*Footnote 6*
_______
*NASEHAT BERHARGA DARI HABIB AHMAD BIN ZAIN AL-HABSY*
قال سيدنا الامام احمد بن زين الحبشى نفع الله به : إذا عمل العبد الخير كان له ذلك نورا فى القلب، فإن دام على ذلك وَفق الإتباع للمصطفى صلوات الله عليه لم يخلطه بغيره من الشر، فتح الله عليه من حضرة القدس فى أسرع وقت، وان دام على الشر كان ذلك فى القلب ظلمة والشر يمحو النور، ويبقى صاحبه كذا لا يفتح له. انتهى من « قرة العين »
*Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, semoga Allah memberi manfaat kepada kita melaluinya berkata, "Jika seorang hamba melakukan perbuatan baik, maka baginya cahaya di dalam hati. Jika dia terus-menerus seperti itu dalam keadaan mengikuti al-Musthafa (Muhammad ﷺ), dan tidak menyisipi keadaan itu dengan suatu keburukan, maka Allah akan membukakan baginya (pembukaan spiritual) dari hadlirat yang Maha Suci dengan segera. Jika dia terus-menerus dalam keburukan maka hal itu akan menjadi hitam di dalam hatinya, hingga menjadikan hitam seluruh hatinya. Jika dia melakukan perbuatan baik di suatu waktu dan melakukan keburukan di waktu yang lain, maka perbuatan baiknya menghapus hitam di dalam hatinya dan perbuatan buruknya menghapus cahaya. Dan hal itu akan menyebabkan hamba itu tetap dalam kondisi seperti itu tidak pernah mendapatkan pembukaan spiritual."* Dikutip dari kitab Qurrah al-Ain.
<al-Manhaj as-Sawy: 470>
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
_______
*NASEHAT BERHARGA DARI HABIB AHMAD BIN ZAIN AL-HABSY*
قال سيدنا الامام احمد بن زين الحبشى نفع الله به : إذا عمل العبد الخير كان له ذلك نورا فى القلب، فإن دام على ذلك وَفق الإتباع للمصطفى صلوات الله عليه لم يخلطه بغيره من الشر، فتح الله عليه من حضرة القدس فى أسرع وقت، وان دام على الشر كان ذلك فى القلب ظلمة والشر يمحو النور، ويبقى صاحبه كذا لا يفتح له. انتهى من « قرة العين »
*Junjungan kami al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi, semoga Allah memberi manfaat kepada kita melaluinya berkata, "Jika seorang hamba melakukan perbuatan baik, maka baginya cahaya di dalam hati. Jika dia terus-menerus seperti itu dalam keadaan mengikuti al-Musthafa (Muhammad ﷺ), dan tidak menyisipi keadaan itu dengan suatu keburukan, maka Allah akan membukakan baginya (pembukaan spiritual) dari hadlirat yang Maha Suci dengan segera. Jika dia terus-menerus dalam keburukan maka hal itu akan menjadi hitam di dalam hatinya, hingga menjadikan hitam seluruh hatinya. Jika dia melakukan perbuatan baik di suatu waktu dan melakukan keburukan di waktu yang lain, maka perbuatan baiknya menghapus hitam di dalam hatinya dan perbuatan buruknya menghapus cahaya. Dan hal itu akan menyebabkan hamba itu tetap dalam kondisi seperti itu tidak pernah mendapatkan pembukaan spiritual."* Dikutip dari kitab Qurrah al-Ain.
<al-Manhaj as-Sawy: 470>
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Footnote 7*
________
*KESIMPULAN YANG INDAH DARI HABIB 'AIDRUS BIN UMAR AL-HABSY*
والحاصل- كما قال سيدنا الإمام عيدروس بن عمر الحبشي نفع الله به- أنه لا يتوالى الألطاف إلا بالإتصاف بما كان عليه الأسلاف، ولا تلوح الأنوار إلا بدوام الأذكار، ولا تعم الأسرار الا بالذوب فى التفكر والاعتبار، ولا تخرق العادات الا بسوابق الهمم الى الطاعات، ولا تظهر الخصوصيات الا بالإقلاع عن الشهوات والدنيات من الصفات...الى آخر ما قاله فى كتابه «العقد».
*Al-hasil -seperti yang diucapkan junjungan kami al-Imam 'Aidrus bin Umar al-Habsyi semoga Allah memberi manfaat melaluinya-sesungguhnya kelembutan tidak akan datang kecuali setelah menerapkan sifat-sifat yang dimiliki para salaf pendahulu. Tidaklah memancar sinar kecuali setelah melanggengkan dzikir. Tidaklah meliputi rahasia ilahi kecuali setelah meleburkan diri dalam tafakkur dan perenungan. Tidaklah muncul keistimewaan kecuali setelah mencabut syahwat dan sifat- sifat yang hina...* hingga akhir yang diucapkan beliau dalam kitab al-Iqd. <al-Manhaj as-Sawy: 471>
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
________
*KESIMPULAN YANG INDAH DARI HABIB 'AIDRUS BIN UMAR AL-HABSY*
والحاصل- كما قال سيدنا الإمام عيدروس بن عمر الحبشي نفع الله به- أنه لا يتوالى الألطاف إلا بالإتصاف بما كان عليه الأسلاف، ولا تلوح الأنوار إلا بدوام الأذكار، ولا تعم الأسرار الا بالذوب فى التفكر والاعتبار، ولا تخرق العادات الا بسوابق الهمم الى الطاعات، ولا تظهر الخصوصيات الا بالإقلاع عن الشهوات والدنيات من الصفات...الى آخر ما قاله فى كتابه «العقد».
*Al-hasil -seperti yang diucapkan junjungan kami al-Imam 'Aidrus bin Umar al-Habsyi semoga Allah memberi manfaat melaluinya-sesungguhnya kelembutan tidak akan datang kecuali setelah menerapkan sifat-sifat yang dimiliki para salaf pendahulu. Tidaklah memancar sinar kecuali setelah melanggengkan dzikir. Tidaklah meliputi rahasia ilahi kecuali setelah meleburkan diri dalam tafakkur dan perenungan. Tidaklah muncul keistimewaan kecuali setelah mencabut syahwat dan sifat- sifat yang hina...* hingga akhir yang diucapkan beliau dalam kitab al-Iqd. <al-Manhaj as-Sawy: 471>
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*ILMU ULAMA' [1]*
*Materi ke 30 hal. 43-44*
بسم الله الرحمن الرحيم
1. Sebagian Tabi'in berkata: "Aku melihat Ibnu Abbas memiliki suatu majlis yang layak dibanggakan oleh suku Quraisy kepada suku Arab dan lainnya ('Ajam). Hal itu karena beliau selalu bangun sebelum fajar lalu menetap di masjid sampai terbit matahari kemudian sholat dhuha dan kembali ke rumah. Lalu ada seseorang yang menyampaikan pengumuman di depan rumahnya: "Barang siapa yang ingin ilmu tafsir, maka datanglah!" Lalu, datanglah orang-orang berbondong-bondong, beliau menjelaskan ayat-ayat Qur'an, dan tidak satu ayatpun kecuali beliau tahu bahwa ayat itu turun di makkah atau di madinah, turun di daerah mana, kapan turunnya dan kepada siapa ayat itu turun. Kemudian orang tadi menyampaikan Pengumuman lagi: "Barang siapa yang ingin ilmu fiqh, maka datanglah!" Maka orang-orang mendatanginya dengan permasalahan yang sulit dan beliau memecahkan permasalahan tersebut. Lalu orang tadi menyampaikan pengumuman lagi: "Barang siapa ingin mengetahui ilmu nasab (garis keturunan), maka datanglah!", Kemudian orang tadi menyampaikan pengumuman lagi: "Barang siapa ingin belajar sastra, maka datanglah!" maka datanglah orang-orang berbondong-bondong, dan dalam semua permasalahan itu, beliau bagaikan laut yang penıuh dengan ilmu-ilmu yang tidak pernah berhenti dan terputus selamanya, dan beliau terus begitu sampai adzan dhuhur dikumandangkan. Maka beliau berkata: Marilah melaksanakan sholat bersama kami!'. Tabi'in tersebut mengatakan: "Majlis ini layak dibanggakan oleh suku Quraisy kepada orang Arab dan 'Ajam". <al Manhaj as Sawry: 396> keterangan senada di <AlJawahir al-Lu'lu'iyyah: 178>
2. Sesungguhnya Syekh Ibnu 'Arabi memulai menyusun sebuah kitab tafsir al-Qur'an. Setelah mencapai jilid kesembilan puluh dalam firman Allah:
وعلمناه من لدنا علما
"dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."(Qs Al-Kahfi : 65)
Beliau memecahkan pena dan tempat tintanya dan berkata: "akan berakhir umur kami sedangkan kami masih belum selesai menjelaskan tentang ilmu ladunni". <alManhaj as-Sawiy: 402> keterangan senada di <TájulA'ras: 1/419>
3. Sesungguhnya sayyiduna Al Quthb Abdullah bin Abi Bakar Al-Idrus de mengatakan: "Andaikan aku mau mengarang tentang huruf alif sebanyak 100 jilid, aku bisa melakukannya". <alManhaj as Sawiy: 404> keterangan senada di <Syarhul'Ainiyah: 196>
4. Sayyiduna syekh al Quthb Umar Al-Muhdor bin Abdurrahman Assegaf mengatakan: "Jika aku mau mendiktekan tafsir dari firman Allah:
ما ننسخ من آية أو ننسها
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya..." (Q.S. Al-Baqarah: 106) dengan penjelasan yang dapat membebani 1000 unta, aku bisa melakukannya". <alManhaj as-Sawy: 404> keterangan senada di <Masyra' ar Rawy: 2/526>
11 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*Materi ke 30 hal. 43-44*
بسم الله الرحمن الرحيم
1. Sebagian Tabi'in berkata: "Aku melihat Ibnu Abbas memiliki suatu majlis yang layak dibanggakan oleh suku Quraisy kepada suku Arab dan lainnya ('Ajam). Hal itu karena beliau selalu bangun sebelum fajar lalu menetap di masjid sampai terbit matahari kemudian sholat dhuha dan kembali ke rumah. Lalu ada seseorang yang menyampaikan pengumuman di depan rumahnya: "Barang siapa yang ingin ilmu tafsir, maka datanglah!" Lalu, datanglah orang-orang berbondong-bondong, beliau menjelaskan ayat-ayat Qur'an, dan tidak satu ayatpun kecuali beliau tahu bahwa ayat itu turun di makkah atau di madinah, turun di daerah mana, kapan turunnya dan kepada siapa ayat itu turun. Kemudian orang tadi menyampaikan Pengumuman lagi: "Barang siapa yang ingin ilmu fiqh, maka datanglah!" Maka orang-orang mendatanginya dengan permasalahan yang sulit dan beliau memecahkan permasalahan tersebut. Lalu orang tadi menyampaikan pengumuman lagi: "Barang siapa ingin mengetahui ilmu nasab (garis keturunan), maka datanglah!", Kemudian orang tadi menyampaikan pengumuman lagi: "Barang siapa ingin belajar sastra, maka datanglah!" maka datanglah orang-orang berbondong-bondong, dan dalam semua permasalahan itu, beliau bagaikan laut yang penıuh dengan ilmu-ilmu yang tidak pernah berhenti dan terputus selamanya, dan beliau terus begitu sampai adzan dhuhur dikumandangkan. Maka beliau berkata: Marilah melaksanakan sholat bersama kami!'. Tabi'in tersebut mengatakan: "Majlis ini layak dibanggakan oleh suku Quraisy kepada orang Arab dan 'Ajam". <al Manhaj as Sawry: 396> keterangan senada di <AlJawahir al-Lu'lu'iyyah: 178>
2. Sesungguhnya Syekh Ibnu 'Arabi memulai menyusun sebuah kitab tafsir al-Qur'an. Setelah mencapai jilid kesembilan puluh dalam firman Allah:
وعلمناه من لدنا علما
"dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."(Qs Al-Kahfi : 65)
Beliau memecahkan pena dan tempat tintanya dan berkata: "akan berakhir umur kami sedangkan kami masih belum selesai menjelaskan tentang ilmu ladunni". <alManhaj as-Sawiy: 402> keterangan senada di <TájulA'ras: 1/419>
3. Sesungguhnya sayyiduna Al Quthb Abdullah bin Abi Bakar Al-Idrus de mengatakan: "Andaikan aku mau mengarang tentang huruf alif sebanyak 100 jilid, aku bisa melakukannya". <alManhaj as Sawiy: 404> keterangan senada di <Syarhul'Ainiyah: 196>
4. Sayyiduna syekh al Quthb Umar Al-Muhdor bin Abdurrahman Assegaf mengatakan: "Jika aku mau mendiktekan tafsir dari firman Allah:
ما ننسخ من آية أو ننسها
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya..." (Q.S. Al-Baqarah: 106) dengan penjelasan yang dapat membebani 1000 unta, aku bisa melakukannya". <alManhaj as-Sawy: 404> keterangan senada di <Masyra' ar Rawy: 2/526>
11 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*ILMU ULAMA' [2]*
*Materi ke 31 hal. 55 - 56*
بسم الله الرحمن الرحيم
5. Habib Ahmad bin Hasan Al-Attos menceritakan dari Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih bahwa Habib Abdurrahman pergi menuju Haramain (Makkah Madinah) bersama pelayannya dari Hadramaut (Yaman) dengan berjalan kaki. Ketika sampai di kota Zabid, dia mendapatkan Sayyid Sulaiman bin Yahya Alahdal dalam pelajarannya. Lalu dia duduk di samping salah satu muridnya. Sayyid Sulaiman menyampaikan satu pertanyaan, tapi mereka diam semua. Maka habib Abdurrahman berkata kepada orang yang di sebelahnya: katakanlah! Jawabannya ini". Orang di sebelah Habib Abdurrahman tadi menjawab: "Wahai guruku, jawaban masalah tadi seperti ini". Lalu sayyid Sulaiman bertanya: "Dari mana kamu mendapatkan jawaban ini" Orang tadi menjawab: "Dari Darutsy ini". Maka Sayyid Sulaiman berdiri mendatangi Habib Abdurrahman dan bertanya kepadanya: "Siapa kamu". Dia menjawab: Aku hamba Allah". Sayyid Sulaiman bertanya lagi: "Kami sudah tahu bahwa semua makhluk adalah hamba Allah, siapa namamu!". Dia menjawab: "Abdurahman bin Abdullah Bilfaaih". Sayyid sulaiman berkata: "sampai batas ini kamu menyamar kepada kami?!" Dia menjawab: "sifat orang yang haji rambutnya kusut dan badannya kotor". Maka sayyid Sulaiman mempersilahkan dan memuliakannya. Dan Habib Abdurrahman menetap di kota Zabid beberapa hari menjelaskan makna basmalah pada murid Sayyid Sulaiman. Bahkan hanya makna huruf ba', bahkan hanya sampai makna dari titik yang berada dihuruf ba'. Kemudian Habib Abdurrahman melanjutkan perjalanannya ke Makkah <Tadzkirunnnas: 149>
6. Tatkala kelompok Syi'ah Zaidiyyah datang ke Hadramaut dengan membawa pertanyaan dan sanggahan kepada ulama Hadramaut dan bermukim di Bajalhaban, habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih mendatangi mereka dengan menyamar sebagai seorang petani yang membawa alat bajak. Beliau bercakap dengan mereka dan berkata Apa tujuan kalian?" Mereka menyebutkan permasalahan mereka, kemudian Habib Abdurrahman memberi fatwa kepada mereka dan menjelaskannya dengan penjelasan yang sangat sempurna. Lalu Habib abdurrahman menanyakan beberapa masalah pada mereka, namun mereka diam tidak bisa menjawabnya. Dengan kejadian itu, maka Habib Abdurrahman menjadi sosok yang mulia dalam pandangan mereka dan berkata: "Jika petaninya saja seperti ini, bagaimana dengan para pembesar ulama'nya?", lalu mereka kembali pulang sebelum masuk kota Tarim dan urung memasuki kota. <Nafahâtun Nasim al Hâjiry 235>
7. Habib Thahir bin Muhammad bin Hasyim pergi bersama rombongan menemui Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih yang berada dalam detik-detik ajalnya. Ketika beliau tahu kedatangan mereka, beliau minta didudukkan dan berbicara kepada mereka tentang masalah keilmuan. Beliau berkata: "Semua ilmu ini tidak ada yang menerimanya selain kalian dan di hatiku ada 14 ilmu, aku meninggal dunia dan tidak ada seorang pun yang menanyakanku tentang ilmu itu" <Tadzkinan-Nas: 10>
8. Imam Idrus bin Umar Al-Habsyi mengatakan: *Sesungguhnya berkah dari berkumpul dengan orang besar (wali) pasti akan tampak walaupun setelah beberapa waktu,* dan janganlah seseorang mengatakan: Seungguhnya aku tidak melihat diriku mendapatkan sesuatu dan tidak terjadi apa pun padaku, karena orang yang bersungguh sungguh pasti akan berhasil dan orang yang menempuh perjalanan sesuai jalannya pasti akan sampai. Biasanya tambahan yang diperoleh orang yang berjalan di jalan Allah itu bersifat samar dan tidak ada perumpamaannya kecuali penambahan yang terjadi pada perkembangan hewan dan pohon, misalnya, kamu melihat anak kecil setiap hari sama seperti hari sebelumnya dan tidak tampak adanya perkembangan, begitu juga pohon kurma. Padahal tidak diragukan lagi sebenarnya perkembangan itu ada namun samar" <Kalamul Habib 'Idrus al Habsyi: 36>
Ahad 15 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*Materi ke 31 hal. 55 - 56*
بسم الله الرحمن الرحيم
5. Habib Ahmad bin Hasan Al-Attos menceritakan dari Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih bahwa Habib Abdurrahman pergi menuju Haramain (Makkah Madinah) bersama pelayannya dari Hadramaut (Yaman) dengan berjalan kaki. Ketika sampai di kota Zabid, dia mendapatkan Sayyid Sulaiman bin Yahya Alahdal dalam pelajarannya. Lalu dia duduk di samping salah satu muridnya. Sayyid Sulaiman menyampaikan satu pertanyaan, tapi mereka diam semua. Maka habib Abdurrahman berkata kepada orang yang di sebelahnya: katakanlah! Jawabannya ini". Orang di sebelah Habib Abdurrahman tadi menjawab: "Wahai guruku, jawaban masalah tadi seperti ini". Lalu sayyid Sulaiman bertanya: "Dari mana kamu mendapatkan jawaban ini" Orang tadi menjawab: "Dari Darutsy ini". Maka Sayyid Sulaiman berdiri mendatangi Habib Abdurrahman dan bertanya kepadanya: "Siapa kamu". Dia menjawab: Aku hamba Allah". Sayyid Sulaiman bertanya lagi: "Kami sudah tahu bahwa semua makhluk adalah hamba Allah, siapa namamu!". Dia menjawab: "Abdurahman bin Abdullah Bilfaaih". Sayyid sulaiman berkata: "sampai batas ini kamu menyamar kepada kami?!" Dia menjawab: "sifat orang yang haji rambutnya kusut dan badannya kotor". Maka sayyid Sulaiman mempersilahkan dan memuliakannya. Dan Habib Abdurrahman menetap di kota Zabid beberapa hari menjelaskan makna basmalah pada murid Sayyid Sulaiman. Bahkan hanya makna huruf ba', bahkan hanya sampai makna dari titik yang berada dihuruf ba'. Kemudian Habib Abdurrahman melanjutkan perjalanannya ke Makkah <Tadzkirunnnas: 149>
6. Tatkala kelompok Syi'ah Zaidiyyah datang ke Hadramaut dengan membawa pertanyaan dan sanggahan kepada ulama Hadramaut dan bermukim di Bajalhaban, habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih mendatangi mereka dengan menyamar sebagai seorang petani yang membawa alat bajak. Beliau bercakap dengan mereka dan berkata Apa tujuan kalian?" Mereka menyebutkan permasalahan mereka, kemudian Habib Abdurrahman memberi fatwa kepada mereka dan menjelaskannya dengan penjelasan yang sangat sempurna. Lalu Habib abdurrahman menanyakan beberapa masalah pada mereka, namun mereka diam tidak bisa menjawabnya. Dengan kejadian itu, maka Habib Abdurrahman menjadi sosok yang mulia dalam pandangan mereka dan berkata: "Jika petaninya saja seperti ini, bagaimana dengan para pembesar ulama'nya?", lalu mereka kembali pulang sebelum masuk kota Tarim dan urung memasuki kota. <Nafahâtun Nasim al Hâjiry 235>
7. Habib Thahir bin Muhammad bin Hasyim pergi bersama rombongan menemui Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih yang berada dalam detik-detik ajalnya. Ketika beliau tahu kedatangan mereka, beliau minta didudukkan dan berbicara kepada mereka tentang masalah keilmuan. Beliau berkata: "Semua ilmu ini tidak ada yang menerimanya selain kalian dan di hatiku ada 14 ilmu, aku meninggal dunia dan tidak ada seorang pun yang menanyakanku tentang ilmu itu" <Tadzkinan-Nas: 10>
8. Imam Idrus bin Umar Al-Habsyi mengatakan: *Sesungguhnya berkah dari berkumpul dengan orang besar (wali) pasti akan tampak walaupun setelah beberapa waktu,* dan janganlah seseorang mengatakan: Seungguhnya aku tidak melihat diriku mendapatkan sesuatu dan tidak terjadi apa pun padaku, karena orang yang bersungguh sungguh pasti akan berhasil dan orang yang menempuh perjalanan sesuai jalannya pasti akan sampai. Biasanya tambahan yang diperoleh orang yang berjalan di jalan Allah itu bersifat samar dan tidak ada perumpamaannya kecuali penambahan yang terjadi pada perkembangan hewan dan pohon, misalnya, kamu melihat anak kecil setiap hari sama seperti hari sebelumnya dan tidak tampak adanya perkembangan, begitu juga pohon kurma. Padahal tidak diragukan lagi sebenarnya perkembangan itu ada namun samar" <Kalamul Habib 'Idrus al Habsyi: 36>
Ahad 15 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*Footnote 1*
________
*BAGAIMANA PARA ULAMA' SALAF BERUSAHA MEMILIKI SYAIKH (GURU) YANG BANYAK*
*Syaikh Abu Said As-Samman Ar-Razi* berkata, "saya belajar kepada 3600 ulama di zamannya. Menjelang akhir hayatnya, beliau menuju Ashbahan untuk belajar hadits dan berkata, Barangsiapa yang tidak pernah belajar hadits, maka tidak akan bisa merasakan nikmatnya Islam."
*Ibnu Nuqthoh berkata,* "Saya mendengar dari beberapa Ulama'bahwa Abdul Fityan Umar bin Abdul Karim Ar-Rawasi belajar kepada 3600 orang ulama."
*Ibnu An-Najjar* melakukan rihlah selama 27 tahun dan belajar kepada 3000 orang ulama."
Ibnu Katsir ketika menulis biografi *Imam Al-Bukhari* menyebutkan bahwa ia menemui seluruh ulama hadits di semua negara yang bisa dia kunjungi jumlahnya lebih dari 1000 Syaikh."
*Abu Hatim bin Hibban* menceritakan dirinya ketika menuntut ilmu, beliau berkata, "mungkin kami belajar kepada lebih dari 2000 Syaikh."
*Hisyam bin Abdullah Ar-Razi* menceritakan pengalaman beliau ketika belajar, "saya sudah bertemu dengan 1700 Syaikh dan menghabiskan biaya untuk belajar sekitar 700.000 dirham."
*Muhammad bin Ishaq bin Mandah* pernah belajar kepada 1700 Syaikh dan beliau menulis dengan tangannya sendiri sejumlah kitab.
*Imam Ibnu Asâkir* mempunyai Guru sebanyak 1300 dan dan 80 lebih gurunya adalah wanita. Beliau banyak mengajarkan hadits dan membacakan ilmu di 408 majlis.
*Ya'qub bin Sufyan* berkata, "saya belajar dari 1000 orang guru lebih, dan semuanya kuat hafalannya."
*Ibnu Jauzi* mengomentari hal ini dan berkata, *beginilah Anda melihat semangat orang-orang besar dalam belajar*.
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
________
*BAGAIMANA PARA ULAMA' SALAF BERUSAHA MEMILIKI SYAIKH (GURU) YANG BANYAK*
*Syaikh Abu Said As-Samman Ar-Razi* berkata, "saya belajar kepada 3600 ulama di zamannya. Menjelang akhir hayatnya, beliau menuju Ashbahan untuk belajar hadits dan berkata, Barangsiapa yang tidak pernah belajar hadits, maka tidak akan bisa merasakan nikmatnya Islam."
*Ibnu Nuqthoh berkata,* "Saya mendengar dari beberapa Ulama'bahwa Abdul Fityan Umar bin Abdul Karim Ar-Rawasi belajar kepada 3600 orang ulama."
*Ibnu An-Najjar* melakukan rihlah selama 27 tahun dan belajar kepada 3000 orang ulama."
Ibnu Katsir ketika menulis biografi *Imam Al-Bukhari* menyebutkan bahwa ia menemui seluruh ulama hadits di semua negara yang bisa dia kunjungi jumlahnya lebih dari 1000 Syaikh."
*Abu Hatim bin Hibban* menceritakan dirinya ketika menuntut ilmu, beliau berkata, "mungkin kami belajar kepada lebih dari 2000 Syaikh."
*Hisyam bin Abdullah Ar-Razi* menceritakan pengalaman beliau ketika belajar, "saya sudah bertemu dengan 1700 Syaikh dan menghabiskan biaya untuk belajar sekitar 700.000 dirham."
*Muhammad bin Ishaq bin Mandah* pernah belajar kepada 1700 Syaikh dan beliau menulis dengan tangannya sendiri sejumlah kitab.
*Imam Ibnu Asâkir* mempunyai Guru sebanyak 1300 dan dan 80 lebih gurunya adalah wanita. Beliau banyak mengajarkan hadits dan membacakan ilmu di 408 majlis.
*Ya'qub bin Sufyan* berkata, "saya belajar dari 1000 orang guru lebih, dan semuanya kuat hafalannya."
*Ibnu Jauzi* mengomentari hal ini dan berkata, *beginilah Anda melihat semangat orang-orang besar dalam belajar*.
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*ANCAMAN AKAN TERTIPU DENGAN ILMU*
*Materi ke 32 hal. 56-57*
بسم الله الرحمن الرحيم
1. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab cerita Nabi Khidir bersama Nabi Musa, dan beliau bercerita sampai pada perkataan: dan datanglah seekor burung pipit di tepi perahu lalu mematuk paruhnya ke laut dengan patukan, maka Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa "tidak mengurangi ilmuku dan ilmumu dari ilmu Allah kecuali seperti burung yang mengurangi air di laut ini dengan patukannya <al Manhaj as-Sawiy 386> keterangan senada di <Al-Mustathráf: 49>
2. Sayyidina Umar bin Khattab berkata: "barang siapa mengatakan saya orang alim, maka dia adalah orang bodoh, dan barang siapa mengatakan: saya orang sholeh, maka dia adalah orang yang keji, dan barang siapa berkata: saya adalah penghuni surga, maka dia adalah penghuní neraka".
<atau yang semakna dengan pembahasan ini>
3. Imam as-Sya'rowi menuturkan bahwa sesungguhnya ada salah satu Ulama' berkata: "saya tidak pernah mengetahui setelah Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq orang yang lebih alim dibanding saya, lalu seseorang berkata kepadanya: jika benar apa yang engkau katakan, coba berapa jumlah rambut jenggotmu? Ia tidak bisa menjawabnya dan malu atas pengakuannya. <al-Manhaj as-Sawy: 296> sepadan dengannya di <Tatsbitul Fuad: 1/301>
4. Syekh Muhyiddin bin 'Arabi sedang naik kapal di laut lepas, tiba-tiba ada angin yang menggoyahkan kapalnya, maka syekh berkata: "tenanglah wahai laut, karena di atasmu ada lautan ilmu", lalu tampak kepadanya binatang yang muncul dari laut dan berkata kepadanya: "kami telah mendengar ucapanmu, maka apa yang akan kamu katakan jika diubah bentuk seorang suami, apakah istrinya beriddah dengan iddahnya istri yang ditinggal dalam keadaan hidup atau ditinggal mati suami?", maka syekh itu tidak mengetahui apa yang akan dia katakan, lalu binatang itu mengatakan : "jadikan aku sebagai gurumu, maka aku akan memberitahu jawabannya!", syekh berkata : "ya", lalu binatang itu berkata: jika suami diubah menjadi hewan maka istrinya beriddah dengan iddahnya istri yangdicerai, dan jika diubah menjadi benda yang mati, maka istrinya beriddah dengan iddahnya istri yang ditinggal mati suami" <alManhaj as Sawy: 296> keterangan senada di <Nafahâtun- Nasim al Hajiry: 314>
Selasa 17 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*Materi ke 32 hal. 56-57*
بسم الله الرحمن الرحيم
1. Ibnu Abbas meriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab cerita Nabi Khidir bersama Nabi Musa, dan beliau bercerita sampai pada perkataan: dan datanglah seekor burung pipit di tepi perahu lalu mematuk paruhnya ke laut dengan patukan, maka Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa "tidak mengurangi ilmuku dan ilmumu dari ilmu Allah kecuali seperti burung yang mengurangi air di laut ini dengan patukannya <al Manhaj as-Sawiy 386> keterangan senada di <Al-Mustathráf: 49>
2. Sayyidina Umar bin Khattab berkata: "barang siapa mengatakan saya orang alim, maka dia adalah orang bodoh, dan barang siapa mengatakan: saya orang sholeh, maka dia adalah orang yang keji, dan barang siapa berkata: saya adalah penghuni surga, maka dia adalah penghuní neraka".
<atau yang semakna dengan pembahasan ini>
3. Imam as-Sya'rowi menuturkan bahwa sesungguhnya ada salah satu Ulama' berkata: "saya tidak pernah mengetahui setelah Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq orang yang lebih alim dibanding saya, lalu seseorang berkata kepadanya: jika benar apa yang engkau katakan, coba berapa jumlah rambut jenggotmu? Ia tidak bisa menjawabnya dan malu atas pengakuannya. <al-Manhaj as-Sawy: 296> sepadan dengannya di <Tatsbitul Fuad: 1/301>
4. Syekh Muhyiddin bin 'Arabi sedang naik kapal di laut lepas, tiba-tiba ada angin yang menggoyahkan kapalnya, maka syekh berkata: "tenanglah wahai laut, karena di atasmu ada lautan ilmu", lalu tampak kepadanya binatang yang muncul dari laut dan berkata kepadanya: "kami telah mendengar ucapanmu, maka apa yang akan kamu katakan jika diubah bentuk seorang suami, apakah istrinya beriddah dengan iddahnya istri yang ditinggal dalam keadaan hidup atau ditinggal mati suami?", maka syekh itu tidak mengetahui apa yang akan dia katakan, lalu binatang itu mengatakan : "jadikan aku sebagai gurumu, maka aku akan memberitahu jawabannya!", syekh berkata : "ya", lalu binatang itu berkata: jika suami diubah menjadi hewan maka istrinya beriddah dengan iddahnya istri yangdicerai, dan jika diubah menjadi benda yang mati, maka istrinya beriddah dengan iddahnya istri yang ditinggal mati suami" <alManhaj as Sawy: 296> keterangan senada di <Nafahâtun- Nasim al Hajiry: 314>
Selasa 17 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*Footnote 1*
_______
*JANGAN TERTIPU DENGAN 'ILMU DAN 'AMAL*
Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri pernah berkata jika kita merasa diri kita telah Alim, apalah arti ilmu yang kita miliki dibanding ilmu yang dimiliki iblis, ilmu apa yang tidak diketahui iblis? Lalu seandainya pun ilmu kita diterima, apakah kita satu-satunya orang yang berilmu?
Sebelum dilaknat AllahTa'ala, Iblis pernah melakukan tugas-tugas mulia yang diperintahkan Allah Ta'ala kepadanya yaitu:
1. Iblis sebagai penjaga surga dalam kurun waktu 40.000 tahun.
2. Iblis pernah hidup bersama bergabung dengan Malaikat selama 80.000 tahun.
3. Iblis diangkat menjadi penasehat Malaikat selama 20.000 tahun.
4. Iblis menjadi pemimpin malaikat karobiyyun (malaikat yang berada di sekitar ‘Arsy) dalam waktu 30.000 tahun.
5. Iblis melakukan thowaf (mengelilingi) arasy bersama para malaikat dalam waktu 14.000 tahun.
Apalah arti ilmu kita di hadapan orang-orang berilmu sebelum kita? Adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal ribuan Hadits, begitu pula Imam Al-Hakim. Lalu bagaimana kita bisa tertipu dengan beberapa Hadits yang kita hafal namun tidak kita amalkan?
Imam Asy-Syafi'i hafal Quran pada usia tujuh tahun dan hafal Muwatta lengkap dengan seluruh sanadnya pada usia 10 tahun. Ketika usianya belum genap 12 tahun, guru-gurunya terutama Imam Malik (pemilik Muwatta) telah mendudukannya di atas kursi tempat mereka berfatwa. Karena tubuhnya yang kecil dan belum kuat menahan dahaga, beliau harus minum pada siang hari di bulan Ramadhan karena memang beliau belum wajib puasa. Jadi ketika itu di bulan Ramadhan, beliau mengajar umat sambil minum. Lalu bagaimana dengan ilmu kita dibandingkan ilmu mereka, dengan karunia Allah yang diberikan kepada mereka?
Kemudian soal dedikasi? Kita juga tidak perlu tertipu dengan apa yang telah kita perjuangkan. Jika kita berjuang, kita berjuang dengan perut kenyang. Padahal orang-orang sebelum kita berjuang dengan perut lapar. Mereka tidak memiliki apa-apa selain sebiji kurma atau bahkan separuhnya. Setelah itu mereka tidak mempunyai apa-apa lagi.
Apabila orang beriman mau menelaah kehidupan orang-orang sholeh zaman dulu, ia pasti tidak akan tertipu dengan amalnya. Ia akan melihat hakikat beribadah kepada Allâh, sehingga ia terpacu untuk terus meningkatkan amalnya dengan tetap menyadari bahwa amalnya itu tidak lain adalah anugerah Allâh SWT.
_______
*JANGAN TERTIPU DENGAN 'ILMU DAN 'AMAL*
Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri pernah berkata jika kita merasa diri kita telah Alim, apalah arti ilmu yang kita miliki dibanding ilmu yang dimiliki iblis, ilmu apa yang tidak diketahui iblis? Lalu seandainya pun ilmu kita diterima, apakah kita satu-satunya orang yang berilmu?
Sebelum dilaknat AllahTa'ala, Iblis pernah melakukan tugas-tugas mulia yang diperintahkan Allah Ta'ala kepadanya yaitu:
1. Iblis sebagai penjaga surga dalam kurun waktu 40.000 tahun.
2. Iblis pernah hidup bersama bergabung dengan Malaikat selama 80.000 tahun.
3. Iblis diangkat menjadi penasehat Malaikat selama 20.000 tahun.
4. Iblis menjadi pemimpin malaikat karobiyyun (malaikat yang berada di sekitar ‘Arsy) dalam waktu 30.000 tahun.
5. Iblis melakukan thowaf (mengelilingi) arasy bersama para malaikat dalam waktu 14.000 tahun.
Apalah arti ilmu kita di hadapan orang-orang berilmu sebelum kita? Adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal ribuan Hadits, begitu pula Imam Al-Hakim. Lalu bagaimana kita bisa tertipu dengan beberapa Hadits yang kita hafal namun tidak kita amalkan?
Imam Asy-Syafi'i hafal Quran pada usia tujuh tahun dan hafal Muwatta lengkap dengan seluruh sanadnya pada usia 10 tahun. Ketika usianya belum genap 12 tahun, guru-gurunya terutama Imam Malik (pemilik Muwatta) telah mendudukannya di atas kursi tempat mereka berfatwa. Karena tubuhnya yang kecil dan belum kuat menahan dahaga, beliau harus minum pada siang hari di bulan Ramadhan karena memang beliau belum wajib puasa. Jadi ketika itu di bulan Ramadhan, beliau mengajar umat sambil minum. Lalu bagaimana dengan ilmu kita dibandingkan ilmu mereka, dengan karunia Allah yang diberikan kepada mereka?
Kemudian soal dedikasi? Kita juga tidak perlu tertipu dengan apa yang telah kita perjuangkan. Jika kita berjuang, kita berjuang dengan perut kenyang. Padahal orang-orang sebelum kita berjuang dengan perut lapar. Mereka tidak memiliki apa-apa selain sebiji kurma atau bahkan separuhnya. Setelah itu mereka tidak mempunyai apa-apa lagi.
Apabila orang beriman mau menelaah kehidupan orang-orang sholeh zaman dulu, ia pasti tidak akan tertipu dengan amalnya. Ia akan melihat hakikat beribadah kepada Allâh, sehingga ia terpacu untuk terus meningkatkan amalnya dengan tetap menyadari bahwa amalnya itu tidak lain adalah anugerah Allâh SWT.
*Footnote 2*
________
*Empat jenis orang yang tertipu dengan ilmu yang di milikinya menurut Imam Ghazali*
1. ada yang berilmu akan tetapi dia tidak melaksanakan ilmunya ,dia merasa terhormat dengan jabatan dan gelar-gelar keilmuannya , dia yakin akan selamat dunia akhirat ,padahal ilmu itu pemandu amal tidak berguna ilmu tanpa di amalkan.
2. ada orang berilmu dan dia mengamalkan ilmunya ,akan tetapi dia tidak pernah menjaga niatnya ,padahal amal itu tidak hanya harus sah (rukunnya di lakukan) tetapi juga harus di terima,di terima atau tidaknya suatu amal ini urusan niat.
3. ada pula yang tau ilmu dan mau mengajarkannya kepada orang lain akan tetapi dia sendiri tidak mampu mengamalkannya ,misalnya dia mengajak orang lain berbuat kebaikan ,akan tetapi diatidak melaksanakannya,orang semacam ini sungguh tertipu ,dia bagaikan lilin ,menerangi yang lain tapi dirinya sendiri terbakar.
4. ada yang memiliki ilmu akan tetapi sayang ,dia mengklaim diri dan kelompoknya paling benar ,surgapun di klaim miliknya ,sungguh orang ini tertipu ,bukankah dimensi agama itu luas sehingga tidak mungkin di borong sendiri".
________
*Empat jenis orang yang tertipu dengan ilmu yang di milikinya menurut Imam Ghazali*
1. ada yang berilmu akan tetapi dia tidak melaksanakan ilmunya ,dia merasa terhormat dengan jabatan dan gelar-gelar keilmuannya , dia yakin akan selamat dunia akhirat ,padahal ilmu itu pemandu amal tidak berguna ilmu tanpa di amalkan.
2. ada orang berilmu dan dia mengamalkan ilmunya ,akan tetapi dia tidak pernah menjaga niatnya ,padahal amal itu tidak hanya harus sah (rukunnya di lakukan) tetapi juga harus di terima,di terima atau tidaknya suatu amal ini urusan niat.
3. ada pula yang tau ilmu dan mau mengajarkannya kepada orang lain akan tetapi dia sendiri tidak mampu mengamalkannya ,misalnya dia mengajak orang lain berbuat kebaikan ,akan tetapi diatidak melaksanakannya,orang semacam ini sungguh tertipu ,dia bagaikan lilin ,menerangi yang lain tapi dirinya sendiri terbakar.
4. ada yang memiliki ilmu akan tetapi sayang ,dia mengklaim diri dan kelompoknya paling benar ,surgapun di klaim miliknya ,sungguh orang ini tertipu ,bukankah dimensi agama itu luas sehingga tidak mungkin di borong sendiri".
*Footnote 3*
_______
قال حاتم الأصم :
Imam Hatim Al-Asom berkata :
لا تغتر بموضع صالح فلا مكان أصلح من الجنة وقد لقي آدم عليه السلام فيها ما لقي،
Janganlah kamu tertipu dengan tempat yang baik, karena tiada tempat yang lebih baik dari Surga dan sungguh Nabi Adam alaihis salam telah mengalami disurga apa yang telah beliau alami (tertipu iblis hingga di turunkan ke dunia)
ولا تغتر بكثرة العبادة فإن إبليس بعد طول تعبده لقي ما لقي،
Dan janganlah kamu tertipu dengan banyaknya ibadah, karena sesungguhnya iblis setelah sekian lamanya beribadah ia mendapati apa yang telah ia dapatkan (terlaknat karna membangkang perintah sujud pada Nabi Adam)
ولا تغتر بكثرة العلم؛ فإن بلعام كان يحسن إسم الله الأعظم فانظر ماذا لقي،
Dan janganlah kamu tertipu dengan banyaknya ilmu, karena bal'am yang begitu memahami nama ALLOH yang teragung, tapi lihatlah! apa yang terjadi padanya (mati su'ul khotimah dengan lidah terjulur karna menghianati Nabi Musa)
ولا تغتر برؤية الصالحين فلا شخص أكبر منزلة عند الله من المصطفى صلى الله عليه وسلم ولم ينتفع بلقائه أقاربه وأعداؤه.
Dan janganlah pula tertipu dengan telah memandang orang-orang sholeh, karena tiada orang yang lebih agung kedudukannya di sisi ALLOH dari Nabi Muhammad shollAllahu alaihi wa sallam, akan tetapi kerabat-kerabat (yang musyrik) dan musuh-musuhnya tidak bisa mengambil manfaat dengan bertemu Beliau.
(kutipan Ihya 'Ulumiddin AlGhozaly)
_______
قال حاتم الأصم :
Imam Hatim Al-Asom berkata :
لا تغتر بموضع صالح فلا مكان أصلح من الجنة وقد لقي آدم عليه السلام فيها ما لقي،
Janganlah kamu tertipu dengan tempat yang baik, karena tiada tempat yang lebih baik dari Surga dan sungguh Nabi Adam alaihis salam telah mengalami disurga apa yang telah beliau alami (tertipu iblis hingga di turunkan ke dunia)
ولا تغتر بكثرة العبادة فإن إبليس بعد طول تعبده لقي ما لقي،
Dan janganlah kamu tertipu dengan banyaknya ibadah, karena sesungguhnya iblis setelah sekian lamanya beribadah ia mendapati apa yang telah ia dapatkan (terlaknat karna membangkang perintah sujud pada Nabi Adam)
ولا تغتر بكثرة العلم؛ فإن بلعام كان يحسن إسم الله الأعظم فانظر ماذا لقي،
Dan janganlah kamu tertipu dengan banyaknya ilmu, karena bal'am yang begitu memahami nama ALLOH yang teragung, tapi lihatlah! apa yang terjadi padanya (mati su'ul khotimah dengan lidah terjulur karna menghianati Nabi Musa)
ولا تغتر برؤية الصالحين فلا شخص أكبر منزلة عند الله من المصطفى صلى الله عليه وسلم ولم ينتفع بلقائه أقاربه وأعداؤه.
Dan janganlah pula tertipu dengan telah memandang orang-orang sholeh, karena tiada orang yang lebih agung kedudukannya di sisi ALLOH dari Nabi Muhammad shollAllahu alaihi wa sallam, akan tetapi kerabat-kerabat (yang musyrik) dan musuh-musuhnya tidak bisa mengambil manfaat dengan bertemu Beliau.
(kutipan Ihya 'Ulumiddin AlGhozaly)
*Footnote 4*
______
*Tipuan Yang Memperdayai Manusia*
يقول الحبيب علوي بن شهاب الدين باعلوي رحمة الله عليه:
AlHabib 'Alwi bin Syahab Ba'Alawi semoga ALLAH meridhoi beliau berkata;
لا أحد منكم يغتر بالمكان الذي هو فيه فيقول انا في تريم او في غيرها من البقاع الصالحة؛ فآدم كان في الجنة لكنه عصى الله ونزل للأرض!
*Janganlah salah satu dari kamu sekalian tertipu dengan tempat yang dia tinggal ditempat tersebut,* maka dia berkata aku tinggal di Tarim atau ditempat-tempat lainnya dari tempat-tempat yang baik,Maka Nabi Adam dulunya tinggal disyurga tetapi ketika beliau berbuat sedikit kesalahan dengan memakan buah khuldi,ALLAH menurunkan beliau ke bumi
ولا أحد منكم يغتر بعلم؛
فإن بلعم بن باعورا كان عالما لكن لم ينفعه علمه!
Dan *janganlah salahsatu dari kamu sekalian tertipu dengan ilmu,* maka sesungguhnya bal'am bin ba'ura dulunya adalah orang yang alim tetapi ilmunya justru tidak memberi kemanfaatan kepada dirinya
ولا أحد منكم يغتر بنسب؛
فإن ابن نوح هلك مع انه ابن نبي!
Dan *janganlah salahsatu dari kamu sekalian tertipu dengan nasab,* maka sesungguhnya anak Nabi Nuh celaka padahal dia adalah anak nabi
ولا برؤيته للصالحين؛
فأبو جهل وأبو لهب رأوا النبي صل الله عليه وسلم ولا نفعهم ذلك!
Dan *janganlah pula(tertipu)dengan melihat kepada orang-orang sholih,* maka abu jahal&abu lahab,mereka melihat An-Nabi Saw&tidak memberikan manfaat atas pandangan tersebut
ولا أحد يغتر بكثرة عبادته؛
فإن ابليس ماترك شبر في الارض الا سجد عليها ومانفعه ذلك!
Dan *janganlah satupun tertipu dengan banyaknya ibadahnya,* maka sesungguhnya iblis tidak meninggalkan satu jengkal-pun dibumi kecuali dia iblis bersujud dibumi tersebut&hal tersebut-pun tidak memberi kemanfaatan pada iblis.
______
*Tipuan Yang Memperdayai Manusia*
يقول الحبيب علوي بن شهاب الدين باعلوي رحمة الله عليه:
AlHabib 'Alwi bin Syahab Ba'Alawi semoga ALLAH meridhoi beliau berkata;
لا أحد منكم يغتر بالمكان الذي هو فيه فيقول انا في تريم او في غيرها من البقاع الصالحة؛ فآدم كان في الجنة لكنه عصى الله ونزل للأرض!
*Janganlah salah satu dari kamu sekalian tertipu dengan tempat yang dia tinggal ditempat tersebut,* maka dia berkata aku tinggal di Tarim atau ditempat-tempat lainnya dari tempat-tempat yang baik,Maka Nabi Adam dulunya tinggal disyurga tetapi ketika beliau berbuat sedikit kesalahan dengan memakan buah khuldi,ALLAH menurunkan beliau ke bumi
ولا أحد منكم يغتر بعلم؛
فإن بلعم بن باعورا كان عالما لكن لم ينفعه علمه!
Dan *janganlah salahsatu dari kamu sekalian tertipu dengan ilmu,* maka sesungguhnya bal'am bin ba'ura dulunya adalah orang yang alim tetapi ilmunya justru tidak memberi kemanfaatan kepada dirinya
ولا أحد منكم يغتر بنسب؛
فإن ابن نوح هلك مع انه ابن نبي!
Dan *janganlah salahsatu dari kamu sekalian tertipu dengan nasab,* maka sesungguhnya anak Nabi Nuh celaka padahal dia adalah anak nabi
ولا برؤيته للصالحين؛
فأبو جهل وأبو لهب رأوا النبي صل الله عليه وسلم ولا نفعهم ذلك!
Dan *janganlah pula(tertipu)dengan melihat kepada orang-orang sholih,* maka abu jahal&abu lahab,mereka melihat An-Nabi Saw&tidak memberikan manfaat atas pandangan tersebut
ولا أحد يغتر بكثرة عبادته؛
فإن ابليس ماترك شبر في الارض الا سجد عليها ومانفعه ذلك!
Dan *janganlah satupun tertipu dengan banyaknya ibadahnya,* maka sesungguhnya iblis tidak meninggalkan satu jengkal-pun dibumi kecuali dia iblis bersujud dibumi tersebut&hal tersebut-pun tidak memberi kemanfaatan pada iblis.
*Footnote 5*
______
*Siapakah al- maghrur itu?*
Oleh: Ulinnuha Asnawi
Al-Maghrur? Makhdù' biha (tertipu) atau yakin hasil baik yang telah dicapai, atau seseorang yang tertipu oleh dirinya sendiri akan hasil yang telah dicapai. Mereka meyakini amal kedudukannya telah paripurna, akan tetapi pada realitanya tidak demikian. *Al-Ghazali mengelompokkan golongan ini menjadi empat golongan; golongan Ahlul Ilmi, golongan yang menuhankan amal, golongan sufi, serta golongan orang² kaya.*
Ahlul Ilmi yang termaghrur, ada beberapa kelompok dan modelnya. Ada yang suka menghukumi ilmu syariat, berpikir realistis layaknya filsuf ulung, hari harinya hanya disibukkan dengan 'ahkam' tapi nol dalam amaliyah dan ijtinabun nawahi.
Mereka menipu dirinya sendiri dengan ilmunya, mengira memiliki kedudukan yang diperhitungkan disisi Allah sebab ilmunya, bahkan beranggapan telah mencapai ilmu yang paling tinggi sehingga Allah tidak akan mengazabnya, lalu orang-orang akan memohon syafaatnya, kelak dihari kiyamat.
Jika benar mereka memandang ilmu dengan bashirah (kejernihan hati), maka ilmu itu ada dua; ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah, yaitu al-ilm bilLah.
Ilmu mu'amalah yaitu ilmu tentang halal-haram, ilmu mengetahui akhlak yang terpuji dan tercela, dan bagaimana menyikapinya, tujuan ilmu ini tidak lain adalah amal. Buat apa ilmu kaya akan ilmu tetapi miskin amal?
Orang yang semacam ini semisal dengan perumpamaan Allah Ta'ala; seperti anjing yang selalu menjulurkan lidah baik engkau bebankan kepadanya atau engkau tinggalkan begitu saja (QS. al-A'raf: 176). Atau, seperti khimar yang dibebankan barang berharga diatas punggungnya (QS. al-Jumu'ah; 5), lalu adakah perumaan yang lebih rendah dari anjing dan khimar?
Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda: Barangsiapa bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah amal kebaikannya, maka sedikitpun tidak menambah kepadanya kecuali jauh dari (rahmat) Allah, Sebagaimana telah diriwayatkan al-Imam ad-Dailamy rahimahulLah;
من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله الا بعدا
Barangsiapa bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah hidayahnya maka tiada bertambah baginya kecuali jauh (dari rahmat) Allah Ta'ala (HR. ad-Dailamy)
Semoga bermanfaat. Semoga kita selamat dari maghrur-maghrur yang membodohi diri kita sendiri.
NB: Disarikan dari kitab Siarut Thalibin Syarh Minjul 'ãbidin (al-Ghazali) karya fenomenal 'Ulama Nusantara, Syaikhuna al-Kariim Zaini Dahlan.
______
*Siapakah al- maghrur itu?*
Oleh: Ulinnuha Asnawi
Al-Maghrur? Makhdù' biha (tertipu) atau yakin hasil baik yang telah dicapai, atau seseorang yang tertipu oleh dirinya sendiri akan hasil yang telah dicapai. Mereka meyakini amal kedudukannya telah paripurna, akan tetapi pada realitanya tidak demikian. *Al-Ghazali mengelompokkan golongan ini menjadi empat golongan; golongan Ahlul Ilmi, golongan yang menuhankan amal, golongan sufi, serta golongan orang² kaya.*
Ahlul Ilmi yang termaghrur, ada beberapa kelompok dan modelnya. Ada yang suka menghukumi ilmu syariat, berpikir realistis layaknya filsuf ulung, hari harinya hanya disibukkan dengan 'ahkam' tapi nol dalam amaliyah dan ijtinabun nawahi.
Mereka menipu dirinya sendiri dengan ilmunya, mengira memiliki kedudukan yang diperhitungkan disisi Allah sebab ilmunya, bahkan beranggapan telah mencapai ilmu yang paling tinggi sehingga Allah tidak akan mengazabnya, lalu orang-orang akan memohon syafaatnya, kelak dihari kiyamat.
Jika benar mereka memandang ilmu dengan bashirah (kejernihan hati), maka ilmu itu ada dua; ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah, yaitu al-ilm bilLah.
Ilmu mu'amalah yaitu ilmu tentang halal-haram, ilmu mengetahui akhlak yang terpuji dan tercela, dan bagaimana menyikapinya, tujuan ilmu ini tidak lain adalah amal. Buat apa ilmu kaya akan ilmu tetapi miskin amal?
Orang yang semacam ini semisal dengan perumpamaan Allah Ta'ala; seperti anjing yang selalu menjulurkan lidah baik engkau bebankan kepadanya atau engkau tinggalkan begitu saja (QS. al-A'raf: 176). Atau, seperti khimar yang dibebankan barang berharga diatas punggungnya (QS. al-Jumu'ah; 5), lalu adakah perumaan yang lebih rendah dari anjing dan khimar?
Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda: Barangsiapa bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah amal kebaikannya, maka sedikitpun tidak menambah kepadanya kecuali jauh dari (rahmat) Allah, Sebagaimana telah diriwayatkan al-Imam ad-Dailamy rahimahulLah;
من ازداد علما ولم يزدد هدى لم يزدد من الله الا بعدا
Barangsiapa bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah hidayahnya maka tiada bertambah baginya kecuali jauh (dari rahmat) Allah Ta'ala (HR. ad-Dailamy)
Semoga bermanfaat. Semoga kita selamat dari maghrur-maghrur yang membodohi diri kita sendiri.
NB: Disarikan dari kitab Siarut Thalibin Syarh Minjul 'ãbidin (al-Ghazali) karya fenomenal 'Ulama Nusantara, Syaikhuna al-Kariim Zaini Dahlan.
*Footnote 6*
_______
*Al-Maghrūr 2 (ahli ibadah dan amal)*
Pembaca yang selalu dilimpahkan rahmat Allah, pada catatan kecil, sebelum ini telah dijelaskan, betapa orang yang maghrūr (tertipu oleh dirinya sendiri) al-Ghazali membaginya menjadi empat bagian. Pertama, Ahlul Ilmi. Kedua, Ahlul Ibadah dan amal. Ketiga, Ahli Tasawuf (Sufism), dan yang keempat; Hartawan.
Al-Maghrūr pertama sudah dijelaskan dalam catatan sebelum ini, yaitu Ahlul Ilmi yang diibaratkan seperti Anjing dan Khimar.Mereka berilmu tapi nol dalam amal kebaikan, ilmunya hanya dikerongkongan, lamis dalam tutur ucapan, menjelaskan ilmu layaknya filsuf ulung, mulutnya berbusa mutiara intan permata akan tetapi hatinya kotor seperti comberan, hingga jawarih (tubuhnya) tak mampu memancarkan mutiara indah berbusa dari mulutnya.
Maghrūr yang kedua, adalah para penyembah ubudiyah dan amal kebaikan. Model dan gayanya beragam dan sangat banyak sekali. Diantaranya, memprioritaskan amal sunah dan fadlail (keutamaan amal) akan tetapi enggan dalam amal fardliyah. Ini sangat fatal, terutama bagi penyusun kitab Ihya ( al-Ghazali), berikut disepakati oleh para Ulama baik dari kalangan Tasawuf, Fikih, hadits dan pecinta Ahlul bait.
Ketika berwudlu terdapat was was (ragu) yang hebat layaknya seseorang yang tidak ridla tubuhnya dihukumi dengan hukum Allah, akan tetapi menyepelekan bab najis. Adajuga yang kamu temukan mereka terlihat sangat hati-hati dalam makanan yang jelas jelas dihalalkan Allah (dengan alasan riyadlah) akan tetapi dalam kesempatan lain lahap memakan makanan yang nyata nyata haram dalam hukum Allah.
Adajuga kamu jumpai mereka sangat hati hati dalam niat shalat, diulang ulang, sampai terlihat sepertinya kamu tidak mendapati oranglain yang lebih khusyu' darinya, akan tetapi setelah masuk shalat hatinya tergadaikan dengan segala perkara duniawi, bahkan disemua waktu shalat (selain waktu niat) dan mengangkat tangan dengan takbir. Mereka mengira shalat itu terhitung hanya dari niatnya saja.
Adajuga yang modelnya was was (ragu tapi terlihat sangat hati-hati) dalam bacaan al-Fatihah shalat, makhorijul khuruf dalam setiap bacaan shalat, fasih adalah prioritas menurutnya. Keatas bawah samping kanan kiri lidahnya menekan tasydid dan makhorijul huruf, serta (terlihat hati-hati) membedakan antara dla dan dha, akan tetapi nol dalam makna al-Qur'an dan dzikir yang dibaca, padahal ruh-nya bacaan dalam maknanya dan seberapa mentadabburi qira'ah-nya.
Adajuga yang sibuk berziarah Makkah-Madinah, sibuk Haji dan Umrah. Tapi ketika disana hatinya tergadaikan oleh apa yang ditinggalkan dirumah. Mereka berziarah hanya untuk menceritakan kepada oranglain setelah pulang dari tanah suci, pernah berjumpa ini itu, tempat yang dianggap umat Islam mulia, supaya mendapatkan 'wah' dari orang yang akan di-pamer-inya. Mereka berziarah ketanah suci hanya untuk riya' (pamer), sum'ah (pengakuan baik oranglain), cinta pujian dan anggapan mulia oranglain.
Kemudian penyusunan Ihya itu menutup pembahasan kedua ini dengan menarik benang merah, bahwa sangat diperlukan dalam amal ibadah mengenal dua hal yang menyebabkan runtuhnya amal, yaitu ãfat adz-dzãhir (kebinasaan dari sisi dzhahiriyah) dan ãfat al-bathīn (kebinasaan dari sisi batiniyah), siapa yang tidak memahaminya dan tidak mengukuhkan hati berpegang teguh dalam memperhatikan dua hal ini dapat dipastikan mereka terjerembab dalam lubang² maghrūr.
Keterangan ini dinukil dari intisari (bukan terjemah) kitab karya Ulama Nusantara: Shīrajut Thãlibin Syaikh Ihsan (Kediri) Syarh (elaborasi) dari kitab Minhãjul 'Abidīn karya Hujjatul Islam Imamuna al-Ghazali (rahimahumalLãh). Juga dijelaskan dalam Ihya al-Ghazali (kebetulan penukil pernah membacanya). Husnudzon penulis sejenak mereka tersenyum bahagia berikut guru guru al-Faqir ketika (sejenak) pembaca tersentuh kebaikan saat membaca catatan kecil ini.
Semoga al-Faqīr ini benar benar faqīr dalam menyampaikan kebenaran (setidaknya menurut penukil sendiri) seperti al-Ghazali dan Syaikh Ihsan (Kediri) yang menyampaikan ilmu dengan niatan faqīr (merasa butuh) dan selulup (menenggela
_______
*Al-Maghrūr 2 (ahli ibadah dan amal)*
Pembaca yang selalu dilimpahkan rahmat Allah, pada catatan kecil, sebelum ini telah dijelaskan, betapa orang yang maghrūr (tertipu oleh dirinya sendiri) al-Ghazali membaginya menjadi empat bagian. Pertama, Ahlul Ilmi. Kedua, Ahlul Ibadah dan amal. Ketiga, Ahli Tasawuf (Sufism), dan yang keempat; Hartawan.
Al-Maghrūr pertama sudah dijelaskan dalam catatan sebelum ini, yaitu Ahlul Ilmi yang diibaratkan seperti Anjing dan Khimar.Mereka berilmu tapi nol dalam amal kebaikan, ilmunya hanya dikerongkongan, lamis dalam tutur ucapan, menjelaskan ilmu layaknya filsuf ulung, mulutnya berbusa mutiara intan permata akan tetapi hatinya kotor seperti comberan, hingga jawarih (tubuhnya) tak mampu memancarkan mutiara indah berbusa dari mulutnya.
Maghrūr yang kedua, adalah para penyembah ubudiyah dan amal kebaikan. Model dan gayanya beragam dan sangat banyak sekali. Diantaranya, memprioritaskan amal sunah dan fadlail (keutamaan amal) akan tetapi enggan dalam amal fardliyah. Ini sangat fatal, terutama bagi penyusun kitab Ihya ( al-Ghazali), berikut disepakati oleh para Ulama baik dari kalangan Tasawuf, Fikih, hadits dan pecinta Ahlul bait.
Ketika berwudlu terdapat was was (ragu) yang hebat layaknya seseorang yang tidak ridla tubuhnya dihukumi dengan hukum Allah, akan tetapi menyepelekan bab najis. Adajuga yang kamu temukan mereka terlihat sangat hati-hati dalam makanan yang jelas jelas dihalalkan Allah (dengan alasan riyadlah) akan tetapi dalam kesempatan lain lahap memakan makanan yang nyata nyata haram dalam hukum Allah.
Adajuga kamu jumpai mereka sangat hati hati dalam niat shalat, diulang ulang, sampai terlihat sepertinya kamu tidak mendapati oranglain yang lebih khusyu' darinya, akan tetapi setelah masuk shalat hatinya tergadaikan dengan segala perkara duniawi, bahkan disemua waktu shalat (selain waktu niat) dan mengangkat tangan dengan takbir. Mereka mengira shalat itu terhitung hanya dari niatnya saja.
Adajuga yang modelnya was was (ragu tapi terlihat sangat hati-hati) dalam bacaan al-Fatihah shalat, makhorijul khuruf dalam setiap bacaan shalat, fasih adalah prioritas menurutnya. Keatas bawah samping kanan kiri lidahnya menekan tasydid dan makhorijul huruf, serta (terlihat hati-hati) membedakan antara dla dan dha, akan tetapi nol dalam makna al-Qur'an dan dzikir yang dibaca, padahal ruh-nya bacaan dalam maknanya dan seberapa mentadabburi qira'ah-nya.
Adajuga yang sibuk berziarah Makkah-Madinah, sibuk Haji dan Umrah. Tapi ketika disana hatinya tergadaikan oleh apa yang ditinggalkan dirumah. Mereka berziarah hanya untuk menceritakan kepada oranglain setelah pulang dari tanah suci, pernah berjumpa ini itu, tempat yang dianggap umat Islam mulia, supaya mendapatkan 'wah' dari orang yang akan di-pamer-inya. Mereka berziarah ketanah suci hanya untuk riya' (pamer), sum'ah (pengakuan baik oranglain), cinta pujian dan anggapan mulia oranglain.
Kemudian penyusunan Ihya itu menutup pembahasan kedua ini dengan menarik benang merah, bahwa sangat diperlukan dalam amal ibadah mengenal dua hal yang menyebabkan runtuhnya amal, yaitu ãfat adz-dzãhir (kebinasaan dari sisi dzhahiriyah) dan ãfat al-bathīn (kebinasaan dari sisi batiniyah), siapa yang tidak memahaminya dan tidak mengukuhkan hati berpegang teguh dalam memperhatikan dua hal ini dapat dipastikan mereka terjerembab dalam lubang² maghrūr.
Keterangan ini dinukil dari intisari (bukan terjemah) kitab karya Ulama Nusantara: Shīrajut Thãlibin Syaikh Ihsan (Kediri) Syarh (elaborasi) dari kitab Minhãjul 'Abidīn karya Hujjatul Islam Imamuna al-Ghazali (rahimahumalLãh). Juga dijelaskan dalam Ihya al-Ghazali (kebetulan penukil pernah membacanya). Husnudzon penulis sejenak mereka tersenyum bahagia berikut guru guru al-Faqir ketika (sejenak) pembaca tersentuh kebaikan saat membaca catatan kecil ini.
Semoga al-Faqīr ini benar benar faqīr dalam menyampaikan kebenaran (setidaknya menurut penukil sendiri) seperti al-Ghazali dan Syaikh Ihsan (Kediri) yang menyampaikan ilmu dengan niatan faqīr (merasa butuh) dan selulup (menenggela
*Footnote 7*
_________
*Al-Maghrûr 3 (ahli tasawuf)*
Kali ini al-Ghazali menjelaskan bahwa Mutashawwif yang Maghrûr (tertipu oleh dirinya sendiri karena merasa paripurna amal kebaikannya) bagaikan melihat rembulan dalam bayangan air jernih lalu menjeburkan diri kedalam air tersebut, tanyakan padanya apa yang mereka dapat? Tentu, mesik basah kuyub hanya lelah yang mereka dapat. Sebagaimana dijelaskan dalam Ihya-nya.
Diantara mereka ada yang modelnya merendahkan para Ahlut Tafsir (Mufasir) Ahlul Hadits, Ahlul fikih (fuqahà’), dan Ulama-ulama penyusun kitab, bahkan ilmu yang disampaikan. Memandang dengan rendah, lebih rendah dari orang awam (yang rajin beramal baik). Sepertinya mereka mengatakan bahwa Ulama itu tak ubahnya seperti kerbau pembajak sawah yang ditinggalkan jasanya oleh para petani setelah lahan tergarap dan siap ditanam. Dalam kesempatan lain mereka membantah ucapan Ulama itu dengan mulutnya yang berbusa-busa bahwa Mutashawwif berkata dengan ilham dari langit dan manik manikam rahasia alam malakut.
Mutashawwif yang sok suci itu juga memandang rendah ibadah Ahlul Ilmi. Mulut berbusa mereka berucap bahwa hakikat Ulama adalah yang di(khawas)kan Allah dalam ibadahnya. Sungguhpun mereka para Mutashawwif hanya bermain-main layaknya bocah, lalu mengatakan bahwa qîl wa al-Qàl (pendapat yang dinukil dan dikatakan Ulama) hanyalah hijab pembatas antara dirinya dan Tuhan, dan mereka mengaku telah wushul kepada Allah dengan selalu hudlûr dalam ibadahnya.
Sungguh Mutashawwif seperti itu hanyalah kumpulan orang-orang yang bergelimangan dosa dan munafik. Sedangkan dalam kecerdasan hati mereka tak ubahnya seperti orang-orang bodoh dan dungu, telah tertipu oleh dirinya sendiri dan tidak memahami hukum Allah, tidak membersihkan hati dengan hakikat mujahadah, tidak beraturan dalam amal ubudiyah, tidak muraqabah (mendekatdiri kepada Allah) dengan hakikat dzikir yang jauh dari hawa nafsu dan syahwat keinginan. Sekarang coba pikir adakah yang lebih Maghrûr dari mereka itu?
Demikian intisari dari kitab Siràj at-Thalibin karya Syaikh Ihsan (Kediri) elaborasi (syarh) Minhaj al-‘Abidin karya al-Ghazali. Bab Al-Maghrûr bagian ke III. Berat hati sebenarya penukil menuliskan catatan kecil ini, betapa banyak su’udzhon orang awam (seperti al-fakir ini) terbuka lebar setelah membaca catatan kecil ini. Husnudzon al-fakir istilah ‘Mutashawwif’ berbeda dengan ‘as-Shufi’ yang akhir ini adalah Ahli Tasauf yang selamat qalbu-nya dari hakikat ma’rifat bilLàh. Amaliyah-nya adalah dzahir amaliyah rasulullah dan qalbunya mewarnai pergerakan qalbu Rasulullah ﷺ.
_________
*Al-Maghrûr 3 (ahli tasawuf)*
Kali ini al-Ghazali menjelaskan bahwa Mutashawwif yang Maghrûr (tertipu oleh dirinya sendiri karena merasa paripurna amal kebaikannya) bagaikan melihat rembulan dalam bayangan air jernih lalu menjeburkan diri kedalam air tersebut, tanyakan padanya apa yang mereka dapat? Tentu, mesik basah kuyub hanya lelah yang mereka dapat. Sebagaimana dijelaskan dalam Ihya-nya.
Diantara mereka ada yang modelnya merendahkan para Ahlut Tafsir (Mufasir) Ahlul Hadits, Ahlul fikih (fuqahà’), dan Ulama-ulama penyusun kitab, bahkan ilmu yang disampaikan. Memandang dengan rendah, lebih rendah dari orang awam (yang rajin beramal baik). Sepertinya mereka mengatakan bahwa Ulama itu tak ubahnya seperti kerbau pembajak sawah yang ditinggalkan jasanya oleh para petani setelah lahan tergarap dan siap ditanam. Dalam kesempatan lain mereka membantah ucapan Ulama itu dengan mulutnya yang berbusa-busa bahwa Mutashawwif berkata dengan ilham dari langit dan manik manikam rahasia alam malakut.
Mutashawwif yang sok suci itu juga memandang rendah ibadah Ahlul Ilmi. Mulut berbusa mereka berucap bahwa hakikat Ulama adalah yang di(khawas)kan Allah dalam ibadahnya. Sungguhpun mereka para Mutashawwif hanya bermain-main layaknya bocah, lalu mengatakan bahwa qîl wa al-Qàl (pendapat yang dinukil dan dikatakan Ulama) hanyalah hijab pembatas antara dirinya dan Tuhan, dan mereka mengaku telah wushul kepada Allah dengan selalu hudlûr dalam ibadahnya.
Sungguh Mutashawwif seperti itu hanyalah kumpulan orang-orang yang bergelimangan dosa dan munafik. Sedangkan dalam kecerdasan hati mereka tak ubahnya seperti orang-orang bodoh dan dungu, telah tertipu oleh dirinya sendiri dan tidak memahami hukum Allah, tidak membersihkan hati dengan hakikat mujahadah, tidak beraturan dalam amal ubudiyah, tidak muraqabah (mendekatdiri kepada Allah) dengan hakikat dzikir yang jauh dari hawa nafsu dan syahwat keinginan. Sekarang coba pikir adakah yang lebih Maghrûr dari mereka itu?
Demikian intisari dari kitab Siràj at-Thalibin karya Syaikh Ihsan (Kediri) elaborasi (syarh) Minhaj al-‘Abidin karya al-Ghazali. Bab Al-Maghrûr bagian ke III. Berat hati sebenarya penukil menuliskan catatan kecil ini, betapa banyak su’udzhon orang awam (seperti al-fakir ini) terbuka lebar setelah membaca catatan kecil ini. Husnudzon al-fakir istilah ‘Mutashawwif’ berbeda dengan ‘as-Shufi’ yang akhir ini adalah Ahli Tasauf yang selamat qalbu-nya dari hakikat ma’rifat bilLàh. Amaliyah-nya adalah dzahir amaliyah rasulullah dan qalbunya mewarnai pergerakan qalbu Rasulullah ﷺ.
*Footnote 8*
________
*al-Maghrur 4 (golongan hartawan)*
al-HamdulilLah, catatan kecil tentang maghrur (orang yang tertipu oleh dirinya sendiri) telah memasuki catatan terakhir, sebagaimana telah paripurna pengetahuan kita tentang maghrur ini, dari tiga kelompok maghrur catatan kecil sebelum ini.
Maghrur yang pertama adalah Ahlul Ilmu, kemudian Ahlul Amal, para Mutashawwif (sufism) dan kali ini catatan selanjutnya akan mengisyarahkan maghrur yang ke empat (terakhir) yaitu tertipunya hartawan, karena merasa cukup dengan menginfakkan hartanya untuk bersedekah. Mereka merasa paripurna amalnya sebab sedekah yang dikeluarkan (menurutnya dijalan Allah).
Al-Ghazali sebagaimana dituturkan Syaikh Ihsan (Kediri) dalam kitab Sirajut Thalibin syarh (elaborasi) karya al-Ghazali Minhaj al-Abidin. Model dan gaya maghrur yang ini juga bermacam varian dan bentuknya.
Diantara model mereka ada yang bersedekah kepada fakir-miskin dengan mendatangi majelis-majelis tempat berkumpulnya orang-orang, sebagaimana mereka faham kebiasaan orang-orang yang tak banyak harta ini selalu berterimakasih (berlebihan) dan dan menceritakan kebaikan orang yang memberikan sedekah kepadanya.
Mereka memanfaatkan momentum ini, dan andaipun mereka bersedekah secara bersembunyi tidak akan sudi mensedekahkan sebagian hartanya kepada oranglain.
Adajuga modelnya yang suka menghajikan oranglain, berulangkali menghinfakkan hartanya untuk menghajikan orang ini itu, akan tetapi membiarkan tetangganya kelaparan. Tepatsekali apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud radlialLahu ‘anhu wa ardlah “Diakhir zaman, banyak sekali orang pergi haji, mereka berbondong-bondong mengunjungi tanah suci dengan tanpa sebab (mampu, karena cukup bekalnya).
Adajuga hartawan yang maghrur gaya ibadahnya memilih amalan-amalan badaniyah yang tidak mengeluarkan harta-benda, irit diongkos, seperti puasa menghatamkan al-Qur’an berulangkali, rajin qiyamul lail, dan menghindari sedekah karena sifat bakhil-nya.
Adapun letak maghrur-nya adalah nilai kemanfaatan amal, dengan keegoisannya mereka mencukupkan amalan-amalan yang tidak mengeluarkan harta-benda.
Setelah menjelaskan ini Syaikh Ihsan (Allahu, yarham) menjelaskan tentang maghrurnya kebanyakan umat Islam; baik orang awam ataupun fakir-miskin dan hartawan
Diantara mereka ada yang selalu menghadiri pengajian kesana-kemari akan tetapi tidak pernah menyentuh hatinya apapun yang dikatakan Ulama disana. Dalam celah pidato Ulama mereka bertasbih (subhanalLaah..) ada juga yang menangis seperti tangisan perempuan hanya untuk menarik orang disekitarnya, padahal mereka tidak faham dan bahkan tidak memerhatikan apa isi pengajian.
Sebenarnya masih banyak sekali maghrur-maghrur lainnya. Akan tetapi al-fakir merasa cukup dalam mengutip (intisari) dari kitab Sirajut Thalibin ini. Demikian, sekiranya Allah Memperkenankan kita akan berjumpa dalam tema yang berbeda. Semoga bermanfaat.
________
*al-Maghrur 4 (golongan hartawan)*
al-HamdulilLah, catatan kecil tentang maghrur (orang yang tertipu oleh dirinya sendiri) telah memasuki catatan terakhir, sebagaimana telah paripurna pengetahuan kita tentang maghrur ini, dari tiga kelompok maghrur catatan kecil sebelum ini.
Maghrur yang pertama adalah Ahlul Ilmu, kemudian Ahlul Amal, para Mutashawwif (sufism) dan kali ini catatan selanjutnya akan mengisyarahkan maghrur yang ke empat (terakhir) yaitu tertipunya hartawan, karena merasa cukup dengan menginfakkan hartanya untuk bersedekah. Mereka merasa paripurna amalnya sebab sedekah yang dikeluarkan (menurutnya dijalan Allah).
Al-Ghazali sebagaimana dituturkan Syaikh Ihsan (Kediri) dalam kitab Sirajut Thalibin syarh (elaborasi) karya al-Ghazali Minhaj al-Abidin. Model dan gaya maghrur yang ini juga bermacam varian dan bentuknya.
Diantara model mereka ada yang bersedekah kepada fakir-miskin dengan mendatangi majelis-majelis tempat berkumpulnya orang-orang, sebagaimana mereka faham kebiasaan orang-orang yang tak banyak harta ini selalu berterimakasih (berlebihan) dan dan menceritakan kebaikan orang yang memberikan sedekah kepadanya.
Mereka memanfaatkan momentum ini, dan andaipun mereka bersedekah secara bersembunyi tidak akan sudi mensedekahkan sebagian hartanya kepada oranglain.
Adajuga modelnya yang suka menghajikan oranglain, berulangkali menghinfakkan hartanya untuk menghajikan orang ini itu, akan tetapi membiarkan tetangganya kelaparan. Tepatsekali apa yang dikatakan Ibnu Mas’ud radlialLahu ‘anhu wa ardlah “Diakhir zaman, banyak sekali orang pergi haji, mereka berbondong-bondong mengunjungi tanah suci dengan tanpa sebab (mampu, karena cukup bekalnya).
Adajuga hartawan yang maghrur gaya ibadahnya memilih amalan-amalan badaniyah yang tidak mengeluarkan harta-benda, irit diongkos, seperti puasa menghatamkan al-Qur’an berulangkali, rajin qiyamul lail, dan menghindari sedekah karena sifat bakhil-nya.
Adapun letak maghrur-nya adalah nilai kemanfaatan amal, dengan keegoisannya mereka mencukupkan amalan-amalan yang tidak mengeluarkan harta-benda.
Setelah menjelaskan ini Syaikh Ihsan (Allahu, yarham) menjelaskan tentang maghrurnya kebanyakan umat Islam; baik orang awam ataupun fakir-miskin dan hartawan
Diantara mereka ada yang selalu menghadiri pengajian kesana-kemari akan tetapi tidak pernah menyentuh hatinya apapun yang dikatakan Ulama disana. Dalam celah pidato Ulama mereka bertasbih (subhanalLaah..) ada juga yang menangis seperti tangisan perempuan hanya untuk menarik orang disekitarnya, padahal mereka tidak faham dan bahkan tidak memerhatikan apa isi pengajian.
Sebenarnya masih banyak sekali maghrur-maghrur lainnya. Akan tetapi al-fakir merasa cukup dalam mengutip (intisari) dari kitab Sirajut Thalibin ini. Demikian, sekiranya Allah Memperkenankan kita akan berjumpa dalam tema yang berbeda. Semoga bermanfaat.
*Footnote 9*
__________
*ILMU, Antara yang Nâfi' dan yang Ghurûr*
Oleh: Ahmad Kholili Hasib
SUATU saat, seorang murid senior Imam al-Ghazali berkirim surat berkeluh-kesah atas keadaan dirinya. Sang murid itu telah bertahun-tahun belajar kepada sang Hujjatul Islam. Hingga berhasil menguasai beberapa disiplin ilmu sampai pada tingkat detil dan rumit. Akan tetapi, dengan modal ilmu-ilmu itu, ia merasa ada yang kurang. Sebab, ia kebingungan mana yang bermanfaat untuk masa depannya.
*Telah aku baca berbagai macam dan jenis disiplin ilmu. Aku habiskan rentang usiaku hanya untuk mempelajari dan menguasainya. Sekarang, aku harus memilah dan memilih jenis disiplin ilmu apa yang bermanfaat untukku di masa depan serta mampu menjadi teman yang menghiburku di dalam sempit nan gelap di liang kubur, mana juga yang tidak bermanfaat hingga aku langsung menyisihkannya*, demikian kata sang murid dalam hatinya (Imam al-Ghazali, Ayyuhal Walad,).
Renungan murid imam al-Ghazali tersebut patut kita cerna baik-baik. Mungkin saja kita sedang dalam keadaan menggeluti sesuatu yang belum memberi manfaat untuk masa depan hidup kita. Karena, kita berada dalam pendidikan yang tidak lagi menjadikan ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah sebagai frame pendidikan Islam. Di lain pihak masih banyak lembaga yang masih mencari-cari model pendidikan yang mampu melahirkan generasi Muslim beradab.
Maka dapat kita ditemui, para orang tua sangat menekankan anak-anaknya untuk kursus bahasa Mandarin, kursus menari, musik, bimbingan belajar matematika dan lain-lain. Bahkan beban itu terlampau melewati batas normal kemampuan anak. Dengan biaya mahal sekalipun. Tapi lalai, bahwa anaknya belum bisa membaca surat al-Fatihah, belum hafal bacaan shalat dan tata caranya, dan buta terhadap maksud rukun iman dan Islam.
Begitulah, *kejahilan tentang ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah menyebabkan seseorang itu tertipu (maghrur)*. Apalagi ada perasaan ‘ujub terhadap pencapaian ilmu yang telah diraihnya. Bisa jadi, seseorang tersibukkan dengan ilmu-ilmu yang tidak membawa manfaatnya.
Diterangkan oleh imam al-Ghazali, terdapat ilmu yang ahli bidang hukum dan khilafiyah fiqih dengan detail. Akan tetapi, *ilmu tersebut tidak bermanfaat (untuk dirinya). Indikasinya, semakin detail ia pelajari, semakin ia bermaksiat kepada Allah.*
Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan khilafiyah, namun abai terhadap penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri. Berprasangka bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan (munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih.
Akibatnya, tipe orang seperti itu mengabaikan sifat-sifat yang tercela seperti sombong, riya, hasud, cinta kehormatan, pangkat dan mencari popularitas. Semua ini adalah bentuk ketertipuan terhadap ilmunya. Kesibukannya hanya bertumpu pada amaliah lahir saja. Yang benar, mestinya ilmuan tersebut mempelajari ilmu lahir (fikih) sekaligus ilmu batin (tazkiyatun nafs).
Sebagaimana seseorang yang mempelajari fiqih harus memahami tauhid. Bahkan, kata Ibnu Athoillah al-Sakandari, *memisahkan keduanya berarti terjun ke dalam ‘kekufuran’.* Ia berpendapat: “Orang yang banyak berbicara tentang tauhid tetapi tidak peduli ilmu fiqih, sama saja dengan mencampakkan dirinya ke dalam samudra kekufuran”.
Seorang yang tertipu oleh ilmunya sendiri antara lain ada yang menekuni ilmu-ilmu syariat dan ilmu rasional (ilm ‘aqliyah). Dua ilmu ini baik dan bagus. Semestinya membawa manfaat. Namun di sisi yang lain, mereka membiarkan anggota tubuhnya berbuat maksiat. Disebabkan, ilmunya tidak diamalkan dengan baik.
Seseorang tertipu dengan ilmunya itu, karena dalam dirinya terdapat perasaan bahwa dengan eksisnya ilmu syariat dalam dirinya, ia merasa sudah aman dari murka Allah Swt. Prasangka yang berlebihan bahwa ilmu yang ia pelajari langsung menaikkan derajatnya di sisi AllahSubhanahu Wata’ala.
Mereka inilah yang tertipu dengan ilmu yang dimiliki. Padahal, *ilmu yang bermanfaat adalah apabila diamalkan dan membawa kepada rasa khasyyah (takut) kepad
__________
*ILMU, Antara yang Nâfi' dan yang Ghurûr*
Oleh: Ahmad Kholili Hasib
SUATU saat, seorang murid senior Imam al-Ghazali berkirim surat berkeluh-kesah atas keadaan dirinya. Sang murid itu telah bertahun-tahun belajar kepada sang Hujjatul Islam. Hingga berhasil menguasai beberapa disiplin ilmu sampai pada tingkat detil dan rumit. Akan tetapi, dengan modal ilmu-ilmu itu, ia merasa ada yang kurang. Sebab, ia kebingungan mana yang bermanfaat untuk masa depannya.
*Telah aku baca berbagai macam dan jenis disiplin ilmu. Aku habiskan rentang usiaku hanya untuk mempelajari dan menguasainya. Sekarang, aku harus memilah dan memilih jenis disiplin ilmu apa yang bermanfaat untukku di masa depan serta mampu menjadi teman yang menghiburku di dalam sempit nan gelap di liang kubur, mana juga yang tidak bermanfaat hingga aku langsung menyisihkannya*, demikian kata sang murid dalam hatinya (Imam al-Ghazali, Ayyuhal Walad,).
Renungan murid imam al-Ghazali tersebut patut kita cerna baik-baik. Mungkin saja kita sedang dalam keadaan menggeluti sesuatu yang belum memberi manfaat untuk masa depan hidup kita. Karena, kita berada dalam pendidikan yang tidak lagi menjadikan ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah sebagai frame pendidikan Islam. Di lain pihak masih banyak lembaga yang masih mencari-cari model pendidikan yang mampu melahirkan generasi Muslim beradab.
Maka dapat kita ditemui, para orang tua sangat menekankan anak-anaknya untuk kursus bahasa Mandarin, kursus menari, musik, bimbingan belajar matematika dan lain-lain. Bahkan beban itu terlampau melewati batas normal kemampuan anak. Dengan biaya mahal sekalipun. Tapi lalai, bahwa anaknya belum bisa membaca surat al-Fatihah, belum hafal bacaan shalat dan tata caranya, dan buta terhadap maksud rukun iman dan Islam.
Begitulah, *kejahilan tentang ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah menyebabkan seseorang itu tertipu (maghrur)*. Apalagi ada perasaan ‘ujub terhadap pencapaian ilmu yang telah diraihnya. Bisa jadi, seseorang tersibukkan dengan ilmu-ilmu yang tidak membawa manfaatnya.
Diterangkan oleh imam al-Ghazali, terdapat ilmu yang ahli bidang hukum dan khilafiyah fiqih dengan detail. Akan tetapi, *ilmu tersebut tidak bermanfaat (untuk dirinya). Indikasinya, semakin detail ia pelajari, semakin ia bermaksiat kepada Allah.*
Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan khilafiyah, namun abai terhadap penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri. Berprasangka bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan (munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih.
Akibatnya, tipe orang seperti itu mengabaikan sifat-sifat yang tercela seperti sombong, riya, hasud, cinta kehormatan, pangkat dan mencari popularitas. Semua ini adalah bentuk ketertipuan terhadap ilmunya. Kesibukannya hanya bertumpu pada amaliah lahir saja. Yang benar, mestinya ilmuan tersebut mempelajari ilmu lahir (fikih) sekaligus ilmu batin (tazkiyatun nafs).
Sebagaimana seseorang yang mempelajari fiqih harus memahami tauhid. Bahkan, kata Ibnu Athoillah al-Sakandari, *memisahkan keduanya berarti terjun ke dalam ‘kekufuran’.* Ia berpendapat: “Orang yang banyak berbicara tentang tauhid tetapi tidak peduli ilmu fiqih, sama saja dengan mencampakkan dirinya ke dalam samudra kekufuran”.
Seorang yang tertipu oleh ilmunya sendiri antara lain ada yang menekuni ilmu-ilmu syariat dan ilmu rasional (ilm ‘aqliyah). Dua ilmu ini baik dan bagus. Semestinya membawa manfaat. Namun di sisi yang lain, mereka membiarkan anggota tubuhnya berbuat maksiat. Disebabkan, ilmunya tidak diamalkan dengan baik.
Seseorang tertipu dengan ilmunya itu, karena dalam dirinya terdapat perasaan bahwa dengan eksisnya ilmu syariat dalam dirinya, ia merasa sudah aman dari murka Allah Swt. Prasangka yang berlebihan bahwa ilmu yang ia pelajari langsung menaikkan derajatnya di sisi AllahSubhanahu Wata’ala.
Mereka inilah yang tertipu dengan ilmu yang dimiliki. Padahal, *ilmu yang bermanfaat adalah apabila diamalkan dan membawa kepada rasa khasyyah (takut) kepad
a Allah Subhanahu Wata’ala.*
Tanda ilmu yang bermanfaat itu diungkapkan oleh Ibnu Athoillah al-Sakandari, yaitu jika ilmu itu kita pelajari mengundang khasyyah (rasa takut) kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Ibnu Athoillah al-Sakandari, Al-Hikam,hal.278). *Bila kita pelajari suatu ilmu, tetapi tidak semakin bertakwa, maka ada dua sebab; bisa jadi ada subjek ilmu yang belum ditekuni dan bisa pula mindset belajarnya keliru yaitu ilmunya dituju untuk tujuan-tujuan tidak baik.*
Ternyata, disiplin ilmu-ilmu itu tidak mengandung manfaat kecuali bila membantu menuju kepada takwa. Jadi, kemuliaan ilmu digantungkan oleh manfaat atau tidaknya. Sudah pasti dengan memenuhi syarat mempelajari; yaitu niat karena Allah Subhanahu Wata’ala. Sementara, ilmu yang tidak bermanfaat akan menjadi ‘senjata’ menenggelamkan seseorang dalam kekeliruan.
Kata Ibnu Athoillah, ‘sebaik-baik ilmu adalah yang mengundang rasa khasyyah. Maka, setiap ilmu yang tidak disertai rasa takwa dipastikan tidak akan memberikan kebaikan. Dan pemiliknya tidak boleh digelari dengan alim.Maksud dari ungkapan Ibnu Athoillah tersebut adalah ilmu-ilmu yang dapat menghantar untuk mengenal Allah. Inilah ilmu terbaik.
Ilmu yang manfaat atau yang tidak, diukur dengan manfaatnya masa depan akhirat. Sufyan al-Tsauri mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu dipelajari semata untuk taqwa kepada Allah. Maka, jika ada ilmu yang di dalamnya tidak bisa membawa taqwa, maka buanglah” (Muhammad bin Ibrahim al-Randy,Ghaitsul Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, hal. 278).
Karena itu, banyaknya subjek ilmu yang dikuasai seseorang menjadikan seseorang menjadi takabbur sehingga merusak hati dan pikirannya. Bahayanya adalah, bila seseorang tidak merasa sama sekali dalam hatinya bahwa ia tertipu dengan ilmunya sendiri. Lebih bahaya lagi banyaknya subjek ilmu yang dipelajari bukan dari guru.
Seringkali ilmu menjadi sesuatu yang buruk dan merusak karena pemilik ilmu itu jauh dari Allah. Ia menempatkan orientasi ilmunya pada popularitas, dan selalu disibukkan dengan dunia. Ilmu yang demikian, hanya akan merusak masa depan seseorang.
Maka, riwayat Abu Hurairah ini harus menjadi pengingat para ilmuan; “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan untuk ridha Allah, tetapi ia pelajari untuk dunia, di hari kiamat ia tak mencium bau Surga.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tanda ilmu yang bermanfaat itu diungkapkan oleh Ibnu Athoillah al-Sakandari, yaitu jika ilmu itu kita pelajari mengundang khasyyah (rasa takut) kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Ibnu Athoillah al-Sakandari, Al-Hikam,hal.278). *Bila kita pelajari suatu ilmu, tetapi tidak semakin bertakwa, maka ada dua sebab; bisa jadi ada subjek ilmu yang belum ditekuni dan bisa pula mindset belajarnya keliru yaitu ilmunya dituju untuk tujuan-tujuan tidak baik.*
Ternyata, disiplin ilmu-ilmu itu tidak mengandung manfaat kecuali bila membantu menuju kepada takwa. Jadi, kemuliaan ilmu digantungkan oleh manfaat atau tidaknya. Sudah pasti dengan memenuhi syarat mempelajari; yaitu niat karena Allah Subhanahu Wata’ala. Sementara, ilmu yang tidak bermanfaat akan menjadi ‘senjata’ menenggelamkan seseorang dalam kekeliruan.
Kata Ibnu Athoillah, ‘sebaik-baik ilmu adalah yang mengundang rasa khasyyah. Maka, setiap ilmu yang tidak disertai rasa takwa dipastikan tidak akan memberikan kebaikan. Dan pemiliknya tidak boleh digelari dengan alim.Maksud dari ungkapan Ibnu Athoillah tersebut adalah ilmu-ilmu yang dapat menghantar untuk mengenal Allah. Inilah ilmu terbaik.
Ilmu yang manfaat atau yang tidak, diukur dengan manfaatnya masa depan akhirat. Sufyan al-Tsauri mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu dipelajari semata untuk taqwa kepada Allah. Maka, jika ada ilmu yang di dalamnya tidak bisa membawa taqwa, maka buanglah” (Muhammad bin Ibrahim al-Randy,Ghaitsul Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, hal. 278).
Karena itu, banyaknya subjek ilmu yang dikuasai seseorang menjadikan seseorang menjadi takabbur sehingga merusak hati dan pikirannya. Bahayanya adalah, bila seseorang tidak merasa sama sekali dalam hatinya bahwa ia tertipu dengan ilmunya sendiri. Lebih bahaya lagi banyaknya subjek ilmu yang dipelajari bukan dari guru.
Seringkali ilmu menjadi sesuatu yang buruk dan merusak karena pemilik ilmu itu jauh dari Allah. Ia menempatkan orientasi ilmunya pada popularitas, dan selalu disibukkan dengan dunia. Ilmu yang demikian, hanya akan merusak masa depan seseorang.
Maka, riwayat Abu Hurairah ini harus menjadi pengingat para ilmuan; “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan untuk ridha Allah, tetapi ia pelajari untuk dunia, di hari kiamat ia tak mencium bau Surga.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
*MEMBAHAS SEBAGIAN KITAB [1]*
*Materi ke 33 hal. 57-59*
بسم الله الرحمن الرحيم
1. Sayyidina imam Idrus bin Umar Al-Habsyi mengatakan: "Enam kitab Induk dalam ilmu tasawuf adalah enam kitab berikut ini: *al lhya', Minhâjul Âbidin, al Arba'in alAshl karya Imam Ghazali dan Risalatul Qusyairiyah, serta Awárif karya Syaikh Sahrawardy dan al Qut karya Abi Thalib al Makki".* <alManhaj as Sawiy: 255> keterangan senada di <Kalamul Habib 'Idrus al Habsyi: 58>
2. Sesungguhnya Habib Abdullah AlHaddad berkata: "Membaca kitab *alMinhaj dalam ilmu fiqh, dan lhya' dalam ilmu tasawuf, dan al Baghawy dalam ilmu tafsir serta al Mulhah dalam ilmu i'rab dan kitab-kitab Ibnu Hisyam* adalah di antara jenis kitab yang pembacaannya bisa mendatangkan futuh dan meninggikan (derajat) ruhaniyah". <al Manhaj as-Sawiy: 258> keterangan senada di <Tadzkinun-Nás: 388>
3. Diriwayatkan dari Syekh al Quthb Abdurrahman Assegaf, beliau mengatakan: "Orang yang belum membaca kitab al-Muhadzdzab berarti belum mengetahui kaidah-kaidah madzhab, dan orang yang belum membaca kitab at Tanbih berarti dia tidak pandai, dan orang yang belum mempelajari kitab Ihya' berarti tidak punya malu, dan orang yang tidak mempunyai wirid maka dia layaknya kera", <al Manhaj as Sawiy: 249> keterangan senada di <Tadzkirun-Nás: 38>
4. Ada empat muqaddimah (kata pengantar) kitab yang dianjurkan untuk dibaca berulang-ulang karena sangat berguna bagi pelajar pemula dan menjadi pengingat bagi pelajar tingkat lanjut sebab di dalamnya mencakup ilmu yang sangat banyak. Empat muqaddimah tersebut adalah; *muqaddimah Tafsirul-Fakhr ar-Razi sampai surat al Baqarah muqaddimah Syarh Muslim, muqaddimah al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab dan muqaddimah Ibnu khaldun.* <Tadzkirun-Nás: 383>
5. Sesungguhnya *membaca kitab as-Syifa' karya al-Qadhi Iyadh sangat ampuh sekali untuk menghilangkan kesusahan*. Telah terjadi pada habib Ahmad bin Husain Al-Idrus di saat malam pertamanya dengan putri pamannya Syekh bin Abdullah, dia berkata kepada istrinya "Peganglah lampu itu! Agar aku bisa membaca khutbah (pendahuluan) kitab as-Syifa". Lalu dia berkata: "Lebih baik kita menyempunakannya maka dia menyempurnakan pembacaan kitab itu sedangkan lampu berada di tangan istrinya sampai pagi. <Tadzkirun Nás: 304>
6. Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus belajar dari imam Yahya bin Abi bakar Al-'Amiry, pengarang *kitab Bahjatul-Mahâfil* dan pernah beliau meminta darinya agar menampakkan letak jari-jari kenabian di punggungnya, itu terjadi karena imam Yahya pernah bermimpi bahwa Nabi mengusap punggungnya dan ketika beliau bangun, tampak jari-jari kenabian di punggungnya dan tetap ada selama hidupnya. Cerita itu terkenal di daerah Yaman. <al Masyra' ar-Rawy: 2/73>
7. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi meriwayatkan dari Imam Abdullah Al-Haddad bahwasanya beliau senantiasa malanggengkan pembacaan tiga kitab, setiap menyelesaikan satu kitab, beliau memerintahkan untuk mengulangi pembacaannya dari awal dan begitu seterusnya Kitab tersebut adalah; *Riyadhus-Shalihin, Maqolun-Nashihin dan Syarh al-Hadiqah* (yaitu penjelasan atas kitab al'Urwat al-Watsiqah) karya Syekh Muhammad bin Umar Bahraq. <al Manhaj as Sawiy: 260> keterangan senada di <Kalámul Habib Idrús al Habsyi: 221>
8. Para Salaf suka membaca kitab *AlIqna' Ala Aby Syuja'* karya al- Khâtib. Dan Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr tidak membaca kitab kecuali hanya Iqna'. <alManhaj as-Sawiy: 263> keterangan senada di <Tadzkirun Nás: 38>
9. Ketika mengetahui kitab *Ar-Rahabiyyah,* sebagian 'Arifin berkata: Ar-Rahabiyyah adalah mutiara terpendam dalam ilmu faraidh (pembagian warisan) (semoga Allah menempatkan bagi penyusunnya pada kedudukan yang tinggi, maka barang siapa tidak menghafalnya dan menghafal kitab Zubad dalam ilmu fiqh dan kitab AlMulhah dalam ilmu bahasa Arab, maka dia bagaikan sapi atau domba atau keledai, sebagai kendaraan bagi yang mengendarainya, lupakan namanya karena ia telah jauh dari ilmu-ilmu yang diriwayatkan". <TuhfatulAsyráf: 3/142>
Rabu 18 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*Materi ke 33 hal. 57-59*
بسم الله الرحمن الرحيم
1. Sayyidina imam Idrus bin Umar Al-Habsyi mengatakan: "Enam kitab Induk dalam ilmu tasawuf adalah enam kitab berikut ini: *al lhya', Minhâjul Âbidin, al Arba'in alAshl karya Imam Ghazali dan Risalatul Qusyairiyah, serta Awárif karya Syaikh Sahrawardy dan al Qut karya Abi Thalib al Makki".* <alManhaj as Sawiy: 255> keterangan senada di <Kalamul Habib 'Idrus al Habsyi: 58>
2. Sesungguhnya Habib Abdullah AlHaddad berkata: "Membaca kitab *alMinhaj dalam ilmu fiqh, dan lhya' dalam ilmu tasawuf, dan al Baghawy dalam ilmu tafsir serta al Mulhah dalam ilmu i'rab dan kitab-kitab Ibnu Hisyam* adalah di antara jenis kitab yang pembacaannya bisa mendatangkan futuh dan meninggikan (derajat) ruhaniyah". <al Manhaj as-Sawiy: 258> keterangan senada di <Tadzkinun-Nás: 388>
3. Diriwayatkan dari Syekh al Quthb Abdurrahman Assegaf, beliau mengatakan: "Orang yang belum membaca kitab al-Muhadzdzab berarti belum mengetahui kaidah-kaidah madzhab, dan orang yang belum membaca kitab at Tanbih berarti dia tidak pandai, dan orang yang belum mempelajari kitab Ihya' berarti tidak punya malu, dan orang yang tidak mempunyai wirid maka dia layaknya kera", <al Manhaj as Sawiy: 249> keterangan senada di <Tadzkirun-Nás: 38>
4. Ada empat muqaddimah (kata pengantar) kitab yang dianjurkan untuk dibaca berulang-ulang karena sangat berguna bagi pelajar pemula dan menjadi pengingat bagi pelajar tingkat lanjut sebab di dalamnya mencakup ilmu yang sangat banyak. Empat muqaddimah tersebut adalah; *muqaddimah Tafsirul-Fakhr ar-Razi sampai surat al Baqarah muqaddimah Syarh Muslim, muqaddimah al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab dan muqaddimah Ibnu khaldun.* <Tadzkirun-Nás: 383>
5. Sesungguhnya *membaca kitab as-Syifa' karya al-Qadhi Iyadh sangat ampuh sekali untuk menghilangkan kesusahan*. Telah terjadi pada habib Ahmad bin Husain Al-Idrus di saat malam pertamanya dengan putri pamannya Syekh bin Abdullah, dia berkata kepada istrinya "Peganglah lampu itu! Agar aku bisa membaca khutbah (pendahuluan) kitab as-Syifa". Lalu dia berkata: "Lebih baik kita menyempunakannya maka dia menyempurnakan pembacaan kitab itu sedangkan lampu berada di tangan istrinya sampai pagi. <Tadzkirun Nás: 304>
6. Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus belajar dari imam Yahya bin Abi bakar Al-'Amiry, pengarang *kitab Bahjatul-Mahâfil* dan pernah beliau meminta darinya agar menampakkan letak jari-jari kenabian di punggungnya, itu terjadi karena imam Yahya pernah bermimpi bahwa Nabi mengusap punggungnya dan ketika beliau bangun, tampak jari-jari kenabian di punggungnya dan tetap ada selama hidupnya. Cerita itu terkenal di daerah Yaman. <al Masyra' ar-Rawy: 2/73>
7. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi meriwayatkan dari Imam Abdullah Al-Haddad bahwasanya beliau senantiasa malanggengkan pembacaan tiga kitab, setiap menyelesaikan satu kitab, beliau memerintahkan untuk mengulangi pembacaannya dari awal dan begitu seterusnya Kitab tersebut adalah; *Riyadhus-Shalihin, Maqolun-Nashihin dan Syarh al-Hadiqah* (yaitu penjelasan atas kitab al'Urwat al-Watsiqah) karya Syekh Muhammad bin Umar Bahraq. <al Manhaj as Sawiy: 260> keterangan senada di <Kalámul Habib Idrús al Habsyi: 221>
8. Para Salaf suka membaca kitab *AlIqna' Ala Aby Syuja'* karya al- Khâtib. Dan Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr tidak membaca kitab kecuali hanya Iqna'. <alManhaj as-Sawiy: 263> keterangan senada di <Tadzkirun Nás: 38>
9. Ketika mengetahui kitab *Ar-Rahabiyyah,* sebagian 'Arifin berkata: Ar-Rahabiyyah adalah mutiara terpendam dalam ilmu faraidh (pembagian warisan) (semoga Allah menempatkan bagi penyusunnya pada kedudukan yang tinggi, maka barang siapa tidak menghafalnya dan menghafal kitab Zubad dalam ilmu fiqh dan kitab AlMulhah dalam ilmu bahasa Arab, maka dia bagaikan sapi atau domba atau keledai, sebagai kendaraan bagi yang mengendarainya, lupakan namanya karena ia telah jauh dari ilmu-ilmu yang diriwayatkan". <TuhfatulAsyráf: 3/142>
Rabu 18 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
*MEMBAHAS SEBAGIAN KITAB [2]*
*Materi ke 34 hal. 59-61*
بسم الله الرحمن الرحيم
10. Habib Ahmad bin Hasan Al-Attos berkata: "Hendaklah kalian membaca kedua kitab ini; *Risalahnya Habib Ahmad bin Zein AlHabsyi dan Al-Mukhtashar al Lathif,* dan ajarkan keduanya kepada murid muridmu, karena ulama salaf menjamin akan diperolehnya futuh bagi orang yang membacanya". <al Manhaj as-Sawiy: 263> keterangan senada di <Tadzkirun-Nás: 387>
11. Diceritakan bahwasanya Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi didatangi oleh Habib Abdul Qadir bin Quthban seraya berkata kepadanya: Aku ingin membaca kitab padamu, pilihlah kitab yang akan aku baca di hadapanmu". Ketika Habib Idrus menunjukkan *kitab Risalatul Mu'âwanah*, Habib Abdul Qadir bin Quthban seakan-akan menyepelekan kitab tersebut karena ia mengira bahwa Habib Idrus akan memilih kitab Al-Ihyâ' atau Qûtul-Qulûb. Kemudian Habib Idrus mendatanginya dan berkata kepadanya: "Lihatlah siapa penyusunnya dan untuk siapa dia menyusunnya, penyusunnya adalah Habib Abdullah AlHaddad dan disusun untuk Habib Ahmad bin Hasyim AlHabsyi". <Kalamul Habib 'Aluy bin Syihab: 1/393>
12. Diriwayatkan bahwa Syekh Zakaria al-Anshari hidup sekitar 100 tahun. Di umurnya yang sudah tua, beliau mengajarkan semua kitab yang beliau hafal dari semua mata pelajaran, bahkan sampai kitab Matn al Jurumiyah, ditanyakan padanya "Wahai Guru, kenapa engkau masih membaca kitab Jurumiyah, padahal engkau sudah menjadi Ulama' besar dan menguasai kitab-kitab yang besar? Beliau menjawab *saya tidak akan meninggalkan jalan yang dapat menyampaikanku mengetahui beberapa ilmu*.
13. Ulama Salaf mengatakan: *Barang siapa membaca hawâsyi',¹ dia tidak mendapatkan apa pun*. Habib Muhammad bin Salim Albar berkata *dikecualikan kitab Hâsyiyah AlBayjûry syarah kitab lbnu AlQasim* karena itu sama dengan matan (teks kitab)*. <Tadzkirun Nas: 38>
14. Seseorang bermimpi melihat Syaikh Abul Ishaq Asy-Syairozi setelah wafatnya, ditanyakan padanya: apa yang Allah perbuat padamu Syaikh? Beliau menjawab: Allah mengampuniku sebab ucapanku dalam kitab at-Tanbih dalam bab istinja' pada anus: "maka hendaklah seseorang mengangkat dalamnya jari tengah supaya lancar lempitan-lempitan anus" (kotoran dapat keluar dengan lancar). <Syarh durrul mandzum: 545>.
15. Habib Ahmad bin Hasan Al-Attos mengatakan:
من أراد التقدم فعليه بكتب المقدمين، ومن اراد التأخر فعليه بكتب المتأخرين.
"Barang siapa ingin maju (dalam ilmu), hendaknya membaca kitab ulama terdahulu. Dan barang siapa ingin mundur maka bacalah kitab ulama kontemporer". <al Manhaj as Sawiy: 246> keterangan senada di <Tadzkirun-Nás: 28>
16. Seseorang seyogyanya *membaca kitab ulama salaf (terdahulu)* karena apa yang terkandung di dalamnya dari penyebutan dalil dan sebab adanya hukum, penjelasan dan keterangan hadits-hadits, *maka ia akan menjadi alim dalam waktu dekat, dan karena pengarangnya adalah orangorang yang ikhlas, dan mereka mendoakan bagi orang yang membacanya*. (atau yang semakna dengan pembahasan ini)
17. تصانيف العارفين بالله تعالى من النعم العظيمة على أهل الزمان
*Karangan para ulama Al'Ârifin Billah termasuk kenikmatan yang agung bagi generasi masa ini,* karena karangan tersebut adalah intisari dari Al-Qur'an dan hadits yang kebanyakan orang, khususnya awam tidak memahaminya. (atau yang semakna dengan pembahasan ini)
18. Disebutkan dihadapan Syekh Umar bin Abdurrahman Al-Attos banyaknya karangan, sampai sebagian orang yang hadir berkata:
إنه لا حاجة إلى التصنيف اليوم،
*Sesungguhnya sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi karangan kitab*
Maka Habib Umar berkata:
وهل يضر الصائح بعد الصائح؟!
*Apakah orang yang berteriak membawa kerugian setelah sebelumnya ada yang berteriak?! ²* <al Manhaj as Sawiy 123> keterangan senada di <Kalâmul Habib Idris al Habsyi: 82>
19. Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad berkata: "Sesungguhnya Allah membuat ulama berbicara pada setiap zaman sesuai dengan penghuninya, dan karangan-karangan kitab akan mencapai ruang lingkup yang jauh dan akan tetap ada setelah meninggalnya pengarangnya, maka ia akan mendapatkan keutamaan menyebarkan ilmu dan akan dicatat sebagai peng
*Materi ke 34 hal. 59-61*
بسم الله الرحمن الرحيم
10. Habib Ahmad bin Hasan Al-Attos berkata: "Hendaklah kalian membaca kedua kitab ini; *Risalahnya Habib Ahmad bin Zein AlHabsyi dan Al-Mukhtashar al Lathif,* dan ajarkan keduanya kepada murid muridmu, karena ulama salaf menjamin akan diperolehnya futuh bagi orang yang membacanya". <al Manhaj as-Sawiy: 263> keterangan senada di <Tadzkirun-Nás: 387>
11. Diceritakan bahwasanya Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi didatangi oleh Habib Abdul Qadir bin Quthban seraya berkata kepadanya: Aku ingin membaca kitab padamu, pilihlah kitab yang akan aku baca di hadapanmu". Ketika Habib Idrus menunjukkan *kitab Risalatul Mu'âwanah*, Habib Abdul Qadir bin Quthban seakan-akan menyepelekan kitab tersebut karena ia mengira bahwa Habib Idrus akan memilih kitab Al-Ihyâ' atau Qûtul-Qulûb. Kemudian Habib Idrus mendatanginya dan berkata kepadanya: "Lihatlah siapa penyusunnya dan untuk siapa dia menyusunnya, penyusunnya adalah Habib Abdullah AlHaddad dan disusun untuk Habib Ahmad bin Hasyim AlHabsyi". <Kalamul Habib 'Aluy bin Syihab: 1/393>
12. Diriwayatkan bahwa Syekh Zakaria al-Anshari hidup sekitar 100 tahun. Di umurnya yang sudah tua, beliau mengajarkan semua kitab yang beliau hafal dari semua mata pelajaran, bahkan sampai kitab Matn al Jurumiyah, ditanyakan padanya "Wahai Guru, kenapa engkau masih membaca kitab Jurumiyah, padahal engkau sudah menjadi Ulama' besar dan menguasai kitab-kitab yang besar? Beliau menjawab *saya tidak akan meninggalkan jalan yang dapat menyampaikanku mengetahui beberapa ilmu*.
13. Ulama Salaf mengatakan: *Barang siapa membaca hawâsyi',¹ dia tidak mendapatkan apa pun*. Habib Muhammad bin Salim Albar berkata *dikecualikan kitab Hâsyiyah AlBayjûry syarah kitab lbnu AlQasim* karena itu sama dengan matan (teks kitab)*. <Tadzkirun Nas: 38>
14. Seseorang bermimpi melihat Syaikh Abul Ishaq Asy-Syairozi setelah wafatnya, ditanyakan padanya: apa yang Allah perbuat padamu Syaikh? Beliau menjawab: Allah mengampuniku sebab ucapanku dalam kitab at-Tanbih dalam bab istinja' pada anus: "maka hendaklah seseorang mengangkat dalamnya jari tengah supaya lancar lempitan-lempitan anus" (kotoran dapat keluar dengan lancar). <Syarh durrul mandzum: 545>.
15. Habib Ahmad bin Hasan Al-Attos mengatakan:
من أراد التقدم فعليه بكتب المقدمين، ومن اراد التأخر فعليه بكتب المتأخرين.
"Barang siapa ingin maju (dalam ilmu), hendaknya membaca kitab ulama terdahulu. Dan barang siapa ingin mundur maka bacalah kitab ulama kontemporer". <al Manhaj as Sawiy: 246> keterangan senada di <Tadzkirun-Nás: 28>
16. Seseorang seyogyanya *membaca kitab ulama salaf (terdahulu)* karena apa yang terkandung di dalamnya dari penyebutan dalil dan sebab adanya hukum, penjelasan dan keterangan hadits-hadits, *maka ia akan menjadi alim dalam waktu dekat, dan karena pengarangnya adalah orangorang yang ikhlas, dan mereka mendoakan bagi orang yang membacanya*. (atau yang semakna dengan pembahasan ini)
17. تصانيف العارفين بالله تعالى من النعم العظيمة على أهل الزمان
*Karangan para ulama Al'Ârifin Billah termasuk kenikmatan yang agung bagi generasi masa ini,* karena karangan tersebut adalah intisari dari Al-Qur'an dan hadits yang kebanyakan orang, khususnya awam tidak memahaminya. (atau yang semakna dengan pembahasan ini)
18. Disebutkan dihadapan Syekh Umar bin Abdurrahman Al-Attos banyaknya karangan, sampai sebagian orang yang hadir berkata:
إنه لا حاجة إلى التصنيف اليوم،
*Sesungguhnya sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi karangan kitab*
Maka Habib Umar berkata:
وهل يضر الصائح بعد الصائح؟!
*Apakah orang yang berteriak membawa kerugian setelah sebelumnya ada yang berteriak?! ²* <al Manhaj as Sawiy 123> keterangan senada di <Kalâmul Habib Idris al Habsyi: 82>
19. Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad berkata: "Sesungguhnya Allah membuat ulama berbicara pada setiap zaman sesuai dengan penghuninya, dan karangan-karangan kitab akan mencapai ruang lingkup yang jauh dan akan tetap ada setelah meninggalnya pengarangnya, maka ia akan mendapatkan keutamaan menyebarkan ilmu dan akan dicatat sebagai peng
ajar yang mengajak ke jalan Allah sedangkan dia berada dalam kuburnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:
من أنعش لسانه حقا يعمل به من بعده أُجرى عليه أجره الى يوم القيامة (رواه أحمد)
*Barang siapa menghidupkan lisannya dengan kebenaran lalu diamalkan oleh orang setelahnya, maka ia akan mendapat pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat*. <al Manhaj as Sawiy: 123> keterangan senada di <Risalatul Mu'awanah: 18>
___________
¹ Hawâsyi merupakan komentar dari sebuah Syarh, sebab penamaan tersebut karena hawâsy (jamak dari hásyiyah/pinggir) dahulu dicetak pada bagian tepi (pinggir) dari kitab aslinya. Syarh: merupakan komentar dari sebuah matan.
² Maksudnya, sebagaimana orang yang berteriak tidak membawa kerugian walaupun ada orang yang berteriak sebelumnya begitu pula orang yang mengarang kitab tidak membawa kerugian walaupun sebelumnya sudah ada orang-orang yang mengarang kitab, bahkan karangan orang-orang sekarang dapat menjelaskan ibarah karangan orang dulu yang tidak difahami oleh orang sekarang dan karangan orang-orang sekarang juga dapat mengungkap kejadian-kejadian modern yang tidak diungkap oleh orang-orang dulu.
Rabu 18 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
من أنعش لسانه حقا يعمل به من بعده أُجرى عليه أجره الى يوم القيامة (رواه أحمد)
*Barang siapa menghidupkan lisannya dengan kebenaran lalu diamalkan oleh orang setelahnya, maka ia akan mendapat pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat*. <al Manhaj as Sawiy: 123> keterangan senada di <Risalatul Mu'awanah: 18>
___________
¹ Hawâsyi merupakan komentar dari sebuah Syarh, sebab penamaan tersebut karena hawâsy (jamak dari hásyiyah/pinggir) dahulu dicetak pada bagian tepi (pinggir) dari kitab aslinya. Syarh: merupakan komentar dari sebuah matan.
² Maksudnya, sebagaimana orang yang berteriak tidak membawa kerugian walaupun ada orang yang berteriak sebelumnya begitu pula orang yang mengarang kitab tidak membawa kerugian walaupun sebelumnya sudah ada orang-orang yang mengarang kitab, bahkan karangan orang-orang sekarang dapat menjelaskan ibarah karangan orang dulu yang tidak difahami oleh orang sekarang dan karangan orang-orang sekarang juga dapat mengungkap kejadian-kejadian modern yang tidak diungkap oleh orang-orang dulu.
Rabu 18 Juli 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين