekedar membaca istighfâr tiga kali dan Allahumma antassalâm wa minkassalâm tabârokta ya dzal jalâli wal ikrâm, kemudian berpaling (menghadap jama’ah). Inilah yang sunnah, karena apabila setelah salam imam tetap menghadap kiblat maka ini melanggar beberapa perkara :

1. Menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Menahan makmum, karena makmum tidak boleh bangkit keluar masjid sebelum imam menghadap kepadanya.

3. Menjadikan orang lain menyangka bahwa imam sedang mengingat sesuatu yang terlupa dalam shalat, maka ini membikin ragu kepada makmum.”

Maka berdasarkan riwayat yang banyak dalam masalah ini para Ulama mengatakan disunnahkan bagi imam menghadap ke makmum setelah shalat, dan boleh memilih untuk menghadap ke kanan atau ke kiri, sebagaimana terdapat dalam beberapa riwayat, diantaranya :

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata :

أَكْثَرُ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِيْنِهِ

Aku sering melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajahnya ke kanan. [HR. Muslim, no. 708]

Juga dalam riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia berkata :

لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَثِيْرًا يَنْصَرِفُ عَنْ يَسَارِهِ

Aku telah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menghadap ke kiri. [HR. Al-Bukhâri no. 852].

Wallahu a’lam.

وصلى الله على نبيينا محمد وآله وصحبه وسلم

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
BOLEHKAH BERTAYAMUM BAGI ORANG TUA YANG KESULITAN BERWUDHU
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Wanita tua berumur sembilan puluh tahun lebih, kesulitan untuk berwudhu dan mandi, Karena ia adalah seorang wanita jompo, apalagi jika tiba musim dingin ditambah jauhnya tempat berwudhu darinya, apakah wanita itu memiliki keringanan untuk bertayamum pada setiap waktu shalat, atau bolehkan baginya untuk mengumpulkan dau waktu shalat dengan satu kali wudlu ?

Jawaban
Jika keadaan wanita itu sebagaimana yang telah anda sebutkan, maka bagi wanita itu dibolehkan untuk berwudlu sesuai dengan kemampuannya walaupun dengan cara mendekatkan air wudlu pada dirinya, dan jika hal itu tidak bisa ia lakukan dan juga tidak bisa dilakukan dengan bantuan orang lain, maka dibolehkan baginya untuk bertayamum berdasarkan firman Allah.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupannmu” [At-Taghabun/64 : 16]

Sedangkan untuk membersihkan kotoran yang keluar dari dubur atau kemaluannya, maka cukup istijmar, yaitu mengusapnya dengan batu, tisu atau sapu tangan bersih yang dapat membersihkan, dengan syarat usapan itu dilakukan tidak kurang dari tiga kali pada masing-masing temmpat keluarnya najis di bagian depan maupun di bagian belakang.

Jika tiga usapan itu belum cukup, maka wajib menambah jumlah usapan itu hingga tempat keluarnya najis itu bersih dari kotoran ataupun najis, dan baginya dibolehkan untuk menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashar pada salah satu waktu di antara dua waktu itu, begitu juga shalat Maghrib dan Isya untuk dikerjakan pada satu di antara dua waktu shalat tersebut, karena kondisi wanita tua ini termasuk dalam katagori hukum orang yang sedang sakit.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/356]

BOLEHKAN BERTAYAMUM PADA MUSIM DINGIN ?

Pertanyaan.
Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ibu saya adalah seorang yang telah lanjut usia dan memiliki fisik yang lemah, sementara kami bertempat tinggal di daerah yang suhu udaranya dingin, maka dari itu ia tidak sanggup berwudhu khususnya untuk melaksanakan shalat Subuh, bolehkan ia bertayamum, dan bila ibu saya bertayamum ia berkeyakinan bahwa shalatnya itu tidak sempurna, maka dari itu ia mengulangi shalat itu setelah terbit matahari ?

Jawaban.
Tetap wajib menggunakan air dalam bersuci pada saat musim dingin jika seseorang mempunyai alat penghangat air dan tidak sah bertayamum dalam keadaan seperti ini.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/399]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin. Penerbit Darul Haq]
APAKAH TAYAMUM KHUSUS UNTUK PRIA ATAU DIBOLEHKAN UNTUK PRIA DAN WANITA
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah tayamum itu berlaku bagi wanita sebagaimana berlaku bagi kaum pria, ataukah ketentuan tayamum itu dikhususkan bagi pria saja tanpa ditetapkan bagi wanita di saat tidak adanya air untuk melaksanakan shalat ?

Jawaban.
Pada dasarnya semua ketetapan-ketetapan hukum adalah bersifat umum, yaitu berlaku bagi kaum pria maupun kaum wanita kecuali jika ada pengkhususan bagi salah satunya, berdasarkan firman Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur” [Al-Ma’idah/5 : 6]

Maka perintah untuk bertayamum dalam ayat ini adalah bersifat umum bagi kaum pria maupun kaum wanita, jadi mereka mempunyai ketetapan hukum tang sama dalam hal bertayamum, maka ijma ulama menetapkan disyari’atkannya tayamum bagi kaum pria dan kaum wanita.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah. 5/340]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan. Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin. Penerbit Darul Haq]
APAKAH SEMUA WANITA SAMA? (MEMBATALKAN WUDHU)
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Bârakallâhu fîkum. Menyentuh atau tersentuh wanita, tidak membatalkan wudhu. Apakah ini umum pada semua wanita, baik yang muslimah atau yang kafir, mahram atau bukan mahram ?

Jawaban.
Ya, umum mencakup semua wanita. Karena memang tidak ada dalil yang shahih dan sharih (yang secara gamblang menjelaskan) bahwa bersentuhan kulit antara lelaki dan wanita itu membatalkan wudhu’. Yang ada dalam riwayat justru yang mengisyaratkan bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu’, sebagaimana kisah ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang memegang tumit Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat. Seandainya bersentuhan itu menyebabkan batal, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan shalatnya dan berwudhu’ kembali.

Tetapi bukan berarti menyentuh wanita yang bukan mahram itu boleh. Ini permasalahan yang lain. Hukum menyentuh wanita yang bukan mahramnya adalah haram.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ

Sungguh kepala seseorang dari kamu ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. [1]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. Telp 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] HR. Thabarani dan Baihaqi. Syaikh al-Albâni mengatakan, “Hasan Shahîh”. Lihat Shahîhut Targhîb, 2/191, no. 1910 dan Silsilatush Shahîhah, 1/225, no. 226
BERSENTUHAN KULIT MEMBATALKAN WUDHU’?
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan
Apakah bersentuhan kulit antara laki-laki yang bukan mahram membatalkan wudhu’ atau tidak? Manakah yang lebih râjih di antara keduanya? Dan apakah hadits yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu lagi , itu umum berlaku untuk kaum Muslimin juga? Jazâkallah khairan.

Jawaban
Tentang masalah laki-laki menyentuh perempuan apakah membatalkan wudhu’ terdapat 3 pendapat Ulama tentang hal ini:[1]

1. Membatalkan wudhu’.
Ini merupakan pendapat Imam Syâfi’i dan Ibnu Hazm. Juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma.

2. Membatalkan wudhu’ jika dengan syahwat.
Ini merupakan pendapat Imam Mâlik rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah di dalam riwayat yang masyhur

3. Tidak membatalkan wudhu’.
Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanîfah rahimahullah dan muridnya, yaitu Muhammad bin Hasan asy-Syaibâ Juga pendapat Ibnu ‘Abbâs, Thâwûs, Hasan Bashri, ‘Athâ’, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat ketiga inilah yang rajih (kuat). Pendapat kedua nampaknya tidak ada dalil yang mendukungnya. Pendapat pertama berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). [al-Mâidah/5:6]

Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhma mengatakan bahwa makna ‘menyentuh wanita’ di sini adalah menyentuh kulit, bukan jimâ’.[2]

Namun Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menyelisihi penafsiran di atas, dia berkata, ” (Kata) mass, lams, mubâsyarah (semua artinya menyentuh-red) maksudnya adalah jimâ‘, tetapi Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan kinâyah (sindiran) apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki.”[3]

Jika para Sahabat berbeda pendapat, maka kita memilih pendapat yang sesuai dengan al-Qurân dan Sunnah. Dan ternyata yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu. Karena banyak hadits yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan wanita tidak membatalkan wudhu’. Inilah di antara dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا قَالَتْ كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia berkata, “Aku tidur di depan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang sedang shalat-pen), dan kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku”[4]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”.[5]

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa laki-laki menyentuh wanita, atau sebaliknya, tidak membatalkan wudhu’ dan shalat. Jika batal tentulah Nabi tidak melanjutkan shalatnya. Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya kemudian tidak berwudhu’, sebagaimana hadits berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَهَا وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya, dan beliau tidak berwudhu’ (lagi).[6]
Hadits ini juga berlaku bagi umat beliau. Karena semua yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi seluruh umat beliau kecuali yang ditunjukan oleh dalil bahwa hal itu khusus bagi beliau. Sedangkan di sini tidak ada dalil pengkhususan, maka hukumnya juga berlaku bagi umat beliau. Wallâhu a’lam.

Peringatan:
Perbedaan pendapat seperti ini tidak boleh dijadikan alasan saling membenci, menjauhi, dan memusuhi. Karena perselisihan ini sudah ada semenjak zaman Sahabat dan mereka tetap bersatu, maka kita juga harus demikian.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
____
Footnote
[1] Shahîh Fiqh Sunnah 1/138-140
[2] Riwayat at-Thabari, 1/502
[3] Riwayat at-Thabari, no. 9581 dan Ibnu Abi Syaibah 1/166
[4]HR al-Bukhâri, no. 382 dan lainnya
[5] HR Muslim, no. 486 dan lainnya
[6] HR Abu Dâwud, no. 178, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah
MAKAN DAN MINUM MEMBATALKAN WUDHU’?
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan
Apakah makan dan minum membatalkan wudhu’, sehingga ketika akan shalat harus berwudhu’ lagi?

Jawaban.
Makan atau minum tidak membatalkan wudhu’, sehingga ketika akan shalat kita tidak harus berwudhu’ lagi. Kecuali makan daging onta, sebagian Ulama berpendapat membatalkan wudhu berdasarkan hadits sebagai berikut:

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ سُئِلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْوُضُوْءِ مِنْ لُحُومِ اْلإِبِلِ فَقَالَ تَوَضَّئُوا مِنْهَا وَسُئِلَ عَنْ لُحُومِ الْغَنَمِ فَقَالَ لاَ تَوَضَّئُواْ مِنْهَا

Dari Barâ’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang wudhu dari (makan) daging onta, maka beliau menjawab, “Berwudhulah darinya”. Beliau juga ditanya tentang wudhu dari (makan) daging kambing, maka beliau menjawab, “Janganlah kamu berwudhulah darinya”. [HR. Abu Dâwud, no. 184; at-Tirmidzi, no. 81; Ahmad 4/303; dishahîhkan oleh al-Albâni]

Penulis kitab ‘Aunul Ma’bûd berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa makan daging onta termasuk membatalkan wudhu’. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, Ishâq bin Rahawaih, Yahya bin Ma’în, Abu Bakar Ibnul Mundzir, dan Ibnu Khuzaimah. Juga dipilih oleh al-Hâfizh Abu Bakar al-Baihaqi, dan beliau meriwayatkan dari ahli Hadits secara mutlak. Beliau juga merwayatkan dari sekelompok Sahabat Radhiyallahu anhum “. [‘Aunul Ma’bûd syarah hadits no. 184]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009M . Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
ORANG YANG MENGALAMI KENCING TERUS MENERUS
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada seorang perempuan yang hamil sembilan bulan, yang selalu merasa keluar air kencing pada setiap saat. Dan tidak melakukan shalat di bulan-bulan terakhir dari kehamilannya. Apakah hal ini termasuk meninggalkan kewajban shalat? Dan apa yang harus dilakukan oleh wanita tersebut?

Jawaban
Wanita tersebut sama sekali tidak diperbolehkan meninggalkan shalat. Dia wajib shalat sesuai dengan keadaannya, yaitu berwudhu setiap kali mau shalat. Perempuan seperti ini keadaannya sama seperti perempuan yang terus menerus mengeluarkan darah (istihadhah). Dia harus menjaga air kencingnya (semampu dia), misalnya dengan membalut kemaluannya dengan kain atau lainnya. Dan dia harus shalat tepat pada waktunya, Dia masih diperbolehkan shalat sunnah sesuai dengan waktunya. Dia juga boleh menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar atau shalat Maghrib dengan Isya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian” [At-Taghabun/64:16]

Wanita itu harus mengerjakan shalat yang selama ini dia tinggalkan, sambil bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara menyesali kesalahannya dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” [An-Nuur/24:31]

[Disalin dari kitab Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan – Solo]
HUKUM WUDHUNYA ORANG YANG BERKUTEK
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukum wudhunya orang yang menggunakan kutek pada kuku-kukunya ?

Jawaban.
Sesungguhnya kutek itu tidak boleh dipergunakan wanita jika ia hendak shalat, karena kutek tersebut akan menghalangi mengalirnya air dalam bersuci (pada bagian kuku yang tertutup oleh kutek itu), dan segala sesuatu yang menghalangi mengalirnya air (pada bagian tubuh yang harus disucikan dalam berwudhu) tidak boleh dipergunakan oleh orang yang hendak berwudhu atau mandi, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu”. [Al-Maidah/5 : 6]

Jika wanita ini menggunakan kutek pada kukunya, maka hal itu akan menghalangi mengalirnya air hingga tidak bisa dipastikan bahwa ia telah mencuci tanganya, dengan demikian ia telah meninggalkan satu kewajiban di antara beberapa yang wajib dalam berwudhu atau mandi.

Adapun bagi wanita yang tidak shalat, seperti wanita yang mendapat haidh, maka tidak ada dosa baginya jika ia menggunakan kutek tersebut, akan tetapi perlu diketahui bahwa kebiasaaan-kebiasaan tersebut adalah kebiasaan wanita-wanita kafir, dan menggunakan kutek tersebut tidak dibolehkan karena terdapat unsur menyerupai mereka.

(Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/148)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Terbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
HUKUM WUDHUNYA ORANG YANG MEMAKAI INAI (PACAR)
https://t.me/almanhajshalat

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya : Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang maksudnya : Tidak sah wudhunya seseorang bila pada jari-jarinya terdapat adonan (sesuatu yang dicampur air) atau tanah. Kendati demikian saya banyak melihat kaum wanita yang menggunakan inai (pacar) pada tangan atau kaki mereka, padahal inai yang mereka pergunakan ini adalah sesuatu yang dicampur dengan air dalam proses pembuatannya, kemudian para wanita itu pun melakukan shalat dengan menggunakan inai tersebut, apakah hal itu diperbolehkan ?. Perlu diketahui bahwa para wanita itu mengatakan bahwa inai ini adalah suci, jika ada seseorang yang melarang mereka.

Jawaban.
Berdasarkan yang telah kami ketahui bahwa tidak ada hadits yang bunyinya seperti demikian. Sedangkan inai (pacar) maka keberadaan warnanya pada kaki dan tangan tidak memberi pengaruh pada wudhu, karena warna inai tersebut tidak mengandung ketebalan/lapisan, lain halnya dengan adonan, kutek dan tanah yang memiliki ketebalan dapat menghalangi mengalirnya air pada kulit, maka wudhu seseorang tidak sah dengan adanya ketebalan tersebut karena air tidak dapat menyentuh kulit. Namun, jika inai itu mengandung suatu zat yang menghalangi air untuk sampai pada kulit, maka inai tersebut harus dihilangkan sebagaimana adonan.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta : 5/217]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Terbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
MENGUSAP KEPALA YANG MENGGUNAKAN MINYAK RAMBUT
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita memakai minyak rambut di kepalanya lalu ia mengusap rambutnya dalam wudhu, apakah wudhunya itu sah atau tidak ?.

Jawaban.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakikmu sampai dengan kedua mata kaki” [Al-Maidah/5 : 6]

Di sini terkandung perintah untuk membasuh anggota wudhu dan mengusap bagian yang harus disapu serta mengharuskan untuk menghilangkan sesuatu yang menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu, karena jika terdapat sesuatu yang dapat menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu, berarti orang itu belum mebasuh atau mengusap bagian itu. Berdasarkan hal ini kami katakan : Jika seseorang menggunakan minyak pada anggota wudhunya, misalnnya minyak itu akan menjadi beku hingga menjadi suatu benda padat, maka pada saat itu wajib baginya untuk menghilangkan benda padat itu sebelum ia membersihkan anggota wudhunya, sebab jika minyak itu telah berubah menjadi benda padat maka hal itu akan menghalangi air untuk sampai pada kulit anggota wudhu, dan pada saat itulah wudhunya dianggap tidak sah.

Sedangkan jika minyak itu tidak berubah menjadi benda padat, sementara bekasnya masih tetap ada pada anggota wudhu, maka hal ini tidak membatalkan wudhu, akan tetapi dalam keadaan seperti ini hendaknya seseorang mengencangkan tekanan telapak tangannya saat membasuh atau mengusap anggota wudhu tersebut, karena umumnya minyak itu bisa mengalihkan aliran air, bahkan bisa jadi bagian anggota wudhu tidak terkena air jika tidak ditekankan saat membasuh atau mengusapnya.

(Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/147)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
MEMBASUH KEPALA BAGI WANITA
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah disunnahkan bagi wanita ketika mengusap kepala dalam berwudhu untuk memulai dari bagian depan kepala hingga bagian belakang kemudian kembali lagi ke bagian depan kepala sebagaimana yang dilakukan laki-laki dalam berwudhu?

Jawaban
Ya, karena pada dasarnya segala sesuatu yang ditetapkan bagi kaum pria dalam hukum-hukum syari’at adalah ditetapkan pula bagi kaum wanita, dan begitu pula sebaliknya, suatu ketetapan yang ditetapkan bagi kaum wanita ditetapkan pula bagi kaum pria kecuali dengan dalil, dalam hal ini saya tidak mengetahui adanya dalil yang memberi kekhususan pada wanita, maka dari itu hendaknya kaum wanita mengusap dari bagian depan kepala hingga bagian belakangnya walaupun berambut panjang, karena hal itu tidak memiliki pengaruh, sebab arti dari ketetapan Allah dalam hal ini bukan berarti harus meremas rambut dengan kuat hingga basah melainkan cukup mengusapnya dengan tenang.

(Majmu Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/151)

HUKUM MENGUSAP RAMBUT YANG DISANGGUL (ATAU DIKEPANG)

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukumnya mengusap rambut yang disanggul (atau dikepang) pada seorang wanita saat berwudhu?

Jawaban
Dibolehkan bagi seorang wanita untuk mengusap rambutnya yang disanggul (atau dikepang) atau terurai, akan tetapi ia tidak boleh mengepang atau menyanggul rambut di bagian atas kepalanya, karena saya khawatir wanita itu akan masuk dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi.

وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Dan para wanita yang berpakaian tapi (seperti) telanjang, kepala mereka bagaikan punuk unta yang berlenggok-lenggok, mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aroma Surga, walaupun aromanya itu dapat tercium dari jarak sekian dan sekian”.

(Majmu Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/151)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin]
BERSUCI DARI AIR KENCING BAYI
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, hingga terkadang pakaiannya terkena air kencing sang bayi. Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih ?. Inti pertanyaan ini adalah tentang bersuci dan shalat serta tentang kerepotan untuk mengganti pakaian setiap waktu.

Jawaban
Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan, jika bayi lelaki itu telah menkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci, sedangkan jika bayi itu adalah perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik dia sudah mengkonsumsi makanan ataupun belum.

Ketetapan ini bersumber dari hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lainnya, sedangkan lafazhnya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah mengeluarkan hadits ini dalam kitab sunan-nya dengan sanadnya dari Ummu Qubais bintu Muhshan:

“Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum mengkonsumsi makanan datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendudukan bayi itu didalam pangkuannya, lalu bayi itu kencing pada pakaian beliau, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meminta diambilkan air lalu memercikan pakaian itu dengan air tanpa mencucinya ,”

Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , beliau bersabda.

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki cukup dipercik dengan air.”

Dalam riwayat lain menurut Abu Daud.

يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ

“Pakaaaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika belum mengkonsumsi makanan.”

(Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/368)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin]
BATALKAH WUDHU SEORANG WANITA YANG MEMANDIKAN BAYINYA
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita telah bersuci lalu memandikan anaknya, apakah diwajibkan baginya untuk mengulang wudhunya ?

Jawaban
Jika seorang wanita memandikan anak perempuannya atau anak laki-lakinya dan menyentuh kemaluan anaknya itu, maka tidak wajib bagi wanita itu untuk mengulang wudhunya, akan tetapi cukup baginya untuk mencuci kedua tangannya saja, karena memegang kemaluannya tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu, dan sudah dapat diketahui bahwa wanita yang memandikan anak-anaknya tidak terdetik gejolak syahwat dalam hatinya, dan jika ia memandikan putra atau putrinya maka cukup baginya untuk mencuci kedua tangannya itu, untuk membersihkan najis yang mengenai dirinya tanpa harus berwudhu lagi. [Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/203]

BATALKAH WUDHU SEORANG IBU YANG MEMBERSIHKAN NAJIS BAYINYA

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh ditanya : Seorang wanita telah berwudhu untuk melakukan shalat, kemudian bayinya buang air besar atau buang air kecil sehingga perlu dibersihkan, lalu wanita itu membasuh dan membersihkan bayi itu dari najis, apakah hal ini membatalkan wudhunya?

Jawaban
Jika wanita itu menyentuh kemaluan atau dubur bayinya itu maka dengan demikian wudhunya itu batal, jika tidak menyentuh satu diantara dua tempat keluar kotoran itu maka wudhunya itu tidak batal kalau hanya sekedar membasuh kotorannya, bahkan sekalipun ia langsung membersihkan najis itu dengan tangannya, walaupun demikian hendaknya ia memperhatikan kesucian tangannya setelah itu dan selalu waspada jangan sampai najis mengenai badanya serta pakaiannya. [Fatawa wa Wasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/75]

MENYENTUH AURAT ANAK KECIL, APAKAH MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah menyentuh aurat anak kecil saat mengganti pakaian membatalkan wudhu saya?

Jawaban
Menyentuh aurat tanpa adanya pembatas membatalkan wudhu, baik yang disentuh itu anak kecil ataupun orang dewasa, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu”

Maka menyentuh kemaluan orang lain sama hukumnya dengan menyentuh kemaluan sendiri. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta 5/26. Disusun oleh Ad-Duwaisy]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
BATALKAH WUDHU SEORANG WANITA YANG MENGELUARKAN ANGIN DARI FARAJNYA
https://t.me/almanhajshalat

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah keluarnya angin dari kemaluan wanita menyebabkan batalnya wudhu atau tidak ?

Jawaban
Angin yang keluar dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu karena angin itu tidak keluar dari tempat najis sebagaimana keluarnya angin dari dubur.

Karena banyaknya pertanyaan serupa dan beragamnya jawaban dari para ulama, maka kami menetapkan fatwa ini agar lebih banyak manfaatnya

(Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/197)

APAKAH ANGIN YANG KELUAR DARI KEMALUAN WANITA MEMBATALKAN SHALAT

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya : Seorang wanita jika sedang melakukan shalat, termasuk ruku’ dan sujud, kemudian keluar angin dari kemaluannya khususnya pada waktu sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud dan ruku, terkadang keluarnya angin ini terdengar oleh rekannya yang berada di sebelahnya, apakah hal serupa ini membatalkan shalat wanita itu ? dan terkadang angin yang keluar itu amat sedikit sekali sehingga tidak terdengar, apak hal serupa ini membatalkan wudhu dan juga shalat ?

Jawaban
Keluarnya angin dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu dan juga tidak membatalkan shalat.

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta, 5/159)

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]