almanhaj muslimah
736 subscribers
1 photo
1 video
611 links
Telegram Channel masalah muslimah dari situs almanhaj.or.id
Download Telegram
Channel created
MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
https://t.me/almanhajmuslimah

1. MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara’ ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

2. HIKMAH HAID
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta’ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.

Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’. Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]
USIA HAID DAN MASA HAID
https://t.me/almanhajmuslimah

USIA HAID
Usia haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.

Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, dimana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ?

Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan :”Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu” [Al-Majmu ‘Syarhul Muhadzdazb, Juz I, hal. 386].

Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau diatas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’. Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]
USIA DAN MASA HAID
https://t.me/almanhajmuslimah

MASA HAID
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.

Ibnu Al-Mundzir mengatakan : “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.

Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan logika.

Dalil Pertama.
Firman Allah Ta’ala.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [Al-Baqarah/2: 222]

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.

Dalil Kedua.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah.

افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالبَيْت حَتَّى تَطْهُرِي

“Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.

Kata Aisyah : “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.

Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.

انْتَظِرِيْ، فَإِذَا طَهُرْتِ فَاخْرُجِي إِلَى التَنْعِيْم

“Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.

Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.

Dalil Ketiga.
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan.

Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat ; jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami sitri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum Mu’minin

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/307-masa-haid.html
HAID WANITA HAMIL
https://t.me/almanhajmuslimah

Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad, rahimahullah, “Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.

Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.

Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.

Inilah madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi’i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat (hal.30) :”Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini”.

Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah :

1. TALAK.
Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta’ala.

إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ….” [Ath-Thalaaq/65: 1].

Adapun mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.

2. IDDAH
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta’ala.

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” [Ath-Thalaaq/65: 4]

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’. Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]
HAL-HAL DILUAR KEBIASAAN HAID
https://t.me/almanhajmuslimah

Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid :

1. BERTAMBAH ATAU BERKUARNGNYA MASA HAID
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

2. MAJU ATAU MUNDUR WAKTU DATANGNYA HAID
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lalu tiba-tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lalu tiba-tiba haid pada akhir bulan.

Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan pada saat terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.

Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy-Syafi’i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al-Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya : “Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya di jelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dubutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnyapun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja” [Al-Mughni, Juz 1, hal. 353].

3. DARAH BERWARNA KUNING ATAU KERUH
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.

Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha.

كُنَّا لاَ نُعِدُّ الصُّفْرَةَ وَالكُدْرَة بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا

“Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci”.

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat “sesudah masa suci”, tetapi beliau sebutkan dalam “Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid”. Dan dalam Fathul Baari dijelaskan :”Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, “sebelum kamu melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah”.

Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata : “Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih”, maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.

4. DARAH HAID KELUAR SECARA TERPUTUS-PUTUS
Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :

Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/1275-hal-hal-diluar-kebiasaan-haid.html
HUKUM-HUKUM HAID (SHALAT, PUASA, THAWAF)
https://t.me/almanhajmuslimah

Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain.

1. SHALAT
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Juga tidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu raka’at sempurna, baik pada awal atau akhir waktunya.

Contoh pada awal waktu : Seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak saru ra’kaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha’ shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.

Adapaun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha’ shalat Shubuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat.

Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti : Kedatangan haid -pada contoh pertama- sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid -pada contoh kedua- sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat” [Hadits Muttafaq ‘alaihi].

Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat dari waktu Ashar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat Zhuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya’ apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya’ .?

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar dan Isya’. Karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu”. [Hadits Muttafaq ‘alaihi].

Nabi tidak menyatakan “maka ia telah mendapatkan shalat Zhuhur dan Ashar”, juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab Juz 3, hal.70.

Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do’a dan aminnya, serta mendengarkan Al-Qur’an, maka tidak diharamkan bagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca Al-Qur’an.

Diriwayatkan pula dalam Shahih Al-Bukhari-Muslim dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ وَالحُيَّضَ – يعني إلى صلاة العيد – وَلْيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى

“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid -yakni ke shalat Idul fitri dan Adha- serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat”

Sedangkan membaca Al-Qur’an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya.

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/1342-hukum-hukum-haid-dalam-shalat-dan-thawaf.html
HUKUM-HUKUM HAID (THAWAF WADA’, BERDIAM DALAM MASJID, JIMA’ (SENGGAMA), TALAK)
https://t.me/almanhajmuslimah

7. TALAK
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” [Ath-Thalaq/65: 1]

Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli. Sebab, jika seorang isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan ; dan jika tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas permasalahan tersebut.

Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun marah dan bersabda.

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid, lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri”.

Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak isterinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.

Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid, ada tiga masalah yang dikecualikan.

1. Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent), maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman Allah Ta’ala :
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

” … maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) …” [At-Thalaq/65: 1]

2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.

3. Jika talak tersebut atas dasar ‘iwadh (penggantian), maka boleh bagi suami menceraikan isterinya yang sedang haid.

Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami – isteri. Lalu si isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam keadaan haid.

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/1368-thawaf-wada-berdiam-dalam-masjid-jima-senggama-dan-talak.html
HUKUM-HUKUM HAID (‘IDDAH TALAK DIHITUNG DENGAN HAID, KEPUTUSAN BEBASNYA RAHIM, KEWAJIBAN MANDI)
https://t.me/almanhajmuslimah

8. ‘IDDAH TALAK DIHITUNG DENGAN HAID
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya, maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah.

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” [Al-Baqarah/2: 228]

Tiga kali quru’ artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah.

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“..Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…” [Ath-Thalaaq/65: 4]

Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah.

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

“Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara isteri-isterimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan ; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid ..” [At-Thalaaq/65 : 4]

Jika si isteri termasuk wanita-wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu bulan penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pedapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar’iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan ; sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.

10. KEWAJIBAN MANDI
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Kewajiban minimal dalam mandi yaitu mebersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada dibawah rambut. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda.

تَأْخُذُ إِحْدِاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتُطَهِّرَ فَتُحْسِنَ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فُرْصَةً مُمسَكَة – أَيْ قِطْعَةَ قُمَّاشٍ فِيْهَا مِسْكٌ- فَتُطَهِّر بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: كَيْفَ تُطَهِّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ الله، فَقَالَتْ عَائِشَـةُ لَهَا: تَتْبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ

“Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air di bagian atas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. “Asma bertanya : “Bagaimana bersuci dengannya ?” Nabi menjawab : “Subhanallah”. Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata :”Ikutilah bekas-bekas darah”.

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/1398-iddah-talak-dihitung-dengan-haid-keputusan-bebasnya-rahim-dan-kewajiban-mandi.html
ISTIHADHAH DAN HUKUM-HUKUMNYA
https://t.me/almanhajmuslimah

MAKNA ISTIHADHAH
Istihadhah ialah keluarnya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.

Dalil kondisi pertama, yakni keluarnya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ. وفي رواية: أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر

“Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci ” Dalam riwayat lain “Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci. ”

Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata:

يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصحح، ونقل عن الإمام أحمد تصحيحه وعن البخاري تحسينه

“Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali.[1]

KONDISI WANITA MUSTAHADHAH
Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
1. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ (( قَالَ: لاَ، إِنَّ ذَلَكَ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتَ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ )) .. رواه البخاري

“Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. “[Hadits riwayat Al-Bukhari]

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy:

امْكُثِيْ قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ

“Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat. ”

Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biar pun darah pada saat itu masih keluar.

2. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental,. atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/1432-makna-istihadhah-dan-kondisi-wanita-mustahadhah.html
NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA
https://t.me/almanhajmuslimah

MAKNA NIFAS
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas.” Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari’at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.”

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.

HUKUM-HUKUM NIFAS
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:

1. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.

3. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.

4. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha’ wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ‘ dari Madzhab Hanbali.

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/1684-nifas-dan-hukum-hukumnya.html
PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN
https://t.me/almanhajmuslimah

PENCEGAH HAID
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tapi dengan dua syarat:
1. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman Allah Ta ‘ala:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“… Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,…” [Al-Baqarah/2: 195]

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“… Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.” [An Nisa’/4: 29]

2. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan denganya. Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat pencegah haid saat itu kecuali dengan izin suami.

PERANGSANG HAID
Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid, dengan dua syarat:

1. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya, seorangwanita menggunakan alat perangsang haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.

2. Dengan seizin suami karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami isteri. Maka tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat yang dapat menghalangi hak sang suami kecuali dengan restunya. Dan jika si isteri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih boleh rujuk

PENCEGAH KEHAMILAN
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
1. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah ketunaan Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam agar memperbanyakjumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.

2. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengaturjarak kehamilannya menjadi dua tahunsekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya Dalilnya,bahwa para sahabat pernah melakukan ‘azl terhadap isteri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. ‘Azl yaitu tindakan – pada saat bersenggama – dengan menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si isteri.

PENGGUGUR KANDUNGAN
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua macam:
1. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tidak syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar yang benar.

Baca selengkapnya https://almanhaj.or.id/1845-penggunaan-alat-pencegah-atau-perangsang-haid-pencegah-kehamilan-dan-penggugur-kandungan.html
APAKAH ISTERI WAJIB MANDI TANPA ORGASME DALAM RAHIM?
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
https://t.me/almanhajmuslimah

Apakah isteri saya wajib mandi janabah pada saat dimasuki ketika bersetubuh, tetapi tanpa orgasme dalam rahim. Apakah dia wajib mandi ketika sperma masuk dalam rahimnya, ataukah dia cukup mencuci tubuhnya dan anggota tubuhnya saja?

Jawaban
Ya, dia wajib mandi jika dimasuki walaupun sedikit; berdasarkan hadits:

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرَبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota tubuh wanita (menindihnya) kemudian menggaulinya, maka ia wajib mandi, meskipun tidak mengalami orgasme.”

Dan hadits.

إِذَا الْتَقَى خِتَانَانِ، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ

“Jika dua kemaluan telah bertemu, maka wajib mandi.” [1]

Demikian pula dia wajib mandi seandainya sperma masuk ke dalam rahim, karena dimasuki dan mengalami orgasme pada umumnya. Tetapi cukup dengan berwudhu’ jika hanya sekedar bersentuhan tanpa memasukinya. [2]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
_____
Footnote
[1]. HR. Muslim (no. 349) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 108) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 608) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 3686), Malik (no. 104) kitab ath-Thahaarah.
[2]. Dinisbatkan oleh penulis kitab Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 37), kepada Fataawaa al-Mar-ah.
MANDINYA SEORANG PEREMPUAN YANG MENYANGGUL RAMBUTNYA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Bagaimana menurut pendapat ulama mengenai wanita setelah masa haidh atau nifas kemudian mandi besar tanpa membuka sanggul atau kepang rambutnya? Ini berdasarkan hadits: Telah berkata Ummu Salamah kepada Nabi: “Saya ini seorang perempuan yang menyanggul rambut. Lantaran itu, apakah saya harus membuka sanggul itu bagi mandi haidh atau janabat?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak usah, tetapi cukuplah engkau menyiram kepalamu tiga kali, engkau sudah bersih”. [HR Muslim]

Jawaban.
Hadits yang ditanyakan berbunyi:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ

“Dari Ummu Salamah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Aku berkata: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya aku seorang wanita yang sangat baik mengepang rambutku. Lalu apakah aku melepasnya untuk mandi janabah?” Beliau menjawab: “Tidak usah, cukuplah bagimu menuangkan air ke kepalamu tiga kali caukan, kemudian basahilah tubuhnya dengan air, maka engkau telah bersuci”. [HR Muslim]

Memang Imam Muslim menyampaikan perbedaan riwayat dalam hal ini. Beliau katakan:

وَفِي حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ فَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ

“Dalam hadits Abdur-Razaq, berbunyi: “Apakah aku lepas karena haidh dan junub?”

Tentang hadits ini, Imam Muslim menjelaskan, di dalam sanadnya terdapat Ayyub bin Musa yang diambil riwayatnya oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ruh bin al Qasim dan Sufyan ats-Tsauri. Sufyan bin ‘Uyainah dan Ruh bin al Qasim meriwayatkan darinya, tanpa tambahan kata (الْحَيْضَةَ).

Sedangkan Sufyan ats-Tsauri diriwayatkan darinya oleh Abdur-Razaq dan Yazid bin Zurai’. Yazid sendiri meriwayatkan hadits ini dari ats-Tsauri, juga tanpa tambahan kata tersebut. Sehingga Abdur-Razaq menyelisihi Yazid dan para perawi tsiqah lainnya yang tidak meriwayatkan tambahan ini. Karena itu, Ibnul Qayyim menghukumi tambahan kata ini syadz (lemah karena menyelisihi yang lebih shahih). Demikian juga Syaikh Mushthofa al ‘Adawi di dalam Jami’ AhkamuNisaa’ (1/109).

Hadits Ummu Salamah ini jelas menunjukkan tidak wajib melepas ikatan rambut atau kepang rambut atau sanggul ketika seorang wanita mandi dari janabat. Demikianlah yang diamalkan dipahami oleh para ulama.

Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Demikian inilah yang diamalkan dipahami oleh para ulama. Yaitu bila seorang wanita mandi dari janabat, lalu tidak melepas kepang rambutnya, maka mandinya sah setelah menyiram air ke atas kepalanya”.[1]

Ibnul Qayyim berkata: “Hadits Ummu Salamah ini menunjukkan, bahwa wanita tidak wajib melepas kepang rambutnya untuk mandi janabat. Dan ini telah disepakati para ulama, kecuali yang dikisahkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru dan Ibrahim an-Nakha’i. Bahwasanya keduanya mengatakan, wanita harus melepasnya. Namun (demikian), tidak diketahui adanya kesepakatan di antara keduanya. ‘Aisyah sendiri mengingkari pendapat ‘Abdullah dan berkata: ‘Aneh sekali Ibnu ‘Amru ini. (Dia) memerintahkan wanita bila mandi untuk melepas kepang rambutnya. Sekaligus saja ia perintahkan para wanita untuk mencukur gundul kepala mereka. Aku, dulu, pernah mandi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana. Aku menyiramkan air ke kepalaku tidak lebih dari tiga kali’.” [HR Muslim][2]
Ibnu Hazm mengatakan: “Wanita tidak wajib menyela-nyela rambut ubun-ubunnya atau (melepas) kepangnya pada mandi janabat saja”.[3]

Asy-Syaukani mengatakan: “Hadits ini menunjukkan, tidak wajibnya wanita melepas kepang rambutnya”.[4]

Ash-Shan’ani mengatakan: “Hadits ini sebagai dalil yang menunjukan, tidak wajibnya bagi wanita melepas kepang rambutnya pada waktu mandi dari janabat dan haidh”.

Kesimpulannya :Para ulama hampir sepakat, tidak wajibnya wanita melepas kepang rambutnya pada waktu mandi janabat, selama air bisa sampai ke dasar kepala. Dan yang masih menjadi perbedaan pendapat, yaitu dalam masalah mandi setelah selesai haidh. Yang rajih adalah tidak wajib, sebagaimana pendapat madzhab Syafi’i dan Syaikh Mush-thafa al ‘Adawi di dalam Jami’ Ahkamun-Nisaa’. Wallahu a’lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1]. Sunan at-Tirnidzi (1/176).
[2]. Lihat pernyataan beliau ini dalam catatan kaki di kitab ‘Aunul Ma’bud (1/292).
[3]. Al Muhalla (2/37).
[4]. Nailul-Authar (1/250).
MANDI JUM’AT DAN BERHIAS, APAKAH UMUM UNTUK LELAKI DAN WANITA?
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Mandi Jum’at dan berhias pada hari itu, apakah umum untuk lelaki dan wanita? Bagaimana hukum mandi sebelumnya, yaitu sehari atau dua hari sebelumnya?

Jawaban
Hukum ini hanya khusus bagi lelaki karena ialah yang menghadiri Jum’at, dan ialah yang diminta untuk berhias ketika keluar. Sedangkan wanita tidak diminta untuk itu. Tetapi setiap orang jika pada tubuhnya terdapat kotoran sudah sewajarnya untuk membersihkannya. Karena hal itu termasuk perkara terpuji yang tidak layak untuk ditinggalkan.

Adapun melakukan mandi Jum’at sehari atau dua hari sebelumnya maka hal ini tidak berfaedah, karena hadits yang menerangkan hal ini menyebutkan bahwa mandi Jum’at khusus dikerjakan pada hari Jum’at mulai terbit fajar sampai menjelang shalat jum’at. Inilah waktu mandi Jum’at, sedangkan melakukannya sehari atau dua hari sebelumnya, maka hal itu tidak berpahala sebagai mandi Jum’at. Dan Allah lah yang member taufiq

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Furqan Syuhada,Qosdi Ridwanullah. Terbitan Pustaka Arafah]
WAJIB MANDIKAH WANITA YANG BERMIMPI (MIMPI BASAH)
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah seorang wanita mengalami mimpi (mimpi basah) ? jika ia mengalami mimpi itu, apakah yang ia lakukan? Dan jika seorang wanita mengalami mimpi itu kemudian ia tidak mandi, apakah yang harus ia lakukan ?

Jawaban:
Terkadang wanita itu mengalami mimpi (mimpi basah), sebab kaum wanita adalah saudara kaum pria, jika kaum pria mengalami mimpi maka demikian pulalah halnya wanita. Jika seorang wanita mengalami mimpi dan tidak keluar cairan syahwat pada saat bangun dari tidurnya, maka tidak ada kewajiban bagi wanita itu untuk mandi. Akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan adanya air dari kemaluannya, maka wanita itu diwajibkan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Sulaim yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mandi jika ia bermimpi ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاء

” Ya, jika ia melihat air”

Jadi jika mimpi itu menyebabkan keluar air maka wajib baginya untuk mandi.

Jika mimpi itu telah berlalu lama sekali dan mimpi itu tidak menyebabkan keluar air maka tidak ada kewajiban mandi atasnya, akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan keluarnya air maka hendaknya ia menghitung berapa shalat yang telah ia tinggalkan lalu hendaknya ia melaksanakan shalat yang ia tinggalkan itu.

[Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/20]

[Disalian dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atol Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan terbitan Darul Haq. Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]
BERSHAMPO SAAT MANDI JUNUB
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri MA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Kepada redaksi Majalah As-Sunnah, saya punya pertanyaan sebagai berikut:

1. Bolehkah menggunakan sabun dan shampo ketika mandi junub, dengan tujuan agar lebih bersih Dan untuk membantu agar yakin air telah merata ke seluruh bagian tubuh?

2. Sah kah mandi seseorang jika hanya berniat mandi junub kemudian meratakan air ke seluruh rambut dan kulit, layaknya mandi biasa, tanpa berwudhu terlebih dahulu, namun dengan niat menghilangkan hadast besar?

Demikian pertanyaan saya, mohon jawabannya. Terima kasih, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jawaban.
2. Mandi junub dengan menggunakan sabun dan shampo agar lebih bersih dan merata ke seluruh tubuh diperbolehkan dalam syari’at bahkan bisa menjadi sunnah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mandi sering menggunakan sidr (daun bidara). Apalagi tujuannya itu agar lebih bersih dan wangi, maka itu lebih dianjurkan lagi, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai kebersihan dan menyukai wewangian. Dan yang terpenting, penggunaan sabun dan shampoo tidak bertentangan dengan syari’at mandi junub.

2. Mandi junub dengan meratakan air ke seluruh tubuh tanpa diawali dengan berwudhu’ itu juga sah. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma ketika beliau Radhiyallahu anhuma bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi junub. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكَ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ ثُمَّ تَفِيْضِيْ عَلَى سَائِرِ جَسَدِكِ مِنَ الْمَاءِ فَإِذَا أَنْتِ قَدْ طَهُرْتِ

Kamu cukup menuangkan air di atas kepalamu sebanyak tiga kali kemudian setelah itu menyirami seluruh badanmu dengan air, dengan demikian berarti kamu sudah suci

[HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam shahihul jami’ no. 2385]

Dalam hadits ini tidak dijelaskan kewajiban berwudhu’ sebelum mandi. Berdasarkan ini diketahui bahwa berwudhu sebelum mandi itu hukumnya sunnah.

Bahkan cara ini juga biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu ketika beliau ditanya tentang tata cara mandi janabah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَمَّا أَنَا فَأُفِيضُ عَلَى رَأْسِى ثَلاَثًا

“Adapun aku, maka aku cukup menyiramkan air dari atas kepalaku sebanyak tiga kali”. [Muttafaqun ‘alaih]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
MANDI WAJIB ORANG YANG LUKA DI KEPALA
https://t.me/almanhajmuslimah

Pertanyaan.
Ustadz, saya mau bertanya, bagaimana cara mandi besar orang yang kepalanya tidak boleh kena air karena baru selesai operasi akibat tumor otak dan sedang menjalani penyinaran ? Mohon jawabannya ! Jazâkumullâhu khairan.

Jawaban.
Pertama-tama kami berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla , semoga saudara yang tertimpa musibah ini segera diberi kesembuhan oleh Allâh Azza wa Jalla dan semoga saudara diberi kekuatan untuk bersabar.

Selanjutnya, mengenai pertanyaan saudara, maka kami berpendapat bahwa keadaan yang saudara tanyakan merupakan salah satu diantara udzur (alasan) yang dibenarkan syari’at untuk tidak mandi. Karena ada dikhawatirkan, air dapat memperparah penyakit atau memperlambat kesembuhan dan bisa jadi membahayakan penderita.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Menurut pendapat mayoritas Ulama, dalam (pelaksanaan) tayammum tidak disyaratkan kekhawatiran akan binasa. Bahkan orang yang (jika) wudhu menambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhan maka dia bertayammum. Demikian juga dalam puasa dan ihrâm (haji) dan orang yang sakit dengan sebab menggunakan air karena dingin, maka ia seperti orang yang sakit menurut pendapat mayoritas Ulama.[1] Oleh karena itu, orang yang khawatir sakit dan bahaya karena sakit, luka atau cuaca sangat dingin, maka diperbolehkan tayammum. Hal ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Penyayang kepadamu.[an-Nisâ’/4:29]

Pemahaman ini pernah diamalkan oleh sahabat yang mulia ‘Amru bin Ash Radhiyallahu anhu ketika junub di hari yang sangat dingin. Dalam sebuah hadits yang beliau tuturkan sendiri :

احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنْ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي الصُّبْحَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي مَنَعَنِي مِنْ الِاغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا

Aku bermimpi “basah” pada satu malam yang dingin dalam peristiwa perang Dzât as-Salâsil, lalu aku khawatir akan binasa bila mandi. Oleh karena itu aku bertayammum. Kemudian aku shalat mengimamai para sahabatku shalat Shubuh. Lalu mereka menceritakan peristiwa ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai ‘Amru, benarkan kamu shalat mengimami para sahabatmu dalam keadaan junub ?” Lalu aku menceritakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang menghalangiku mandi dan aku katakan bahwa aku mendengar Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allâh adalah Maha Penyayang kepadamu. (an-Nisâ’/4:29). Lalu Rasûlullâh tertawa dan tidak mengucapkan sesuatu. [HR Ahmad dan Abu Daud dan dinilai shahih oleh syaikh al-Albâni dalam shahih sunan Abu daud no.323]

Demikian juga pernah terjadi satu peristiwa yang mengakibatkan hilangnya nyawa seorang penderita luka di kepala karena mandi wajib dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah besar lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tayammum sudah cukup baginya sebagai ganti mandi wajib.