almanhaj muslimah
717 subscribers
1 photo
1 video
660 links
Telegram Channel masalah muslimah dari situs almanhaj.or.id
Download Telegram
SEORANG PRIA MENYETUBUHI ISTERINYA SETELAH HAIDH DAN NIFAS SEBELUM BERSUCI (MANDI WAJIB)
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta ditanya : Seorang pria menyetubuhi isterinya yang telah habis masa haidhnya atau masa nifasnya sebelum isterinya itu mandi wajib, hal itu ia lakukan karena tidak mengetahuinya, apakah pria itu dikenakan kaffarah (denda)? Dan berapa banyak dendanya itu? Lalu jika wanita itu hamil karena persetubuhan itu, apakah anak hasil persersetubuhan itu disebut dengan anak haram?

Jawaban
Menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya adalah haram berdasarkan firman Allah.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci” [Al-Baqarah/2 : 222]

Barangsiapa yang melakukan hal itu maka hendaklah ia memohon ampunan kepada Allah serta bertaubat kepadaNya, kemudian hendaknya ia bersedekah setengah dinar sebagai denda atas apa yang telah ia lakukan, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pria yang menyetubuhi isterinya yang sedang haid.

يَتَصَدَّق بِدِيْنَارٍ أَو نِصْفَ دِيْنَارٍ

“bersedekahlah engkau dengan satu dinar atau setengah dinar”

Berapapun yang anda keluarkan sebagai denda di antara dua pilihan itu dibolehkan, ukuran satu dinar adalah empat pertujuh kebutuhan per kapita Saudi. Jika kebutuhan per kapita Saudi adalah tujuh puluh real, maka kaffarah itu sebanyak dua puluh real atau empat puluh real yang anda sedekahkan kepada fakir miskin.

Dan tidak boleh bagi seorang pria menyetubuhi isterinya setelah habis masa haidh sebelum sang isteri bersuci (mandi wajib) berdasarkan firman Allah.

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” [Al-Baqarah/2 : 222]

Ayat ini menerangkan bahwa Allah tidak mengizinkan seorang pria menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum berhenti haidhnya dan sebelum bersuci (mandi haidh), dan bagi pria yang menyetubuhi isterinya sebelum mandi maka pria itu telah berbuat dosa serta dikenakan denda, kemudian jika persetubuhan itu menyebabkan kehamilan maka anak yang dilahirkan bukanlah anak haram melainkana anakyang sah secara syar’i.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta 5/398]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]
APAKAH SUAMI ISTERI WAJIB MANDI SETELAH JIMA, WALAUPUN TIDAK MENGALAMI ORGASME?
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Apakah suami isteri wajib mandi setelah jima’, walaupun tidak mengalami orgasme?

Jawaban
Ya, keduanya wajib mandi, baik mengalami orgasme maupun tidak, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرَبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهـَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota tubuh wanita (menindihnya) kemudian menggaulinya, maka ia wajib mandi.”

Dalam lafazh Muslim.

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Walaupun tidak mengalami orgasme (keluar mani).” [1]

Ini menegaskan tentang wajibnya mandi, walaupun tidak mengalami orgasme.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
_____
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 291) kitab al-Ghusl, Muslim (no. 348) kitab al-Haidh, an-Nasa-i (no. 191) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 216) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 610) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 9733) ad-Darimi (no. 761) kitab ath-Thahaarah.
[2]. Dinisbatkan oleh penulis buku Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isratin Nisaa’ (hal. 36) kepada Majmuu’ Rasaa-il, karya Syaikh al-‘Utsaimin.
BOLEHKAH MENUNDA MANDI WAJIB HINGGA TERBIT FAJAR
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah boleh menunda mandi karena junub hingga fajar terbit ? Dan apakah boleh bagi wanita untuk menunda mandi haidh dam mandi nifas hingga terbitnya fajar ?

Jawaban
Jika masa haidh seorang wanita telah habis sebelum fajar, maka ia diharuskan untuk berpuasa dan tidak ada llarangan baginya untuk menunda mandi wajibnya itu hingga terbitnya fajar. Akan tetapi tidak boleh baginya untuk menunda mandinya hingga terbit matahari, bahkan wajib baginya untuk mandi dan melaksanakan shalat sebelum matahari terbit, begitu pula hukum mandi junub bagi pria, yaitu tidak boleh ditunda sampai setelah terbit matahari, bahkan wajib baginya mandi dan shalat Subuh sebelum terbitnya matahari, dan juga wajib bagi pria untuk bersegera mandi agar dapat melaksanakan shalat Subuh berjama'ah.

[Fatawa Ash-Shiyam. Syaikh Ibnu Baaz, 65]

BOLEHKAH ORANG YANG JUNUB TIDUR SEBELUM BERWUDHU

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' ditanya : Apakah orang yang junub boleh tidur tanpa berwudhu terlebh dahulu ?

Jawaban
Tidak ada dosa baginya untuk tidur sebelum berwudhu, akan tetapi yang lebih utama adalah hendaknya ia berwudhu terlebih dahulu sebelum tidur, karena Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam melakukan hal itu dan memerintahkannya.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta', 5/298]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, PenyusUn Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
JIKA SEORANG WANITA BERMIMPI DAN MENGELUARKAN CAIRAN YANG TIDAK MENGENAI PAKAIANNYA, APAKAH IA WAJIB MANDI
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya : Saat saya bermimpi, saya segera sadar dan bangun untuk menahan keluarnya cairan pada pakaian saya, lalu saya keluarkan di kamar mandi, apakah wajib bagi saya untuk mandi atau cukup berwudhu saja untuk melakukan shalat dan membaca Al-Qur’an ?

Jawaban
Anda wajib mandi karena mimpi itu menyebabkan keluar cairan, baik mani itu Anda keluarkan di pakaian Anda ataupun di kamar mandi, karena wajib mandi pada mimpi berdasarkan pada keluarnya mani sesuai dengan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam : “Air (mandi) dikarenakan air (keluarnya mani) “, juga berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa salam pula, saat Ummu Sulaim bertanya kepada beliau : Sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran, apakah wajib mandi bagi wanita yang mengalami mimpi?” maka beliau bersabda’

نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ

“Ya, wajib baginya untuk mandi jika ia melihat air (mimpi itu keluarnya mani)”.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/307]

WAJIB MANDIKAH BILA KELUARNYA MANI KARENA SYAHWAT TANPA BERSETUBUH

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Wajib mandikah bagi wanita yang mengeluarkan mani karena adanya syahwat tanpa melakukan persetubuhan ?

Jawaban
Jika keluarnya mani dari seorang wanita dengan disertai rasa nikmat maka wajib baginya untuk mandi.

[Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/311]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan Penerbit Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
HARUSKAH MERESAPKAN AIR KE DALAM KULIT KEPALA DALAM MANDI JUNUB?
https://t.me//almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita yang junub lalu mandi wajib, apakah ia harus mencuci rambutnya hingga air masuk dan menyentuh kulit kepala?

Jawaban.
Mandi junub atau mandi wajib lainnya memiliki beberapa kewajiban yang di antaranya adalah sampainya air ke bagian tumbuhnya rambut, kewajiban ini berlaku bagi kaum pria maupun wanita, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“dan jika kamu junub maka mandilah” [Al-Maidah/5 : 6]

Maka tidak boleh bagi wanita hanya sekedar mencuci rambutnya saja, akan tetapi wjib baginya untuk mengalirkan air itu hingga ke tempat tumbuhnya rambut termasuk kulit kepala, akan tetapi bila rambutnya itu berlilit, maka tidak wajib membukanya, hanya saja ia wajib mengalirkan air pada setiap lilitan rambut, yaitu dengan meletakkan lilitan itu dibawah tuangan air, kemudian rambut itu diperas hingga air masuk ke seluruh rambutnya.

[Fatawa wa Rasa’il ASy-Syaikh Ibnu Utsaimin 4/226]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
BATALKAH WUDHU SEORANG WANITA YANG MENGELUARKAN ANGIN DARI FARAJNYA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah keluarnya angin dari kemaluan wanita menyebabkan batalnya wudhu atau tidak ?

Jawaban
Angin yang keluar dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu karena angin itu tidak keluar dari tempat najis sebagaimana keluarnya angin dari dubur.

Karena banyaknya pertanyaan serupa dan beragamnya jawaban dari para ulama, maka kami menetapkan fatwa ini agar lebih banyak manfaatnya

[Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/197]

APAKAH ANGIN YANG KELUAR DARI KEMALUAN WANITA MEMBATALKAN SHALAT

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya : Seorang wanita jika sedang melakukan shalat, termasuk ruku’ dan sujud, kemudian keluar angin dari kemaluannya khususnya pada waktu sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud dan ruku, terkadang keluarnya angin ini terdengar oleh rekannya yang berada di sebelahnya, apakah hal serupa ini membatalkan shalat wanita itu ? dan terkadang angin yang keluar itu amat sedikit sekali sehingga tidak terdengar, apak hal serupa ini membatalkan wudhu dan juga shalat ?

Jawaban
Keluarnya angin dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu dan juga tidak membatalkan shalat.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta, 5/159]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
HUKUM MENYETUBUHI ISTERI YANG SEDANG HAIDH
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Tntang hukum persetubuhan yang dilakukan seorang pria terhadap isterinya yang sedang dalam keadaan haidh?

Jawaban
Persetubuhan yang dilakukan seorang pria terhadap isterinya yang sedang haidh adalah haram berdasarkan Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh” [Al-Baqarah/2 : 222]

Maksud ayat ini adalah larangan untuk menyetubuhi wanita yang sedang haidh. Al-Mahidl artinya adalah tempat keluarnya darah haidh yaitu faraj (kemaluan), dan jika seorang pria berani menyetubuhi isterinya yang sedang haidh itu maka hendaknya pria itu bertaubat dan tidak mengulangi perbuatan itu lagi, kemudian pria itu dikenakan kaffarah (denda) sebanyak satu dinar atau setengah dinar berdasarkan hadits marfu Ibnu Abbas tentang pria yang menyetubuhi isterinya yang sedang mendapatkan haidh, ia berkata :

يَتَصَدَّق بِدِيْنَارٍ أَو نِصْفَ دِيْنَارٍ

“Hendaknya ia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar”,.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Yang dimaksud dengan satu dianr adalah satu mitsqol emas ( satu dinar atau satu mistqol emas adalah 4 ¼ gram), dan jika ia tidak mendapatkannya maka sebagai penggantinya adalah seukuran harga perak. Wallahu A’lam.

[Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhamad bin Ibrahim 2/98]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]
APAKAH WANITA NIFAS YANG SUCI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI TETAP WAJIB MELAKSANAKAN IBADAH
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita nifas wajib melakukan puasa dan shalat sebelum genap empat puluh ahri?

Jawaban
Ya, jika ia telah suci dari nifasnya walaupun belum genap empat puluh hari, wajib baginya untuk berpuasa jika hal itu terjadi di bulan Ramadhan dan juga wajib baginya untuk melaksanakan shalat, juga dibolehkan bagi suaminya untuk mencampurinya, karena wanita itu telah suci sehingga tidak ada yang menghalanginya untuk melaksanakan puasa dan juga tidak ada sesuatu yang menghalanginya untuk shalat dan melakukan hubungan badan dengan suaminya.

[52 Su’alan Ahkamil Haid, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 10]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
MASA DI MANA PARA WANITA YANG SEDANG NIFAS TIDAK BOLEH MELAKSANAKAN SHALAT
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Berapakah lamanya waktu yang tetap diberlakukan untuk tidak boleh shalat bagi wanita yang sedang mengeluarkan darah setelah melahirkan (nifas)?

Jawaban
Ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas.

Pertama : Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari ke empat puluh dan tidak kembali setelah itu. Jika darah itu telah berhenti mengalir darinya, maka saat itu ia segera harus mandi (bersuci) untuk melakukan shalat dan puasa.

Kedua : Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari ke empat puluh kemudian darah itu kembali mengalir sebelum mencapai empat puluh hari. Dalam kondisi semacam ini, jika darah berhenti mengalir maka ia harus mandi (bersuci) untuk melaksanakan shalat dan puasa, lalu jika darah nifas itu mengalir lagi maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa, lalu puasanya di qadha tanpa harus mengqadha shalat.

Ketiga : Darah terus mengalir hingga hari ke empat puluh. Dengan demikian si wanita harus meninggalkan shalat serta puasa selama empat puluh hari penuh, dan jika darah berhenti mengalir, maka ia harus segera bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa.

Keempat : Darah terus mengalir hingga melebihi empat puluh hari. Kondisi semacam ini ada dua macam, yaitu :

Pertama, hal ini terjadi karena berhentinya nifas dilanjutkan dengan keluarnya darah haidh yang biasa, jika hal ini terjadi maka ia diharuskan untuk tetap meninggalkan shalat.

Kemudian yang kedua adalah : Darah yang dikeluarkan setelah empat puluh hari tidak betepatan dengan kebiasaan masa haid, maka bagi wanita ini tetap wajib mandi setelah sempurna empat puluh hari untuk melaksanakan shalat dan puasa. Dan jika keluarnya darah itu berulang hingga tiga kali, berarti itulah masa haidnya, dan dengan begitu ia harus mengqadha puasa yang telah dilaksanakannya (karena tidak sah), tapi tidak harus mengqadha shalatnya. Akan tetapi, jika tidak berulang, maka tidak dikategorikan darah haidh melainkan darah istihadhah.

[Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/102]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
SUCI SEBELUM EMPAT PULUH HARI LALU BERPUASA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya : Jika wanita nifas mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari lalu ia berpuasa, apakah puasanya itu sah ?

Jawaban
Puasanya sah dan sempurna karena ia telah mendapatkan kesuciannya walaupun belum empat puluh hari, sebab dengan begitu berlaku baginya hukum yang berlaku bagi wanita-wanita lainnya yang telah suci.

[Al-Majmu’ah Kamilah Li Mu’allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa’di 7/100]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
PENDAPAT YANG KUAT TENTANG MASA NIFAS
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Tentang dalil yang kuat mengenai masa nifas

Jawaban
Selama darah nifas itu masih keluar pada diri seorang wanita maka tidak diwajibkan baginya untuk mandi kecuali jika darah itu telah berhenti mengalir, walaupun berhentinya darah nifas itu melebihi dari empat puluh hari. Tidak ada dalil yang menunjukkan tentang masa nifas ini, kecuali bunyi hadits : “Adalah para wanita yang nifas” dengan sanad yang lemah.

[Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/103]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
MEGKONSUMSI PIL PENCEGAH HAIDH AGAR BISA BERPUASA BERSAMA ORANG-ORANG LAINNYA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya mengkonsumsi pil-pil pencegah haidh di bulan Ramadhan, apakah boleh bagi saya untuk berpuasa pada hari-hari saya mengkonsumsi pil tersebut di bulan Ramadhan ? Sementara yang saya lakukan, tetap berpuasa dan shalat bersama orang-orang lainnya, apakah dengan begitu saya berdosa. ?

Jawaban
Boleh bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi sesuatu yang dapat menunda datangnya haidh agar dapat melaksanakan haji atau umrah atau puasa di bulan Ramadhan.

Anda tidak diharuskan untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda lakukan bersama-sama yang lainnya dengan mengkonsumsi pil pencegah haidh.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islmiyah, 22/62]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
SAYA PERNAH BERTANYA KEPADA SEORANG DOKTER, IA MENGATAKAN, BAHWA PIL PENCEGAH HAIDH ITU TIDAK BERBAHAYA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haidh di bulan yang mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haidh maka saya akan kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haidh karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haidh itu tidak membahayakan diri saya ..?

Jawaban
Saya katakan kepada wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haidh di bulan Ramadhan, bahwa haidh yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haidh itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haidh :

إن هذا أمر كتبه الله على بنات آدم

Sesungguhnya haidh itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita”.

Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haidh yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin wanita hamil.

[Durus wa Fatawa Al-Harram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/273-274]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
MENCEGAH HAIDH AGAR BISA BERPUASA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pendapat Anda tentang wanita yang mengkonsumsi pil pencegah haidh hanya untuk bisa berpuasa bersama orang-orang lainnya di bulan Ramadhan .?

Jawaban
Saya peringatkan untuk tidak melakukan hal-hal semacam ini, karena pil-pil pencegah haid ini mengandung bahaya yang besar, ini saya ketahui dari para dokter yang ahli dalam bidang ini. Haidh adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, maka hendaklah Anda puas dengan apa yang telah Allah tetapkan, dan berpuasalah Anda jika Anda tidak berhalangan. Jika Anda berhalangan untuk berpuasa maka janganlah berpuasa, hal itu sebagai ungkapan keridhaan pada apa yang telah Allah tetapkan.

[52 Su’alan an Ahkaiml haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 19]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhrudin]
MEMBATALKAN PUASA KARENA NIFAS BAGI YANG KEGUGURAN
https://t.me/almanhajmuslimah

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah pernah ditanya: Seorang wanita baru hamil tertimpa musibah sehingga keguguran setelah mengalami pendarahan hebat. Apakah dia boleh membatalkan puasanya ataukah melanjutkan puasanya? Apakah ia berdosa jika membatalkan puasanya?

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjawab: Kami katakan, orang hamil itu tidak haidh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad: “Wanita hamil itu diketahui dengan terhentinya haidh.’ Sebagaimana dikatakan oleh para ahli ilmu, haidh diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk memberikan makan kepada janin dalam perut ibu. Jika sudah terjadi kehamilan, maka haidh itu terhenti. Akan tetapi, terkadang sebagian wanita ada yang masih haidh sebagaimana kebiasaannya sebelum hamil.

Haidh seperti ini dihukumi haidh yang sebenarnya, karena haidhnya masih berlangsung dan tidak terpengaruh dengan kehamilan. Dengan demikian, haidh ini menjadi penghalang dari semua hal yang terlarang dengan haidh orang yang tidak hamil, menjadi penyebab dari yang disebabkan haidh, menjadi penggugur bagi yang digugurkan haidh.

Kesimpulannya, darah yang keluar dari wanita hamil ada dua macam.
1. Darah yang dihukumi darah haidh yang masih berlangsung, sebagaimana ketika belum hamil. Siklus haidh yang tidak terhenti ini menunjukkan bahwa kehamilan tidak berpengaruh padanya, sehingga dia tetap haidh.

2. Pendarahan baru yang menimpa wanita hamil, mungkin karena suatu kecelakaan, membawa sesuatu, jatuh, atau sebab lainnya. Darah ini bukan darah haidh. Itu hanya darah urat saja.

Berdasarkan penjelasan ini, maka ia tidak terhalangi dari shalat, puasa. Dia tetap dalam keadaan suci. Akan tetapi, jika diyakini kecelakaan itu menjadi penyebab keguguran atau lahirnya anak; maka sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu, jika bayi itu lahir dan sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar setelah itu dianggap darah nifas, tidak boleh shalat, puasa dan dijauhi oleh suami. Jika janinnya keluar dan belum berbentuk, maka darah yang keluar setelah itu tidak dianggap darah nifas. Namun itu merupakan darah rusak yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya. Waktu tersingkat, nampak sebagai wujud manusia yaitu delapan puluh satu hari. Karena janin dalam perut, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan dibenarkan:

إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.

Oleh karena, tidak mungkin terbentuk sebelum itu. Biasanya, bentuknya tidak jelas sebelum sembilan puluh hari, sebagaimana dikatakan sebagian ahli ilmu.

(Fatâwâ fî Ahkâmish-Shiyâm, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, hlm. 257-258).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
JIKA TERJADI KEJANGGALAN DATANGNYA HAIDH, LEBIH CEPAT ATAU TERLAMBAT DARI BIASANYA, ATAU LEBIH LAMA ATAU KURANG DARI MASA HAIDH YANG BIASANYA.
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya : Jika seorang wanita mengalami kejanggalan dalam hal datangnya haidh, yaitu lebih cepat atau terlambat dari masa biasanya, atau lebih lama atau kurang dari masa haidh yang biasanya, apa yang harus dilakukannya ?

Jawaban.
Pendapat madzhab Hambali menyebutkan, bahwa hendaknya wanita tersebut tidak langsung menetapkannya sebagai masa haidhnya sampai terulangnya masa tersebut. Pendapat ini selayaknya tidak diikuti, dan umumnya orang-orang tetap menganut pendapat yang benar yang diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Al-Inshaf, bahwa tidak ada jalan bagi kaum wanita tentang masa haidh dan masa datangnya haidh kecuali mengikuti pendapat ini, yaitu bahwa bila seorang wanita mengeluarkan darah maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya. Lalu jika darah itu telah berhenti maka ia haru segera mandi wajib (bersuci) dan melaksanakan shalat.

Ketetapan itu berlaku dalam keadaan bagaimanapun, baik datangnya haid itu lebih awal dari biasanya ataupun terlambat dari biasanya, sebagai contoh : Jika seorang wanita mengalami masa haidh selama lima hari lalu pada bulan lain ia mengalami masa haidh selama tujuh hari, maka ia harus berhenti shalat selama tujuh hari tanpa perlu menunggu kejadian haidh tujuh hari itu berulang-ulang. Beginilah yang dilakukan istri-istri shabat Radhiyallahu ‘anhum serta istri-istri tabi’in setelah mereka, hingga para syaikh kami, tidak mengeluarkan fatwa tentang ini kecuali dengan pendapat ini.

Sementara pendapat yang mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menetapkan berpindahnya kebiasaan haidhnya karena kejanggalan baru kecuali kejanggalan itu telah terjadi sebanyak tiga kali, pendapat ini adalah pendapat yang tidak berdasarkan dalil, bahkan pendapat ini bertentangan dengan dalil, juga bertentangan dengan pendapat yang benar, bahwa tidak ada batasan tentang umur wanita dalam mengalami haidh, maka jijka ada wanita yang masih berumur dibawah sembilan tahun atau sudah melewati umur lima puluh tahun, jika ia mengeluarkan darah haidh maka ia harus meninggalkan shalat, karena hukum asalnya memang demikian, sedangkan darah istihadah jelas bisa dibedakan dari darah haidh.

[Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Mu’allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa’di 7/98]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]
HAID DATANG BEBERAPA SAAT SEBELUM MATAHARI TERBENAM
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seorang wanita tengah berpuasa, beberapa saat sebelum adzan Maghrib ia mendapatkan haidh, apakah ia harus membatalkan puasanya ?

Jawaban
Jika haid datang beberapa saat sebelum Maghrib maka puasanya batal dan ia diwajibkan mengqadha puasa pada hari itu di hari lain, akan tetapi jika haid itu datang setelah terbenamnya matahari maka puasanya sah dan tidak wajib baginya mengqadha puasa tersebut.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, 10/155, fatwa nomor 10343]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
JIKA MENDAPATKAN KESUCIAN SETELAH SHUBUH, APAKAH HARUS TETAP BERPUASA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya tepat setelah waktu shubuh, apakah ia harus tetap berpuasa pada hari itu, ataukah ia harus mengqadha puasa hari itu di hari lain ?

Jawaban
Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya setelah terbitnya fajar, tentang keharusannya berpuasa pada hari itu, ada dua pendapat ulama :

Pendapat Pertama :
Diwajibkan baginya berpuasa pada hari itu, akan tetapi puasanya itu tidak mendapat imbalan, bahkan wajib baginya untuk mengqadha puasa, ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad Rahimahullah.

Pendapat Kedua:
Tidak wajib baginya berpuasa pada hari itu, karena pada permulaan hari itu ia dalam keadaan haid yang menjadikan bukan termasuk golongan orang-orang yang wajib berpuasa, sehingga dengan demikian (bila ia berpuasa maka) puasanya itu tidak sah, jika puasanya itu tidak sah maka tidak ada faedah baginya melakukan puasa pada hari itu, juga dikarenakan pada hari ini ia diperintahkan untuk tidak berpuasa pada permulaan hari itu, bahkan haram baginya berpuasa pada hari itu, sebab puasa yang disyariatkan sebagaimana kita ketahui adalah : menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sebagai suatu ibadah kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Menurut pendapat kami inilah (pendapat kedua) pendapat yang lebih kuat dari pendapat yang mewajibkan wanita itu untuk berpuasa. Kedua pendapat itu mengharuskan qadha puasa hari tersebut.

[52 Sua’alan ‘an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 9-10]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
MASA HAID LEBIH LAMA DUA HARI DARI MASA HAID BIASANYA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita mengalami masa haidnya itu lebih lama dua hari dari masa haidh yang biasanya, bagaimana hukum yang berlaku bagi wanita ini pada dua hari lebih itu ?

Jawaban.
Pertama, perlu kita ketahui bahwa darah haid adalah darah alami yang Allah ciptakan pada diri seorang wanita jika ia telah siap untuk hamil, karena darah haidh itu diciptakan untuk makan janin yang berada dalam perut ibunya, karena itu, wanita hamil tidak dapat haidh, sebab dengan izin Allah darah itu berubah menjadi makanan janin, lalu jika darah haidh itu adalah darah biasa maka darah itu akan keluar menjadi kotoran jika tidak ada janin bayi dalam rahim seorang wanita, dan Allah telah mensifati darah ini dengan menyebutnya sebagai kotoran, Allah berfirman.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : Haidh itu adalah suatu kotoran”.[Al-Baqarah/2 : 222]

Karena darah itu adalah kotoran maka darah itu adalah najis, dan setiap kali terdapat darah haidh maka hukum haidh berlaku bagi wanita itu walaupun masa haidh itu lebih dari masa haidh yang menjadi kebiasaannya, artinya jika kebiasaan masa haidh seorang wanita adalah enam hari kemudian pada bulan tertentu masa haidh itu lebih lama dua hari dari biasanya, maka dua tambahan masa haidh ini mengikuti ketetapan masa haidh yang enam hari itu, jadi selama delapan hari itu ia harus meninggalkan shalat, puasa dan juga ia tidak boleh disetubuhi oleh suaminya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menentukan waktu tertentu bagi masa haidh begitu juga sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan demikian, selama masih ada darah haidh maka selama itu pula hukum haidh berlaku, lalu jika darah itu telah berhenti maka pada saat itu pula hukum haidh tidak berlaku walaupun berhentinya darah haidh diluar kebiasaannya. Ketetapan semacam ini juga berlaku bagi orang yang mengalami masa nifas, maka bagi wanita yang telah berhenti darah nifasnya sebelum masanya, apakah haris shalat atau menunggu sampai masanya berkahir ? Seharusnya ia shalat karena ia telah suci dari nifas, dan di bulan ramadhan apakah ia harus berpuasa atau tidak ? Ya, tentu ia harus berpuasa jika itu terjadi di bulan ramadhan. Kemudian, apakah boleh suaminya menggaulinya ? Ya, boleh bagi suaminya untuk menggaulinya tanpa dimakruhkan. Sebab, bila ia telah dibolehkan untuk mengerjakan shalat, maka boleh pula untuk senggama.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/283]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]
WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT-SHALAT YANG DITINGGALKAN SELAMA MASA HAIDH, DAN BOLEHKAH SEKEDAR MEMBASUH RAMBUT SAJA KETIKA HAID
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama masa haidh dan bolehkah baginya sekedar membasuh rambut ketika haidh .?

Jawaban
Wanita haidh tidak mengqadha shalatnya berdasarkan nash dan ijma’, juga berdasarkan sabda Nabi Sjallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِ وَلَمْ تَصُمْ؟

“Bukankah jika seorang wanita sedang haidh ia tidak shalat dan tidak puasa?”

Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma diatanya : “Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak harus mengqadha shalat ..?, maka Aisyah Radhiyallahu anhuma menjawab : ‘Kamipun mengalami hal itu, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada shalat’. Ungkapan ‘Aisyah ini menunjukan bahwa wanita haidh tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat, Adapun membasuh rambut pada masa haidh, maka hal itu dibolehkan. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa tidak boleh baginya membasuh rambut saat haidh, maka hal itu tudak benar, bahkan boleh baginya membasuh seluruh kepala dan tubuhnya serta lainnya sesukanya, juga boleh menggunakan inai saat haidh dan tidak ada dosa baginya .

[Fatawa Nur’ala Ad-Darb, Syaikh ibnu Utsaimin,hal 45]

[Disalin dai buku Al-Fatawa Al-Jaami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hazah Fakhruddin]
SIFAT MANDI JUNUB DAN PERBEDAANNYA DENGAN MANDI HAID
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya : Apakah ada perbedaan antara mandi junub seorang pria dengan mandi junub seorang wanita ? Dan apakah seorang wanita harus melepas ikatan rambutnya atau cukup baginya menuangkan air di atas kepalanya tiga kali tuang berdasarkan suatu hadits ? Apa bedanya antara mandi junub dengan mandi haid?

Jawaban
Tidak ada perbedaan bagi pria dan wanita dalam hal sifat mandi junub, dan masing-masing tidak perlu melepaskan ikatan rambutnya akan tetapi cukup baginya untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga tuang kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ

“Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepala saya, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?”. Rasulullah menjawab : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, maka (dengan demikian) kamu telah bersuci” [Hadits Riwayat Muslim].

Jika di atas kepala seorang lelaki maupun wanita terdapat ikatan atau pewarna rambut atau sesuatu lainnya yang dapat menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala, maka wajib dihilangkan, akan tetapi jika itu ringan dan tidak menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala maka tidak wajib dihilangkan.

Adapun mandinya wanita setelah haidh, para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya melepaskan ikatan rambutnya untuk mandinya. Yang benar, bahwa ia tidak harus melepaskan ikatan rambutnya untuk mandi tersebut, hal ini berdasarkan beberapa riwayat hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan Muslim bahwa ia (Ummu Salamah) berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَرَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ:لاَإِنَّمَايَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيْنَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍثُمََّ تُفِيْضِيْنَ

“Sesunguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepalaku, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?” Rasulullah menjawab: Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, (dengan demikian) maka kamu telah bersuci”.

Riwayat hadits Nabi ini adalah merupakan dalil yang menunjukkan tidak adanya kewajiban untuk melepaskan ikatan rambut untuk mandi junub atau untuk mandi haidh, akan tetapi sebaiknya ikatan rambut itu dilepas saat mandi haidh sebagai sikap waspada dan untuk keluar dari perselisihan pendapat serta memadukan dalil-dalil dalam hal ini.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’, 5/320]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-fatwa Tentang Wanita Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerbit Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]