GiS| SBUM| 1️⃣
4.37K subscribers
1 photo
2.49K links
SBUM : Sobat Bertanya Ustadz Menjawab
Berisi Pertanyaan dari Sobat Akhwat, tetapi untuk member yang boleh joint Umum
Supaya dapat bermanfaat untuk semua umat
Download Telegram
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
╔══꧁✿✿°°📥°°✿✿꧂══╗

𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮
𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝘄𝗮𝗯

╚══꧁✿✿°°📤°°✿✿꧂ ══╝

𝗡𝗢 : 1️⃣7️⃣3️⃣1️⃣

𝗗𝗶𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝘂𝗺 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 | 𝗚𝗶𝗦
🌏 https://grupislamsunnah.com

📬 𝗞𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗶𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗞𝗹𝗶𝗸 : https://t.me/GiS_soaljawab

═══════゚・:✿:・゚═══════

✉️ 𝗗𝗢𝗦𝗔 𝗜𝗞𝗛𝗧𝗜𝗟𝗔𝗧𝗛 𝗗𝗔𝗡 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗜𝗞𝗛𝗧𝗜𝗟𝗔𝗧𝗛 𝗣𝗔𝗗𝗔 𝗦𝗔𝗔𝗧 𝗧𝗛𝗔𝗪𝗔𝗙

Nama : Ana
Angkatan : T6
Grup : 17
Nama Admin : Triana eka
Nama Musyrifah : Ita Intari
Domisili : Malang

💬 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Maaf saya mau bertanya, Ustadz.

1. Tentang dosa ikhtilath ,

2. Dan mohon penjelasan bagaimana dengan kondisi saat thawaf yang bercampur ikhwan-akhwat.

Mohon pencerahannya, Ustadz.

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.



👤 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.

Iktilath (bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) merupakan hal terlarang dalam agama Islam, sebagaimana Islam melarang zina maka segala hal yang mengarah kepada zina pun diharamkan, sebagaimana firman Allah ﷻ :

ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا

“dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
(QS. Al Isra’: 32).

Dalam menafsirkan ayat ini, Al Hafizh ibnu Katsir mengatakan,

يقول تعالى ناهيا عباده عن الزنى وعن مقاربته, وهو مخالطة أسبابه ودواعيه

“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan perbuatan yang mendekatkan kepada zina, yaitu ber-ikhtilath (bercampur-baur) dengan sebab-sebabnya dan segala hal yang mendorong kepada zina tersebut.”
(Umdatut Tafsir:2/428).

Dari sisi bahaya, tentunya ikhtilath memiliki bahaya yang besar, yaitu merusak hati seseorang sehingga terdorong untuk memikirkan tentang zina dan bahkan melakukannya, padahal hati merupakan segumpal daging yang menjadi penentu untuk baik atau buruknya perangai seseorang,

Bahaya Iktilath ini dimulai dari pandangan mata yang kemudian bergerak masuk ke dalam hati, padahal Allah ﷻ memerintahkan agar kita menjaga pandangan mata :

قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, Sungguh, Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.”
(QS. An-Nur : 30).

Rasulullah ﷺ juga mengatakan,

فلعينان زناهما النظر

“Zina kedua mata adalah dengan melihat.”
(HR. Muslim : 4082).

2. Ikhtilath yang terjadi karena darurat, kepentingan yang mendesak dan keluarnya wanita dengan kaidah-kaidah syar’yiyah, seperti yang terjadi di tempat-tempat ibadah, tempat-tempat shalat, atau seperti yang terjadi pada pelaksanaan manasik haji dan umrah di kedua tanah haram, maka hal itu tidaklah terlarang.
(Lihat (Fatawa Syekh Muhammad bin Ibrahim 10/22–44).

Sebabnya adalah, keadaan darurat dan kepentingan tersebut merupakan pengecualian dari hukum asalnya, ditinjau dari satu sisi.

Ditinjau dari sisi yang lain, kerusakan yang ditimbulkan oleh fitnah tersebut juga tertutup oleh kebaikan ibadah karena “jenis amal yang diperintahkan lebih utama dari jenis hal yang dilarang”, seperti yang tercantum dalam kaidah umum.

Dan dahulu para wanita tawaf dibelakang laki-laki dan tidak bercampur baur seperti sekarang ini.

عَنْ أُمِّ سَلمَةَ رَضِي الله عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلى الله عَليْهِ وَسَلمَ قَالتْ شَكَوْتُ إِلى رَسُول اللهِ صَلى الله عَليْهِ وَسَلمَ أَنِّي أَشْتَكِي فَقَال طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ فَطُفْتُ وَرَسُولُ اللهِ صَلى الله عَليْهِ وَسَلمَ حِينَئِذٍ يُصَلي إِلى جَنْبِ البَيْتِ وَهُوَ يَقْرَأُ وَالطُّورِ وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ .
(رواه البخاري 452، ومسلم 1276).
Rasulullah berkata kepada Ummi Salamah : "Thawaf kamu wahai Ummu Salamah dibelakang manusia sementara kamu sedang berada diatas kendaraanmu.
Dan aku thawaf sementara Nabi Shalallahu A'alaihi Wasaalam berada disamping ka'bah sedang membaca surah at-Tur.
(HR. Bukhori dan Muslim).

Jadi tidak benar anggapan bahwa iktilath pada thawaf itu boleh sementara ikhtilath selain thawaf tidak boleh.
Ini penyamaan yang tidak sama dan tidak sebanding.

Oleh sebab itu para ulama mengatakan, agak terlalu sulit untuk memisahkan dan membedakan tempat thawaf laki laki dan perempuan.

Karena pada umumnya perempuan melakukan prosesi thawaf bersama mahram-nya dan tidak dilakukan secara mandiri.
Dikarenakan semakin padatnya jumlah pengunjung dan yang ingin melakukan ibadah tawaf.


والله تعالى أعلم بالصواب.

✒️

Dijawab oleh :
Ustadz Mahatir Fathoni, S.Ag.

═══════ ゚・:✿:・゚ ═══════
📣 𝗢𝗳𝗳𝗶𝗰𝗶𝗮𝗹 𝗔𝗰𝗰𝗼𝘂𝗻𝘁 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 (𝗚𝗶𝗦)⁣⁣

🌏 WebsiteGIS:
https://grupislamsunnah.com
📱 Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah
📷 Instagram: instagram.com/grupislamsunnah
🌐 WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com
📧 Telegram: t.me/s/grupislamsunnah
📬 Telegram Soal Jawab: https://t.me/GiS_soaljawab
🎥 YouTube: bit.ly/grupislamsunnah
1⃣7⃣3⃣1⃣
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
╔══꧁✿✿°°📥°°✿✿꧂══╗

𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮
𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝘄𝗮𝗯

╚══꧁✿✿°°📤°°✿✿꧂ ══╝

𝗡𝗢 : 1️⃣7️⃣3️⃣2️⃣

𝗗𝗶𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝘂𝗺 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 | 𝗚𝗶𝗦
🌏 https://grupislamsunnah.com

📬 𝗞𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗶𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗞𝗹𝗶𝗸 : https://t.me/GiS_soaljawab

═══════゚・:✿:・゚═══════

✉️ 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗬𝗘𝗪𝗔 𝗟𝗔𝗛𝗔𝗡 𝗣𝗘𝗥𝗧𝗔𝗡𝗜𝗔𝗡 𝗨𝗡𝗧𝗨𝗞 𝗗𝗜𝗧𝗔𝗡𝗔𝗠𝗜 𝗦𝗔𝗬𝗨𝗥𝗔𝗡, 𝗗𝗔𝗡 𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗔𝗗𝗔 𝗭𝗔𝗞𝗔𝗧𝗡𝗬𝗔 𝗨𝗡𝗧𝗨𝗞 𝗧𝗔𝗡𝗔𝗠𝗔𝗡 𝗦𝗔𝗬𝗨𝗥𝗔𝗡

Nama : Yesi irdayanti
Angkatan : 1
Grup : 10
Nama Admin : Runawati
Nama Musyrifah : Santi Ummu Nabila
Domisili : Solok-Sumatera Barat

💬 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Izin bertanya, Ustadz.

1. Bagaimana hukum menyewa lahan pertanian untuk di tanami sayuran; seperti, cabai, bawang, tomat, kol dan lain-lain?

2. Apakah ada zakat yang dikeluarkan untuk tanaman sayuran ?

Mohon pencerahannya, Ustadz.

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.



👤 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.

1. Sewa-menyewa, termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran harta kekayaan.

Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus Anda wujudkan padanya.

Semua itu demi menghindari perselisihan dan silang pemahaman antara kedua belah pihak.

Dan dengan cara ini, masing-masing pihak mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi.

Ketentuan ini merupakan aplikasi nyata dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli untung-untungan (gharar).”
[Riwayat Muslim hadits no. 1513].

Nilai sewa atau masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam.

Karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang dengan upah berupa bagian dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya tidak dapat ditentukan.

حَنْظَلَةُ بْنُ قَيْسٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنِ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِالأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَأسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِفَيَهلِكُ هَذَاوَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ، فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَ بَأسَ بِهِ

"Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak.
Maka Rafi’ bin Khadij menjawab, “tidak mengapa.
Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang dengan uang sewa berupa hasil dari bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit atau sungai, dan beberapa bagian hasil tanaman.
Dan kemudian di saat panen tiba, ladang bagian ini rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak.
Kala itu tidak ada penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam ini dilarang.
Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang pasti, maka tidak mengapa.”
[Riwayat Muslim hadits no. 1547]

Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa :

Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang serupa, maka insya Allah tidak mengapa.

Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang tersebut maka ada dua kemungkinan :

︎ Kemungkinan pertama : Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang tertentu.
Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati bahwa hasil ladang bagian atas, atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang sewa.
Kesepakatan semacam inilah yang dilarang dalam hadits Rafi’ bin Khadij di atas.
Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya menghasilkan.
Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan.
Wajar bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga keutuhan persatuan dan persaudaraan antara umat Islam.

︎ Kemungkinan kedua : Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase).

Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan dalam bentuk nisbah persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam ini insya Allah tidak mengapa.
Walaupun banyak dari ulama yang melarangnya, pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad ini lebih kuat, dengan pertimbangan sebagai berikut :

Hukum asal setiap akad adalah halal.
Tidak ada dalil yang melarang.
Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad ini adalah akad musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah dalam ilmu fiqih yang menjelaskan bahwa standar hukum suatu akad adalah substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan ucapannya.
(Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/24).

Berdasarkan kaidah ini dapat kita simpulkan bahwa akad diatas, walaupun menggunakan kata-kata sewa dan uang sewa, secara hukum adalah akad musaqaah atau muzaraah.

Dari keterangan diatas, Hukum sewa lahan boleh selama sewa yang diberikan jelas dan jumlahnya sudah disepekati.
Hanya saja jika sewa nya dalam bentuk hasil panen, maka harus sesuai dengan aturan yang dijelaskan dari hadis nabi shalallau a'alaihi wassalam.

Adapun tumbuhan dan hasil pertanian yang ada zakat-nya apabila terpenuhi syarat berikut ini :
• Berupa biji-bijian atau buah-buahan.
Ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi :

لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ…

Tidak ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq (lima wasaq).
[HR Muslim]

Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma, selainnya tidak dimasukkan disini.
[Lihat al-Kâfi karya Ibnu Qudamah 2/131]

• Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar, seperti dalam hadits diatas.
Syarat ini masih diperselisihkan para ulama.

• Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai kewajiban zakat berupa komoditi yang bisa disimpan.
Oleh karena itu diwajibkan zakat pada semua biji-bijian dan buah-buahan yang dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur kering (Zabib) dan lain-lainnya. [Lihat al-Kâfi, 2/132].

• Tumbuh dengan usaha dari manusia.
Tanaman yang tumbuh liar tidak ada zakatnya, karena bukan menjadi kepemilikannya secara resmi.
Syarat ini diungkapkan dengan istilah:

وَيُعْتَبَرُ أَنْ يَكُوْنَ النِّصَابُ مَمْلُوْكاً لَهُ وَقْتَ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ

Dan nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban zakat
[Lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/78].

• Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda Beliau :

لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ

"Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq)."
[HR Muslim].

Satu wasaq sama dengan enampuluh sha’ (60 sha’) dan satu sha’ sama dengan 4 mud.
Satu mud-nya adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang.
Lima wasaq yang dijadikan standar adalah setelah pembersihan biji-bijian dan kering pada buah-buahan. [al-Mughni, 4/162].


والله تعالى أعلم بالصواب.

✒️

Dijawab oleh :
Ustadz Mahatir Fathoni, S.Ag.

═══════ ゚・:✿:・゚ ═══════
📣 𝗢𝗳𝗳𝗶𝗰𝗶𝗮𝗹 𝗔𝗰𝗰𝗼𝘂𝗻𝘁 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 (𝗚𝗶𝗦)⁣⁣
1⃣7⃣3⃣2⃣
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
╔══꧁✿✿°°📥°°✿✿꧂══╗

𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮
𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝘄𝗮𝗯

╚══꧁✿✿°°📤°°✿✿꧂ ══╝

𝗡𝗢 : 1️⃣7️⃣3️⃣3️⃣

𝗗𝗶𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝘂𝗺 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 | 𝗚𝗶𝗦
🌏 https://grupislamsunnah.com

📬 𝗞𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗶𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗞𝗹𝗶𝗸 : https://t.me/GiS_soaljawab

═══════゚・:✿:・゚═══════

✉️ 𝗧𝗔𝗟𝗔𝗞

Nama: Diana Humaira
Angkatan: 06
Grup : 02
Nama Admin : Derry Adriyanti Sukandar
Nama Musyrifah : Hayatul Fathiyya turhma
Domisili : Kota Padang

💬 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Izin bertanya Ustadz,

1. Apakah benar jika suami mengaku duda atau lajang jatuhnya ke talaq kiyas Ustadz ?

2. Apabila suami dan istri berhubungan badan maka jadinya zina ?

Mohon penjelasannya Ustadz.

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.





👤 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد.

1. Jika ungkapan tersebut bukan ungkapan yang jelas dan nyata talak, maka tidak bisa dihukumi sebagai talak. Harus diketahui dan di tanya apa maksud dari ucapan tersebut. Karna banyak tafsiran dan makna yang lain selain talak.

Maka mengucapkan lafaz tersebut tidak menyebabkan jatuh talak, kecuali jika disertai niat talak.

Karena Talak dengan ucapan ada dua macam: talak dengan lafazh shorih (tegas), dan talak dengan lafazh kinayah (kiasan).

Talak dengan lafazh shorih (tegas) artinya tidak mengandung makna lain ketika diucapkan dan langsung dipahami bahwa maknanya adalah talak, lafazh yang digunakan adalah lafazh talak secara umum yang dipahami dari sisi bahasa dan adat kebiasaan. Contohnya seseorang mengatakan pada istrinya, “Saya talak kamu”, “Saya ceraikan kamu”, “Tak pegat koe (saya ceraikan kamu dalam bahasa Jawa). Lafazh-lafazh ini tidak bisa dipahami selain makna cerai atau talak, maka jatuhlah talak dengan sendirinya ketika diucapkan serius maupun bercanda dan tidak memandang niat. Intinya, jika lafazh talak diucapkan dengan tegas, maka jatuhlah talak selama lafazh tersebut dipahami, diucapkan atas pilihan sendiri, meskipun tidak disertai niat untuk mentalak. Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya mengenai orang yang mentalak istri dalam keadaan main-main atau bercanda,

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ

“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: nikah, talak, dan rujuk”. (HR. Abu daud 2194 At-Tirmizi 1184 dan Ibnu Majah 2039).

Talak dengan lafazh kinayah (kiasan) tidak diucapkan dengan kata talak atau cerai secara khusus, namun diucapkan dengan kata yang bisa mengandung makna lain. Jika kata tersebut tidak punya arti apa-apa, maka tidak bisa dimaksudkan cerai dan itu dianggap kata yang sia-sia dan tidak jatuh talak sama sekali. Contoh lafazh kinayah yang dimaksudkan talak, “Pulang saja kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat ini bisa mengandung makna lain selain cerai. Barangkali ada yang memaksudkan agar istrinya pulang saja ke rumah, namun bukan maksud untuk cerai. Contoh lainnya, “Sekarang kita berpisah saja”. Lafazh ini pun tidak selamanya dimaksudkan untuk talak, bisa jadi maknanya kita berpisah di jalan dan seterusnya. Jadi contoh-contoh tadi masih mengandung ihtimal (makna lain). Untuk talak jenis ini perlu adanya niat. Jika diniatkan kalimat tadi untuk maksud talak, jatuhlah talak. Jika tidak, maka tidak jatuh talak. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya." (HR. Bukhori 1 dan Muslim 1907).

Jika talaknya hanya dengan niat dalam hati tidak sampai diucapkan, maka talaknya tidak jatuh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan pada umatku sesuatu yang terbetik dalam hatinya selama tidak diamalkan atau tidak diucapkan”. (HR. Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127, dari Abu Hurairah)

2. Tidak berujung zina selama suami tidak berniat talak dalam ucapannya, dan berakibat zina jika suami niat talak dalam ucapannya.

والله تعالى أعلم بالصواب.


✒️

Dijawab oleh : Ustadz Mahatir Fathoni, S.Ag.


═══════ ゚・:✿:・゚ ═══════
📣 𝗢𝗳𝗳𝗶𝗰𝗶𝗮𝗹 𝗔𝗰𝗰𝗼𝘂𝗻𝘁 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 (𝗚𝗶𝗦)⁣⁣

🌏 WebsiteGIS:
https://grupislamsunnah.com
📱 Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah
📷 Instagram: instagram.com/grupislamsunnah
🌐 WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com
📧 Telegram: t.me/s/grupislamsunnah
📬 Telegram Soal Jawab: https://t.me/GiS_soaljawab
🎥 YouTube: bit.ly/grupislamsunnah
1⃣7⃣3⃣3⃣
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
╔══꧁✿✿°°📥°°✿✿꧂══╗

𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮
𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝘄𝗮𝗯

╚══꧁✿✿°°📤°°✿✿꧂ ══╝

𝗡𝗢 : 1️⃣7️⃣3️⃣4️⃣

𝗗𝗶𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝘂𝗺 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 | 𝗚𝗶𝗦
🌏 https://grupislamsunnah.com

📬 𝗞𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗶𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗞𝗹𝗶𝗸 : https://t.me/GiS_soaljawab

═══════゚・:✿:・゚═══════

✉️ 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗚𝗔𝗝𝗜 𝗔𝗧𝗔𝗨 𝗨𝗣𝗔𝗛 𝗕𝗔𝗚𝗜 𝗜𝗠𝗔𝗠 𝗠𝗔𝗦𝗝𝗜𝗗


Nama: Ummu Dicky
Angkatan: 06
Grup : 01
Nama Admin : Siti Halimah Sadiyatul Azizah
Nama Musyrifah : Hayatul Fatiyyaturahmah
Domisili : Kota Padang Sidempuan, Medan

💬 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Izin bertanya Ustadz,

Apakah Imam masjid harus digaji atau diberikan upah ?

Kalau misalnya digaji, apakah dahulu di zaman Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wasallam juga melakukannya ?

Mohon penjelasannya Ustadz.

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.





👤 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻


وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد.

Jika gaji tersebut bersumber dari baitul mal atau kas negara, maka mayoritas Ulama dari madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah memperbolehkannya. Karena harta baitul mal memang seharusnya difungsikan untuk membantu dalam ketaatan.

Jika gaji tersebut berdasarkan kesepakatan ijarah atau sewa menyewa jasa, maka ada perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Mayoritas Ulama melarang sewa jasa imam. Hal ini sama dengan hukum sewa jasa muadzin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كان آخِرُ ما عَهِدَ إليَّ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ألَّا أتَّخِذَ مُؤَذِّنًا يأخُذُ على الأذانِ أجرًا

“Termasuk perkara terakhir yang ditinggalkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah agar para muadzin tidak mengambil upah dari adzannya.” (HR. Abu Dawud : 4604).

Dan disebabkan kemanfaatan menjadi imam kembali hanya kepada pelakunya, sehingga tidak diperkenankan baginya mengambil upah, seperti halnya sholat dan puasa.

Namun, sebagian Ulama membolehkan hal tersebut. Apabila orang yang ditunjuk sebagai imam memang orang yang membutuhkan, sehingga diharapkan dengan gaji tersebut dia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini adalah salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. sehingga, jika dia adalah orang yang sudah tercukupi kebutuhannya, maka tetap tidak boleh mengambil upah tersebut.

Hadiah yang diberikan negara kepada para imam masjid bukanlah gaji atau upah, akan tetapi salah rezeki yang Allah berikan kepada mereka dalam rangka tolong menolong kebaikan.

Begitupun dizaman kepemimpinan khalifah kaum muslimin, dahulu para imam, para qodi atau hakim, dan para ulama mendapatkan hadiah dari para sultan dan khalifah sebagai hadiah dan imbalan kepada mereka terhadap apa yang sudah mereka lakukan.

والله تعالى أعلم بالصواب.


✒️

Dijawab oleh : Ustadz Mahatir Fathoni, S.Ag.


═══════ ゚・:✿:・゚ ═══════
📣 𝗢𝗳𝗳𝗶𝗰𝗶𝗮𝗹 𝗔𝗰𝗰𝗼𝘂𝗻𝘁 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 (𝗚𝗶𝗦)⁣⁣

🌏 WebsiteGIS:
https://grupislamsunnah.com
📱 Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah
📷 Instagram: instagram.com/grupislamsunnah
🌐 WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com
📧 Telegram: t.me/s/grupislamsunnah
📬 Telegram Soal Jawab: https://t.me/GiS_soaljawab
🎥 YouTube: bit.ly/grupislamsunnah
1⃣7⃣3⃣4⃣
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
╔══꧁✿✿°°📥°°✿✿꧂══╗

𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮
𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝘄𝗮𝗯

╚══꧁✿✿°°📤°°✿✿꧂ ══╝

𝗡𝗢 : 1️⃣7️⃣3️⃣5️⃣

𝗗𝗶𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝘂𝗺 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 | 𝗚𝗶𝗦
🌏 https://grupislamsunnah.com

📬 𝗞𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗶𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗞𝗹𝗶𝗸 : https://t.me/GiS_soaljawab

═══════゚・:✿:・゚═══════

✉️ 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗠𝗘𝗠𝗕𝗘𝗥𝗜𝗞𝗔𝗡 𝗭𝗔𝗞𝗔𝗧 𝗠𝗔𝗟 𝗨𝗡𝗧𝗨𝗞 𝗪𝗔𝗥𝗚𝗔 𝗣𝗔𝗟𝗘𝗦𝗧𝗜𝗡𝗔

Nama : EDS
Angkatan : 6
Grup : 12
Nama Admin : Nisa Nurhasanah & Zuniati
Nama Musyrifah : Zatriana
Domisili : Bogor

💬 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Izin bertanya, Ustadz.

Bagaimana hukumnya memberikan zakat mal untuk warga Palestina ?

Mohon jawabannya, Ustadz.


جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.



👤 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

وعليكم السلام ورحمة الله وربركاته.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد.

Pada dasarnya zakat disalurkan kepada para faqir mengikuti (lokasi) harta tersebut berada, tidak di transfer ke tempat lain kecuali karena keperluan atau kemaslahatan sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'Alayhi Wassalam kepada Muadz, ketika diutus ke Yaman :

..فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ (رواه البخاري (1395)، ومسلم (19)).

“Maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada para faqir-miskin mereka."

Jika menyalurkan zakat ke negara lain tanpa adanya keperluan atau kebutuhan maka perbuatan itu buruk, walaupun dana itu di bagikan, tidak di perintahkan untuk mengeluarkan zakat kembali.
(kasyfu al qunna, 2/263).

Ulama umumnya melarang pendistribusian zakat dari satu daerah/negeri ke daerah/negeri lain atau tidak diperkenankan memindahkan zakat ke tempat lain sejauh perjalanan yang dibolehkan qashar, walaupun sangat dibutuhkan.

Syeikh Muhamad bin Ibrahim rahimahullah ditanya tentang hukum pendistribusian zakat ke negara lain sejauh perjalanan yang diperbolehkan qoshor atau lebih?

Beliau menjawab,
“Hukum distribusi zakat ke daerah lain ada dua pendapat ulama :
• Pertama :
Tidak boleh, ini pendapat yang masyhur, kecuali bila tidak didapati mustahik zakat di sebuah Negara.
• Pendapat kedua :
Boleh demi mashlahat yang kuat, pendapat ini didukung oleh syeikh Taqiyuddin.

Syekh Abdullah bin Muhamad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata kedua pendapat ini bertujuan agar zakat mencukupkan pemenuhan kebutuhan faqir.
(fatawa syeikh Muhammad bin Ibrahim 4/98).

Yang jelas, pada dasarnya zakat disalurkan kepada para faqir yang berada di (lokasi) harta tersebut berada, tidak ditransfer ke tempat lain kecuali karena keperluan atau kemaslahatan.

Yang termasuk kemaslahatan seperti penyaluran zakat kepada kerabat, karena pahalanya lebih banyak, atau disalurkan kepada seseorang yang sangat membutuhkan seperti kaum muslimin yang ada di Palestina, yang sedang berjuang mempertahankan nyawa, agama serta tempat mereka.

والله تعالى أعلم بالصواب.

✒️

Dijawab oleh :

Ustadz Mahatir Fathoni, S.Ag.

═══════ ゚・:✿:・゚ ═══════
📣 𝗢𝗳𝗳𝗶𝗰𝗶𝗮𝗹 𝗔𝗰𝗰𝗼𝘂𝗻𝘁 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 (𝗚𝗶𝗦)⁣⁣

🌏 WebsiteGIS:
https://grupislamsunnah.com
📱 Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah
📷 Instagram: instagram.com/grupislamsunnah
🌐 WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com
📧 Telegram: t.me/s/grupislamsunnah
📬 Telegram Soal Jawab: https://t.me/GiS_soaljawab
🎥 YouTube: bit.ly/grupislamsunnah
1⃣7⃣3⃣5⃣
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
╔══꧁✿✿°°📥°°✿✿꧂══╗

𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗼𝗯𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮
𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝘄𝗮𝗯

╚══꧁✿✿°°📤°°✿✿꧂ ══╝

𝗡𝗢 : 1️⃣7️⃣3️⃣6️⃣


𝗗𝗶𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝘂𝗺 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗚𝗿𝘂𝗽 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵 | 𝗚𝗶𝗦
🌏 https://grupislamsunnah.com

📬 𝗞𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗼𝗮𝗹 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯 𝗦𝗕𝗨𝗠
𝗦𝗶𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗞𝗹𝗶𝗸 : https://t.me/GiS_soaljawab

═══════゚・:✿:・゚═══════

✉️ 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗜𝗦𝗧𝗥𝗜 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗚𝗨𝗚𝗔𝗧 𝗖𝗘𝗥𝗔𝗜 𝗦𝗨𝗔𝗠𝗜

Nama : Um Ibrahim
Angkatan : 06
Grup :16
Nama Admin : Salma Latif
Nama Musyrifah : Dwi Susmiyanti
Domisili : Madura

💬 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗮𝗻

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Izin bertanya, Ustadz.

Bolehkah istri menggugat cerai kepada suami, jika suami berubah, tidak seperti yang awal dikenal ?

Contohnya :
Awal kenal suami, tertarik karena satu manhaj.
Yang mana suami hijrah sudah 2 tahun.

Beliau ikut kajian sunnah, berhenti merokok, shalat di masjid.

Setelah menikah, ternyata 90% berubah diluar dugaan.
Sekitar 4 bulan menikah, suami merokok lagi.

Kalau dinasehati beliau jawab, "Mau berhenti jika mempunyai anak".

Alhamdulillah Allah ﷻ karuniai kami anak.
Dinasehati lagi untuk berhenti.
Beliau menjawab, "Tunggu anak besar".

Kini anak sudah masuk 4 tahun, tetapi suami tak kunjung berhenti merokok.

Mengenai shalat, semenjak pulang kampung dan tinggal di kampung sekitar 3 tahun ,jadi jarang ke masjid.
Kecuali shalat Jum'at.

Dan shalat subuh sering telat karena lambat tidur, malam begadang.

Orang tuanya ikut menasehati, namun tidak ada perubahan.

Beliau lebih memilih hidup berteman di luar, dari pada di rumah.

Dahulu bilang kalau suka buka youtube kajian online.
Tapi nyatanya buka game atau hal-hal lain, seperti film atau lagu-lagu.

Mohon saran dan nasehatnya, Ustadz.


جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.



👤 𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

وعليكم السلام ورحمة الله وبركات.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد.

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga.”
(HR. Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187 dan dishahihkan al-Albani).

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.

Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,

أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة

“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…”
(Aunul Ma’bud, 6:220).

Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

“Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.”
(HR. Nasa’i 3461 dan dishahihkan al-Albani)

Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,

أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي

“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat."

Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai?

Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini.

Beliau mengatakan,

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه

“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika ia membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya, atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.”