almanhaj ahkam
631 subscribers
1 photo
1 video
4 files
734 links
Telegram Channel masalah-masalah puasa zakat, haji, waris dari situs almanhaj.or.id
Download Telegram
ADAB BERBUKA PUASA
Ustadz Abu Kayyisa Zaki Rahmawan
https://t.me/almanhajpuasa

APA YANG DIBACA KETIKA HENDAK BUKA PUASA
1. Perbanyaklah Doa
Perlu diketahui bahwa ketika hendak berbuka puasa adalah salah satu waktu terkabulnya do’a.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لَا تُرَدّ، دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصّـَائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Dari Anas bin Malik Radhyiallahu’ anhu dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Doa orang tua kepada anaknya, (2) Orang yang berpuasa ketika berbuka, (3) Do’a orang yang sedang safar (musafir).” Hadits Shohih [HR. al-Baihaqi 3/345 dan yang lainnya]. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Ahaadits as-Shahihah no. 1797)

2. Sebelum Makan Membaca Basmalah
Ketika hendak membatalkan puasa dengan makan dan minum bacalah basmalah
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. Hadits Shahih [HR. Abu Daud no. 3767, Ahmad 6/207-208 dan At Tirmidzi no. 1858 dari Aisyah Radhiallahu’anha. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani menilai bahwa hadits tersebut shahih di kitab Irwaul Ghalil Fi Takhrij Ahaadits Manaris Sabiil no. 1965]

3. Apa Yang Dibaca Ketika Berbuka Puasa?
Hendaknya kita membaca doa setelah membatalkan puasa dengan doa sebagai berikut.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، إِذَا أَفْطَرَ قَالَ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam apabila telah berbuka puasa, beliau berdoa :

ذَهَبَ الظّـَمَأُ وَابْتَلّـَتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.”

“Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki.” Hadits Hasan, [HR. Abu Daud no. 2357, An-Nasa-i dalam As Sunan Al-Kubro no. 3315 dan selainnya. Lihat Irwaul Ghalil no. 920].

4. Kapan Doa Buka Puasa Dibaca, Sebelum Atau Setelah Makan Dan Minum?
Secara dhohir doa berbuka puasa “Dzahabadhoma-u….dst” dibaca setelah membatalkan puasa.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظّـَمَأُ وَابْتَلّـَتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam apabila telah berbuka puasa, beliau berdoa : “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki” [Hadits Hasan, HR. Abu Daud no. 2357, An-Nasa-i dalam As Sunan Al-Kubro no. 3315 dan selainnya. Lihat Irwaul Ghalil no. 920].
Kenapa Diucapkan Setelah Membatalkan Puasa?

1. Dalil Pertama : Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berbuka puasa, beliau mengucapkan ….(lihat hadits sebelumnya)'”

Yang dimaksud dengan إِذَا أَفْطَرَ adalah “apabila setelah makan atau minum”. Dari sisi lughoh (bahasa), kata أَفْطَرَ menggunakan fi’l madhi yaitu bentuk kata kerja lampau. Maka diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “telah berbuka”. Berdasarkan tinjauan ini, maka diambil kesimpulan do’a dibaca setelah berbuka puasa yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya pada waktunya (yaitu ghurubus syams/terbenamnya matahari). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.

2. Dalil Kedua : Imam an-Nasa-i memberikan judul bab di kitabnya As Sunan Al- Kubro dan Amalul Yaum wal Lailah yaitu. مَا يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ (Apa yang dibaca setelah berbuka puasa).

Perlu diketahui, secara umum para Imam penyusun Kitab Hadits Sunan/Shohih (Imam al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa-i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya) menghimpun kitabnya berdasarkan kategori dan diklasifikasikan per-bab, dan setiap bab mencerminkan ketetapan fiqih dari para Imam tersebut. Seperti Imam al-Bukhori menyebutkan dalam kitabnya Bab “Al-Ilmu Qablal Qauli wal Amal” – “Bab Ilmu sebelum Perkataan dan Perbuatan” dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari “Ibnul Munir menafsirkan (pemberian nama bab oleh Imam al-Bukhari) makna bab tersebut yaitu bahwa ilmu merupakan syarat benarnya perkataan dan perbuatan maka tidak ada artinya keduanya kecuali dengan ilmu.” [Lihat Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhori 1/210 cet. Daarus Salam ar-Riyadh th. 1421 H]
Sumber: belajarhadits.com
DOA BERBUKA PUASA YANG DHA’IF LAGI MASYHUR?
Ustadz Abu Kayyisa Zaki Rahmawan
https://t.me/almanhajpuasa

Adapun do’a berbuka yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yaitu,

اللَّهُـمّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Allahumma Laka Sumtu Wa’Ala Rizqika Afthortu (Ya Allah untukmulah aku berpuasa dan atas rezkimu aku berbuka)

Hadits secara lengkapnya sebagaimana berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنّهُ بَلَغَهُ ” أَنّ النّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اللَّهُمّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

” Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan :Allahumma Laka Sumtu Wa’Ala Rizqika Afthortu (Ya Allah untukmulah aku berpuasa dan atas rezkimu aku berbuka) [Riwayat : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, dan yang lainnya]

Dan sanad hadits ini mempunyai dua cacat.

Pertama :
“Hadits tersebut adalah hadits Mursal, karena Mu’adz bin (Abi) Zur’ah seorang Tabi’in bukan shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (hadits Mursal adalah : seorang tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa perantara shahabat langsung dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wassalam).

Kedua :
“Selain itu, Mu’adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang Majhul. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya”.

Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sanadnya yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38) Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thabrani dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perawi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqoon, di adalah seorang perawi Matruk (yang haditsnya ditinggalkan) sebagaimana penilain Abu Az-Zur’ah ar-Razi dalam Mizanul I’tidal 2/7 dan al-Hafizh dalam Taqribut Tahdzib juga menilai Dawud bin Az-Zibriqoon sebagai Matruk (lihat Taqribut Tahdzib no. 1795 tahqiq Abu Ashbal Shoghir Ahmad Syaghif al-Bakistani cet. Daarul Ashimah 1423 H). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38)
Sumber: belajarhadits.com
APA YANG DIMAKAN KETIKA BERBUKA PUASA?
Ustadz Abu Kayyisa Zaki Rahmawan
https://t.me/almanhajpuasa

Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menganjurkan kepada umatnya agar berbuka puasa dengan:

1. Ruthob (Kurma Masak berwarna Coklat muda masih basah)
2. Tamr (Kurma matang yang sudah kering)
3. Air

Hal ini berdasarkan dalil yang shohih yaitu:

حَدّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدّثَنَا عَبْدُ الرّزّاقِ، حَدّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيّ، أَنّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلّـِيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

(Imam Abu Dawud berkata) ‘Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Hanbal, (Dia Ahmad bin Hanbal berkata) ‘Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq, (Dia Abdurrazaq berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman, (Dia Ja’far bin Sulaiman berkata), ‘Telah mengabarkan kepada kami Tsabit al-Bunaniy, bahwa dia telah mendengar dari Anas bin Malik (radhiallahu’anhum) berkata, “Rasulullah Shallallahu’alahi wassalam berbuka dengan beberapa ruthob (Kurma matang namun masih basah) sebelum melakukan sholat, jika tidak ada Ruthob maka dengan beberapa Tamr (kurma matang kering), jika itu tidak ada maka beliau meminum air beberapa kali tegukan.

Hadits Shahih, [HR. Abu Dawud no. 2356, At-Tirmidzi no. 696, Ad-Daruquthni no. 2278, Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/597 no. 1576, Al-Baihaqy 4/239. Dihasankan oleh Syaikh Albani di Irwaul Gholil no. 922]

Hadits-hadits di atas mengandung beberapa pelajaran berharga, antara lain :

1. Dianjurkannya untuk berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah), apabila tidak ada maka boleh memakai tamr (kurma kering), jika tidak ada pula maka minumlah air.

2. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan beberapa buah kurma sebelum melaksanakan shalat. Hal ini merupakan strategi pengaturan yang sangat teliti, karena puasa itu mengosongkan perut dari makanan sehingga hati tidak mendapatkan suplai makanan dari perut dan tidak dapat mengirimnya ke seluruh sel-sel tubuh. Padahal rasa manis merupakan sesuatu yang sangat cepat meresap dan paling disukai hati apalagi kalau dalam keadaan basah. Setelah itu, hati pun memproses dan melumatnya serta mengirim zat yang dihasilkannya ke seluruh anggota tubuh dan otak.

3. Air adalah pembersih bagi usus manusia dan itulah yang berlaku alamiyah hingga saat ini.

[Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maraam oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany yang disyarah oleh Syaikh Abdullah bin Abdirrahman al-Bassaam III/477 no. 549, cet. Maktabah as-Sadi th. 1423 H]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah memberikan penjelasan tentang hadits di atas, beliau berkata, “Cara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berbuka puasa dengan menyantap kurma atau air mengandung hikmah yang sangat mendalam sekali. Karena saat berpuasa lambung kosong dari makanan apa pun. Sehingga tidak ada sesuatu yang amat sesuai untuk liver (hati) yang dapat disuplay langsung ke seluruh organ tubuh serta langsung menjadi energi, selain kurma dan air. Karbohidrat yang ada dalam kurma lebih mudah sampai ke liver dan lebih cocok dengan kondisi organ tersebut. Terutama sekali kurma masak yang masih segar. Liver akan lebih mudah menerimanya sehingga amat berguna bagi organ ini sekaligus juga dapat langsung diproses menjadi energi. Kalau tidak ada kurma basah, kurma kering pun baik, karena mempunyai kandungan unsur gula yang tinggi pula. Bila tidak ada juga, cukup beberapa teguk air untuk mendinginkan panasnya lambung akibat puasa sehingga dapat siap menerima makanan sesudah itu.” [Lihat Ath-Thibb an-Nabawy oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal. 309, cet. Maktabah Nizaar Musthafa al-Baz, th. 1418 H]
Sumber: belajarhadits.com
APAKAH IMSAK MEMILIKI DALIL DARI SUNNAH ATAUKAH MERUPAKAN BID’AH ?
https://t.me/almanhajpuasa

Pertanyaan
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami melihat beberapa almanak di bulan Ramadhan dituliskan padanya bagian yang disebut “imsak” yang dijadikan sebelum shalat shubuh kurang lebih sepuluh menit, atau seperempat jam, apakah hal ini memiliki dalil dari sunnah ataukah merupakan bid’ah ? Berilah fatwa kepada kami, mudah-mudahan anda mendapat pahala.

Jawaban
Hal ini termasuk bid’ah, tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah berfirman di dalam kitabnya yang mulia.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang merah dari benang putih yaitu fajar” [Al-Baqarah/2 : 187]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

أَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, makan dan minumlah sampai Ibnu Umi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak beradzan sampai terbit fajar” [1]

Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allah padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

هلك المتنطعون قالها ثلاثا

“Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan ! “ [2]

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Janganlah mencegah kalian benar-benar …” (1918) dan Muslim : Kitab Shiyam/Bab Keterangan bahwa masuknya waktu puasa ditandai dengan terbit fajar …” (1092)
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Ilmu/Bab Celakanya orang-orang yang mengada-adakan (2670)
MEMBERI MAKAN ORANG YANG PUASA DAN DOA KETIKA DIUNDANG BERBUKA PUASA
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
https://t.me/almanhajpuasa

MEMBERI MAKAN ORANG YANG PUASA
Bersemangatlan wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِِشْل أَجْره غَيْر أَنَّهُ لاَ يُنْقص مِن أجر الصَّا ئِم شَيْئًا

“Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun” [1]

Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.

DOA KETIKA DIUNDANG BERBUKA PUASA
Orang yang diundang disunnahkan mendo’akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do’a-do’a dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلملاَئِكَةُ، وَأفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ

“Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo’akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian” [2]

اَللَّهُمَّ اَطْعِمْ مَنْ اَطْعَمَنِيْ وَاسْقِ مَنْ سَقَا نِيْ

“Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan berilah minum orang yang memberiku minum” [Hadits Riwayat Muslim 2055 dari Miqdad]

اّللَّهُمَّ اغْفِر لَهُمْ وَارْ حَمْهُمْ وَبَارِكْ ِفْمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan” [Hadits Riwayat Muslim 2042 dari Abdullah bin Busrin]

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
______
Footnote.
[1]. Hadits Riwayat Ahmad (4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.
[2]. Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum” (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sandnya shahih.

Peringatan : Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini : “Allah menyebutkan di majlis-Nya” adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!
FIDYAH TIDAK BISA DITUNAIKAN DALAM BENTUK UANG
https://t.me/almanhajpuasa

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : Ada seorang lelaki tua yang sedang sakit sehingga tidak bisa menunaikan ibadah puasa. Cukupkah atau sahkah jika kita mengeluarkan uang sebagai ganti dari kewajiban memberikan makan (fidyah)?

Beliau rahimahullah menjawab:[1]

Kita wajib mengetahui sebuah kaidah penting dalam masalah ini, yaitu semua yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan lafazh tha’am (makanan) atau ith’am (memberikan makan), maka wajib (dikerjakan atau ditunaikan) dalam bentuk makanan. (misalnya –red) Allah Azza wa Jalla berfirman tetang ibadah puasa.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” [al-Baqarah/2:184]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)”.[al-Maidah/5:89]

Dan tentang kewajiban zakat fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan untuk mengeluarkan satu sha’ makanan.[2](Dan masih ada beberapa contoh lainnya)

Semua (kewajiban-red) yang disebutkan dalam nash (teks) dengan lafazh tha’am atau ith’am, maka itu tidak sah ditunaikan dengan mengeluarkan dalam bentuk uang.

Berdasarkan kaidah ini, maka orang yang sudah berusia senja yang diwajibkan mengeluarkan makanan sebagai ganti dari ibadah puasa (yang tidak bisa dikerjakannya-red), tidak sah jika dia mengeluarkan uang sebagai ganti dari makanan. Seandainya pun dia mengeluarkan uang senilai 10 kali lipat harga makanan, tetap tidak sah. Karena perbuatan ini menyimpang dari perintah yang disebutkan dalam teks. Termasuk zakat fithri, seandainya dia mengeluarkan uang senilai 10 kali lipat harga satu sha’ bahan makanan, maka itu juga tidak sah, karena (mengeluarkan) uang senilai zakat fithri tidak disebutkan dalam nash. Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَرَدٌ

“Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami, maka amalan itu tertolak”[3]
Berdasarkan ini, kami katakan kepada saudara yang tidak bisa lagi melaksanakan ibadah puasa karena usianya, “Berilah makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa! Dalam memberikan makan ini, saudara memiliki dua pilihan teknis pelaksanaan.

Pertama (Umpama), saudara mendatangi rumah-rumah orang miskin untuk memberikan 5 sha’ beras untuk masing-masing rumah ditambah lauk (jika meninggalkan puasa 30 hari, maka mendatangi 6 rumah-red).

Kedua , saudara memasak makanan-makanan lalu mengundang sejumlah orang miskin yang berhak untuk saudara beri makanan. Misalnya, sesudah lewat sepuluh hari (saudara tidak bisa berpuasa), saudara memasak makanan lalu mengundang sepuluh orang miskin untuk makan di rumah saudara (sampai mereka kenyang-red). Saudara bisa melakukan ini pada sepuluh hari yang kedua dan sepuluh hari yang ketiga. Teknis ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu memasuki usia senja dan tidak bisa menunaikan ibadah puasa. Beliau Radhiyallahu anhu memberikan makan kepada 30 orang fakir pada hari terakhir bulan Ramadhan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 085290093792, 08121533647, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmu’ Fatawa Rasa’il al-‘Utsaimin, 19/116-117.
[2] HR. Al-Bukhari, no.1503 dan Imam Muslim, no,984
[3] HR. Muslim, no.1718
MENINGGAL DUNIA DAN MEMILIKI TANGGUNGAN PUASA WAJIB
https://t.me/almanhajpuasa

Pertanyaan.
Assalamu’alaikum pak ustadz, saya ingin bertanya apabila seseorang sakit pada bulan Ramadhan kemudian meninggal. Apakah sisa puasa yang belum sempat ditunaikan bisa dibayar puasa atau fidyah oleh anaknya.

Jawaban
Wa’alaikumssalam, sebelum menjawab pertanyaan ini, kami berdoa, semoga orang tua saudara yang meninggal dunia pada bulan Ramadhan dikaruniakan husnul khatimah dan semoga saudara dijadikan anak shalih yang akan senantiasa mendo’akan kedua orang tua.

Mengenai permasalahan yang saudara tanyakan, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya juga tentang permasalahan yang hampir sama. Beliau rahimahullah menjawab bahwa orang sakit atau semisalnya yang terpaksa meninggalkan puasa itu terbagi menjadi tiga kelompok.

Pertama, kelompok yang tidak ada harapan udzurnya akan hilang atau tidak ada harapan sembuh dari penyakitnya. Dalam keadaan seperti ini, puasa orang-orang ini harus diganti dengan fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin sampai kenyang sebagai ganti dari satu hari puasa yang ditinggalkannya. Jika dua hari puasa yang ditinggalkan berarti memberikan makan kepada dua orang miskin sampai kenyang.

Kedua, kelompok yang ada harapan udzurnya akan hilang atau penyakit akan sembuh, tapi faktanya dia terus-menerus dalam keadaan sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Terkait orang seperti ini, tidak ada kewajiban apapun, tidak kewajiban mengqadha juga tidak ada kewajiban memberi makan orang miskin

Ketiga, kelompok yang diberi kesembuhan dalam kurun waktu yang cukup untuk mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya, namun dia tidak kunjung memanfaatkan waktunya untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya sampai akhirnya ajal datang menjemput sementara puasa yang ditinggalkannya belum juga diqadha’. Orang seperti ini, puasa yang ditinggalkannya diganti oleh walinya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa meninggal dan dia memiliki tanggungan puasa, maka walinya menggantikan puasanya itu”[HR al-Bukhari, no.1952 dan Muslim][1]

Terkait dengan kasus yang ditanyakan di atas, hanya para wali dan orang-orang terdekat yang mengetahui, apakah orang yang meninggal itu termasuk yang pertama, kedua ataukah ketiga dengan konsekuensi hukum yang telah dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk tetap istiqomah menjalankan agama ini sampai kita diwafatkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam keadaan husnul khatimah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat Fatawa Nur alad Darbi, 7/322
MENGQADHA’ PUASA ORANG TUA YANG SUDAH MENINGGAL
https://t.me/almanhajpuasa

Pertanyaan.
Pada tahun 1997, ibu saya sakit pada bulan Ramadhan sehingga dia tidak bisa melaksanakan ibadah puasa selama delapan hari. Tiga bulan pasca Ramadhan, beliau meninggal. Apakah saya harus berpuasa delapan hari untuknya? Bolehkah ditunda pelaksanaannya setelah Ramadhan tahun 1998 yang akan datang atau bolehkah saya menggantinya dengan sedekah?

Jawaban.
Jika ibu anda sempat sehat setelah bulan Ramadhan tersebut serta dia memiliki waktu cukup yang memungkinkan dia untuk mengqadha’ puasanya yang tertinggal, namun dia tidak mengqadha’nya, maka disunnahkan bagi anda atau kerabat anda yang lain untuk berpuasa selama delapan hari untuk ibu anda. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang meninggal sementara dia masih memiliki tanggungan puasa, maka walinya berpuasa atas nama dia [Muttafaq ‘alaih]

Puasa ini bisa ditunda pelaksanaannya Namun, segera melaksanakannya saat mampu itu lebih baik. Sedangkan jika ibu anda terus sakit kemudian wafat dan tidak mampu untuk mengqadha’, maka puasa itu tidak perlu diqadha’ karena ibu anda tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha’. Berdasarkan keumuman firman Allah Azza wa Jalla

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-Baqarah/2:286]

Dan firman Allah Azza wa Jalla

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu [At-Taghâbun/64:16]

وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Al-Lajnatud Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ
Ketua : Syaikh
Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz; Wakil : Syaikh Abdurrazâq Afîfy; Anggota : Syaikh Abdullâh Ghadyân

Fatâwa al-Lajnatid Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ`, 10/372-373

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
MANA YANG TERBAIK, BERBUKA ATAU BERPUASA?
https://t.me/almanhajpuasa

Pertanyaan.
Mana yang lebih baik bagi seorang Muslim yang sedang melakukan perjalanan jauh, tetap berpuasa ataukah berbuka ? Terutama dalam perjalanan yang tidak berat, seperti perjalanan dengan menggunakan pesawat atau transportasi modern lainnya ?

Jawaban.
Yang terbaik bagi yang melakukan perjalanan jauh itu adalah berbuka, namun kalau ada yang (memilih) tetap berpuasa, maka itu tidak mengapa. Karena kedua-duanya ada riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga para shahabat Radhiyallahu anhum. Namun jika cuacanya sangat panas dan beban perjalanan terasa semakin berat, maka (dalam kondisi ini) sangat dianjurkan berbuka dan makruh hukumnya (jika tetap) berpuasa. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dalam sebuah perjalanan dalam cuaca yang sangat panas, beliau n melihat ada seseorang yang dipayungi karena dia tetap berpuasa, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

Tidaklah termasuk sebuah kebaikan berpuasa dalam perjalanan[1]

Juga berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla suka rukhshah (keringanan)-Nya dilakukan sebagaimana Dia benci perbuatan maksiat kepada-Nya[2]

Dalam lafazh yang lain :

…كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ

Sebagaimana Allâh Azza wa Jalla suka ‘azimah (beban awal atau lawan dari rukhshah)-Nya dilaksanakan.

Sama saja, baik perjalanan itu dilakukan dengan menggunakan mobil, unta, kapal laut ataupun dengan menggunakan pesawat. Semuanya itu masuk dalam kategori safar (melakukan perjalanan) dan berhak mendapatkan rukhshah (dispensasi) safar. Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (masih hidup) dan kaum Muslimin setelahnya n hukum-hukum (berkenaan dengan) safar bagi para hamba-Nya juga menetapkan hukum-hukum ketika menetap di suatu tempat. Allâh Azza wa Jalla (yang telah menetapkan hukum-hukum ini) maha tahu akan perubahan yang akan terjadi begitu juga alat-alat teransportasi. Seandainya hukum akan berbeda (dengan sebab perubahan kondisi dan sarana transportasi itu) tentu Allâh Azza wa Jalla telah mengingatkannya, sebagaimana firman-Nya :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. [an-Nahl/16:89]

Juga firman-Nya :

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً ۚ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bigal (peranakan kuda dengan keledai) dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allâh menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. [an-Nahl/16:8]

[Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlâtu Mutanawwi’ah, 15/237-238]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/1432/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] HR Bukhari Bab Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam kepada orang yang dipayungi disaat panas terik, no. 1810 dan HR. Muslim Bab Jawazis Shaum wal Fithr Fi Syahri Ramadhan Lil Musafir, no. 1879
[2] HR Ahmad, no. 5600
KEDERMAWANAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (BULAN RAMADHAN)
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
https://t.me/almanhajpuasa

‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَأَجْوَدُ مَا يَـكُوْنُ فِـيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ ، وَكَانَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَلْقَاهُ فِـيْ كُـّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَـيُـدَارِسُهُ الْـقُـرْآنَ ، فَلَرَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْـخَيْـرِ مِنَ الِرّيْحِ الْـمُرْسَلَةِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan, dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan ketika Jibril Alaihissallam bertemu dengannya. Jibril menemuinya setiap malam Ramadhân untuk menyimak bacaan al-Qur’annya. Sungguh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan daripada angin yang berhembus.”

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh: Al-Bukhari (no. 1902, 3220, 3554, 4997), Muslim (no. 2308). An-Nasa’i (IV/125)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan dermawan merupakan sifat yang terpuji. Di bulan Ramadhan, kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah. Karena bulan tersebut merupakan musim kebaikan. Dan nikmat yang Allâh berikan kepada hamba-Nya di bulan tersebut lebih banyak dibandingkan bulan lainnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti sunnah Allâh pada hamba-Nya dengan berderma melebihi bulan-bulan lainnya. Bahkan dijelaskan dalam hadits di atas, kecepatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbuat dermawan lebih cepat dari angin yang berhembus. Diserupakannya kedermawanan Nabi dengan angin yang berhembus ialah karena kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan manfaat yang menyeluruh seperti angin yang berhembus yang memberikan manfaat pada apa yang dilewatinya.[1]

Kedermawanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berlipat ganda di bulan Ramadhan secara khusus mengandung faidah yang banyak sebagaimana disebutkan oleh imam Ibnu Rajab rahimahullah, diantaranya [2] :

1. Kemuliaan waktu itu dan dilipat gandakan ganjaran amal di dalamnya.

2. Membantu orang-orang yang berpuasa, shalat, dan orang-orang yang berdzikir dalam melaksanakan ketaatan mereka. Sehingga dengan demikian, beliau akan mendapatkan ganjaran seperti ganjaran pelakunya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Siapa yang memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka ia akan mendapat ganjaran yang serupa dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikit pun ganjaran orang yang berpuasa itu.[Shahih: HR. at-Tirmidzi no. 807]

3. Di bulan Ramadhan, Allâh Azza wa Jalla memberikan pemberian (karunia) yang banyak kepada para hamba-Nya, baik itu berupa rahmat, ampunan, maupun pembebasan dari api neraka. Terlebih lagi pada saat lailatul qadar. Dan Allâh Azza wa Jalla menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka, siapa yang berderma kepada para hamba-Nya, Allâh pun akan berderma kepadanya dengan pemberian dan karunia, dan balasan tergantung dari jenis pebuatan hamba.

4. Memadukan antara puasa dan sedekah merupakan amalan yang dapat memasukkan seseorang ke surga, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ فِيْ الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا ، وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا ، أَعَدَّهَا الله لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ ، وَتَابَعَ الصِّيَامَ ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

Sesungguhnya di surga ada kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam, dan bagian dalamnya terlihat dari luarnya. Allâh siapkan kamar-kamar tersebut bagi orang-orang yang memberi makan, melembutkan perkataan, selalu berpuasa, dan shalat di tengah malam saat manusia tidur. [Hasan: HR. al-Baihaqi IV/301]
5. Mengumpulkan antara puasa dan sedekah lebih ampuh dalam menghapus dosa, melindungi serta menjauhkan diri dari neraka jahannam, terlebih lagi jika kedua perkara itu digabung dengan shalat malam. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Mu’adz Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

… الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ …

“… Sedekah akan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam …”[Shahih: HR. at-Tirmidzi no. 2616]

maksudnya, bahwa shalatnya seseorang ditengah malam pun dapat menghapus kesalahan (dosa).

6. Dalam puasa seseorang pasti ada kekurangannya, dan penambal kekurangan puasa tersebut dengan sedekah (zakat) fitrah dan macam-macam sedekah lainnya.

7. Menghibur orang-orang miskin merupakan salah satu wujud seseorang mensyukuri nikmat Allâh. Seorang yang berpuasa, apabila ia merasakan kelaparan, maka ia tidak akan melupakan saudaranya yang fakir dan miskin.

8. Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Aku menyukai apabila seseorang menambah kedermawanannya di bulan Ramadhan, sebagai bentuk peneladanan dia terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan juga karena kebutuhan manusia serta kesibukan sebagian mereka dengan puasa dan shalat sehingga mata pencaharian mereka terabaikan.

Sifat dermawan dan pemurah itu tidak terbatas pada pemberian harta, akan tetapi bisa bermacam-macam. Diantaranya: memberikan harta, memberikan ilmu, memanfaatkan kedudukannya untuk membantu orang dan memenuhi kebutuhan mereka dan lain sebagainya. Al-Hâfizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berderma dengan berbagai macam bentuk kedermawanan, seperti : memberikan ilmu, harta, mengorbankan jiwanya untuk Allâh Azza wa Jalla dalam mendakwahkan agama dan menunjuki hamba-hamba-Nya, serta memberikan manfaat kepada manusia dengan berbagai cara, seperti: memberikan makan orang yang kelaparan, menasihati orang yang bodoh, menunaikan hajat manusia, dan menanggung beban mereka.”[Lathâ’iful Ma’ârif hlm. 306]

Sifat dermawan dan pemurah termasuk diantara kemuliaan akhlak yang dimiliki oleh orang-orang arab. Ketika Islam datang, maka kedua sifat tersebut lebih ditekankan lagi. ‘Urwah bin az-Zubair Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika Islam datang, masyarakat arab memiliki enam puluh lebih akhlak yang mulia. Dan semuanya sangat ditekankan di dalam Islam. Diantaranya, menjamu tamu, menepati janji, dan bertetangga yang baik.”[3]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1]. Fathul Bâri (I/68-69 -cet. Daar Thaybah) dengan ringkas.
[2]. Lathâ’iful Ma’ârif (hlm. 310-315).
[3]. Al-Jûd was Sakhâ’ (hlm. 280, no. 59), dinukil dari Anwârul Bayân fii Ahkâmis Shiyâm (hlm. 93).
APA SAJA UDZUR YANG MEMBOLEHKAN ORANG BERBUKA PUASA?
https://t.me/almanhajpuasa

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa saja udzur yang membolehkan orang berbuka puasa ?

Jawaban
Udzur yang membolehkan seseorang untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah : sakit, bepergian, seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an, termasuk udzur pula seorang perempuan yang hamil dan mengkhawatirkan keadaan dirinya dan janin yang dikandungnya. Termasuk udzur pula seorang perempuan yang sedang menyusui, dia khawatir kalau dia berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayi yang disusuinya, juga saat seseorang membutuhkan untuk berbuka guna menyelamatkan orang yang diselamatkan dari kematian, misalnya dia mendapati seseorang tenggelam di laut, atau seseorang yang berada diantara tempat yang mengelilinginya yang di dalamnya ada api sehingga dia butuh –dalam penyelamatannya- untuk berbuka, maka dia diwaktu itu boleh berbuka dan menyelamatkan dirinya.

Demikian pula apabila seseorang butuh berbuka puasa untuk menguatkannya dalam jihad fisabilillah, maka sesungguhnya keadaan ini menjadi sebab kebolehan berbuka baginya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada para sahabat beliau di dalam perang Fathu Makkah.

إِنَّكُمْ قَدْ دَنَوْتُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ

“Sesungguhnya kalian pasti bertemu musuh besok, sedangkan berbuka puasa akan lebih menguatkan kalian, maka berbukalah kalian !” [Muslim mengeluarkannya dalam Kitab Shiyam/Bab pahala orang yang memberi buka puasa dalam bepergian apabila mengurusi pekerjaan (1120)]

Apabila didapatkan sebab yang membolehkan berbuka dan seseorang berbuka karenanya, maka dia tidak lagi berkewajiban menahan diri dari makan minum pada sisa harinya itu. Apabila ditetapkan bahwa seseorang boleh berbuka untuk menyelamatkan yang diselamatkan dari kematian maka dia tetap meneruskan keadaan berbuka (tidak puasa) walaupun sesudah penyelamatannya, karena dia berbuka dengan sebab dibolehkannya berbuka bagi dia sehingga tidak harus menahan diri dari makan minum ketika itu. Sebab keharaman hari itu telah hilang disebabkan kebolehan berbuka puasa.

Untuk ini kami akan mengatakan sebuah pendapat yang kuat tentang masalah ini ; bahwa seorang yang sakit walau telah sembuh di pertengahan siang sedangkan dia dalam keadaan berbuka maka dia tidak harus menahan diri lagi, seandainya seorang musafir telah datang di kampung halamannya kembali di pertengahan siang dia tidak berkewajiban menahan diri (berpuasa) lagi, kalau seorang perempuan yang haidh telah suci di pertengahan siang maka dia tidak harus berpuasa lagi di sisa harinya ; sebab mereka semuanya berbuka dengan sebab kebolehan berbuka sehingga hari itu sudah menjadi hak mereka, tidak ada lagi kewajiban puasa di dalamnya, karena adanya kebolehan syariat untuk berbuka di dalamnya sehingga mereka tidak wajib melanjutkan puasa.

Ini berbeda bila seseorang mengetahui masuknya bulan Ramadhan di pertengahan siang, maka wajib hukumnya menahan diri (tidak makan minum) seketika itu juga. Perbedaan antara keduanya cukup jelas, karena apabila bukti telah kuat di petengahan siang maka wajiblah atas mereka menahan diri di hari itu, akan tetapi mereka menjadi orang-orang yang memperoleh udzur sebelum tetapnya bukti masuknya bulan Ramadhan, dengan ketidak tahuan.

Karena inilah, seandainya mereka tahu bahwa hari ini sudah termasuk Ramadhan maka wajib atas mereka menahan diri, adapun sekelompok kaum yang lain diperbolehkan berbuka puasa berdasarkan ilmu mereka, ada perbedaan yang jelas antara mereka.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
MENGAWALI BUKA DAN MENGAKHIRI SAHUR DENGAN ROKOK
https://t.me/almanhajpuasa

Pertanyaan.
Seseorang bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah bahwa dia diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kebiasaan merokok dan dia meminta agar syaikh mendoakannya agar dia bisa lepas dari perbuatan tersebut, kemudian dia mengatakan : Sesungguhnya dia mengakhiri sahurnya dengan menghisap rokok dan ketika dia mendengar adzan (Maghrib) dikumandangkan dia memulai berbuka dengan menghisap rokok sebelum makan dan minum, maka apakah boleh baginya melakukan hal ini dan bagaimana hukum puasanya?

Beliau rahimahullah menjawab.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan seluruh sahabatnya.

Kita memohon kepada Allah agar saudara kita ini dilindungi atau dibebaskan dari perbuatan merokok ini, dan semoga Allah Azza wa Jalla menjaga kita dari kesalahan dan ketergelinciran serta menganugerahkan kesempatan bertaubat darinya. Dan seseorang bila ingin mendapatkan sesuatu, maka tidak cukup hanya dengan berdo’a saja, akan tetapi dia harus beramal (melakukan sebab-sebab) sehingga hal itu sejalan dengan hikmah Allah.

Oleh karena itu, bila seseorang berdoa memohon rezeki berupa anak, maka dia tidak akan mendapatkan seorang anak kecuali setelah dia menikah. Bila dia memohon surga, maka dia tidak akan sampai ke surga kecuali setelah dia mengerjakan amal shalih yang bisa mengantarkan ke surga. Seperti itulah, jika seseorang berdoa kepada Rabbnya agar terjaga dari perbuatan dosa, maka dia harus melakukan sesuatu atau menempuh jalan (yang bisa menghalangi dari dosa), sehingga itu menjadi pertanda bahwa Allah mengabulkan do’anya.

Adapun terkait perbuatan yang dia lakukan yang mengakhiri sahurnya dengan menghisap rokok, dan mengawali berbuka puasanya juga dengan menghisap rokok, maka sesungguhnya merokok hukumnya haram, baik dalam keadaan seperti ini atau dalam keadaan yang lain. Karena di dalam rokok terdapat banyak kemudharatan (yang membahayakan) badan, harta dan agama. Semua yang seperti itu diharamkan oleh syari’at, karena (diantara) kaidah agung dalam agama Islam ini adalah : Agama ini mendatangkan manfaat dan menghilangkan kemudharatan.

Penanya tidak boleh melakukan pebuatan ini walaupun dia merokoknya sebelum sahur, itu tatap haram baginya dan walaupun dia merokoknya setelah berbuka puasa dengan kurma dan air, maka itu tetap haram baginya.

Hendaklah orang yang berakal lagi beriman senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla agar bisa terlepas dari perbuatan haram ini. Dan bulan Ramadhan adalah kesempatan bagi seseorang yang mendapatkan taufiq untuk (terlepas dari kebiasaan merokok). Karena pada siang harinya, dia sudah bisa menahan diri dari merokok dan apabila masuk waktu malam dia bisa melupakan rokok dengan makanan dan minuman yang Allah Azza wa Jalla bolehkan serta tidak duduk-duduk (bergaul) dengan orang-orang yang merokok.

Ketika berbuka puasa, yang disunnahkan adalah berbuka dengan ruthab (kurma matang yang masih basah). Apabila tidak ada, maka dengan tamr (kurma matang yang sudah kering). Jika tidak ada, maka dengan air. Jika tidak ada air, bisa berbuka dengan memakan jenis makanan apa saja yang Allah Azza wa Jala bolehkan. Dan ada kebiasaan sebagian orang awam, jika sedang berada pada suatu tempat yang tidak ada makanan dan minuman, dia memasukkan jari tangannya ke mulutnya kemudian menghisapnya. Mereka mengatakan sesungguhnya ini adalah (cara) berbuka (bila tidak ada makanan dan minuman), (namun yang benar) tidak seperti itu. Yang benar, jika dia tidak mendapatkan apa-apa yang bisa dimakan dan diminum maka cukup dengan niat yaitu niat berbuka dan menyudahi ibadah puasanya.[1]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin, 20/81-82
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENGANJURKAN BERBUKA PUASA DENGAN KURMA
Ustadz Abu Kayyisa Zaki Rahmawan
https://t.me/almanhajpuasa

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Dari Anas bin Malik, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamr, beliau meminum seteguk air”[1]

Hadits diatas mengandung beberapa pelajaran berharga, antara lain : [2]

• Dianjurkannya untuk bersegera dalam berbuka puasa.

• Dianjurkannya untuk berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah), apabila tidak ada maka boleh memakan tamr (kurma kering), jika tidak ada pula maka minumlah air.

• Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan beberapa buah kurma sebelum melaksanakan shalat. Hal ini merupakan cara pengaturan yang sangat teliti, karena puasa itu mengosongkan perut dari makanan sehingga liver (hati) tidak mendapatkan suplai makanan dari perut dan tidak dapat mengirimnya ke seluruh sel-sel tubuh. Padahal rasa manis merupakan sesuatu yang sangat cepat meresap dan paling disukai liver (hati) apalagi kalau dalam keadaan basah. Setelah itu, liver (hati) pun memproses dan melumatnya serta mengirim zat yang dihasilkannya ke seluruh anggota tubuh dan otak.

• Air adalah pembersih bagi usus manusia dan itulah yang berlaku alamiyah hingga saat ini.

Imam Ibnul Qayim rahimahullaah memberikan penjelasan tentang hadits di atas, beliau berkata :

“Cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbuka puasa dengan kurma atau air, mengandung hikmah yang sangat mendalam sekali. Karena saat berpuasa lambung kosong dari makanan apapun. Sehingga tidak ada sesuatu yang amat sesuai dengan liver (hati) yang dapat di disuplai langsung ke seluruh organ tubuh serta langsung menjadi energi, selain kurma dan air. Karbohidrat yang ada dalam kurma lebih mudah sampai ke liver (hati) dan lebih cocok dengan kondisi organ tersebut. Terutama sekali kurma masak yang masih segar. Liver (hati) akan lebih mudah menerimanya sehingga amat berguna bagi organ ini sekaligus juga dapat langsung diproses menjadi energi. Kalau tidak ada kurma basah, kurma kering pun baik, karena mempunyai kandungan unsur gula yang tinggi pula. Bila tidak ada juga, cukup beberapa teguk air untuk mendinginkan panasnya lambung akibat puasa sehingga dapat siap menerima makanan sesudah itu” [3]

Dokter Ahmad Abdurrauf Hasyim dalam kitabnya Ramadhan wath Thibb berkata :

“Dalam hadits tersebut terkandung hikmah yang agung secara kesehatan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memilih mendahulukan kurma dan air dari pada yang lainnya sedangkan kemungkinan untuk mengambil jenis makanan yang lain sangat besar, namun karena ada bimbingan wahyu Ilahi maka Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam memilih jenis makanan kurma atau pun air sebagai yang terbaik bagi orang yang berpuasa. Maka, yang sangat diperlukan bagi orang yang ingin berbuka puasa adalah jenis-jenis makanan yang mengandung gula, zat cair yang mudah dicerna oleh tubuh dan langsung cepat diserap oleh darah, lambung dan usus serta air sebagai obat untuk menghilangkan dahaga.

Zat-zat yang mengandung gula yaitu glukosa dan fruktosa memerlukan 5-10 menit dapat terserap dalam usus manusia ketika dalam keadaan kosong. Dan keadaan tersebut terjadi pada orang yang sedang berpuasa. Jenis makanan yang kaya dengan kategori tersebut yang paling baik adalah kurma khususnya ruthab (kurma basah) karena kaya akan unsur gula, yaitu glukosa dan fruktosa yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh” [4]
Maka, urutan makanan yang terbaik bagi orang yang berbuka puasa adalah ruthab (kurma basah), tamr (kurma kering) kemudian air, kalau itu pun tidak ada, maka boleh menggunakan sirup atau air juice buah yang mengandung unsur gula yang cukup, seperti air yang dicampur sedikit madu, jeruk, lemon, dan sebagainya. [5]

Ustadz DR Anwar Mufti rahimahullaah berkata :

“Sesungguhnya usus menyerap air yang mengandung gula membutuhkan waktu kurang lebih selama 5 menit, hal ini dapat cepat memperkuat tubuh yang sedang lemah. Sedangkan orang yang berbuka puasa dengan langsung makan dan minum yang kurang mengandung unsur gula, maka apa yang telah disantapnya baru diserap oleh lambungnya selama 3-4 jam. Hal ini tidak terjadi bagi orang yang berbuka puasa dengan mengkonsumsi kurma yang banyak mengandung unsur gula karena proses penyerapannya dapat berlangsung relative lebih cepat. [6]

Kurma lebih unggul dari makanan lain yang mengandung gula. Hal ini juga didukung bukti, yaitu segelas air yang mengandung glukosa akan diserap tubuh dalam waktu 20-30 menit, tetapi gula yang terkandung dalam kurma baru habis terserap dalam tempo 45-60 menit. Maka, orang yang makan cukup banyak kurma pada waktu sahur akan menjadi segar dan tahan lapar, sebab bahan ini juga kaya dengan serat. [7]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki Rakhmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah – Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]
_______
Footnote
[1]. HR Abu Dawud (no. 2356), Ad-Daruquthni (no. 240) dan Al-Hakim (I/432 no. 1576). Dihasankan oleh Imam Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil fi Takhrij Ahaadits Manaaris Sabiil IV/45 no. 922
[2]. Disadur dari Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maram oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalany yang disyarah oleh Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Bassam (II/198 no. 459) cet. Daar ibnu Haitsam, th. 2004M
[3]. Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 309) oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah Nizaar Musthafa Al-Baaz, th. 1418H
[4]. Dimuat oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 400)
[5]. Catatan kaki yang terdapat dalam Shahih At-Thibb An-Nabawy fi Dhau-il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 401) oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[6]. Catatan kaki yang terdapat dalam Shahih At-Thibb An-Nabawy fi Dhau-il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 401) oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[7]. Sebagaimana penjelasan Dr David Conning, Direktur Jenderal British Nutrition Foundation. Dinukil dari makalah kesehatan dari Pusat Kesehatan Universitas Utara Malaysia yang diambil dari www.medic.uum.edu.my
MANFAAT BUAH KURMA MENURUT SUDUT PANDANG MEDIS MODERN
Ustadz Abu Kayyisa Zaki Rakhmawan
https://t.me/almanhajpuasa

Berikut ini akan kami paparkan sebagian dari manfaat dan khasiat kurma ditinjau dari sudut pandang medis modern yang sekaligus menguatkan khabar Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah tentang khasiat dan keutamaan kurma.

1. Tamr (kurma kering) berfungsi untuk menguatkan sel-sel usus dan dapat membantu melancarkan saluran kencing karena mengandung serabut-serabut yang bertugas mengontrol laju gerak usus dan menguatkan rahim terutama ketika melahirkan.

Penelitian yang terbaru menyatakan bahwa buah ruthab (kurma basah) mempunyai pengaruh mengontrol laju gerak rahim dan menambah masa systolenya (kontraksi jantung ketika darah dipompa ke pembuluh nadi). Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Maryam binti Imran untuk memakan buah kurma ketika akan melahirkan, dikarenakan buah kurma mengenyangkan juga membuat gerakan kontraksi rahim bertambah teratur, sehingga Maryam dengan mudah melahirkan anaknya.[1]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu kearahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Rabb Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini” [Maryam/19 : 25-26]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan ‘Amr bin Maimun di dalam tafsirnya : “Tidak ada sesuatu yang lebih baik bagi perempuan nifas kecuali kurma kering dan kurma basah” [2]

Dokter Muhammad An-Nasimi dalam kitabnya, Ath-Thibb An-Nabawy wal Ilmil Hadits (II/293-294) mengatakan, “Hikmah dari ayat yang mulia ini secara kedokteran adalah, perempuan hamil yang akan melahirkan itu sangat membutuhkan minuman dan makanan yang kaya akan unsur gula, hal ini karena banyaknya kontraksi otot-otot rahim ketika akan mengeluarkan bayi, terlebih lagi apabila hal itu membutuhkan waktu yang lama. Kandungan gula dan vitamin B1 sangat membantu untuk mengontrol laju gerak rahim dan menambah masa sistolenya (kontraksi jantung ketika darah dippompa ke pembuluh nadi). Dan kedua unsur itu banyak terkandung dalam ruthab (kurma basah). Kandungan gula dalam ruthab sangat mudah untuk dicerna dengan cepat oleh tubuh” [3]

Buah kurma matang sangat kaya dengan unsur Kalsium dan besi. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi perempuan yang sedang hamil dan yang akan melahirkan, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Maryam Al-Adzra (perawan) untuk memakannya ketika sedang nifas (setelah melahirkan). Kadar besi dan Kalsium yang dikandung buah kurma matang sangat mencukupi dan penting sekali dalam proses pembentukan air susu ibu. Kadar zat besi dan Kalsium yang dikandung buah kurma dapat menggantikan tenaga ibu yang terkuras saat melahirkan atau menyusui. Zat besi dan Kalsium merpuakan dua unsur efektif dan penting bagi pertumbuhan bayi. Alasannya , dua unsur ini merupakan unsur yang paling berpengaruh dalam pembentukan darah dan tulang sumsum.

2. Ruthab (kurma basah) mencegah terjadi pendarahan bagi perempuan-perempuan ketika melahirkan dan mempercepat proses pengembalian posisi rahim seperti sedia kala sebelum waktu hamil yang berikutnya [4]. Hal ini karena dalam kurma segar terkandung hormon yang menyerupai hormon oxytocine yang dapat membantu proses kalahiran.

Hormon oxytocine adalah hormon yang salah satu fungsinya membantu ketika wanita atau pun hewan betina melahirkan dan menyusui.

3. Memudahkan persalinan dan membantu keselamatan sang ibu dan bayinya. [5]
4. Buah kurma, baik tamr maupun ruthab dapat menenangkan sel-sel saraf melalui pengaruhnya terhadap kelenjar gondok. Oleh karena itu, para dokter menganjurkan untuk memberikan beberapa buah kurma di pagi hari kepada anak-anak dan orang yang lanjut usia, agar kondisi kejiwaannya lebih baik.

5. Buah kurma yang direbus dapat memperlancar saluran kencing.

6. Buah kurma Ajwah dapat digunakan sebagai alat ruqyah dan mencegah dari ganguan jin.

7. Kurma sangat dianjurkan sebagai hidangan untuk berbuka puasa. Ada hal yang sudah ditetapkan dalam bidang kedokteran bahwa gula dan air merupakan zat yang pertama kali dibutuhkan orang berpuasa setelah melalui masa menahan makan dan minum. Berkurangnya glukosa (zat gula) pada tubuh dapat mengakibatkan penyempitan dada dan gangguan pada tulang-tulang. Dilain pihak, berkurangnya air dapat melemahkan dan mengurangi daya tahan tubuh. Hal ini berbeda dengan orang berpuasa yang langsung mengisi perutnya dengan makanan dan minuman ketika berbuka. Padahal ia membutuhkan tiga jam atau lebih agar pencernaannya dapat menyerap zat gula tersebut. Oleh karena itu, orang yang menyantap makanan dan minuman ketika berbuka puasa tetap dapat merasakan fenomena kelemahan dan gangguan-ganguan jasmani akibat kekurang zat gula dan air.

8. Buah kurma dapat mencegah stroke

9. Buah kurma kaya dengan zat garam mineral yang menetralisasi asam, seperti Kalsium dan Potasium. Buah kurma adalah makanan terbaik untuk menetralisasi zat asam yang ada pada perut karena meninggalkan sisa yang mampu menetralisasi asam setelah dikunyah dan dicerna yang timbul akibat mengkonsumsi protein seperti ikan dan telur.

10. Buah kurma mengandung vitamin A yang baik dimana ia dapat memelihara kelembaban dan kejelian mata, menguatkan penglihatan, pertumbuhan tulang, metabolisme lemak, kekebalan terhadap infeksi, kesehatan kulit serta menenangkan sel-sel saraf.

11. Kurma adalah buah, makanan, obat, minuman sekaligus gula-gula. [6]

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari buku Kupas Tuntas Khasiat Kurma Berdasarkan Al-Qur’an Al-Karim, As-Sunnah Ash-Shahihah dan Tinjauan Medis Modern, Penulis Zaki Rahmawan, Pengantar Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Media Tarbiyah – Bogor, Cetakan Pertama, Dzul Hijjah 1426H]
_______
Footnote
[1]. Perkataan Dokter Muhammad Kamal Abdul Aziz dalam kitabnya Al-Ath’imah Al-Qur’aniyyah. Dicantumkan oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[2]. Tafsir Ibni Katsir (V/168), Tahqiq : Hani Al-Haj, cet. Al-Maktabah At-Tauqifiyah, Mesir.
[3]. Dinukil oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilaly dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[4]. Catatan kaki yang terdapat dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[5]. Catatan kaki yang tedapat dalam Shahih Ath-Thibb An-Nabawy fi Dhau’il Ma’arif Ath-Thabiyyah wal Ilmiyyah Al-Haditsah (hal. 399), cet. Maktabah Al-Furqaan, th. 1424H
[6]. Ath-Thibb An-Nabawy (hal. 292) oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah Nizaar Musthafa Al-Baaz, th. 1418H.
PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
https://t.me/almanhajpuasa

Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan membatalkan puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah.

1. Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah Azza Sya’nuhu berfirman.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” [Al-Baqarah : 187]

Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا نَسِيَ فَأَ كَالَ وَشَرِبَ فَلْيَتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum” [Hadits Riwayat Bukhari 4/135 dan Muslim 1155]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَاً وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memberi maaf kepada umatku karena kesalahan dan lupa serta apa yang dipaksakan kepada mereka” [1]

2. Muntah Dengan Sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَليَقْضِ

“Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha’ puasanya” [2]

3. Haidh dan Nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan mengqadha’ kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

أَلَيْسَ إِذَا خَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلنَ : بَلَى : قَالَ : فَذَ لِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

“Bukankah jika haid dia (wanita) tidak shalat dan puasa ? Kami katakan : “Ya”, Beliau berkata : ‘Itulah (bukti) kurang agamanya” [Hadits Riwayat Muslim 79, dan 80 dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah]

Dalam riwayat lain.

تَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي، وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ دِيْنِهَا

” Beberapa malam dia diam tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa pada bulan Ramadhan. Dan inilah kekurangan agamanya”[Muslim (79) dan (80) dan Ibnu Umar dan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu)

Perintah mengqadha’ puasa terdapat dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata. : Aku pernah bertanya kepada Aisyah : ‘ Mengapa orang haid mengqadha’ puasa tetapi tidak mengqadha shalat?’ Aisyah berkata : ‘Apakah engkau wanita Haruriyyah[3], Aku menjawab : ‘Aku bukan Haruri, tapi hanya (sekedar) bertanya’. Aisyah berkata : ‘Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat” [Hadits Riwayat Bukhari 4/429 dan Muslim 335]

4. Suntikan Yang Mengandung Makanan (Infus Makanan)
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa [4] Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalalkan puasa.
5. Jima’ (Hubungan Badan)
Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22) : “Jima’ dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima’ tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja”

Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma’ad 2/66) : “Al-Qur’an menunjukkan bahwa jima’ (hubungan badan) membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini”.

Dalilnya adalah firman Allah.

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ

“Maka sekarang camourilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian” [Al-Baqarah : 187]

Dengan demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan izin untuk berhubungan badan (pada malam hari)

Dari hal tersebut (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima’. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima’ harus mengqadha’ dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (dia berkata) :

“Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia berkata, ‘Ya Rasulullah binasalah aku!’ Rasulullah bertanya, ‘Apa yang membuatmu binasa?’ Orang itu menjawab, ‘Aku menjimai istriku di bulan Ramadhan’. Rasulullah bersabda, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ Orang itu menjawb, ‘Tidak’. Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak’ Rasulullah bersabda, ‘Duduklah’. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah korma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda, ‘Bersedekahlah’, Orang itu berkata, ‘Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah, berilah makan keluargamu” [5]

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_______
Footnote
[1]. Hadits Riwayat Thahawi dalam Syrahu Ma’anil Atsar 2/56, Al-Hakim 2/198, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam 5/149, Ad-Daruquthni 4/171 dari dua jalan yaitu dari Al-Auza’i dari Atha’ bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar, dari Ibnu Abbas, sanadnya Shahih
[2]. Hadits Riwayat Abu Dawud 2/310, Tirmidzi 3/79, Ibnu Majah 1/536, Ahmad 2/498 dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, sanadnya Shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Haqiqtus Shyam halaman 14.
[3]. Al-Haruri nisbat kepada Harura’ (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruri karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Ali di negeri tersebut, hingga dinisbatkan di sana. Demikian dikatakan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/424, dan lihat A Lubab 1/359 karya Ibnu Atsir. Mereka orang-orang Haruriyah mewajbkan wanita-wanita yang telah suci daari Haid untuk mengqadha shalat yang terluput semasa haidnya. Aisyah khawatir Mu’adzah menerima pertanyaan dari Khawrij, yang mempunyai kebiasaan menentang sunnah dengan pikiran mereka, orang-orang seperti mereka pada zaman ini banyak, Lihat pasal At-Tautsiq ‘anillah wa ra rasuluhi dari tuliasan Dirasat Manhajiyat fi Aqidah As-Salafiyah karya Salim Al-Hilaly
[4]. Lihat Haqiqatus Shiyam halaman 15, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
[5]. Hadits Shahih dengan berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari 11/516, Muslim 1111, Tirmidzi 724, Baghwai 6/288, Abu Dawud 2390, Ad-Darimi 2/11, Ibnu Majah 1617, Ibnu Abi Syaibah 2/183-184, Ibnu Khuzaimah 3/216, Ibnul Jarud 139, Syafi’i 199, Malik 1/297, Abdur Razak 4/196, sebagian memursalkan, sebagian riwayat mereka ada tambahan :”Qadhalah satu hari sebagai gantinya”. Dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 11/516, memang demikian