Kajian Kitab al-Fawaidul Mukhtaroh
3.79K subscribers
5 photos
5 videos
2 files
50 links
Kitab yang ditulis Al Habib Ali bin Hasan Baharun ini adalah salah satu kitab yang berisi kumpulan hikmah dan ilmu yang sangat penting yang didengar dari Gurunya Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith dalam masa belajarnya di Madinah dan referensi lainnya.
Download Telegram
BELAJAR KITAB ONLINE TANPA GURU

Syeikh Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan fiUlum

ﺍﻹﺟﺎﺯﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻏﻴﺮ ﺷﺮﻁ ﻓﻲ ﺟﻮﺍﺯ ﺍﻟﺘﺼﺪﻱﻟﻺﻗﺮﺍﺀ ﻭﺍﻹﻓﺎﺩﺓ، ﻓﻤﻦ ﻋﻠﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪﺍﻷﻫﻠﻴﺔ ﺟﺎﺯ ﻟﻪ ﺫﻟﻚ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺰﻩ ﺃﺣﺪ، ﻭﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚﺍﻟﺴﻠﻒ ﺍﻷﻭﻟﻮﻥ ﻭﺍﻟﺼﺪﺭﺍﻟﺼﺎﻟﺢ، ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻋﻠﻢ ﻭﻓﻲ ﺍﻹﻗﺮﺍﺀ ﻭﺍﻹﻓﺘﺎﺀ ..ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﺻﻄﻠﺢ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰﺍﻹﺟﺎﺯﺓ ﻷﻥ ﺃﻫﻠﻴﺔ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻬﺎ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻣﻦ ﻳﺮﻳﺪﺍﻷﺧﺬ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﺋﻴﻦﻭﻧﺤﻮﻫﻢ ﻟﻘﺼﻮﺭ ﻣﻘﺎﻣﻬﻢ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ، ﻭﺍﻟﺒﺤﺚ ﻋﻦﺍﻷﻫﻠﻴﺔ ﻗﺒﻞ ﺍﻷﺧﺬ ﺷﺮﻁ، ﻓﺠﻌﻠﺖﺍﻹﺟﺎﺯﺓ ﻛﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻟﻠﻤﺠﺎﺯ ﺑﺎﻷﻫﻠﻴﺔ

Ijazah dari seorang guru bukanlah sebuah syarat bolehnya mengajar dan membacakan kitab. Selama seseorang punya keyakinan bahwa dia sudah ahli maka boleh baginya untuk membacakandan berfatwa walaupun dia tidak mendapat ijazah dari siapapun. Pendapat ini dianut kalangan salaf klasik(al-awwalun). Begitu juga dalam setiap ilmu. Bahwasanya ada orang yang menganggap perlu adanya ijazah itu karena keahlian sesorang umumnya tidak dapat dicapai tanpa guru. Sedangkan keahlian itu menjadi syarat untuk mengajar. Maka ijazah itu ibarat sertifikat dari guru pada murid(yang diijazahi/al-mujaz) atas tercapainya suatu keahlian.
*BEPERGIAN UNTUK MENUNTUT ILMU [1]*

*Materi Ke 14 Hal : 24-25*

بسم الله الرحمن الرحيم
1. Suatu saat, Harun al-Rasyid tiba di kota Madinah. Dia telah mendengar kabar bahwa Malik bin Anas memiliki kitab alMuwattha' yang diajarkan kepada orang-orang. Maka Harun al Rasyid mengirim al Barmaki untuk menyampaikan pesannya: "Sampaikan salamku pada Malik bin Anas dan katakan kepadanya agar dia membawakan kitab itu untukku dan membacakannya untukku...!. Lalu, ketika alBarmaki pergi menemuinya, Malik bin Anas berkata: "Sampaikan salamku pada Harun Rasyid dan katakan kepadanya bahwa *Ilmu itu dikunjungi bukan Mengunjungi, ilmu itu didatangi bukan mendatangi".* <alRaudh alFaiq: 200>

2. Karena mendengar kabar bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Anis al-Anshori dari Rasulullah Jabir bin Abdullah bersama sepuluh sahabat lainnya melakukan perjalanan dari Madinah ke Mesir selama sebulan karena ingin mendengar langsung hadits tersebut dari perawinya (Abdullah). <al-Ihya': 2/212>

3. Habib Ahmad Al-Habsyi Shahib alSyi'ib berangkat dari (al Husaisah) menuju ('Inat) untuk menghadiri majlis Syekh Abi Bakar bin Salim<Kalam alHabib Alwy Ibnu Syihab: 1/282>

4. Habib Abdurrahman Masyhur berkata: "Saat menuntut ilmu, aku berjalan dari Saiwun dan alHauthah tanpa mempunyai bekal sedikit pun. Pada suatu hari, aku bermalam tanpa makan dan kami tidak tidur semalaman. Lalu pada akhir malam, kami keluar menuju Masjid Toha, kami berharap, mudah mudahan orang yang berada di Masjid Toha memberi kami *secangkir kopi.*
<Kalam Al-Habib Alwy Ibnu Syihab: 2/181>

5. Syekh Salim Bafadhol adalah salah seorang tokoh pemimpin yang dipercaya dan juga ulama yang keilmuannya diakui. Ketika gairah keilmuan hampir saja hilang di daerah Hadramaut, beliau menghidupkannya. Peristiwa itu terjadi ketika *beliau pergi untuk menuntut ilmu dan menetap selama 40 tahun di Irak dan lainnya.* Sampai keluarganya mengira bahwa beliau sudah meninggal, kemudian beliau datang dan mengajar di daerah asalnya dan para penuntut ilmu pun berdatangan kepadanya dari segala penjuru. Banyak orang yang sukses memperoleh ilmu di bawah bimbingan beliau hingga jumlah mufti di Tarim saat itu mencapai 300 orang dalam satu masa dan juga banyak sekali penyusun kitab. <alManhaj assawyy: 142> keterangan senada di <Idam alQut: 874>

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين

Jum'ah 22 Juni 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Footnote*
*_______________*
1. Abu Darda' berkata, "Seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al-Qur'an (yang tidak bisa saya pahami) dan tidak ada seorangpun yang bisa memberitahukannya kecuali seseorang yang berada di Barkul Ghamad (nama sebuah tempat yang jaraknya dengan Makkah sejauh perjalanan lima malam) niscaya saya akan pergi menjumpainya.

2. Sa'id bin Al-Musayyib juga berkata, "Saya terbiasa rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu Hadits." (AlBidâyah wan Nihâyah 9/100)

3. Abul 'Aliyah berkata, kami di bashrah mendengar ada sebuah hadits pada sahabat-sahabat Rasulullah . Kami tidak ridha hingga pergi ke Madinah untuk mendengarnya langsung dari mulut mereka. (AlKifâyah Fî ilmir Riwayah al-Baghdadi)

4. Imam Ibnu Abdil Bâr berkata, "Masyruq bin Al-Ajda' rihlah karena satu kalimat dari ilmu (yang ingin diketahuinya). Dan Abu Said (kemungkinan menuju Hasan al-Bashri) juga melakukan rihlah karena satu kalimat dari ilmu. Imam Muhammad bin Ishaq bin Mandah mengadakan rihlah mencari ilmu sejak usia 20 tahun. Dan kembali ke daerahnya setelah berusia 65 tahun. Beliau rihlah selama 45 tahun dan kembali ke daerahnya ketika sudah menjadi tua. Beliau menikah dan dikaruniai beberapa orang anak dan banyak mengajarkan hadits" (Tadzkiratul Huffadz 3/ 1032)

5. Abdan Al-Juwaliqi menceritakan dirinya yang rihlah ke Bashrah delapan belas kali untuk mendapatkan hadits dari Ayyub As-Sakhtiyani. Setiap beliau disebutkan hadits riwayat dari Ayyub, beliau pergi ke Bashrah untuk mendapatkannya." Masruq bin Al-Ajda' berkata, "Saya telah mengelilingi dunia seluruhnya untuk mencari ilmu."(Tadzkiratul Huffadz 1/108)

6. Imam Abu Sa'id As-Sam'ani melakukan rihlah ke lebih dari 100 kota. Rihlahnya yang paling penting ada tiga: pertama, selama 10 tahun, kedua , selama 6 tahun dan ketiga selama 4 tahun. (Muqoddimah kitab attahbir lil mu'jamil kabir).

7. Al-Hafizh Abul 'Ala Al-Hamdani dalam satu hari berjalan menempuh 30 farsakh (sekitar 150 km). Beliau berkali-kali pergi ke Bagdad dan Ashbahan dengan berjalan kaki sambil membawa kitab di pundaknya. (Thobaqotul Hanabilah: 1/326)

*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Footnote*
_______
1. *Imam Hafidz Ya'qub bin Sufyan Al-Faswi* melakukan rihlah mencari ilmu selama 30 tahun.( Shoydul Khôthir Ibnu Jauzi)

2. Ibnul Jauzi bercerita, *"Imam Ahmad* sudah berkeliling dunia dua kali hingga ia bisa menulis kitabnya "Al-Musnad" (al-Jahr wat Ta'dîl Ibnu Abi Hatim)

Sekarang kitab Al-Musnad telah berada di tengah-tengah kita, sudah berupa cetakan lux yang sangat indah. Kita tidak perlu mengelilingi dunia untuk mengumpulkannya. Kita hanya perlu membaca dan menghafalnya, di manakah mereka yang berkehendak? Abu Hatim Ar-Razi berkata, "Pertama kali saya melakukan rihlah untuk mendapatkan hadis selama 7 tahun. Saya mencoba 1000 farsakh (sekitar 500.000 km). Saya selalu menghitungnya dan ketika lebih dari 1000 farsakh saya berhenti (menghitungnya). Adapun perjalanan saya dari Kufah ke Baghdad sudah tidak terhitung berapa kali. Dari Makkah ke Madinah berkali-kali. Saya keluar dari daerah "Sila" (dekat dengan Maghrib) ke Mesir dengan berjalan kaki. Dari Mesir ke Ramalah (Palestina) dengan berjalan kaki. Dari Ramalah ke Baitul Maqdis, dari Ramalah ke Asqalan, dari Ramalah ke Thubriyah dan dari Thubriyah ke Damaskus, lalu menuju Himsh dan ke Anthaqiyah, selanjutnya ke Thursus dan kembali lagi ke Himsh. Dari Himsh saya pergi ke Bisan, dari Bisan menuju Raqah dan menyeberangi sungai Al-Furat menuju Baghdad. Sebelum menuju Syam saya lewat Nil dan dari Nil ke Kufah. Semuanya dengan berjalan kaki. Inilah perjalanan kami yang pertama dan saat itu usia saya baru berusia 20 tahun." (al-Jahr wat Ta'dîl)

4. *Imam Baqi bin Mikhlad* melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam dan dari Hijaz ke Baghdad untuk menuntut ilmu. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut." (Tadzkiratul Huffadz 2/630).

5. *Ibnul Muqri* menambahkan, "Saya berkeliling dani ujung Timur ke ujung Barat (untuk mencari ilmu) sebanyak empat kali". (Tadzkiratul Huffadz : 3/973)

Yang menakjubkan bukan hanya waktu rihlahnya yang panjang untuk mencari ilmu, tetapi juga sangat menakjubkannya semua perjalanan yang mereka lakukan dengan berjalan kaki. Sebagaimana yang disebutkan oleh Baqi, "Semua orang yang ingin saya temui saya lakukan dengan berjalan kaki dan semua orang yang saya ingin belajar darinya, saya lakukan dengan berjalan kaki". Muhammad bin Ishaq Al-Argiyani berkata, "Saya tidak mengetahui ada satu mimbar Islam yang tidak pernah saya datangi untuk mendengar hadits" (Tadzkiratul Huffadz: 2/627)

*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Footnote*
_____
Al-Imam Ahmad bin Hasan al-Attas mengatakan, *Seandainya perpindahan dari satu tempat ke tempat lain tidak mengandung manfaat, niscaya Tuhan tidak memerintahkannya.* Beliau ditanya, Apa perpindahan yang diperintahkan itu?" Beliau menjawab, "Yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala,
ألم تكن ارض الله واسعة فتهاجروا فيها
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" (QS. an-Nisa: 97).

Para ulama mengatakan, "Sesungguhnya perjalanan menuntut ilmu, hukumnya dapat menjadi *fardhu 'ain* bila seseorang tidak mendapati orang yang mengajarkannya di negerinya, atau *sunnah* yang disukai bila untuk mencari tambahan ilmu."

Apabila seseorang untuk mempelajari agama wajib melakukan perjalanan, lalu *bagaimana tidak menjadi fardhu 'ain bagi orang yang tumbuh di antara para ulama dan orang-orang saleh?* Alasan apa yang dapat dikemukakan di sisi Allah Tuhan sekalian alam? Barangsiapa yang mengabaikan ilmu dan senang dengan kejahilan, berarti dia seorang jahil yang tertipu oleh kehidupan dunia.
*Footnote*
_____
وقال حجة الإسلام الغزالى قدس الله سره في الأحياء : وقلومذكور فى العلم محصل له -من زمن الصحابة الى زمننا هذا- لم يحصل العلم الا بالسفر وسافر لأجله. انتهى

Hujatul Islam al-Ghazali mengatakan dalam kitab al-Ihya', "Dan sedikit sekali orang-orang yang disebut berilmu dan mendapatkannya, sejak masa sahabat sampai masa sekarang. *Tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan melakukan perjalanan dan melakukan perjalanan dengan tujuan itu."*

وقال الشعبى رحمه الله: لو سافر رجل من الشام إلى أقصى اليمن فى كلمة تدله عل هدى أو ترده عن ردى، ما كان سفره ضائعا.

Asy-Sya'bi mengatakan, "Seandainya seseorang melakukan perjalanan dari Syam ke Yaman yang terjauh, *hanya untuk mendapatkan satu kalimat yang menunjukkannya kepada petunjuk atau yang dapat menolaknya dari kehinaan, maka perjalanannya tidak sia-sia."* (al-Manhaj as-Sawy: 14 - 15)
*Faedah Mondok Menurut Imam Syafi'i*

تَغَرَّب عَنِ الأَوطانِ في طَلَبِ العُلا #
وَسافِر فَفي الأَسفارِ خَمسُ فَوائِدِ

تَفَرُّجُ هَمٍّ وَاِكتِسابُ مَعيشَةٍ #
وَعِلمٌ وَآدابٌ وَصُحبَةُ ماجِدِ

وَإِن قيلَ في الأَسفارِ ذُلٌّ وَمِحنَةٌ #
وَقَطعُ الفَيافي وَاِكتِسابُ الشَدائِدِ

فَمَوتُ الفَتى خَيرٌ لَهُ مِن حَياتِهِ #
بِدارِ هَوانٍ بَينَ واشٍ وَحاسِدِ.

Merantaulah dari tanah air tuk cari kemuliaan Lakukan perjalanan, karena di dalamnya ada lima keuntungan : *(1) Menghilangkan kesedihan, (2) mendapatkan penghidupan Juga (3) ilmu, (4) adab, dan (5) bergaul dengan orang yang punya kemuliaan.*
Jika ada yang berkata: perjalanan mengandung kehinaan dan ujian Dan melewati padang sahara dan mengalami kesulitan. Matinya seorang pemuda lebih baik daripada hidupnya Bila hidup hanya sebagai tukang fitnah dan memiliki kedengkian.

*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
Syaikh Sálim Bafadhal termasuk pemuka para imam yang menjadi pegangan dan termasuk ulama muhaqqiq. Ilmu hampir saja punah di Hadramaut, lalu beliau hidupkan. Yaitu, beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu dan berdiam selama empat puluh tahun di Irak dan di tempat lainnya. Keluarganya menduga beliau telah wafat. Kemudian beliau datang dan mengajar di negerinya. Maka kemudian para penuntut ilmu dari berbagai tempat mendatanginya. Banyak orang yang telah mendapatkan ilmu melalui beliau, hingga pada satu masa di Tarim terdapat tiga ratus mufti dan para pengarang yang banyak jumlahnya.

Di dalam Raudh al-Afkar disebutkan, bahwa seorang laki-laki melakukan perjalanan sejauh tujuh ratus farsakh untuk bertanya tentang enam kalimat.
*Pertama,* "Apa yang lebih berat daripada langit dan bumi Orang yang ditanya menjawab, "Bohong terhadap orang yang tidak bersalah."
*Kedua,* "Apa yang lebih luas daripada bumi? Dia menjawab, "Kebenaran."
*Ketiga,* "Apa yang lebih kaya daripada laut?" Dia menjawab, "Hati yang kaya dengan sifat qana'ah."
*Keempat,* "Apa yang lebih dingin daripada salju?" Dia menjawab, "Mencari kebutuhan dari seorang teman bila tidak mendapatkannya." *Kelima,* "Apa yang lebih keras daripada batu?" Dia menjawab, "Hati orang kafir."
*Keenam,* "Apa yang lebih rendah daripada seorang yatim?" Dia menjawab, "Orang yang mengadu domba ketika bertemu." Demikian dikutip dari kitab Nuzhah al- Majalis. (al-Manhaj as-Sawy : 142-143)
*BEPERGIAN UNTUK MENUNTUT ILMU [2]*

*Materi Ke 15 Hal 25-26*

بسم الله الرحمن الرحيم
6- Ada seseorang dari keluarga besar keturunan bin Sanad yang telah berumur dan tidak mempunyai nafkah untuk dirinya, lalu keluarganya berkata kepadanya: "Kami tidak mampu memberi nafkah untukmu, maka pergilah dan carilah nafkahmu sendiri!". Lalu dia pergi dan setiap kali dia sampai di suatu tempat, tidak ada yang perduli kepadanya hingga dia sampai (India). Penduduk di sana bertanya: "Apakah kamu punya keahlian untuk berperang? dia menjawab: "Tidak", mereka bertanya lagi: "Apakah kamu punya keahlian untuk bekerja?", dia menjawab "Tidak", lalu mereka bertanya: "Lalu, untuk apa kamu datang ke sini? dia berkata kepada mereka: "Aku hanya ingin mencari makan saja", mereka berkata: "Di India ada satu daerah yang disebut Delhi ibu kota India, di sana ada tempat untuk orang yang mencari ilmu, pergilah ke sana!", maka dia pergi ke sana dan ketika sampai, dia menetap beberapa hari, kemudian dia mulai belajar Al-Qur'an dan umurnya sudah sekitar 80 tahun. Lalu, dia juga belajar hadits sampai berhasil menjadi ahli dalam ilmu hadits dalam waktu 3 atau 4 tahun. Hingga ketika seorang guru besar dalam ilmu hadits di negeri itu meninggal, penduduk di sana pun mengangkatnya sebagai gantinya. <Kunuz al Sa'adah: 413>

7. Diceritakan bahwa ketika Sufyan Tsauri menginjak umur 15 tahun, dia berkata pada ibunya: "Wahai ibu, hibahkanlah aku untuk Allah!", sang ibu menjawab: "Wahai anakku, sesungguhnya sesuatu yang dihadiahkan untuk para raja hanyalah hadiah yang pantas bagi mereka, sedangkan kamu tidak mempunyai sesuatu yang pantas untuk dihadiahkan kepada Allah". Maka dia merasa malu dan masuk ke suatu kamar, dia menetap di sana selama 5 tahun guna menghadap Allah dengan beribadah. Lalu sang ibu masuk ke kamar itu dan mendapatkan anaknya sedang bersungguh-sungguh dalam beribadah dan tampak tanda-tanda kebahagiaan pada dirinya, sang ibu mencium di antara kedua mata anaknya dan berkata: "Wahai anakku, sekarang aku telah hibahkan diimu untuk Allah", maka *ia keluar dan menghilang selama 10 tahun dalam pengembaraannya merasakan nikmatnya beribadah kepada Allah.* Suatu waktu dia merasa rindu kepada ibunya, maka dia pergi mengunjungi ibunya di waktu malam, ketika dia mengetuk pintu, ibunya memanggilnya dari belakang tabir: "Wahai Sufyan, orang yang telah menghibahkan sesuatu kepada Allah, maka dia tidak akan kembali kepadanya, dan aku telah menghibahkan dirimu kepada-Nya, maka aku tidak ingin melihatmu kecuali berada di sisi Nya". <al Raudh al Faiq: 126>

8. Quthbu allrsyad Habib Abdullah Al-Haddad berkata:
طلبنا فى الكل حتى صار الكل يطلب منا
"Kami telah mencari (ilmu) dari semuanya hingga sekarang semuanya mencari dari kami". <al Manhall al Shof: 42>

9. Syaikh Khotib al-Baghdadi mempunyai karangan kitab yang menuturkan didalamnya para sahabat Nabi, tabiin dan orang setelahnya yang bepergian jauh dengan tujuan hanya mencari satu hadits saja.
<Atau yang semakna dengannya>.

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين

Sabtu 23 Juni 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Footnote*
_________

*RIYADHOH TIDAK PULANG 3 TAHUN*

Sebagian pesantren, khususnya pesantren salaf, tidak asing lagi dengan riyadhoh dalam bentuk tidak pulang tiga tahun atau tiga lebaran berturut-turut. Sampai saat ini, masih banyak santri pesantren yang mengamalkan riyadhoh semacam itu.

Di Pondok Lirboyo, masih sangat kental dengan riyadhoh semacam itu. Naun itu bukti khidmah santri pada pondoknya. Almaghfurlah Mbah Yai Idris, bahkan sampai dawuh dengan jelas, Santri yang naun, minimal 3 tahun tidak pulang, mempeng dan tidak keluyuran atau main ke mana-mana insya Allah kang santri yang naun seperti itu akan merasakan ATSAR dari riyadhohnya.

Abuya KH. Abdullah Kafa Bih Lirboyo, beliau termasuk keluarga ndalem Pondok Lirboyo, putra dari KH. Mahrus Ali. Beliau mondok di Lirboyo juga. Nah selama mondok di Lirboyo, beliau pernah tiga tahun tidak pulang ke rumahnya yang masih di lingkungan Pondok Lirboyo saja. Itu dilakukan tentu sebagai bentuk riyadhoh.

Di pondok Kwagean, di samping pengamal tidak pulang tiga tahun, pengamal juga membarenginya dengan puasa selama tiga tahun tidak pulang. Ada seorang santri Kwagean yang jarak rumahnya paling 50 meter dari pondoknya, ia ikut mengamalkan riyadhoh di atas tadi. Ia puasa tiga tahun dan tidak pulang ke rumah yang sangat dekat dengan pondoknya selama tiga tahun itu.

Gus Yahya Rembang dalam teronggosong-nya mengkisahkan; KH. Ach. Masduqi Mahfudh, Malang menceritakan bahwa Mbah Ali Ma'shum memiliki maziyah (keistimewaan) bisa mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal. Pada waktu pertama kali datang ke Krapyak –- mungkin sekitar tahun 50-an atau 60-an, Santri Masduqi diajak mengikat janji oleh Mbah Ali,
“Kalau kamu sanggup tinggal di pondok nggak pulang-pulang sampai tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi lebih ‘alim ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik pulang”, begitu akadnya.
Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad itu. Pada akhir tahun ketiga, barulah ia pamit pulang.
Sebelum mengijinkan, Mbah Ali meraih tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan.
“Ayo makan bareng aku”, kata beliau.
Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih centong nasi, Mbah Ali melarangnya,
“Kamu duduk saja!” lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi untuk santrinya itu, meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman sesudah makan, seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.
“Sejak saat itu”, kisah Kyai Masduqi, “tak ada kitab yang sulit bagiku. Setiap ada lafadh yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang membisiki telingaku, memberi tahu artinya…”

*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Ayo Mondok: Beberapa Alasan Pentingnya Belajar di Pesantren*

Oleh Abdul Rahman Wahid*

Gerakan "Ayo Mondok" yang dipelopori oleh Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) PBNU menjadi signal bahwa lembaga pendidikan pesantren bukan lembaga alternatif. Akan tetapi, pesantren dengan segala bentuknya merupakan lembaga unggulan. Memang, jika dilihat dari redaksi bahasa, gerakan tersebut seakan-akan hanya ajakan untuk orang tua agar memondokkan anaknya di pesantren. Ajakan tersebut diperuntukkan agar orang tua tidak memondokkan anaknya di pesantren yang salah. Karena, meskipun menempuh pendidikan di pesantren bukan jaminan mereka sudah berada di tempat yang benar. Jika pesantren yang ditempati berideologi Islam garis keras, maka sejatinya mereka tidak nyantri. Akan tetapi, mereka dididik untuk menjadi para "teroris" dengan alasan "jihad". Setelah keluar sebagai alumni mereka malah mencoreng nama Islam itu sendiri. Untuk itulah, gerakan "Ayo Mondok" menjadi sebuah kampanye penting agar orang tua tidak salah menitipkan anaknya untuk belajar di pesantren.

*Pentingnya Mondok*

Banyak hal kenapa orang tua penting memondokkan anaknya di pesantren yang benar. Menurut pengalaman penulis sendiri, ada beberapa hal kenapa penting menempuh pendidikan di pesantren, tentunya pesantren yang berada di bawah asuhan kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU). Di antaranya,

*Pertama,* pesantren NU memiliki sanad keilmuan yang jelas. Segala yang dipelajari di pesantren NU bisa dipertanggungjawabkan. Jika kita runtut, ilmu yang dikonsumsi alurnya jelas sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, kita tak perlu khawatir atas kebenaran ilmu yang dipelajari di pesantren NU. Karena itu sudah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW yang besok bertanggung jawab dihadapan Allah Yang Maha Esa.

*Kedua,* Di pesantren kita diajarkan bahwa perbedaan itu adalah sunnatullah. Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, akan tetapi disikapi secara arif agar bisa berjalan beriringan.

Pelajaran sejarah yang bisa kita petik adalah saat terjadi perang sesama sahabat Rasulullah. Ketika beberapa kelompok memberi dukungan kepada salah satu sahabat, bahkan ada yang memilih menyalahkan keduanya. Ulama Ahlussunnah memilih tidak berkomentar. Diamnya Ahlussunnah bukan tanpa alasan, sikap diam tanpa komentar merupakan pernyataan tersirat bahwa keduanya sama-sama mempunyai dasar alasan atas perang yang mereka kobarkan. Keduanya sama-sama sahabat Rasulullah dan perbedaan pandangan itu hal yang biasa terjadi, tak terkecuali sahabat Nabi sendiri.

*Ketiga,* kita dikenalkan tentang konsep barokah. Dalam kehidupan pesantren, barokah menjadi hal penting yang dijadikan pegangan santri. Sering kali kita mendengar, setinggi apapun ilmu yang didapatkan jika tidak mendapatkan barokah Kiainya, maka ilmu yang didapat akan sia-sia. Dalam pandangan pesantren tabarrukan atau biasa disebut barokah mempunyai makna penambahan kebagusan dari Allah, ziyadatul khair. Artinya, setiap waktu semakin bertambah baik. Barokah merupakan sebuah kekuatan rasa yang dimiliki oleh Kiai dan dipercaya mampu melegitimasi ilmu yang diperoleh santri, manfaat atau tidak. Barokah tidak semata-mata bisa hadir dari seorang Kiai. Artinya, untuk mendapatkan titel bahwa seorang Kiai memiliki kekuatan barokah biasanya terletak pada sejauhmana Kiai tersebut memilki karomah. Karomah sendiri merupakan sebuah pengetahuan yang telah mengkristal pada diri seorang Kiai. Tentunya, ilmu yang pernah dipelajarinya telah menyatu dengan dirinya. Nah, Kiai seperti ini akan terlihat begitu karismatik di depan santri-santrinya dan masyarakat pada umumnya.

*Keempat,* dari pesantren kita akan diajarkan bagaimana bersosial. Tanpa disadari, dalam kehidupan santri menyimpan segudang pelajaran hidup. Hal sederhana, semisal bagaimana santri makan bersama dengan menggunakan talam. Dari situ kita bisa lihat, bahwa kebersamaan dalam pesantren itu sangat diutamakan. Tanpa melihat dari mana asalnya, miskin, kaya bahkan keturunannya. Pesantren tak pernah mengenal kasta, semua diperlakukan sama, santri.

*Kelima,* selain persoalan di atas, hal paling penting
yang bisa didapat dari pesantren adalah "Akhlak". Akhlak yang dimaksud di sini bukan sekedar persoalan etika semata. Karena etika lebih kepada persoalan pola sikap dan pola ucap. Semisal, seorang koruptor yang sosialnya bagus tidak bisa dikatakan berakhlak. Karena apa yang ia lakukan tidak sesuai dengan kebenaran hatinya.

Akan tetapi, akhlak jauh melampaui itu. Seseorang yang berakhlak, baik tindakan, perkataan, pikiran maupun perasaannya akan berjalan secara beriringan. Keempatnya tidak mungkin bertentangan. Contoh yang bisa kita ambil, ketika Nabi Muhammad SAW mengutuk seseorang yang munafik. Seperti kita mafhum, munafik adalah seorang yang ucapan dan tindakan, pikiran serta hatinya tidak sesuai. Dari contoh itu bisa kita petik, bahwa akhlak meliputi persoalan pola sikap, pola ucap, pola pikir dan pola rasa (hati). Bagaimanapun juga, Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia, tak lain dan tak bukan untuk menyempurnakan akhlak manusia, Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlaq.

Ini hanya sekelumit pengalaman dari penulis yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Tentu masih banyak hal lain yang bisa dijadikan alasan kenapa mondok (nyantri) itu penting. Ada segudang pelajaran dan pengalaman yang hanya bisa kita dapatkan dari pondok pesantren. Untuk itu, Ayo Mondok.
_________
*) Abdul Rahman Wahid, Kader PMII Ashram Bangsa Yogyakarta, penulis juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran Gondanglegi Malang, Yayasan KH. Yahya Syabrowi.
*BIAYA MENUNTUT ILMU*

*Materi Ke 16 Hal 27*

بسم الله الرحمن الرحيم
1. Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin Abbas : "Dengan apa engkau memperoleh ilmu"? dia menjawab:
بلسان سؤول وقلب عقول وكف بذول
*"Dengan lisan yang selalu bertanya, hati yang cerdas dan berkorban dengan harta"* <alManhaj as Sawiy: 145> keterangan senada di <Bustan al Arifin: 232>

2. Imam Syafi'i 4 melantunkan sebuah syair:

اخى لا تنال العلم الا بستة # سإنبيك عن تفصيلها ببيان
ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة # وصحبة استاذ وطول زمان
Wahai saudaraku, kau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, Aku akan memberitahukanmu perinciannya dengan jelas: Kecerdasan, kemauan yang kuat, kegigihan, biaya, bimbingan guru, dan masa yang panjang <al Manhaj as-Sawiy: 145> keterangan senada di <Diwan allmam al Syafi'i 111>

3. Habib Umar bin Segaf berkata:
لا مطر إلا بواسطة سحاب، ولا علم الابواسطة كتاب، ولا ولاية إلا بواسطة محراب.
*Tidak ada hujan kecuali dengan perantara awan, tidak ada ilmu kecuali dengan perantara kitab, dan tidak ada kewalian kecuali dengan perantara mihrab (dengan banyak beribadah)*
<Kalam alHabib Alwy lbnu Syihab: 2/33>.

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين

Ahad 24 Juni 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Footnote*
__________

*Mengetahui Pengorbanan Ulama' Salaf Hingga Menjual Baju Demi llmu*

Para pendahulu kita yang mulia telah mengalaminya. Demi meraih ilmu Syar'i, mereka mengorbankan semua yang berharga, menjual pakaian untuk mendapatkan ilmu. Mereka meyakini bahwa *pakaian ilmu, keimanan dan ketakwaan, lebih baik dari pakaian badan.* Mari bersama saya, wahai saudaraku, mengambil hikmah kenangan abadi yang mereka torehkan, tentang pengorbanan mereka.

1. *Syu'bah bin Hajjaj* berkata, "Saya menjual thista (bejana dari tembaga untuk mencuci pakaian) seharga tujuh dinar (untuk biaya belajar)"

2. *Abu Hatim Ar-Razi* berkata, "Saya tinggal di Bashrah selama delapan bulan pada tahun 214 H. Dalam hati saya ingin tinggal selama setahun (agar bisa belajar ilmu), tetapi saya kehabisan nafkah. Maka saya menjual pakaian-pakaian saya sedikit demi sedikit, hingga saya betul-betul tidak memiliki nafkah."

3. Suatu hari *Imam Baqy bin Makhlad Al-Andalusi* berkata kepada para muridnya, "Kalian menuntut ilmu? Dan apakah begini caranya belajar ilmu? (Maksudnya kalian tidak pernah merasakan kesulitan dalam belajar sedikitpun dan berkorban demi mencapai sesuatu yang berharga). Sesungguhnya di antara kalian ada yang mengatakan, "Kalau tidak ada kesibukan saya akan pergi belajar." Saya mengetahui seseorang (maksudnya dirinya sendiri) yang ketika belajar beberapa hari tidak mendapatkan apa yang dia makan, kecuali daun kubis yang telah dibuang oleh orang. Saya mengetahui seseorang (maksudnya dirinya) yang menjual celananya, tidak hanya sekali agar bisa membeli kertas untuk menulis (Yaitu, ketika nafkahnya habis, ia cukup memiliki celana yang dia pakai dan menjual celana dan bajunya yang lain sebagai biayanya untuk belajar)."

4. Al'allâmah Abu Zaid Ad-Dibbaghy penulis biografi Abu Ja'far Ahmad Al Qushari berkata, "Terkadang dia menjual sebagian bajunya. Hasilnya dia pakai untuk membeli buku atau kertas tulis-menulis. Abu Bakar Al-Maliky berkata, "Dia tiba di daerah "Sausah" untuk bertemu *Yahya bin Umar.* Dia mendapatinya sudah menulis kitab. Dan dia tidak mendapatkan apa yang dia pakai untuk membeli kertas, maka dia menjual bajunya dan hasilnya digunakan untuk membeli kertas. Dia menulis kitab sambil menemuinya kemudian membawanya ke Qairawan."

5. Abu Muhammad Al-Firghani berkata, *Ibnu Jarir Ath-Thobari* melakukan rihlah (perjalanan) ketika usianya baru dua belas tahun. Ayahnya mengizinkannya untuk pergi dan selama hidupnya dia mengirimkan sesuatu sebagai bekal untuk belajar. Ibnu Jarir berkata, "Terjadi keterlambatan nafkah dari orang tua saya, sehingga saya terpaksa merobek kedua kantong jubah saya dan menjualnya (hasilnya untuk biaya belajar)."

6. *Abu Hatim Ar-Razi* berkata," Saya pergi ke Mesir, karena banyak ilmu saya ingin tinggal di sana. Saya meminta kepada tukang tulis di Mesir untuk menuliskan kitab "Asy-Syafi'i". Saya sudah membeli dua kain di Mesir untuk saya jahit sendiri ketika sudah kembali ke negeri saya. Ketika ingin menulis kembali kitab "Asy-Syafi'i" saya tidak memiliki uang, Saya kemudian menjual kedua kain tersebut seharga enam puluh dirham dan saya membeli kertas seharga sepuluh dirham. Sisanya saya berikan kepada orang yang menuliskan kitab "Asy-Syafi'i tersebut."

7. Syaikh Bakri Al-Katib, penulis biografi *Ahmad Al-Hajjar*, berkata, "Beliau sangat senang memiliki kitab. Saya pernah mendengar beliau melihat kitab yang dijual dan dia tidak memiliki uang. Dia memiliki baju, kemudian dia buka sebagian dan menjualnya. Beliau membeli kitab tersebut saat itu juga.
(Dikutip dari kitab Kaifa tatahammasu fî tholabil 'ilmi asy-Syar'i)

*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*Footnote*
___________
*Semangat para Ulama dalam Mengumpulkan Kitab*

Demikianlah, para ulama salaf sangat menyadari pentingnya mengumpulkan kitab. Kita temukan pada diri mereka semangat yang tinggi untuk membeli kitab.

1. *Al-Hafiz Abul A’la al-Hamdani* menjual rumahnya untuk membeli beberapa kitab seharga 60 dinar. (Siyar A’lam An-Nubala : 21/40, adz-Dzahabi).

2. *Imam Malik* menjual kayu atap rumahnya untuk biaya menuntut ilmu. (Tartibul Madarik : 1/130, al-Qadhi Iyadh).

3. *Syu’bah bin Hajaj* menjual harta warisan yang didapatkannya untuk bekalnya belajar. (Tazkirah al-Huffaz : 1/195, adz-Dzhabi).

4. *Yahya bin Ma’in* mendapat warisan lebih dari sejuta dirham, semuanya habis ia gunakan untuk biaya menuntut ilmu. (Al-Manhaj al-Ahmadi : 1/95, al-Ulaimi).

5. *Shalih bin Ahmad* menjual tanahnya seharga 700 dinar. Uangnya beliau bagi-bagikan untuk para penuntut ilmu yang belajar kepadanya. (Tazkirah al-Huffaz : 4/1249, adz-Dzahabi).

6. *Ziyad bin Abdullah al-Buka’i* menjual rumahnya untuk bekalnya mengadakan rihlah menuntut ilmu. (Tahzibut Tahzib : 3/375, Ibnu Hajar Asqalani).

7. *Abdullah bin Ahmad al-Khasysyab* pernah membeli kitab seharga 500 dinar. Karena tidak memiliki uang untuk membayarnya, beliau menjual rumahnya. (Dzail Thabaqat Hanabilah : 1/319, Ibnu Rajab).

8. *Abdul Haq bin Muhammad bin Harun as-Suhami* menjual perhiasan, perabot serta rumahnya untuk membeli kitab “Syarah al-Mudawanah”. (Ad-Dibaj al-Mudzahab : 3/1013, Ibnu Farhun al-Maliki).

9. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam biografi *Ibnul Qayyim* rahimahullah, “Beliau (Ibnul Qayyim) sangat gemar mengumpulkan kitab sehingga beliau memiliki kitab yang tidak terhingga banyaknya. Sampai-sampai anaknya menjual kitab-kitab itu setelah beliau meninggal dalam kurun waktu yang lama, kecuali kitab-kitab yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri.”

10. Imam Al-Mundziri rahimahullah berkata, *“Al-Hafidz As-Silafi rahimahullahu* adalah orang yang sangat gemar mengumpulkan kitab. Setiap kali memiliki uang, beliau akan menggunakannya untuk membeli kitab. Beliau memiliki koleksi kitab yang tidak ada habis-habisnya apabila dipandang.”

11. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam biografi *Al-Qadhi Abdurrahim bin Ali Al-Lukhai* rahimahullah,”Telah sampai berita kepada kami bahwa beliau memiliki kitab sampai 100.000 jilid. Beliau mengumpulkannya dari seluruh pelosok negeri.”

12. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam biografi *Muhammad bin Abdullah As-Sulami Al-Marsi rahimahullah*,”Menulis, membaca, dan mengumpulkan banyak kitab yang berharga. Harta beliau digunakan untuk membeli kitab.”

*Ubaidillah Arsyad Djaelani*
*KESUNGGUHAN DAN SEMANGAT MENUNTUT ILMU [1]*

*Materi Ke 17 Hal. 27-28*

بسم الله الرحمن الرحيم
1. Diriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir dalam kitab Shahih Muslim:
لا يستطاع العلم براحة الجسم
*"Ilmu itu tidak bisa didapatkan dengan santai"*
<alManhaj assawi: 135>

2. Lisan Hal nya ilmu berkata:
اعطنى كلك ! اعطك بعضى
*Berikanlah pada diriku seluruh (pikiran dan tenaga) yang engkau miliki! Maka aku akan memberimu sebagian dariku.* <Tuhfah alAsyraf 2/118>

3. Sayyid Ahmad bin Al Faqih datang kepada Ba Qusyair, lalu sayyid Ahmad bertanya kepadanya: "Apakah ayah kami meninggalkan sesuatu yang ada padamu untuk kami?", dia menjawab: "Tidak, akan tetapi kerahkan semua daya dan upayamu, niscaya akan datang kepadamu rahasia rahasia (termasuk ilmu)". <Kalam alHabib Alwy lbnu Syihib: 1/254>

4. علامة طالب العلم المجتهد النافع علمه أنه كلما دخل عليه أحد وجده يقرأ أو يسبح اويستغفر
*Tanda santri yang serius dalam belajar dan ilmunya bermanfaat adalah bila ada seseorang yang mendatanginya, maka dia akan mendapatkan santri tersebut sedang membaca, atau bertasbih atau beristighfar.* <atau yang semakna dengan pembahasan ini>

5. Dalam menyifati orang yang menuntut ilmu, Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith berkata:

كن فى البكور غرابا # وفى التملق قط

Jadilah kamu layaknya burung gagak di pagi hari (bergegas untuk mencari ilmu), dan layaknya kucing dalam mencari perhatian guru

ثم احتمل مثل كلب # وذا لنجحك شرط

Lalu sabarlah layaknya anjing, dan semua itu merupakan syarat untuk kesuksesanmu <Kalam alHabib Ahmad Ibnu Sumaith: 431>

6. Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad berkata: "Santri yang sejati akan senantiasa menambah pengetahuan dan ibadahnya hingga dia keluar dari alam dunia. Ini adalah tanda keseriusannya. Jika tampak kelalaian pada dirinya, maka hal itu menunjukkan bahwa ia tidak berkembang atau tidak punya kemauan". <al Manhaj asSawi: 431> keterangan senada <Ghayah alQosd wal Murad: 2/39>

7. Abu Thayyib berkata:

ولم أر فى عيوب الناس عيبا # كنقص القادرين على التمام

*Aku tidak melihat dari aib aib manusia sesuatu yang sangat tercela seperti tercelanya orang yang mampu menyempurnakan sesuatu, sedangkan ia tidak menyempurnakannya.*
<Ta'lim alMuta'allim: 21>

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين

Ahad 24 Juni 2018
*Ubaidillah Arsyad Djaelani*