Kajian Kitab al-Fawaidul Mukhtaroh
3.8K subscribers
5 photos
5 videos
2 files
50 links
Kitab yang ditulis Al Habib Ali bin Hasan Baharun ini adalah salah satu kitab yang berisi kumpulan hikmah dan ilmu yang sangat penting yang didengar dari Gurunya Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith dalam masa belajarnya di Madinah dan referensi lainnya.
Download Telegram
*Footnote 26*
__________

*MENGENAL KITAB TUHFATU AL-MUHTAJ KARYA IBNU HAJAR AL-HAITAMI*

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Kitab ini disebut “Tuhfatu Al-Muhtaj” (تحفة المحتاج) dan kadang disingkat menjadi “At-Tuhfah”. Berbicara kitab ini tentu saja mau tidak mau kita harus berbicara dengan dua kitab yang terkait dengannya yaitu kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi dan “Al-Muharror” karya Ar-Rofi’i. Silakan dipelajari terlebih dahulu dua kitab ini agar lebih mudah mengikuti resensi ini. Dua kitab tersebut telah saya buatkan catatan dalam artikel berjudul “Minhaj Ath-Tholibin, Kitab An-Nawawi yang Fenomenal” dan “Mengenal Al-Muharror, Kitab Masterpiece Ar-Rofi’i”. Secara khusus untuk menyingkap hubungan “Al-Muharror” dengan “Al-Wajiz” saya juga telah membuat catatan tersendiri berjudul “Apakah Al-Muharror Karya Ar-Rofi’i Adalah Mukhtashor dari Al-Wajiz Karya Al-Ghazzali?”.

Kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” secara umum bisa dikatakan memiliki hubungan “kekerabatan” dengan “Mukhtashor Al-Muzani”. Katakanlah, “Mukhtashor Al-Muzani” sesungguhnya adalah “mbahnya” kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” ini (resensi “Mukhtashor Al-Muzani” lebih detail bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Mengenal Mukhtashor Al-Muzani”). Bagaimana penjelasannya?

Syahdan, setelah beberapa abad semenjak “Mukhtashor Al-Muzani” ditulis, bangkitlah Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Imamul Haromain untuk membuat syarah terhadap karya Al-Muzani itu dalam karya besar berjudul “Nihayatu Al-Mathlab” (resensi “Nihayatu Al-Mathlab” lebih detail bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Mengenal Kitab “Nihayatu Al-Mathlab” Karya Al-Juwaini”).

Kitab besar ini kemudian diringkas oleh Al-Ghozzali dalam kitab berjudul “Al-Basith”. Lalu kitab “Al-Basith” ini karena masih dianggap tebal diringkas lagi menjadi “Al-Wasith”. Setelah itu kitab “Al-Wasith” diringkas lagi menjadi “Al-Wajiz”. “(resensi “Al-Wajiz” lebih detail bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Mengenal Kitab Al-Wajiz, “Mukjizat” Al-Ghozzali).

Kitab “Al-Wajiz” ini kemudian disyarah oleh Ar-Rofi’i dalam karya fenomenalnya yang menunjukkan hasil kerja keras dan cemerlang dalam hal tahrir mazhab, yakni kitab yang bernama “Al-‘Aziz” atau disebut juga “Asy-Syarhu Al-Kabir”. Orang kadang juga menyebutnya “Fathu Al-‘Aziz’ atau “Al-Fathu Al-‘Aziz”. “(resensi “Al-‘Aziz” lebih detail bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Mengenal Kitab Al-Fathu Al-‘Aziz Karya Ar-Rofi’i”).

Nampaknya, ditengah-tengah Ar-Rofi’i menyusun syarah terbesarnya ini, ter-abstraksikanlah kesimpulan-kesimpulan kerja tahrir mazhab itu. Semuanya dikumpulkan Ar-Rofi’i dalam kitab ringkas, padat dan berisi berjudul “Al-Muharror”.

Dari kitab “Al-Muharror” ini kemudian bangkitlah An-Nawawi membuat ringkasannya sekaligus tambahan-tambahan dan editing. Ringkasan An-Nawawi ini di kemudian hari menjadi kitab fenomenal yang kita kenal dengan nama “Minhaju Ath-Tholibin” atau sering disingkat “Al-Minhaj”. Kitab “Minhaju At-Tholibin” inilah yang disyarah oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab berjudul “Tuhfatu Al-Muhtaj” yang hendak kita ulas dalam catatan ini.

Lafaz “tuhfah” sesungguhnya adalah bentuk isim mashdar dari kata “athafa” (أتحف) yang bermakna “mempersembahkan”. Lafaz “muhtaj” bermakna “orang yang membutuhkan”. Jadi makna judul “Tuhfatu Al-Muhtaj” adalah “persembahan untuk orang yang butuh”. Seakan-akan Ibnu Hajar Al-Haitami mensifati syarahnya ini sebagai hadiah dan persembahan seorang saudara seiman kepada saudaranya yang lain yang membutuhkan ilmu fikih sebagai realisasi cinta karena Allah.

Terkadang lafaz “tuhfah” ini oleh sebagian ulama ketika hendak dijadikan judul buku diungkapkan dalam bentuh mashdar menjadi “Ithaf” (إتحاف). Jadi buku apapun yang diawali judul “tuhfah” atau “ithaf”, maka makna yang dimaksud pengarang adalah “persembahan”. (Perbedaan antara istilah “mashdar” dan “isim mashdar” saya ulas dalam buku MUNTAHA halaman 131)

Pengarang kitab ini adalah pendekar Asy-Syafi’iyyah fase kedua bernama Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H). Nama lengkap beliau Abu A
l-‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami. Beliau lahir di Mesir tahun 909 H di sebuah tempat bernama Abu Al-Haitam, area barat Mesir. Uraian lebih detail tentang Ibnu Hajar Al-Haitami dan perannya dalam mazhab Asy-Syafi’i bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Ibnu Hajar Al-Haitami Dan Ar-Romli, Pelanjut Asy-Syaikhan”.

Motivasi disusunnya syarah ini diterangkan sendiri oleh Al-Haitami dalam muqoddimah kitab ini, yakni keinginan lama beliau melakukan khidmat terhadap sebagian kitab An-Nawawi.

“Tuhfatu Al-Muhtaj” ditulis mulai 12 Muharram tahun 958 H di Mekah dan konon selesai dalam waktu hanya 6 bulan saja.

Kitab ini adalah referensi penting jika orang ingin mengetahui pendapat mazhab Asy-Syafi’i terkait dengan persoalan-persoalan fikih sampai zaman Ibnu Hajar Al-Haitami. Jika orang sanggup mentarjih sendiri terkait perselisihan Ar-Rofi’i dan An-Nawawi dalam beberapa persoalan, maka silakan langusng meneliti kitab-kitab Asy-Syaikhan. Tetapi jika belum sanggup, maka merujuk “Tuhfatu Al-Muhtaj” adalah sikap yang tepat karena semua soal ikhtilaf Asy-Syaikhan telah ditarjih di sini.

Metode Al-Haitami pada saat menulis kitab ini adalah meringkas “Minhaju Ath-Tholibin” dengan bertumpu pada syarah-syarahnya seperti “Al-Ibtihaj” karya Taqiyyuddin As-Subky, “Kanzu Ar-Roghibin” karya Jalaluddin Al-Mahalli, “Hasyiyah Abdul Haqq” dan lain-lain. Al-Haitami juga memberi jawaban terhadap persoalan-persoalan yang belum diulas dan juga menganalisis dalil dan meringkasnya.

Dibandingkan dengan “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar-Romli yang juga merupakan syarah “Minhaj Ath-Tholibin”, kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” lebih mendalam pembahasannya, lebih kokoh istidlal dan ta’lilnya, dan lebih padat isinya. Hanya saja “Nihayatu Al-Muhtaj” lebih mudah bahasanya. Mayoritas Asy-Syafi’iyyah di Hadhromaut, Syam, Kurdi dan Dagestan lebih mengutamakan “Tuhfatu Al-Muhtaj” daripada “Nihayatu Al-Muhtaj”.

Bisa dikatakan, Asy-Syafi’iyyah sesudah abad ke 7 H menjadikan dua kitab ini, yakni “Tuhfatu Al-Muhtaj” dan “Nihayatu Al-Muhtaj” sebagai rujukan utama dan menganggap pendapat apapun yang tidak sesuai dengan kesepakatan dalam dua kitab ini tidak dihitung sebagai pendapat mu’tamad mazhab Asy-Syafi’i.

Ibnu Hajar Al-Haitami wafat pada tahun 974 H.

رحم الله ابن حجر الهيتمي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/03/07/mengenal-kitab-tuhfatu-al-muhtaj-karya-ibnu-hajar-al-haitami/

***
Muafa
18 Jumada Ats-Tsaniyah 1439 H
*Footnote 27*
________

*MENGENAL KITAB “NIHAYATU AL-MUHTAJ” KARYA SYAMSUDDIN AR-ROMLI*

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Nama lengkap kitab ini sebagaimana disebutkan pengarang dalam muqoddimah adalah “Nihayatu Al-Muhtaj Ila Syarhi Al-Minhaj” (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج). Tujuan pengarang dalam menulis kitab ini memang ingin agar orang yang ingin mencari syarah bagus untuk kitab “Minhaju Ath-Tholibin” sudah cukup bertumpu padanya. Lafaz “Nihayah” sendiri bermakna “ujung penghabisan”. Seakan-akan kitab ini diharapkan pengarang menjadi ujung akhir dari sebuah pencarian orang yang melakukan perjalanan jauh untuk menguasai fikih mazhab Asy-Syafi’i.

Pengarangnya bernama Ar-Romli, sang muharrir mazhab Asy-Syafi’i fase kedua bersama Al-Haitami. Nama lengkap beliau Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah Ar-Romli. Beliau adalah rujukan fatwa bagi masyarakat Mesir selama hidupnya. Beliau juga dijuluki “Asy-Syafi’i Ash-Shoghir” karena kedalaman ilmunya dalam mazhab Asy-Syafi’i (terkait julukan ini bisa diperdalam pada catatan saya yang berjudul “Asy-Syafi’i “Junior””). Nisbah laqobnya diambil dari nama daerah yang disebut “Ar-Romlah”, yakni wilayah yang termasuk distrik “Al-Manufiyyah”, Mesir. Beliau lahir dan wafat di Kairo.

“Nihayatu Al-Muhtaj” adalah kitab fikih bermazhab Asy-Syafi’i yang merupakan syarah untuk kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Kitab ini sama terkenalnya dengan kitab “Tuhfatu Al-Muhtaj” karya Ibnu Hajar Al-Haitami dan “Mughni Al-Muhtaj” karya Al-Khothib Asy-Syirbini. Dua kitab ini telah saya buatkan catatan dalam artikel yang berjudul “Mengenal Kitab Tuhfatu Al-Muhtaj Karya Ibnu Hajar Al-Haitami” dan “Mengenal Kitab Mughni Al-Muhtaj Karya Al-Khothib Asy-Syirbini”

Kitab ini sangat penting dan kedudukannya sejajar dengan “Tuhfatu Al-Muhtaj” karena memuat hasil kerja keras Ar-Romli pada saat melakukan tahrir mazhab Asy-Syafi’i. Biasanya, jika orang ingin mempelajari fikih Asy-Syafi’i level “expert”, dua kitab ini yang direkomendasikan, setelah itu baru sejumlah hasyiyah seperti “Hasyiyah Az-Ziyadi”, “Hasyiyah Ibnu Qosim”, dan “Hasyiyah Al-Halabi”. Demikian pentingnya kitab ini sampai-sampai banyak ulama Syam yang datang ke Mesir dengan maksud untuk berguru dan mempelajari “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar-Romli ini.

Kitab ini dari sisi ketebalan bisa digolongkan syarah mutawassith (pertengahan). Dalam muqoddimahnya Ar-Romli menegaskan bahwa yang ditulis beliau hanyalah hukum-hukum yang disepakati seraya membuang soal-soal ikhtilaf antara sesama ulama Asy-Syafi’iyyah. Ar-Romli menulis,

مُقْتَصِرًا فِيهِ عَلَى الْمَعْمُولِ بِهِ فِي الْمَذْهَبِ، غَيْرَ مُعْتَنٍ بِتَحْرِيرِ الْأَقْوَالِ الضَّعِيفَةِ رَوْمًا لِلِاخْتِصَارِ فِي الْأَغْلَبِ

“Saya membatasi diri pada hukum-hukum yang sudah diamalkan dalam mazhab (Asy-Syafi’i) tanpa memberi perhatian pada aktifitas tahrir pendapat-pendapat lemah dengan maksud untuk meringkas secara umum” (“Nihayatu Al-Muhtaj” juz 1, hlm 12)

Ciri utama kitab ini adalah ringkas, mengandung tahrir mazhab Asy-Syafi’i hasil penelitian Ar-Romli dan menjelaskan pendapat mu’tamad. Bahasanya lebih mudah dan lebih enak ditelaah daripada “Tuhfatu Al-Muhtaj”.

Ar-Romli juga menjelaskan bahwa isi kitabnya adalah hasil “perasan” apa yang sudah ditulis oleh ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah mutaakkhirin, yakni sejumlah penelitian tahrir mazhab yang ditulis dalam syarah-syarah “Minhaj Ath-Tholibin”, syarah “Irsyadu Al-Ghowi”, Syarah “Al-Bahjah Al-Wardiyyah”, syarah “Roudhu Ath-Tholib”, Syarah “Manhaj Ath-Thullab” dan karangan-karangan ulama Asy-Syafi’iyyah yang semasa dengan Ar-Romli. Terutama sekali kitab ini meringkas dengan sangat bagus tiga kitab utama, yaitu “Kanzu Ar-Roghibin”, “Tuhfatu Al-Muhtaj”, dan “Mughni Al-Muhtaj”.

Di dalamnya Ar-Romli menjelaskan lafaz-lafaz An-Nawawi dalam “Minhaj Ath-Tholibin” yang mungkin masih samar, menguraikan kandungan maknanya, dan menyajikan hukum-hukum secara terperinci. Kadang-kadang Ar-Romli juga mensyarah panjang lebar jika diperlukan. Dalam kondisi tertentu beliau juga menjelaskan kaidah-kaidah fikih, menjelaskan “f
awaid fiqhiyyah” dan menjelaskan dalil-dalil hukum secara ringkas. Ar-Romli juga menambahi penjelasan fatwa dengan mengambil fatwa-fatwa ayahnya; Syihabuddin Ar-Romli dan sejumlah mufti lainnya.

Sampai di sini terkadang sebagian kaum muslimin mulai membandingkan mana yang lebih diunggulkan untuk dijadikan rujukan, apakah Ibnu Hajar Al-Haitami ataukah Syamsuddin Ar-Romli.

Sebagian kaum muslimin lebih mengutamakan Al-Haitami daripada Ar-Romli dengan alasan bahwa “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar-Romli ini banyak bertumpu pada “Tuhfatu Al-Muhtaj” karya Ibnu Hajar Al-Haitami. Banyaknya nukilan yang mengambil dari “Tuhfatu Al-Muhtaj’ dipandang sebagai bukti bahwa “Tuhfatu Al-Muhtaj” lebih ungggul daripada “Nihayatu Al-Muhtaj”.

Argumentasi ini dikuatkan dari informasi yang diperoleh oleh Muhammad Badzib pada saat membaca salah satu manuskrip dari Maroko. Menurut beliau, ada manuskrip yang menghubungkan kitab “Nihayatu Al-Muhtaj” dengan “Tuhfatu Al-Muhtaj”. Manuskrip tersebut berada di “Al-Khizanah Al-Hamrowiyyah” no 106 yang dipetik dari kitab “Tahni-atu Ahli Al-Islam Bi Bina-i Baitillahi Al-Harom” karya Ibrahim Al-Maimuni (w.1079 H). Muhammad Badzib membacanya dan dalam kitab tersebut ada tulisan tangannya serta ijazah untuk orang Maroko yang memiliki manuskrip tersebut. Secara ringkas, informasi riwayat yang ada dalam manuskrip itu adalah sebagai berikut.

Ibrohim Al-Maimuni mendengar dari gurunya; Asy-Syanawani, ia berkata, “Aku duduk bersama bersama Ibnu Hajar Al-Haitami ke arah Ka’bah. Kemudian datang seseorang yang berkata, ‘Sesungguhnya syaikh Muhammad Ar-Romli melakukan plagiat/penjiplakan terhadap karyamu yang mensyarah Al-Minhaj karya An-Nawawi lalu mengakui sebagai karangannya sendiri’. Saat itu juga Ibnu Hajar Al-Haitami langsung tersungkur bersujud syukur kepada Allah. Kemudian beliau berkata, “Sungguh, aku berharap agar tidak ada sedikitpun ilmu ini yang dinisbatkan kepadaku. Karena keinginanku…dari diriku. Hasil pencapaianku terhadap ilmu ini adalah untuk orang-orang agar mereka memanfaatkannya. Jika sudah terjadi hal itu, maka aku tidak peduli siapapun yang menjiplaknya.

Informasi dari manuskrip ini digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat bahwa Al-Haitami lebih unggul daripada Ar-Romli.

Hanya saja kesimpulan semacam ini masih menyisakan sejumlah catatan.

Di antaranya, aktivitas menukil tidak menunjukkan yang menukil keilmuannya selalu lebih rendah daripada yang dinukil. Alasannya, banyak ulama yang menukil tulisan ulama lain karena indahnya ungkapan dan dengan maksud tabarruk dengan karya mereka. Yang seperti ini banyak dilakukan baik dengan pernyataan lugas maupun tidak seperti yang dilakukan An-Nawawi dalam “Al-Majmu’” dan Al-‘Imroni dalam “Al-Bayan” yang mengutip ungkapan Asy-Syirozi. Termasuk Ar-Rofi’i dalam “Al-Fathu Al-‘Aziz/ Asy-Syarhu Al-Kabir” yang mengutip “Nihayatu Al-Mathlab” karya Al-Juwaini. Termasuk Ar-Rozi dalam “Al-Mahshul” yang mengutip ungkapan dalam “Al-Mustashfa” karya Al-Ghozzali.

Menukil ucapan karena motivasi indahnya ungkapan dan dengan maksud tabarruk di antaranya diungkapkan Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshori,

فهذا شرح لمختصري المسمى بـ ( لب الأصول) الذي اختصرت فيه جمع الجوامع يبين حقائقه، ويوضح دقائقه، ويذلل من اللفظ صعابه، ويكشف عن وجه المعاني نقابه، سالكا فيه غالبا عبارة شيخنا العلامة، المحقق الفهامة الجلال المحلي لسلاستها وحسن تأليفها، وروما لحصول بركة مؤلفها

“…(kitab) ini adalah syarah untuk mukhtashor saya yang bernama ‘Lubbu Al-Ushul’ yang saya ringkaskan dari kitab ‘Jam’u Al-Jawami’ untuk menjelaskan bahasan intinya, memperjelas soal-soal yang samar, menguraikan lafaz-lafaz sulit, dan menyingkap tabir yang menyelimuti maknanya. Dalam hal ini seringkali saya mengutip ungkapan syaikh kami Al-‘Allamah Al-Muhaqqih Al-Fahhamah Al-Jalal Al-Mahalli. Hal itu karena redaksi beliau halus dan indah susunannya, juga dalam rangka memperoleh berkah penulisnya” (Ghoyatu Al-Wushul Fi Syarhi Lubbi Al-Ushul, hlm 2)

Jadi, orang yang mengutip tidak selalu ilmunya lebih rendah dari yang dikutip. Al-Haitami sendiri dalam “Tuhfatu Al-Muhtaj” banyak mengutip hasyiyah gurunya ya
itu Ibnu Abdil Haqq As-Sanbathi (w.950 H) pada saat sang guru menulis hasyiyah terhadap “Kanzu Ar-Roghibin”.

Lagipula jika Ar-Romli diketahui kurang menonjol dalam melakukan tahqiq pada “Nihayatu Al-Muhtaj” dari pada Al-Haitami dalam “Tuhfatu Al-Muhtaj”, hal itu tidak serta merta menunjukkan Al-Haitami lebih berilmu daripada Ar-Romli. Paling jauh hal itu hanya menunjukkan menonjolnya Al-Haitami dalam melakukan tahqiq. Buktinya, para ulama mengakui bahwa Zakariyya Al-Anshori lebih berilmu daripada Al-Haitami. Hanya saja Zakariyya Al-Anshori tidak banyak melakukan tahqiq dan tahrir sehingga beliau tidak menonjol di bidang itu.

Lagipula Al-Haitami dari sisi zaman memang mendahului zaman Ar-Romli, karena Al-Haitami wafat pada tahun 977 H sementara Ar-Romli wafat pada tahun 1004 H sehingga wajar saja jika Ar-Romli mengutip darinya. Hal ini ditambah fakta bahwa “Tuhfatu Al-Muhtaj” memang sudah populer di Mesir sehingga wajar jika ulama Asy-Syafi’iyyah manapun akan memanfaatkannya.


Lagipula Ar-Romli diketahui telah membuat majelis kajian untuk menyampaikan isi “Nihayatu Al-Muhtaj” ini dihadapan sekitar 400 fuqoha Mesir agar bisa dikoreksi oleh mereka. Di antara 400 orang ini ada murid langusng Ibnu Hajar Al-Haitami seperti Az-Ziyadi dan selainnya. Fakta ini menunjukkan tingginya kualitas “Nihayatu Al-Muhtaj” yang bahkan diakui sendiri oleh murid-murid Al-Haitami.

Lagipula pungkasan para muhaqqiq (Khotimatu Al-Muhaqqiqin) seperti Al-Abbadi yang banyak memberikan perhatian terhadap karya-karya Al-Haitami ternyata malah mengunggulkan Ar-Romli daripada Al-Haitami. Selain itu Ar-Romli telah dikenal mendapatkan julukan sebagai “Asy-Syafi’i Ash-Shoghir”. Sebuah julukan yang tidak dimiliki Al-Haitami.

Ar-Romli sendiri dikenal sangat menghormati Al-Haitami sebagaimana tampak pada pujiannya yang tinggi seperti yang dikutip As-Saifi dalam kitab “Nafa-is Ad-Duror”. Al-Haitami juga memuji Ar-Romli dan ayahnya. Nahiruddin Ath-Thoblawi juga berguru pada Ar-Romli padahal usia Ar-Romli saat itu setara dengan anaknya. Zainuddin Al-Malibari murid Al-Haitami juga memuji keilmuan Ar-Romli. Ibnu Qosim juga memandang tidak pantas membuka majelis pengajian di saat Ar-Romli masih hidup. Bahkan ada yang mengatakan Syamduddin Ar-Romli adalah mujaddid abad 10 H setelah Zakariyya Al-Anshori.

Termasuk fakta juga, siapapun yang mengkaji “Tuhfatu Al-Muhtaj” termasuk hasyiyah-hasyiyah dan istidrokat-istidrokatnya kemudian mencoba untuk membandingkannya dengan “Nihayatu Al-Muhtaj”, dia akan mendapati bahwa “Nihayatu Al-Muhtaj” lebih “selamat” dari “i’tirodhot” dan lebih selamat dari sejumlah persoalan yang Ibnu Hajar Al-Haitami dikritik karenanya.

Dari sini wajar jika ada yang menyimpulkan, Ar-Romli mengambil hal-hal terbaik dari “Tuhfatu Al-Muhtaj” dan meninggalkan hal-hal yang karenanya Al-Haitami dikritik. Ar-Romli juga mengambil yang terbaik dari “Mughni Al-Muhtaj” karya Asy-Syirbini, lalu mengganti hal-hal dari keduanya yang dianggap Ar-Romli tidak mu’tamad dan diganti dengan yang dipandangnya mu’tamad. Ar-Romli juga menegaskan bahwa beliau membuang hal-hal ikhtilaf dalam kitabnya dan hanya menulis saripati hasil tahrir ulama-ulama mutaakhirin sampai masa beliau.

Oleh karena itu, yang paling adil adalah mengatakan bahwa masing-masing dari dua ulama besar ini yakni Al-Haitami dan Ar-Romli, keduanya memiliki kelebihan dan keistimewaan yang menonjol. Keduanya juga tercatat sebagai muharrir mazhab Asy-Syafi’i fase kedua setelah masa Asy-Syaikhan.

Kitab “Nihayatu Al-Muhtaj” menurut Umar Al-Bashri ¼ bagian pertama sejalan dengan “Mughni Al-Muhtaj” karya Al-Khothib Asy-Syirbini, lalu merujuk juga “Tuhfatu Al-Muhtaj” karya Ibnu Hajar Al-Haitami, juga dari ilmu-ilmu yang ditimba dari ayahnya sendiri yaitu Syihabuddin Ar-Romli serta sumber-sumber lainnya. Adapun bagian ¾-nya, cara menulisnya sejalan dengan “Tuhfatu Al-Muhtaj” dan diperkaya dari sumber-sumber lainnya.


Adapun hasyiyah terpenting dan terkenal untuk “Nihayatu Al-Muhtaj” ada dua yaitu “Hasyiyah Asy-Syabromallisi” (w.1087 H) dan “Hasyiyah Ar-Rosyidi” atau yang kadang disebut “Hasyiyah
Al-Maghribi” (w.1096 H).

Sejumlah penerbit tercatat pernah mempublikasikan kitab “Nihayatu Al-Muhtaj” seperti penerbit Mushthofa Al-Baby Al-Halaby, Dar Al-Fikr, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Dar Ihya’ At-Turots Al-‘Arobi, Al-Maktabah At-Tauqifiyyah dan lain-lain. Dar Al-Fikr menerbitkannya dalam 8 jilid disertai “Hasyiyah Asy-Syabromallisi” dan “Hasyiyah Ar-Rosyidi”.

Dar Ihya’ At-Turots Al-‘Arobi, Beirut Libanon menerbitkannya dalam 8 jilid dengan ketebalan 2742 hlm atas jasa tahqiq Ahmad ‘Azu ‘Inayah.

Syamsuddin Ar-Romli wafat tahun 1004 H.

رحم الله شمس الدين الرملي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/03/11/mengenal-kitab-nihayatu-al-muhtaj-karya-syamsuddin-ar-romli/

***
Muafa
22 Jumada Ats-Tsaniyah 1439 H
*Footnote 28*
________

*MENGENAL KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ KARYA Al-KHOTHIB ASY-SYIRBINI*

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
***

Kitab “Mughni Al-Muhtaj”(مغني المحتاج) adalah di antara syarah penting kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Nama singkatnya kadang disebut “Al-Mughni”. Nama lengkapnya sebagaimana disebutkan pengarang dalam muqoddimah adalah “Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj”. (مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج).

Makna “mughni” adalah sesuatu yang mencukupi, “muhtaj” bermakna orang yang membutuhkan. “Al-Minhaj” yang dimaksud di sini adalah mukhtashor karya An-Nawawi yang bernama “Minhaj Ath-Tholibin. Dengan demikian, melalui judul ini pengarang berharap siapapun yang butuh mengerti kitab “Minhaju Ath-Tholibin” secara lebih baik, menangkap makna-maknanya, dan menyingkap kandungan mutiaranya maka dia bisa bertumpu pada kitab “Mughni Al-Muhtaj” ini. Insya Allah dia tidak perlu bekerja terlalu keras yang melelahkan untuk memahami “Minhaj Ath-Tholibin”, malahan semua kebutuhannya akan terpenuhi dan dia akan terpuaskan.

Nama pengarang adalah Asy-Syirbini. Pelafalan yang lebih akurat untuk lafaz (الشربيني) adalah diucapkan dengan mengkasrohkan syin; Asy-Syirbini, bukan Asy-Syarbini atau Asy-Syirbuni atau Asy-Syurbuni atau Asy-Syarbani. Pembahasan lebih lanjut telah saya ulas dalam catatan di website irtaqi.net pada artikel yang berjudul “Asy-Syarbini Ataukah Asy-Syirbini?”

Nama lengkap pengarang adalah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Asy-Syirbini. Beliau berasal dari tempat yang bernama Syirbin, sebuah daerah yang pada zaman sekarang masuk provinsi Dakahlia/Daqohliyyah (الدقهلية) di Mesir. Gelarnya “Al-Khothib” karena beliau memang terkenal sebagai khatib di masjid yang dinamai dengan namanya.

Beliau hidup di zaman pergolakan politik yang hebat di masanya. Sempat mengalami Daulah Mamalik di Mesir dan juga mengalamai masa-masa penaklukan Sultan Salim I dari Daulah Utsmaniyyah ke Mesir. Beliau berguru kepada Ahmad Al-Burullusi yang terkenal mengarang hasyiyah ‘Amiroh. Beliau juga berguru kepada Syihabuddin ar-Romli, ayah dari Syamsuddin Ar-Romli, sang muharrir mazhab Asy-Syafi’i. Keluasan dan kedalaman ilmunya terlihat dari fakta bahwa beliau diizinkan mengajar dan berfatwa pada saat guru-gurunya masih hidup.

Ibadahnya dikenal kuat. Jika tiba bulan Ramadhan, maka mulai tanggal satu, beliau sudah beri’tikaf dan baru keluar dari i’tikaf saat salat ied. Jika berhaji, beliau tidak mau naik kendaraan kecuali setelah kepayahan yang sangat. Kadang-kadang makan malamnya diberikan pengemis yang datang sehingga beliau bermalam dalam keadaan lapar.

Kitab ini ditulis Asy-Syirbini setelah beliau rampung menulis kitab syarah untuk kitab “At-Tanbih” karya Asy-Syirozi. Motivasi menulis kitab ini adalah atas saran dan rekomendasi kawan-kawannya. Ketika mendapat saran ini, awalnya beliau ragu. Tetapi setelah beliau mendapatkan kesempatan berziarah ke makam Nabi ﷺ, salat dua rakaat dan beristikharah, ternyata Allah melapangkan dadanya. Karena itu, ketika pulang beliaupun mulai mantap menulis syarah ini. Mulai penulisan kira-kira tahun 959 H.

Dalam mensyarah, Asy-Syirbini menelaah semua syarah dan hasyiyah “Minhaj Ath-Tholibin” yang sanggup beliau jangkau pada zamannya kemudian meringkasnya. Beliau juga mengambil manfaat dengan mengkaji karya-karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshori. Saat mengarang kitab ini, Asy-Syirbini juga banyak menukil dari Syihabuddin Ar-Romli dan syarah Ibnu Syuhbah terhadap “Minhaj Ath-Tholobin”.

Kerja Asy-Syirbini dalam kitab ini adalah menjelaskan ungkapan-ungkapan samar dalam “Minhaj Ath-Tholibin”, menguraikan mafhum dari manthuqnya dan menyingkap mutiara-mutiara ilmu yang terpendam di dalamnya. Dalam menulis, beliau cenderung fokus pada inti persoalan dan tidak bertele-tele. Setiap penjelasan hukum juga tak lupa diterangkan dalil dan ta’lilnya. Jika ada ikhtilaf dikalangan ash-habul wujuh dan ulama Asy-Syafi’iyyah muta’akhkhirin, beliau menjelaskan mana pendapat yang mu’tamad. Bab-babnya disusun dengan rapi, ushul dan furu’nya juga ditahqiq de
ngan teliti. Jika ada hadis yang perlu ditakhrij maka beliau menerangkan takhrijnya. Adapun terkait ukuran kitab, Asy-Syirbini memutuskan dibuat mutawassith (pertengahan).

Adapula sejumlah istilah khusus yang dipakai Asy-Syirbini yang beliau terangkan dalam muqoddimah kitab. Istilah-istilah ini perlu kita ketahui dan kita perhatikan dengan seksama agar kitab ini bisa dikaji lebih lancar nan nikmat. Penjelasan istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut.

Jika Asy-Syirbini menulis “syaikhuna” (شيخنا), maka beliau memaksudkan Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshori. Jika disebut “Syaikhi” (شيخي) maka hal itu bermakna guru langsung Asy-Syirbini yaitu Syihabuddin Ar-Romli. Jika disebut Asy-Syarih (الشارح) maka Asy-Syirbini memaksudkan Jalaluddin Al-Mahalli yang mensyarah “Minhaju Ath-Tholibin” dalam kitab berjudul “Kanzu Ar-Roghibin”. Jika Asy-Syirbini menyebut “Asy-Syaikhon” (الشيخان), atau “qoolaa” (قالا), atau “naqolaa” (نقلا) maka beliau memaksudkan An-Nawawi dan Ar-Rofi’i. Jika Asy-Syirbuni menyebut kata “tarjih” (الترجيح) secara mutlak, maka beliau memaksudkan tarjih terkait hasil tahrir Ar-Rofi’i dan An-Nawawi. Jika bukan terkait pendapat mereka berdua, maka Asy-Syirbini akan menisbatkan tarjih tersebut kepada orang yang menyatakannya.

Sejumlah penerbit telah mencetak kitab ini seperti “Dar Al-Hadits”, “Dar Al-Ma’rifah”, “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah” dan lain-lain.

Dar Al-Ma’rifah di Beirut, Libanon mencetak “Mughni Al-Muhtaj” dalam 4 jilid atas jasa tahqiq Muhammad Kholil Al-‘Itani dengan ketebalan sekitar 2600-an halaman.

Al-Khothib Asy-Syirbini wafat setelah Ashar di Kairo, hari Kamis pada tanggal 2 Sya’ban tahun 977 H dan dimakamkan di kota tersebut.

رحم الله الخطيب الشربيني رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/03/09/mengenal-kitab-mughni-al-muhtaj-karya-al-khothib-asy-syirbini-2/

***
Muafa
20 Jumada Ats-Tsaniyah 1439 H
*Footnote 29*
________

*MENGENAL KITAB “HASYIYAH AL-JAMAL*

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

***

Nama asli kitab ini adalah “Futuhat Al-Wahhab”. Lengkapnya, “Futuhat Al-Wahhab bi Taudhihi Syarhi Manhaj Ath-Thullab” (فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب). Adapun di masyarakat, kitab ini lebih dikenal dengan nama “Hasyiyah Al-Jamal” atau “Hasyiyah Al-‘Ujaili”.

Lafaz “futuhat” adalah bentuk jamak dari “futuh”. Lafaz “futuh” sendiri adalah bentuk jamak dari “fath”. Jadi “futuhat” adalah jamaknya jamak. Makna “futuhat” dalam konteks ilmu secara mudah adalah “anugerah singkapan-singkapan ilmu (dari Allah)”. “Al-Wahhab” adalah salah satu nama Allah yang bermakna “Yang Maha Memberi”. Jadi, ketika pengarang memberi judul kitab ini dengan nama “Futuhat Al-Wahhab” seakan-akan beliau memaksudkan sebagai bentuk rasa bersyukur kepada Allah, karena kemampuan menulis kitab ini adalah berkat anugerah Allah yang berkenan membukakan ilmu kepada pengarang sehingga bisa menjelaskan ilmu fikih yang perlu diketahui kaum muslimin.

Kitab ini adalah “hasyiyah” untuk kitab Zakariyya Al-Anshori yang bernama “Fathu Al-Wahhab”(resensi lebih detail tentang “Fathu Al-Wahhab” bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Mengenal Kitab “Fathul Wahhab” Karya Zakariyya Al-Anshori”). Kita tahu, kitab “Fathu Al-Wahhab” adalah syarah untuk kitab Zakariyya Al-Anshori yang bernama “Manhaju Ath-Thullab”, sementara kitab “Manhaju Ath-Thullab” adalah ringkasan kitab “Minhaju Ath-Tholibin” karya An-Nawawi. Jadi, bisa kita simpulkan, kitab “Hasyiyah Al-Jamal” sesungguhnya masih ada hubungan “keturunan” dengan kitab “Minhaju Ath-Tholibin” karya An-Nawawi itu.

Pengarangnya bernama Al-Jamal atau dikenal juga dengan nama Al-Ujaili. Nama lengkap beliau, Abu Dawud Sulaiman bin Umar Al-Ujaili Al-Jamal. Asalnya dari Ujail, area barat Mesir. Beliau seperti An-Nawawi dalam hal rumah tangga, yakni dikenal hidup membujang seumur hidupnya dan tidak pernah menikah.

Ibnu Abdis Salam An-Nashiri mengatakan bahwa beliau adalah salah satu ayat Allah yang besar untuk makhluk-Nya karena memiliki hafalan yang luar biasa. Al-Jamal adalah orang yang buta huruf, tidak bisa menulis dan berhitung. Cara beliau belajar adalah meminta orang untuk membacakan ilmu tertentu yang ingin beliau pelajari, lalu beliau akan menghafalkan seluruh materi yang dibacakan kepada beliau. Seperti ini juga kira-kira cara beliau saat mengarang kitab.

Al-Jamal mempelajari kitab “Fathu Al-Wahhab” melalui proses talaqqi dan muthola’ah pribadi bersama sejumlah kawan-kawan beliau. Beliau juga sempat menelaah sejumlah hasyiyah yang lahir dari “Fathu Al-Wahhab” dan beliau menilai hasyiyah-hasyiyah tersebut belum memenuhi hak “Fathu Al-Wahhab” yang seharusnya. Menurut Al-Jamal, orang yang ingin memahami “Fathu Al-Wahhab” tidak cukup hanya bertumpu pada hasyiyah-hayisyahnya, tetapi memerlukan kajian terhadap syarah Ar-Romli berikut hasyiyah-hasyiyahnya. Sayangnya ini bukan pekerjaan mudah. Ada banyak kesulitan besar untuk menguasai penjelasan itu dan tidak semua orang sanggup menaklukkannya. Atas dasar inilah, Al-Jamal berminat membuatkan hasyiyah yang berfungsi memudahkan pelajar sehingga tidak perlu mengkaji sendiri kitab-kitab besar itu. Inilah motivasi utama Al-Jamal membuat hasyiyah ini.

Penulisan kitab ini rampung pada tahun 1184 H.

Sumber hasyiyah ini adalah syarah Ar-Romli terhadap “Fathu Al-Wahhab”, “Hasyiyah Asy-Syabromallisi”, “Hasyiyah Ar-Rosyidi”, “Hasyiyah Al-Halabi”, “Hasyiyah Al-Birmawi’, “Hasyiyah Ibnu Qosim”, “Hasyiyah Asy-Syaubari”, “Hasyiyah Az-Zayyadi”, “Syarah Ibnu Hajar Al-Haitami” dan Hasyiyah-hasyiyahnya, “Syarah Roudhu Ath-Tholib”, “Syarah Al-Bahjatu Al-Wardiyyah”, “Kanzu Ar-Roghibin”, “Hasyiyah Al-Qolyubi”, “Taqrir ‘Athiyyah Al-Ujhuri”, “Taqrir Asy-Syams Al-Hifni”, kitab-kitab lughoh, kitab-kitab tafsir, dan lain-lain.

Dari sisi isinya, “Hasyiyah Al-Jamal” fokus pada fikih mazhab Asy-Syafi’i dan ikhitlaf internalnya saja. Tidak membahas mazhab yang lain. Jadi, kitab ini cocok untuk mendalami mazhab Asy-Syafi’i, tapi tidak pas untuk kajian perbandingan mazhab
.

Jika dibandingkan dengan “Hasyiyah Al-Bujairimi” yang juga merupakan hasyiyah untuk kitab “Fathu Al-Wahhab”, ada yang berpendapat bahwa “Hasyiyah Al-Jamal itu mempengaruhi penulisan “Hasyiyah Al-Bujairimi”. Malahan, ada yang mengatakan bahwa “Hasyiyah Al-Bujairimi” itu hampir-hampir bisa dikatakan adalah bentuk ringkasan “Hasyiyah Al-Jamal” dengan tambahan sejumlah “taqrirot” di sana-sini. Memang, “Hasyiyah Al-Bujairimi” memiliki kelebihan daripada “Hasyyiyah Al-Jamal” dari sisi kekayaan “taqrirot”. “Hasyiyah Al-Jamal” banyak menukil saja, samentara “Hasyiyah Al-Bujairimi” bukan hanya menukil, tetapi juga mendiskusikan dan memperjelas.

Adapun istilah-istilah dan simbol yang digunakan oleh Al-Jamal dalam hasyiyah ini, maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Jika Al-Jamal menyebut “syaikhuna” (شيخنا), maka yang dimaksud adalah Asy-Syaikh ‘Athiyyah Al-Ujhuri, guru Al-Jamal yang buta itu. Untuk ulama-ulama yang lain, jika Al-Jamal mengutip dari mereka biasanya beliau akan langsung menyebutkan namanya. Jika ada pernyataan yang tidak disebutkan rujukannya, maka itu adalah hasil pemahaman pribadi Al-Jamal, itupun hanya terkait dengan pemahaman ungkapan bukan penjelasan hukum syara’.

Jika Al-Jamal melakukan kutipan langsung, maka diakhir kutipan akan diberi tanda (اه) yang bermakna “intaha” (selesai kutipan) kemudian disusul nama ulama yang menuliskan pendapat tersebut. Jika kutipannya diolah sedikit, maka Al-Jamal akan memberi tanda (اه من) yang bermakna “intaha min” (selesai kutipan, dari…). Contohnya kita kutipkan sedikit dari “Hasyiyah Al-Jamal” sebagai berikut,

وَمِنْهُمْ مَنْ عَرَّفَهَا بِالْإِطْلَاقَيْنِ فَقَالَ: ارْتِفَاعُ الْمَنْعِ الْمُتَرَتِّبِ عَلَى الْحَدَثِ أَوْ الْخَبَثِ أَوْ الْمَوْتِ أَوْ الْفِعْلِ الْمُحَصِّلِ لِذَلِكَ أَوْ الْمُكَمِّلِ لَهُ كَالتَّثْلِيثِ وَالْوُضُوءِ الْمُجَدَّدِ أَوْ الْقَائِمِ مَقَامَهُ كَالتَّيَمُّمِ اهـ مَدَابِغِيٌّ عَلَى التَّحْرِيرِ

“Sebagian ulama mendefinisikan thoharoh dengan dua pengertian (hakiki dan majasi). Mereka menyatakan, ‘(Thoharoh adalah) terangkatnya larangan yang disebabkan karena hadas, najis dan kematian. Atau (bisa juga definisi thoharoh adalah) perbuatan yang menimbulkan terangkatnya larangan tersebut, atau yang menyempurnakan terangkatnya larangan seperti melakukan tatslits (membasuh tiga kali), atau memperbarui wudhu, atau aktifitas yang mewakili wudhu seperti tayammum. Selesai. (dinyatakan oleh) Al-Madabighi (dalam hasyiyahnya) terhadap kitab (syarah) At-Tahrir. (Hasyiyah Al-Jamal, juz 1 hlm 28)

Dalam kutipan di atas ada tulisan اهـ yang kemudian disusul oleh kalimat

مَدَابِغِيٌّ عَلَى التَّحْرِيرِ

Hal ini bermakna, ulama yang dikutip Al-Jamal adalah Al-Madabighi dan pernyataan Al-Madabighi yang dikutip Al-Jamal secara langsung adalah semua ucapan sebelum tanda اهـ (intaha/selesai). Adapun lafaz “’alat tahrir” maka yang dimaksud adalah nama kitab yang berjudul “At-Tahrir”.

Maksud kitab “At-Tahrir” adalah kitab yang memiliki nama lengkap“Tahriru Tanqih Al-Lubab” karya Zakariyya Al-Anshori. Kitab “At-Tahrir” ini disyarah oleh Zakariyya Al-Anshori dalam kitab yang berjudul “Tuhfatu Ath-Thullab”. Nah, kitab “Tuhfatu Ath-Thullab” inilah yang dibuatkan hasyiyah oleh Al-Madabighi yang dikutip Al-Jamal pada ungkapan di atas.

Adapun simbol-simbol yang dipakai Al-Jamal, maka secara ringkas daftar simbol dan maknanya bisa dijelaskan sebagai berikut.

م ر atau م

bermakna, Al-Jamal mengutip dari Syamsuddin Ar-Romli. Ar-Romli adalah pengarang kitab “Nihayatu Al-Muhtaj” yang mensyarah kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi.

ع ش

bermakna, Al-Jamal mengutip dari Ali Asy-Syabromallisi. Nama lengkapnya Nuruddin Ali bin Ali Asy-Syabromallisi (w. 1087 H). Di antara karyanya adalah hasyiyah untuk “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar-Romli.

حل

bermakna, Al-Jamal mengutip dari Al-Halabi. Nama lengkapnya Nuruddin Ali bin Ibrohim Al-Halabi. Asalnya dari Halab, tapi lahir dan wafatnya di Mesir. Beliau juga punya hasyiyah terhadap “Fathu Al-Wahhab”

سم

bermakna, Al-Jamal mengutip dari Ibnu Qosim Al-‘Abbadi. Nama lengkapnya Syihabuddin Ahmad bin Qosim Ash-Shobbagh
Al-‘Abbadi. Beliau mengarang hasyiyah untuk “Tuhfatu Al-Muhtaj” karya Ibnu Hajar Al-Haitami, hasyiyah untuk “Al-Ghuror Al-Bahiyyah” karya Zakariyya Al-Anshori, dan hasyiyah untuk “Fathu Al-Wahhab” karya Zakariyya Al-Anshori.


زي

bermakna, Al-Jamal mengutip dari Az-Zayyadi. Nama lengkapnya Nuruddin Ali bin Yahya Az-Zayyadi (w. 1024 H). Di antara karyanya adalah hasyiyah untuk “Fathu Al-Wahhab” karya Zakariyya Al-Anshori.

Lebih detail masalah simbol-simbol ini insya Allah akan kita buatkan catatan tersendiri.

Adapun karya yang lahir dari “Hasyiyah Al-Jamal” ini, data yang tercatat adalah karya yang berupa mukhtashor. Sayangnya mukhtashor “Hasyiyah Al-Jamal” ini nama pengarangnya masih majhul (misterius). Manuskripnya tersimpan rapi di perpustakaan Vatikan dengan nomor penyimpanan 1234/1.

Adapun manuskrip “Hasyiyah Al-Jamal” ini, di antaranya bisa ditemukan di “Al-Maktabah Al-Azhariyyah di Kairo; Mesir, “Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah” di Kairo; Mesir, Khuda Bakhsh Oriental Library, di Patna Bihar; India, dan lain-lain.

Adapun penerbit yang tercatat pernah mencetaknya, di antaranya “Al-Mathba’ah Al-Maimaniyyah” tahun 1305 H, “Mathba’ah Mushthofa Muhammad” pemilik “Maktabah At-Tijariyyah Al-Kubro” pada tahun 1357 H, “Dar Al-Fikr” di Beirut, “Dar Ihya’ At-Turots Al-‘Aroby” di Beirut dalam 5 jilid, “Syarikatu At-Turots Li Al-Barmajiyyat”, “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah”, dan lain-lain.

“Dar Al-Fikr” di Beirut mencetak “Hasyiyah Al-Jamal” dalam 5 jilid dengan ketebalan sekitar 2800-an halaman.

Al-Jamal wafat tahun 1204 H.

رحم الله الجمل رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/04/19/mengenal-kitab-hasyiyah-al-jamal/

***
Muafa
3 Sya'ban 1439 H
*Footnote 30*
________

*MENGENAL KITAB “HASYIYAH AL-BUJAIRIMI*

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

***

Nama asli kitab ini sebagaimana diterangkan pengarang dalam muqoddimah adalah “At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid”(التَّجْرِيدَ لِنَفْعِ الْعَبِيدِ). Secara singkat terkadang disebut dengan nama “At-Tajrid”.

Makna bahasa “tajrid” jika terkait dengan kitab adalah “tahdzib/tanqiyah” (pembersihan). Jadi, dengan pemilihan kata “tajrid” ini berarti pengarang bermaksud untuk menulis sebuah kitab yang bersifat ringkas, berisi inti-inti pembahasan, seraya membuang hal-hal yang dianggap bertele-tele atau kurang urgensinya. Dengan kata lain, kitab “At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid” meskipun berupa hasyiyah, tetapi sifatnya adalah ringkasan.

Sebagian orang yang pernah menelaahnya memang ada yang mensinyalir bahwa Hasyiyah Al-Bujairimi ini adalah ringkasan dari kitab “Hasyiyah Al-Jamal”/”Futuhat Al-Wahhab” yang telah kita buatkan resensi sebelumnya (silakan dibaca tulisan yang berjudul “Mengenal Kitab “Hasyiyah Al-Jamal””). Oleh karena itu, wajar jika isi “Hasyiyah Al-Bujairimi” lebih ringkas dari pada “Hasyiyah Al-Jamal”. Lafaz “naf’i” bermakna memberi manfaat. Kata “abid” adalah bentuk jamak dari “abdun” yang bermakna hamba. Jadi, kira-kira makna lengkap “At-Tajrid li Naf’i Al-‘Abid” adalah sebuah karya yang sifatnya ringkas untuk memberi manfaat para hamba.

Nama pengarangnya adalah Al-Bujairimi (البجيرمي). Pelafalan yang lebih akurat adalah Al-Bujairimi (dengan mengkasrohkan ro’), bukan Bujairomi (dengan memfathahkan ro’) karena nama tersebut adalah nama dengan “wazan isim tashghir” sebagaimana dijelaskan oleh Az-Zabidi dalam “Taj Al’Arus”.

Nama lengkap beliau, Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bujairimi. Ini adalah nama lengkap yang tertera pada muqoddimah kitab ini. Lahirnya pada tahun 1131 H di Bujairim, sebuah desa di area barat Mesir. Saat kecil, beliau datang ke Kairo lalu belajar dan mengajar di Al-Azhar. Beliau dipuji sebagai faqih, muhaddits (ahli hadis), dan “khotimatul muhaqqiqin” (pamungkas para muhaqqiq). Beliau buta di akhir hayatnya.

Motivasi penulisan kitab ini adalah saran kawan-kawan al-Bujairimi. Barangkali beliau memaksudkan kawan-kawan ini adalah murid-muridnya, karena sudah biasa di kalangan ulama sebagai bentuk tawadhu untuk menyebut murid sebagai kawan atau sahabat. Saat mengarang kitab ini pun beliau merasa tidak layak. Akhlak tawadhu’ memang di antara ciri menonjol ulama.

Hasyiyah Al-Bujairimi adalah catatan pinggir penjelas untuk kitab Zakariyya Al-Anshori yang berjudul “Fathu Al-Wahhab”. Lebih akurat lagi, “Hasyiyah Al-Bujairimi” sesungguhnya adalah gabungan dari catatan-catatan dan penjelasan Al-Bujairimi terhadap kitab “Fathu Al-Wahhab” dan “Hasyiyah Asy-Syabromallisi” terhadap “Fathu Al-Wahhab” itu. Dua catatan ini dihimpun jadi satu kemudian diramu dengan penjelasan-penjelasan yang diperoleh Al-Bujairimi dari guru-gurunya, sehingga jadilah “Hasyiyah Al-Bujairimi” ini.

Telah kita ketahui melalui pembahasan sebelumnya, ulama yang membuat hasyiyah untuk kitab “Fathu Al-Wahhab” adalah Al-Jamal (w. 1204 H) dalam kitab yang berjudul “Hasyiyah Al-Jamal”. Selain Al-Jamal, ulama lain yang membuat hasyiyah untuk “Fathu Al-Wahhab” adalah Al-Bujairimi (w. 1221 H). Dua hasyiyah ini memang yang paling terkenal di masyarakat terkait catatan pinggir untuk “Fathu Al-Wahhab”. Jika dalam pembicaraan dibincangkan hasyiyah untuk “Fathu Al-Wahhab”, maka yang langsung teringat adalah “Hasyiyah Al-Jamal” dan “Hasyiyah Al-Bujairimi”.

Hasyiyah Al-Bujairimi untuk kitab “Fathu Al-Wahhab” ini di masyarakat dikenal dengan nama “Hasyiyah Al-Bujairimi”. Pada titik ini kita perlu sedikit jeli. Jika disebut “Hasyiyah Al-Bujairimi” maka yang dimaksud adalah hasyiyah karya Al-Bujairimi yang mensyarah kitab “Fathu Al-Wahhab”. Adapun jika disebut “Al-Bujairimi ‘Ala Al-Khothib” maka yang dimaksud adalah hasyiyah Al-Bujairimi yang mensyarah kitab “Al-Iqna’” karya Al-Khothib Asy-Syirbini yang merupakan syarah dari matan Abu Syuja’. Dua kitab ini, yakni “Hasyiyah Al-Bujairimi” dan “Al-Bujairimi ‘Ala Al-Khothib”
adalah dua kitab yang berbeda. Dua-duanya sama-sama terkenal.

Adapun susunannya, “Hasyiyah Al-Bujairimi” ditulis dengan urutan penyusunan bab-bab fikih seperti dalam kitab fikih pada umumnya. Dimulai bab ibadah, muamalah, nikah, jinayah, lalu diakhiri dengan bab “ummahatul aulad”. Jika Al-Bujairimi memandang perlu, pada saat membahas awal judul topik, dijelaskan alasan penempatan bab di tempat tersebut dan urgensinya.

Pada bab awal kitab, yakni bab “Khutbatu Al-Kitab” (istilah di negeri kita untuk bagian ini biasanya disebut dengan “pendahuluan” atau “pengantar penulis” atau “kata pengantar” atau “sekapur sirih)” Al-Bujairimi memberikan informasi menarik. Beliau mengatakan bahwa yang membuat pengantar kitab “Fathu Al-Wahhab” sebenarnya bukanlah Zakariyya Al-Anshori sendiri, tetapi putra beliau yang bernama Muhibbuddin. Malahan, bisa dikatakan bahwa seluruh kata pengantar kitab-kitab Zakariyya Al-Anshori yang membuatkan adalah putranya ini. Pengantar-pengantar kitab tersebut ditulis oleh Muhibbuddin di masa ayahnya hidup. Ada sedikit kisah tragis terkait putra Zakariyya Al-Anshori ini. Muhibbuddin wafat pada saat ayahnya masih hidup karena tenggelam di sungai Nil. Kematiannya ini menyebabkan Zakariyya Al-Anshori menjadi buta. Kebutaan tersebut adalah karena sering menangisinya sebagaimana butanya nabi Ya’qub karena menangisi nabi Yusuf selama bertahun-tahun.

Dari sisi isinya, Al-Bujairimi kadang-kadang menulis kutipan langsung dari “Hasyiyah Al-Jamal”. Kutipan ini jumlahnya lumayan banyak. Wajar, jika kemudian ada yang menyimpulan bahwa “Hasyiyah Al-Bujairimi” posisinya adalah seakan-akan menjadi “mukhtashor” bagi “Hasyiyah Al-Jamal” karena memang faktanya Al-Bujairimi banyak mengambil manfaat dari “Hasyiyah Al-Jamal”. Hanya saja, menegaskan bahwa “Hasyiyah Al-Bujairimi” itu ringkasan “Hasyiyah Al-Jamal” juga tidak benar, karena faktanya Al-Bujairimi banyak menuliskan “taqrirot” dan “tahrirot”, yakni penjelasan-penjelasan yang semakin mempertajam sebuah topik pembahasan yang dikemas dengan nalar kritis, diskusi dan tarjih. Aspek “taqrirot” ini menjadi ciri menonjol dari “Hasyiyah Al-Bujairimi” yang tidak terdapat pada “Hasyiyah Al-Jamal” yang hanya banyak menukil. Barangkali karena keistimewaan “taqrirot” ini pula yang membuat “Hasyiyah Al-Bujairimi” menjadi populer.

Jadi, jika tujuan kajian adalah memperkaya pemahaman, ulasan dan kritik terhadap nukilan tertentu maka merujuk “Hasyiyah Al-Bujairimi” adalah langkah yang tepat. Adapun jika tujuan kajian adalah kekayaan nukilan maka merujuk “Hasyiyah Al-Jamal” adalah langkah tepat.

Dari sisi pembahasan fikihnya, pendapat-pendapat internal mazhab Asy-Syafi’i diuraikan, disajikan dan diulas disertai tarjih mana pendapat yang paling kuat. Kitab ini tidak mengulas pendapat di luar mazhab Asy-Syafi’i. Jadi kitab ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan untuk perbandingan mazhab. Beberapa ungkapan yang diperlukan penjelasan kadang diuraikan Al-Bujairimi baik secara bahasa, urf maupun analisis i’robnya. Penyebutan dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah tidak disajikan dalam bentuk isti’ab (komplit-tuntas) tetapi sekedarnya saja. Barangkali Al-Bujairimi menganggap pembaca kitabnya memang sudah level ulama, sehingga tidak perlu lagi penjelasan dalil detail karena mereka sudah menguasainya secara umum.

Adapun untuk istilah yang dipakai di dalamnya, jika Al-Bujairimi dalam kitab ini menyebut lafaz syaikhuna (شيخنا) maka yang dimaksud adalah Al-‘Asymawi (الْعَشْمَاوِيُّ), guru langsung dari Al-Bujairimi. Dari syaikh Al-‘Asymawi ini, Al-Bujairimi meneguk ilmu beliau secara langsung dalam bentuk talaqqi dalam berbagai majelis. Majelis ilmu yang diasuh Al-‘Asymawi dan diikuti Al-Bujairimi diantaranya majelis yang mengkaji sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Trirmidzi, “Fathu Al-Wahhab”, “Tuhfatu Al-Muhtaj”, “Nihayatu Al-Muhtaj” dan lain-lain.

Adapun untuk ulama-ulama yang lain, Al-Bujairimi menyebut mereka dengan simbol dan singkatan-singkatan sebagaimana dipakai dalam “Hasyiyah Al-Jamal”. Arti singkatan-singkatan tersebut bisa dibaca pada artikel saya yang b
erjudul “Memahami Singkatan Nama Ulama Asy-Syafi’iyyah”.

Dengan melihat cara Al-Bujairimi menulis hasyiyah ini, bisa disimpulkan bahwa ilmu beliau adalah kombinasi ilmu yang didapatkan melalui proses talaqqi dan proses muthola’ah/membaca pribadi. Porsi ilmu yang didapatkan melalui proses muthola’ah lebih besar, dan seperti ini memang umumnya para ulama yang memiliki banyak karya tulis.

Saat Al-Bujairimi menyebut “syaikhuna”, artinya ilmu yang beliau tulis adalah ilmu yang didapatkan dari Al-‘Asymawi yang beliau dapatkan dari talaqqi. Tetapi, jika beliau menyebut ulama dengan singkatan maka itu adalah hasil muthola’ah.

Sebagian ulama mensyarah lagi “Hasyiyah Al-Bujairimi”. Syarah untuk hasyiyah dikenal dengan istilah “Taqrir”. Di antara yang membuat taqrir untuk “Hasyiyah Al-Bujairimi” adalah Muhammad Al-Marshofi yang dicetak bersama Hasyiyah Al-Bujairimi oleh “Al-Maktabah Al-Islamiyyah” di Diyar Bakr; Turki.

Manuskrip “Hasyiyah Al-Bujairimi” bisa ditemukan di Perpustakaan “Markaz Al-Malik Faishol li Al-Buhuts wa Ad-Dirosat Al-Islamiyyah” di Riyadh; Saudi Arabia, “Maktabah Makkah Al-Mukarromah” di Mekah, Saudi Arabia, “Al-Maktabah Al-Markaziyyah” bi Jami’ati Al-Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah di Riyadh; Saudi Arabia, “Al-Maktabah Al-Azhariyyah di Kairo; Mesir, “Maktabah Azh-Zhohiriyyah” di Damaskus; Suriah, “Al-Ashifiyyah” di Haidarabad; India, “Khuda Bakhsh Oriental Library” di Patna Bihar; India, dan lain-lain.

Di antara yang menerbitkannya, “Bulaq” dalam 4 jilid tahun 1309 H, Mushthofa Al-Baby Al-Halaby tahun 1340 H, 1345 H dan 1368 H, “Dar Al-Kutub Al-‘Arobiyyah Al-Kubro” di Mesir tahun 1330 H dalam 4 jilid, “Al-Maktabah Al-Islamiyyah” di Diyar Bakr Turki dalam 4 jilid, Dar Al-Fikr di Beirut dalam 4 jilid, “Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah” “Syarikatu At-Turots li Al-Barmajiyyat tahun 2015, dan lain-lain.

Al-Bujairimi wafat malam Senin, tanggal 13 Ramadhan tahun 1221 H.

رحم الله البجيرمي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi Situs: http://irtaqi.net/2018/05/05/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bujairimi/

***
Muafa
20 Sya'ban 1439 H
*Footnote 31*
________

*MENGAPA ZAKARIYYA AL-ANSHORI “KALAH PAMOR” DENGAN MURID-MURIDNYA?*

Telah kita bahas dalam tulisan sebelumnya, bahwa dalam madzhab Asy-Syafi’i ada empat nama yang berkibar sebagai “guru besar” dalam hal tahrir madzhab Asy-Syafi’i. Mereka adalah Ar-Rofi’i, An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Haitami, dan Syamsuddin Ar-Romli. Ar-Rofi’i dan An-Nawawi yang terkenal dengan julukan Asy-Syaikhan digolongkan tokoh tahrir madzhab fase pertama sementara Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli digolongkan ke dalam tokoh tahrir madzhab fase kedua. (Pembahasan lebih dalam bisa dibaca dalam artikel saya yang berjudul “Ar-Rofi’i dan An-Nawawi, Dua Pendekar Ulama Syafi’iyyah” dan “Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli, Pelanjut Asy-Syaikhan”).

Untuk dua tokoh terakhir, yakni Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli, kehebatan ilmu mereka tidak mungkin dilepaskan dari jasa sang guru yang membimbing dan membentuk ilmu mereka, yaitu Zakariyya Al-Anshori. Tokoh yang terakhir ini, oleh karena keluasan ilmunya beliau mendapatkan gelar Syaikhul Islam (pembahasan lebih dalam tentang Syaikhul Islam bisa dibaca pada artikel saya yang berjudul “Memahami Gelar Syaikhul Islam”).

Beliau bisa dianggap sebagai “Khotimatu Thobaqoti An-Nudhdhor” (pamungkas generasi peneliti) dalam tarjih pendapat syaikhan. Murid-muridnya banyak. Yang paling tersohor diantaranya, Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Khothib Asy-Syirbini, Syihabuddin Ar-Romli, dan Syamsuddin Ar-Romli. Usianya panjang sekitar 100 tahun, sampai bisa bertemu bukan hanya murid-muridnya tetapi juga murid-murid dari murid-muridnya. Dengan level keilmuan, popularitas, karya-karya dan kiprah beliau, Abdullah bin Umar Bamakhromah menganggap beliau adalah mujaddid abad 9 H (bukan As-Suyuthi) sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar Al-Haitami. Karya-karyanya juga banyak. Jika dianalisis dan dipetakan, tampaklah bahwa karya-karya Zakariyya Al-Anshori itu menjadi poros dari seluruh karya ulama Asy-Syafi’iyyah muta-akkhirin termasuk dalam hal fatwa dan tadris. Bahkan juga menjadi poros karya-karya dua pendekar Asy-Syafi’iyyah tahrir madzhab fase kedua; Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli.

Pertanyaannya, jika sang guru keluasan ilmunya diakui sampai digelari Syaikhul Islam sementara sang murid tidak sampai mendapatkan gelar itu, mengapa Zakariyya Al-Anshori nampak seperti “kalah pamor” dengan muridnya?

Ada sejumlah kemungkinan jawbaan dari pertanyaan ini, tetapi penjelasan berikut barangkali bisa memberikan gambaran.

Populer bukan berarti ilmunya lebih dalam daripada yang tidak populer. Contohnya Al-Laits bin Sa’ad. Asy-Syafi’i bersaksi bahwa Al-Laits lebih fakih daripada Malik, tapi sejarah menunjukkan bahwa madzhab Malik lebih populer dan lebih banyak dipakai daripada madzhab Al-Laits. Di negeri kita juga demikian. Ulama yang sangat dalam ilmunya bisa jadi banyak. Hanya saja yang mendapatkan “panggung” dalam acara-acara publik tidak selalu mereka yang berilmu dalam. Malahan bisa kita saksikan banyak orang yang level keilmuannya belum layak disebut ulama tetapi lebih populker daripada mereka yang layak disebut ulama sejati.

Pengakuan kepakaran dalam bidang tertentu juga tidak bermakna status keulamaannya lebih tinggi daripada ulama yang lain. Ambil contoh Ibnu Al-Jazari. Beliau bisa dikatakan “raja” dalam ilmu qiroat dan melebihi An-Nawawi, tetapi keliru jika membayangkan beliau lebih berilmu daripada An-Nawawi dalam bidang fikih.

Demikianlah kira-kira yang terjadi antara Zakariyya Al-Anshori dengan Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli. Popularitas murid bukan selalu bermakna keunggulan ilmu, tetapi lebih mengarah pada menonjolnya sang murid dalam aspek tertentu dalam fikih.

Dalam pembahasan pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i, Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli lebih menonjol daripada Zakariyya Al-Anshori karena dua murid ini lebih intens meneliti berbagai macam aqwal, wujuh, thuruq dalam madzhab Asy-Syafi’i sehingga hasil tarjihnya lebih tajam (pembahasan lebih detail bisa dibaca dalam tulisan saya yang berjudul “Qoul, Wajh Dan Thoriq Dalam Istilah Ulama Syafi’iyyah”). Bisa jadi
kedua muridnya tidak seluas gurunya dalam hal keluasan manqulat (ilmu naqli) dan ma’qulat (ilmu aqli), tetapi dalam hal tahrir madzhab mereka lebih pakar.

Dari sisi keilmuan fikih, secara umum sebenarnya bisa dikatakan bahwa Zakariyya Al-Anshori, Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli (termasuk murid Zakariyya Al-Anshori yang lain yang bernama Al-Khothib Asy-Syirbini) adalah ulama Asy-Syafi’iyyah yang tingkatan keulamaan mereka dalam madzhab Asy-Syafi’i berdekatan. Pendapat keempat ulama ini mu’tabar untuk mengetahui pendapat mu’tamad dalam madzhab Asy-Syafi’i. Hanya saja, jika ada ikhtilaf, maka kesepakatan Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli didahulukan. Jika dua syaikh ini berbeda pendapat, maka mufti bisa memilih tanpa tarjih. Jika sanggup mentarjih maka mentarjih antara dua syaikhan ini. Setelah itu baru pendapat Zakariyya Al-Anshori dipertimbangkan, yakni dalam kitab-kitabnya sesuai urut-uritan yang telah diketahui. Setelah itu baru Ashabul Hawasyi.

Sampai di sini bisa disimpulkan, kedudukan Zakriyya Al-Anshori dalam madzhab Asy-Syafi’i adalah tetap dijadikan rujukan, hanya saja levelnya dibawah muridnya sendiri yaitu Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli.

Dalam pembicaraan upaya mengetahui pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i pada masa tahrir madzhab Asy-Syafi’i fase kedua, posisi Zakariyya Al-Anshori adalah berada pada urutan ketiga. Lebih jelasnya, gradasi hasil tarjih ulama yang menjadi rujukan adalah sebagai berikut,

1. Hasil tarjih yang disepakati Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syamsuddin Ar-Romli

2. Hasil tarjih Ibnu Hajar Al-Haitami saja atau Syamsuddin Ar-Romli saja

3. Hasil Tarjih Zakariyya Al-Anshori

4. Hasil tarjih Ashabu Al-Hawasyi (أصحاب الحواشي)

Yang dimaksud ashabul hawasyi adalah ulama-ulama yang mengarang hasyiyah untuk karya-karya ulama tahrir madzhab di atas. Contohnya seperti Asy-Syarwani dan Al-‘Abbadi yang membuatkan hasyiyah untuk Tuhfatu Al-Muhtaj karya Ibnu Hajar Al-Haitami, At-Tarmasi dan Al-Kurdi yang membuatkan hasyiyah untuk Al-Minhaj Al-Qowim karya Ibnu Hajar Al-Haitami, Qolyubi dan ‘Amiroh yang membuatkan hasyiyah untuk Kanzu Ar-Roghibin karya Jalaluddin Al-Mahalli, Asy-Syabromallisi dan Ar-Rosyidi yang membuatkan hasyiyah untuk Nihayatu Al-Muhtaj karya Syamsuddin Ar-Romli dan lain-lain. Wallahua’lam

Versi situs : http://irtaqi.net/2017/11/06/mengapa-zakariyya-al-anshori-kalah-pamor-dengan-murid-muridnya/

***
Muafa
17 Shofar 1439 H
*Footnote 32*
________

*MENGAPA KITAB QURROTU AL-‘AIN TERKENAL DI INDONESIA?*

Nama lengkap kitab ini adalah Qurrotu Al-‘Ain Bi Muhimmati Ad-Din (قرة العين بمهمات الدين). Nama singkatnya Qurrotu Al-‘Ain.

Kitab ini adalah kitab fikih bermadzhab syafi’i. Jangan sampai dikelirukan dan disalah-identifikasikan dengan kitab Qurrotu Al-‘Uyun (قرة العيون), karena Qorrotu Al-‘Uyun adalah kitab tentang adab jimak/berhubungan suami istri. Meskipun dua kitab ini cukup dikenal di sejumlah pondok pesantren pondok pesantren di Indonesia, hanya saja kitab Qurrou Al’Ain yang lebih terkenal, terutama kitab turunannya yang bernama Fathu Al-Mu’in (فتح المعين).

Kitab Qurrotu Al-‘Ain ini dikarang oleh ulama India yang bernama Al-Malibari (versi lain menyebut Al-Mallibari, Al-Mulaibari, Al-Malabari, dan Al-Milyabari). Nama lengkapnya Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz Al-Ma’bari Al-Malibari Al-Fannani. Di antara karya terkenalnya di Indonesia adalah kitab Irsyadu Al-‘Ibad Ila Sabili Ar-Rosyad. Beliau wafat pada tahun 1028 H.

Kitab Qurrotu Al-‘Ain tergolong mukhtashor/matan. Kitab ini terhitung sangat ringkas karena hanya berjumlah sekitar 40 halaman saja. Kendati demikian, isinya sangat padat dan komprehensif dalam menuangkan kesimpulan kesimpulan hukum fikih yang mengatur kehidupan manusia. Meski ringkas, kitab ini memiliki tingkat abstraksi yang cukup tinggi.

Mengapa kitab Qurrotu Al-‘Ain terkenal di Indonesia, terutama kitab turunannya yang bernama Fathu Al-Mu’in?

Jika kita lacak sejarah seraya memperhatikan kandungan kitab Qurrotu Al-‘Ain termasuk Fathu Al-Mu’in, kita akan mendapati fakta-fakta yang bisa dijadikan dasar teori untuk menjelaskan fenomena popularitas ini.

Zainuddin Al-Malibari, pengarang Qurrotu Al-‘Ain ini, meskipun orang India, di masa mudanya beliau mendapatklan nikmat dari Allah untuk belajar dien ke tanah suci. Di sana, beliau berkesempatan belajar secara langsung kepada guru besar ulama Syafi’iyyah pelanjut Asy-Syaikhan, yakni Ibnu Hajar Al-Haitami. Jadi, Zainuddin Al-Malibari adalah murid langsung Ibnu Hajar Al-Haitami dan mengambil banyak ilmu darinya, terutama menyerap ilmu yang dituangkan dalam karya besarnya yang bernama Tuhfatu Al-Muhtaj.

Bukan hanya itu saja, bahkan Zainuddin Al-Malibari juga berkesempatan mengambil fatwa dari guru besar ulama syafi’iyyah yang lain yang bernama Syamsuddin Ar-Romli. Telah kita ketahui bersama bahwa Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli adalah dua pendekar ulama syafi’iyyah pelanjut Asy-Syaikhan dalam melakukan tahrir madzhab.

Lebih dari itu, Zainuddin Al-Malibari juga berkesempatan belajar kepada Al-Khothib Asy-Syirbini, pengarang Mughni Al-Muhtaj. Asy-Syirbini, meskipun tidak seterkenal Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli, tetapi beliau memiliki kualitas ilmu fikih yang selevel dengan Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Romli.

Dengan latar belakang ini, sekarang kita bisa memahami seperti apa ilmu yang dihimpun oleh Zainuddin Al-Malibari.

Ilmu fikih Syafi’iyyah yang dimiliki Zainuddin Al-Malibari adalah hasil rangkuman dan abstraksi fikih di zaman fikih Syafi’iyyah sudah dianggap matang dan nyaris sempurna!

Oleh karena itu wajar, jika kitab Qurrotu Al-‘Ain ini mendapat perhatian tinggi di berbagai negeri Islam, terutama di Indonesia karena memiliki keistimewaan meringkas dan mempermudah belajar fikih Asy-Syafi’i dalam bentuk yang sudah merangkum hampir semua pembahasan fikih yang sudah ditahqiq dan ditanqih mulai zaman Ar-Rofi’i, An-Nawawi, Ibnu Hajar Al-Haitami sampai Ar-Romli.

Di masa selanjutnya, perhatian tinggi terhadap kitab Qurrotu Al-’Ain ini membuat lahir kitab-kitab baru yang menjadi “anak turunannya” yang juga menjadi populer di negeri ini. Di antaranyanya adalah lahir kitab Fathu Al-Mu’in yang dikarang oleh Zainuddin Al-Malibari sendiri, yang ditulis sebagai syarah dari kitab Qurrotu Al’Ain. Nampaknya, kitab Fathu Al-Mu’in ini yang lebih dikenal santri-santri di sejumlah pondok pesantren daripada kitab induknya.

Selain itu muncul pula syarah Qurrotu Al’Ain yang dikarang oleh ulama Jawa yang bernama Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi. Syarah tersebut b
ernama Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi Al-Mubtadi-in, atau lebih dikenal dengan nama singkat; Nihayatu Az=Zain.

Kemudian, kitab Fathu Al-Mu’in tadi melahirkan sejumlah Hasyiyah. Di antaranya adalah Hasyiyah karya As-Sayyid Al-Bakri yang bernama I’anatu Ath-Tholibin. Termasuk juga Hasyiyah karya As-Saqqof yang bernama Tarsyihu Al-Mustafidin. Demikian pula Hasyiyah karya ‘Ali Bashobrin yang bernama I’anatu Al-Musta’in. Selain Hasyiyah, ada pula ulama India yang membuatkan manzhumah untuk Fathu Al-Mu’in. Beliau adalah Al-Fadhfari yang mengarang manzhumah untuk Fathu Al-Mu’in dan diberi nama An-Nazhmu Al-Wafi Fi Al-Fiqhi Asy-Syafi’i.

Dengan demikian, dari kitab Qurrotu Al-‘Ain karya Zainuddin Al-Malibari ini, lahir kitab-kitab terkenal sebagai berikut,

1. Fathu Al-Mu’in (فتح المعين)

2. Nihayatu Az-Zain Fi Irsyadi Al-Mubtadi-in (نهاية الزين في إرشاد المبتدئين)

3. I’anatu Ath-Tholibin (إعانة الطالبين)

4. Tarsyihu Al-Mustafidin (ترشيح المستفيدين)

5. I’anatu Al-Musta’in (إعانة المستعين)

6. An-Nazhmu Al-Wafi Fi Al-Fiqhi Asy-Syafi’i (النظم الوفي في الفقه الشافعي)

رحم الله زين الدين المليباري رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين

Versi situs: http://irtaqi.net/2017/08/29/mengapa-kitab-qurrotu-al-ain-terkenal-di-indonesia/

***
Muafa
7 DzulHijjah 1438 H
*Footnote 33*
________

*MENGENAL KITAB “FATHU AL-MU’IN” KARYA AL-MALIBARI*

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

***.

Kitab “Fathu Al-Mu’in” (فتح المعين) adalah kitab terakhir dari “tiga trio fathu” yang akan kita resensi. “Tiga trio fathu” yang dimaksud adalah,

1. “Fathu Al-Qorib” (فتح القريب) karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi
2. “Fathu Al-Wahhab” (فتح الوهاب) karya Zakariyya Al-Anshori,dan
3. “Fathu Al-Mu’in” (فتح المعين) karya Zainuddin Al-Malibari

Resensi kitab “Fathu Al-Qorib” telah kita buatkan catatan dalam artikel berjudul “Mengenal Kitab “Fathu Al-Qorib”, Syarah Matan Abu Syuja’”. Resensi kitab “Fathu Al-Wahhab” telah kita buatkan catatan dalam artikel berjudul” Mengenal Kitab “Fathul Wahhab” Karya Zakariyya Al-Anshori”. Jadi, sebagai penyempurna, kita buatkan resensi juga untuk kitab “Fathu Al-Mu’in”.

Sebenarnya, secara sekilas kitab ini sudah disinggung saat membahas kitab “Qurrotu Al-‘Ain” sekitar setengah tahun yang lalu, yakni pada catatan saya yang berjudul “Mengapa Kitab Qurrotu Al-‘Ain Terkenal Di Indonesia?”

Kitab “Fathu Al-Mu’in” adalah syarah kitab “Qurrotu Al-‘Ain” atau yang memiliki nama lengkap “ Qurrotu Al-‘Ain bi Muhimmati Ad-Din”. Karena itulah pengarang memberi nama lengkap untuk “Fathu Al-Mu’in” dengan sebutan “Fathu Al-Mu’in Bisyarhi Qurroti Al-‘Ain bi Muhimmati Ad-Din” (فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين). Kitab ini rampung ditulis pada tahun 982 H.

Pengarangnya bernama Zainuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Aziz Al-Malibari yang bisa disingkat Zainuddin Al-Malibari. Julukan beliau adalah “Al-Makhdum Ash-Shoghir” atau “Al-Makhdum Ats-Tsani”. Adapun julukan “Al-Makhdum Al-Kabir” atau “Al-Makhdum Al-Awwal”, masyarakat mengenalnya disematkan kepada kakeknya yang bernama Abu Yahya Zainuddin bin Ali.

Asal Zainuddin Al-Malibari dari Malabar, sebuah daerah di India. Pelafalan Al-Malibari (الْمَلِيْبَارِيّ) dengan memfathahkan “mim” dan mengkasrohkan “lam” didasarkan pada ucapan lisan yang populer untuk lafaz ini. Az-Zirikli dalam Al-A’lam melafalkannya Al-Mallibari (الْمَلِّيْبَارِيّ), yakni dengan mentasydidkan “lam”. Jika dilihat nama latinnya Malabar, Al-Jabi mengusulkan nisbahnya disebut Al-Malabari (الْمَالاَبَارِيّ). Ibnu Bathuthoh dalam kitabnya yang bernama “Tuhfatu An-Nuzh-zhor Fi Ghoro-ibi Al-Amshor Wa ‘Aja-ibi Al-Asfar” menyebut dhobthnya adalah Al-Mulaibari (الْمُلَيْبَارِيّ). Dengan demikian minimal ada 4 ikhtilaf terkait pelafalan nama ini, yaitu Al-Malibari, Al-Mallibari, Al-Malabari, dan Al-Mulaibari. Malahan, ada juga yang membacanya Al-Milyabari.

Lokasi lebih akurat terkait tempat kelahirannya diyakini adalah kota Chombal di dekat kota Mahe daerah Kannur, di wilayah utara Kerala atau yang dikenal dengan sebutan Malabar tadi. Lahirnya tahun 938 H di tengah keluarga yang dikenal dengan julukan “Al-Makhdum”. Nenek moyangnya disebut para sejarawan berasal dari Yaman yang menjelajah dunia dan akhirnya berlabuh ke daerah yang bernama Ma’bar yang terletak di tenggara pantai Malabar yang pada zaman sekarang dsiebut dengan Coromandel di wilayah Tamil Nadu. Mazhab Asy-Syafi’i juga sudah lama tersebar di area Malabar ini. Hal itu bisa diketahui dari catatan-catatan Ibnu Bathuthoh saat mengunjungi negeri itu.

Guru Al-Malibari banyak, di antaranya yang terpenting adalah sang muhahrir besar fase kedua yaitu Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H). Jika Al-Malibari menyebut “syaikhuna” (شيخنا) dalam kitab “Fathu Al-Mu’in”, maka yang dimaksud adalah Ibnu Hajar Al-Haitami ini.

Gurunya yang lain adalah Ibnu Ziyad (975 H). Dalam kitab “Fathu Al-Mu’in” biasanya Al-Malibari menyebutnya ‘Syaikhuna Ibnu Ziyad” (شيخنا ابن زياد). Selain itu beliau juga beguru pada Az-Zamzami (w. 976 H), Ash-Shiddiqi (w. 994 H) dan sejumlah ulama yang lain.

Di antara karya Al-Malibari yang terkenal di negeri Indonesia ini adalah kitab nasihat beraroma tasawuf yang berjudul “Irsyadu Al-‘Ibad Ila Sabili Ar-Rosyad”.

Jika dilihat dari sejarahnya, kitab “Fathu Al-Mu’in” ini ditulis setelah masa penulisan “Nihayatu Al-Muhtaj” karya Ar-Romli. Artinya, kitab ini bisa dipahami sebagai cerminan ringkas
an fase kematangan mazhab Asy-Syafi’i. Bisa dikatakan juga “Fathu Al-Mu’in” menghimpun dua kecenderungan dua syaikh besar sebelumnya yaitu kecenderungan Ibnu Hajar Al-Haitami dan kecenderungan Syamsuddin Ar-Romli.

Kitab ini bermutu tinggi. Di antara yang menunjukkan tingginya mutu kitab “Fathu Al-Mu’in” adalah posisinya yang dijadikan sebagai sumber referensi oleh sejumlah hasyiyah dan kitab yang lain yang ditulis sesudahnya seperti “Hasyiyah As-Syirwani”, “Bughyatu Al-Mustarsyidin”, “Kasyifatu As-Saja”, “Al-Fawaid Al-Makkiyyah”, “Hasyiyah Bashobrin”, “I’anatu Ath-Tholibin”, “Tarsyihu Al-Mustafidin” dan lain-lain.

Karena ketinggian nilai kitab ini, menjadi wajar jika pengaruh dan daya sebarnya sangat luas. Di Malabar; India, negeri asal pengarang, kitab ini diajarkan. Bukan hanya di India saja di ajarkan, tetapi juga diajarkan di Mesir, Mekah, Madinah, Suriah, Damaskus, Somalia, Srilangka, Kurdistan, Yaman, Hadhromaut, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Banyak pondok pesantren, madrasah, fakultas, universitas, masjid-masjid dan berbagai lembaga pendidikan Islam lainnya menjadikan kitab ini sebagai kitab wajib yang dipelajari. Di India, kitab ini dijadikan sebagai buku wajib dan dimasukkan dalam kurikulum sejumlah lembaga pendidikan tinggi seperti di “Baqiyat Salihat Arabic College” di Vellore, Tamil Nadu, “Nooriyya Arabic College” di Pattikkad, Kerala, “Darul Huda Islamic University” di Malappuram, negara bagian Kerala dan lain-lain. Di Yaman, kitab ini dipakai di “Dar Al-Mushthofa” di Tarim, “Ribath Madrosah Al-Fath Wa Al-Imdad” di Hadhromaut, “Ribath Tarim Al-‘Ilmi” di Tarim, dan lain-lain. Di Suriah, kitab ini dipelajari di “Al-Jami’ Al-Umawi”. Di Mekah, ada majelis yang mensyarahnya dengan bahasa Indonesia. Di Somalia dijadikan sebagai kitab pemula siapapun yang ingin mempelajari mazhab Asy-Syafi’i.

Rupanya Allah mengabulkan doa Al-Malibari. Di bagian akhir kitab “Fathu Al-Mu’in”, Al-Malibari menutup kitabnya dengan doa agar Allah menerima amalnya dan meminta Allah agar menjadikan kitabnya bermanfaat secara luas. Kalimat doa ini dikomentari As-Sayyid Al-Bakri Dalam kitab “I’anatu Ath-Tholibin” dengan mengatakan bahwa Allah telah mengabulkan doa Al-Malibari persis seperti yang diminta. Menurut Al-Bakri, pilihan kehidupan rohani Al-Malibari yang menempuh jalan kesufian dan bahkan menjadi pembesar sufi memberi pengaruh signifikan yang membuat beliau menjadi ulama yang mustajab doanya.

Popularitas “Fathu Al-Mu’in” memang wajar jika dilihat dari sisi isinya. Kitab ini kaya ilmu dan padat informasi. Sebagai gambaran sederhana, kita bisa melihat daftar nama ulama, nama tokoh dan nama kitab yang dikutip Al-Malibari di dalamnya. Bassam Al-Jabi yang membuatkan indeks untuk seluruh nama ulama, nama tokoh dan nama kitab dalam “Fathu Al-Mu’in” ini ternyata memerlukan 41 halaman hanya untuk indeks saja! Fakta sekilas ini adalah bukti nyata keluasan dan kedalaman ilmu Al-Malibari, mengingat “Fathu Al-Mu’in” adalah syarah ringkas, bukan syarah “muthowwal”.

Oleh karena kitab “Fathu Al-Mu’in’ adalah kitab yang berkualitas, tidak heran banyak ulama memberikan perhatian terhadapnya dengan membutkan manzhumah, mukhtashor, hasyiyah, syarah, taqrir, dan ta’liqot untuknya.

Di antara yang menazhomkannya adalah Al-Fadhfari dalam karya berjudul “An-Nazhmu Al-Wafiyy”. Ada juga yang menazhomkannya tapi khusus bab faroidh seperti Al-Arokkali dalam karya berjudul “Manzhumah Faroidh Fathi Al-Mu’in”.

Adapula yang membuatkan mukhtashornya seperti yang dilakukan Abdurrahman Bawa dalam karya berjudul “Khulashotu Fath Al-Mu’in” atau “Khulashotu Al-Fiqhi Al-Islami”.

Adapula yang fokus menulis biografi nama-nama tokoh yang disebut dalam “Fathu Al-Mu’in” seperti karya Al-Jilikadi yang berjudul “Al-Muhimmah Fi Bayani Al-A-immah Al-Madzkurin Fi Fathi Al-Mu’in”.

Adapula yang membuatkan hasyiyah untuknya, dan ini adalah bagian terbesarnya. Di antara hasyiyah untuk “Fathu Al-Mu’in” adalah “Hasyiyah Bashobrin” karya Ali Bashobrin (w. 1304 H), “Tarsyihu Al-Mustafidin” karya As-Saqqof (w. 1335 H), “Ta’liqot Habib Al-Farisi”, “Syarah Fathu Al-Mu’in”